LOGINSementara Peter menjadi pusat perhatian di ruang karaoke, Amanda melemparkan senyum puas pada Richard dari sudut gelap. Jari-jarinya lincah bergerak di layar ponsel, menyiapkan video yang baru direkamnya untuk diunggah ke internet.
"Lihat wajahnya yang menyedihkan itu," bisik Amanda, matanya berkilat penuh kemenangan. "Setelah ini tersebar, tidak akan ada lagi yang menganggapnya serius. Keluargaku akhirnya akan mengerti mengapa aku menolak pertunangan konyol ini."
Richard merapatkan tubuhnya terlalu dekat, parfum mahalnya yang berlebihan membuat udara terasa pekat. Tangannya melingkar di pinggang Amanda dengan keintiman yang melampaui batas persahabatan.
"Kau tahu, sayang, seharusnya kau berterima kasih padaku," ujar Richard dengan suara rendah. "Tanpa ideku mengikutinya ke tempat murahan ini, kita tidak akan mendapat bukti sempurna seperti ini."
Amanda tertawa kecil, suaranya terdengar hambar.
"Oh, tentu saja. Kau memang jenius, Richard. Setelah video ini tersebar, aku akan bebas dari ikatan bodoh ini, dan kita bisa..."
Kata-katanya terhenti ketika matanya bertemu tatapan Peter dari seberang ruangan.
Ada sesuatu yang berbeda dari tatapan itu. Bukan malu atau marah seperti yang diharapkannya, melainkan dingin dan penuh perhitungan yang membuat bulu kuduknya meremang.
Peter berdiri tenang di tengah kerumunan yang masih mengejek.
Namun alih-alih terlihat terpojok, ia justru tampak terlalu tenang untuk situasi yang dihadapinya. Tangannya bergerak perlahan, hampir tidak terlihat, ke dalam saku jaketnya.
Amanda mengabaikan perasaan tidak nyaman yang muncul. "Ayo, kita unggah sekarang juga," desaknya pada Richard, kembali fokus pada ponselnya. "Aku ingin semua orang melihat betapa menyedihkannya dia."
Richard mengangguk, senyum liciknya melebar. "Lakukan saja, sayang. Biarkan dunia tahu siapa Peter Davis sebenarnya. Peter si pemabuk mesum yang bahkan tidak pantas menjadi tunangan..."
Kata-katanya terputus mendadak.
Richard merasakan sensasi aneh di lehernya, seperti sengatan listrik kecil yang menjalar ke seluruh tubuh. Matanya melebar bingung, tangannya refleks menyentuh leher, namun tidak menemukan apa pun.
"Richard? Ada apa?" tanya Amanda, terlalu fokus pada ponselnya.
Richard tidak menjawab.
Mulutnya terbuka tanpa mengeluarkan suara. Wajahnya perlahan berubah pucat, keringat dingin membasahi dahinya. Tubuhnya mulai gemetar halus.
"Richard, aku bertanya..." Amanda menoleh dan kata-katanya terhenti.
Pada saat bersamaan, ia merasakan sensasi serupa di belakang telinga, seolah ada sesuatu yang menusuk, namun tidak ada apa-apa.
Sensasi itu berlangsung sepersekian detik, namun efeknya langsung terasa.
Dunia di sekitarnya mulai berputar.
Udara terasa semakin berat, seolah paru-parunya lupa cara bernapas. Jantungnya berdebar tidak beraturan. Ponsel di tangannya terlepas, jatuh ke lantai dengan suara yang anehnya terdengar sangat jauh.
"A-apa yang terjadi..." Amanda tergagap, matanya mencari Richard yang kini tampak sama pucatnya.
Tanpa suara, tanpa drama, keduanya jatuh berlutut.
Tidak ada yang memperhatikan pada awalnya. Semua orang masih terlalu sibuk dengan Peter dan gadis pemandu karaoke yang berteriak.
Akhirnya, seseorang menyadari kondisi mereka. "Astaga! Ada yang pingsan di sini!" teriak seorang pengunjung, menunjuk Richard yang kini tergeletak tidak bergerak.
Dalam sekejap, perhatian seluruh ruangan beralih.
Kerumunan yang tadinya mengelilingi Peter kini bergerak ke arah Amanda dan Richard. Para gadis pemandu karaoke berkerumun di sekitar Richard, wajah mereka menunjukkan kekhawatiran berlebihan.
"Richard, sayang, kau bisa mendengarku?" salah satu gadis berbisik, tangannya menepuk pipi Richard dengan lembut.
"Dia sangat tampan, pasti kaya. Kita harus menolongnya," bisiknya pada temannya, cukup keras untuk didengar Amanda.
Sementara itu, Amanda tergeletak hanya beberapa langkah dari Richard, namun hampir tidak ada yang memperhatikannya.
Ia menatap dengan mata melotot penuh amarah saat semua perhatian tertuju pada Richard. Dadanya naik turun cepat, tubuhnya tiba-tiba terasa lemah, ditambah kemarahan yang memuncak melihat dirinya diabaikan.
Amanda mencoba berteriak, namun yang keluar hanyalah suara tercekik. Rasa panas mulai menjalar di tenggorokannya, seolah ada sesuatu yang ingin keluar, sesuatu yang terasa seperti darah.
Dalam keputusasaannya, matanya mencari sosok yang mungkin bisa membantu.
Di sanalah Peter berdiri, tidak jauh darinya, mengamati seluruh kejadian dengan ekspresi bingung yang tampak tulus.
"P-Peter..." Amanda memanggil dengan suara lemah, tangannya terulur ke arahnya. "T-tolong..."
Peter menoleh, tatapannya bertemu dengan Amanda. Untuk beberapa saat, ia hanya menatap, seolah terkejut melihat kondisinya. Kemudian, dengan langkah ragu, ia mendekati Amanda.
Amanda merasakan secercah harapan. Meski ia baru saja mencoba mempermalukan Peter, mungkin sifat baiknya akan membuatnya menolong.
Peter berjongkok di sampingnya, wajahnya menunjukkan kebingungan sempurna. "Amanda? Apa yang terjadi? Kau baik-baik saja?"
Amanda mencoba menjawab, namun yang keluar hanyalah suara tercekik. Matanya melebar ketika Peter melihat ponsel yang tergeletak di dekat tangannya.
"Oh, ponselmu," Peter berkata sambil mengambil ponsel tersebut.
Ia menatap layarnya sejenak, kemudian dengan gerakan yang tampak tidak disengaja, jarinya menyentuh beberapa tombol. "Ups, sepertinya aku tidak sengaja menyentuh sesuatu. Maaf, aku tidak terlalu paham teknologi."
Amanda menatapnya dengan campuran ketakutan dan kemarahan saat menyadari bahwa video yang baru direkamnya mungkin telah terhapus.
"Kau tampak tidak sehat, Amanda," Peter melanjutkan dengan nada polos. "Aneh sekali kau dan Richard tiba-tiba jatuh seperti ini. Mungkin makanan di tempat ini tidak baik? Atau mungkin... karma?"
Amanda menatapnya geram. Ada sesuatu yang berbeda dari Peter yang ia kenal.
Peter yang dulu pemalu, selalu mengalah, dan mudah dimanipulasi. Pria di hadapannya ini, meski tampak polos, memiliki sesuatu yang berbeda di matanya.
"Aku harap kau segera pulih," Peter berkata sambil berdiri, memasukkan ponsel Amanda ke sakunya dengan santai. "Sepertinya aku harus pergi sekarang. Banyak yang harus dibereskan."
"P-Peter!" Amanda mencoba berteriak, namun suaranya masih terlalu lemah.
Kemarahan memuncak dalam dadanya, bercampur dengan rasa takut dan ketidakberdayaan yang belum pernah ia rasakan. Rasa panas di tenggorokannya semakin menjadi.
Namun Peter tidak menoleh.
Ia berjalan melewati kerumunan yang masih sibuk dengan Richard, melewati gadis pemandu karaoke yang kini menatapnya bingung, dan keluar dari ruangan tanpa seorang pun mencoba menghentikannya.
Amanda merasakan kesadarannya mulai menghilang.
Hal terakhir yang ia lihat sebelum kegelapan menelannya adalah punggung Peter yang menjauh, dan pemahaman mengerikan bahwa pria yang selama ini ia anggap lemah dan tidak berdaya, mungkin adalah orang yang paling berbahaya yang pernah ia temui.
+++
Peter melangkah keluar dari karaoke dengan perasaan aneh bercampur dalam dadanya. Sebagian dirinya merasa puas telah memberikan pelajaran pada Amanda dan Richard, namun sebagian lain merasa asing dengan tindakan yang baru saja ia lakukan.
Apakah ini benar-benar dirinya? Atau pengaruh dari lima tahun yang ia habiskan di Benua Zicari?
Jalanan kota di malam hari terasa familiar sekaligus asing. Lampu neon, deru kendaraan, orang-orang yang berlalu lalang dengan terburu-buru. Semua ini adalah bagian dari dunia yang telah ia tinggalkan selama lima tahun.
Namun kini, semuanya terlihat berbeda melalui matanya yang telah melihat keajaiban dan kengerian Benua Zicari.
Kakinya bergerak dengan sendirinya, mengikuti ingatan tubuh yang kini ia tempati.
"Tubuh ini mengingat apa yang pikiran ini lupakan," gumam Peter, membiarkan kakinya membawanya melintasi gang sempit yang berbau pesing dan tumpukan sampah.
Perlahan, gedung tinggi dan lampu terang pusat kota mulai berkurang, digantikan dengan bangunan tua yang catnya mengelupas dan lampu jalan yang berkedip lemah.
Pinggiran kota. Tempat di mana harga sewa cukup murah untuk seseorang yang telah gagal dalam hidup.
Sebuah bangunan apartemen tua berdiri menjulang di ujung jalan.
Cat abu-abunya sudah memudar, beberapa jendela ditambal dengan kardus atau plastik, dan tangga luar yang menuju ke lantai atas tampak rapuh dan berbahaya.
Inilah rumahnya, setidaknya, rumah tubuh yang kini ia tempati lagi.
Peter menatap bangunan itu dengan campuran ketidakpercayaan dan penerimaan pahit.
Di Benua Zicari, ia tinggal di paviliun megah dengan pilar marmer dan taman indah. Bahkan sebelum perjalanannya ke dimensi lain, ia tinggal di asrama universitas yang bersih dan terawat. Kini, ia harus menerima kenyataan bahwa hidupnya telah jatuh serendah ini.
Bersambung
Malam tiba dengan sangat cepat. Langit yang tadinya masih berwarna jingga kini sudah berubah menjadi hitam pekat dengan bintang-bintang yang bersinar redup di atas. Udara malam terasa sangat dingin hingga menusuk tulang.Suara jangkrik dan kodok dari sawah di sekitar penginapan terdengar dengan sangat nyaring.Peter duduk bersila di tengah kamar bungalow yang sangat sederhana itu. Lampu minyak kecil di sudut ruangan memberikan cahaya yang sangat redup dan bergoyang-goyang. Ia memejamkan mata dengan sangat pelan, mengatur napasnya menjadi sangat teratur dan dalam.Tubuhnya mulai memasuki mode meditasi yang dalam. Ia membuka semua indera spiritualnya dengan sangat hati-hati, merasakan setiap getaran energi di sekitarnya.Aura yang sangat halus mulai memancar dari tubuhnya, menciptakan semacam perisai tak terlihat di sekeliling kamar."Mari kita lihat siapa yang berani mengacau di wilayah yang pernah aku tempati," batinnya dengan nada yang sangat dingin dan tajam."Siapa pun yang ada di
Pak Sutejo menarik napas dalam-dalam yang gemetar. Ia duduk di kursi kayu tua di teras dengan tubuh yang terlihat sangat lelah. Tangannya yang keriput menggenggam cangkir teh kosong dengan sangat erat hingga buku-buku jarinya memutih."Ada makhluk aneh yang muncul, Dokter," katanya akhirnya dengan suara yang sangat pelan, hampir seperti bisikan."Kadang-kadang ular raksasa berwarna hitam dengan mata merah menyala. Kadang-kadang sosok yang seperti hantu lapar dengan tubuh kurus mengerikan. Mereka muncul setiap kali ada tamu baru yang menginap saat malam tiba."Rani mengangguk cepat dengan mata yang mulai berkaca-kaca. Ia duduk di tangga dengan tubuh meringkuk seperti mencoba membuat dirinya sekecil mungkin."Minggu pertama, ada dua pasangan yang menginap," lanjut Rani dengan suara gemetar."Tengah malam mereka menjerit ketakutan karena melihat ular raksasa merayap di jendela kamar mereka. Paginya mereka langsung pergi tanpa membayar, bahkan meninggalkan barang-barang mereka. Mereka bil
Matahari sore mulai tenggelam di ufuk barat Kota Teratai dengan cahaya jingga yang menyapu gedung-gedung tinggi. Langit berubah dari biru cerah menjadi gradasi oranye kemerahan yang sangat indah.Angin sore bertiup pelan membawa aroma makanan dari restoran-restoran di sepanjang jalan.Peter Davis berjalan keluar dari Hotel Grand Teratai yang sangat mewah dengan langkah santai namun wajah yang sedikit lelah. Ia mengenakan kemeja putih sederhana dan celana hitam biasa, tanpa aksesori berlebihan. Penampilannya sangat kontras dengan kemegahan hotel bintang lima di belakangnya.Hotel itu sepenuhnya ditanggung oleh Asosiasi Hunter Nasional Rastal sebagai bentuk penghargaan atas kontribusinya. Sebagai dokter yang kini dianggap aset negara, Peter mendapat fasilitas lengkap.Gaji tinggi yang ditransfer setiap bulan, makan gratis di restoran hotel, bahkan keamanan dua puluh empat jam oleh petugas khusus. Semua kenyamanan duniawi tersedia untuknya.Tapi hatinya tetap gelisah.Sudah berhari-hari
Keheningan berlanjut selama beberapa detik yang terasa sangat panjang.Lalu tiba-tiba, Tuan von Rutherford berdiri dari kursinya. Ia melangkah maju, berdiri di samping Peter dengan ekspresi sangat serius."Kami menyaksikan keajaiban," katanya dengan suara yang bergetar penuh emosi."Anak kami yang hampir mati, kini hidup kembali berkat Dokter Peter!"Suaranya semakin keras, penuh dengan emosi yang tidak tertahankan."Semua dokter terbaik dunia bilang tidak ada harapan. Mereka bilang kami harus menerima kenyataan. Tapi Dokter Peter tidak menyerah. Dia memberikan harapan ketika tidak ada yang lain berani."Tuan von Rutherford menatap seluruh aula dengan mata berkaca-kaca."Ini bukan placebo. Ini bukan sugesti. Ini nyata. Anak saya bisa berdiri. Bisa berjalan. Bisa tersenyum lagi."Ia berbalik menatap Peter dengan ekspresi penuh rasa hormat yang sangat dalam."Kami akan berhutang seumur hidup pada Anda, Dokter Peter."Tepuk tangan mulai terdengar.Pertama dari satu orang di barisan belak
Dr. Morel berdiri, mendekati podium dengan langkah santai. Ia tersenyum ramah kepada semua wartawan, lalu mulai berbicara dengan nada sangat formal."Selamat siang semuanya," katanya dengan suara yang diperkuat mikrofon."Terima kasih sudah hadir di konferensi pers ini. Hari ini, kita berkumpul untuk membahas kasus medis yang luar biasa. Kasus yang menantang semua pemahaman kita tentang kedokteran modern."Ia menunjuk ke arah Elliot yang duduk di kursi roda."Elliot von Rutherford, dua belas tahun, didiagnosis dengan Degenerasi Otot Genetik Progresif stadium lanjut oleh tim ahli internasional. Semua dokter menyatakan tidak ada harapan. Prognosis: terminal."Suasana di aula sangat hening. Semua mata tertuju pada Elliot."Tapi," lanjut Dr. Morel dengan nada semakin serius."Dalam waktu satu minggu, dengan terapi akupunktur dan ramuan herbal tradisional oleh Dokter Peter Davis, Elliot menunjukkan pemulihan yang luar biasa. Ia kini bisa duduk, berdiri, dan berjalan dengan bantuan."Gemuru
Peter menatapnya dengan ekspresi sangat dingin."Mustahil hanya bagi mereka yang berhenti belajar," jawabnya dengan nada sangat tenang namun tajam seperti pisau.Dr. Schneider tidak menjawab. Ia hanya menatap Elliot dengan ekspresi sangat kompleks. Ada kekaguman, ada ketidakpercayaan, ada rasa malu yang sangat besar.Selama tiga puluh tahun karirnya sebagai dokter, ia tidak pernah melihat sesuatu seperti ini. Semua yang ia pelajari di universitas, semua yang ia baca di jurnal medis, semua yang ia percayai tentang sains dan kedokteran, semuanya runtuh dalam satu minggu."Saya... saya harus mengakui," katanya akhirnya dengan nada sangat pelan, sangat berat."Anda telah melakukan sesuatu yang saya tidak bisa jelaskan dengan sains modern."Peter tidak menjawab. Ia hanya menatap jendela besar yang menampilkan pemandangan Kota Teratai di bawah dengan ekspresi sangat tenang.Tiba-tiba, bunyi gaduh terdengar dari luar ruangan. Suara orang banyak, kamera, mikrofon.Suster Linda berlari masuk d







