Jayme sangat bersyukur atas makanan yang sukses meluncur dan bersemayam dalam lambungnya. Makanan lezat yang tentu saja dibuatkan olah Zanara dengan sepenuh hati.Setidaknya begitulah bagi Jayme, karena wanita itu rela berkutat di dapur setelah Jayme mengatakan bahwa dirinya belum terisi makanan apa pun sejak pagi. Namun, tentu saja hanya itu yang dilakukan Zanara, karena kini Jayme sudah duduk di sofa ruang tamu seorang diri.Bukankah memang ya ia inginkan hanya seporsi makan malam? Mungkin akan lebih baik jika ia pulang ke apartemennya dan membiarkan Zanara beristirahat.Pria itu kemudian beranjak, setelah menuliskan ucapan terima kasih pada sebuah catatan dan melekatkannya di balik pintu.Untuk besok, mungkin ada baiknya ia benar-benar mengambil cuti dan pergi berlibur seorang diri, menyalurkan hasratnya pada dunia fotografi, atau sekedar berwisata seorang diri.Namun, pikirannya kemudian tertuju pada Marion. Bukankah gadis itu selalu menantikan hari libur Jayme hanya agar bisa mak
Zanara bergegas pergi setelah mendapat persetujuan dari Jayme. Sesungguhnya ia tak perlu izin dari pria itu. Bukankah ia wanita lajang yang bebas pergi ke mana pun? Hanya saja, Zanara sangat membutuhkan bantuan Jayme untuk menjaga putrinya, karena itu dengan terpaksa mengikuti apa yang diminta oleh Jayme.Tak apa, untuk kali ini saja ia akan mengalah pada pria itu, asalkan tidak berulang kali. Karena jika itu sampai terjadi, pertanda bahwa dunia akan kiamat.Bagaimana tidak? Zanara jelas wanita yang keras kepala. Bahkan sejak dirinya merasakan pahitnya kehidupan percintaannya, akan sulit baginya untuk membuka hati dan kembali menerima cinta yang baru.Tentu saja, berlaku pula untuk cinta yang lama. Mungkin bahkan akan lebih sulit, jika itu berhubungan dengan Mark.Zanara tiba di apartemennya, dengan mengendap-endap seperti seorang pencuri. Terpaksa ia lakukan seperti ini karena bisa saja pria dengan pemikiran gila seperti Mark akan rela menunggu dan berdiam di sana hingga Zanara kemba
Sungguh ancaman apa pun tak akan mempan untuk Zanara, asalkan itu tidak menyangkut Marion. Namun, untuk memutuskan apakah ia akan setuju atau tidak, tak mungkin akan semudah itu. Ia bahkan tak akan pernah mau sekedar membayangkan menjalani hidup kembali bersama Mark. Meski sesungguhnya pria itu mencintainya.Dulu. Zanara pasti akan percaya jika Mark datang padanya dulu, saat ia tak mengenal bagaimana seorang Mark Anderson yang misterius dan penuh rahasia.Kini jelas, ia tak mau mempertaruhkan hidupnya. Terlebih Marion, jantung hati dan penyemangat hidupnya."Bagaimana? Kau masih punya waktu untuk memikirkannya, Zee. Namun, jangan pernah berani untuk melarikan diri lagi. Karena seperti yang sejak dulu dan akan selalu kukatakan, meski ke ujung dunia sekali pun, aku akan menemukanmu."Kalimat itu bukan ancaman bagi Zanara, karena dulu kalimat itu adalah hal termanis yang pernah ia dengar. Kali ini, justru terdengar layaknya sebuah genderang perang. Apa yang harus ia lakukan? Bagaimana ia
Zanara nyaris menjerit saat merasakan sesuatu yang mencekal lengannya. Namun, dengan segera pria itu membekap mulutnya, berhasil mencegah mereka menjadi pusat perhatian."Sst ... Zee, jangan berteriak, ini aku," ucap Jayme, setengah berbisik. Ia tak ingin menjadi tontonan orang yang berlalu-lalang di sekitar mereka, hingga dengan cepat dan tanpa menunggu pertanyaan yang pasti akan meluncur dai bibir wanita itu, Jayme sudah menggenggam tangan Zanara dan menariknya untuk menuju ke mobil yang ia parkir tak jauh dari sana."A-apa yang kau lakukan di sini? Bagaimana kau bisa tahu aku—""Sudah, itu kita bahas nanti di rumah, atau di perjalanan. Sekarang kita harus bergegas pergi sebelum pria itu menemukanmu."Jayme melajukan mobilnya dengan hati-hati, tak ingin membuat Marion sudah terlelap di bangku belakang merasa tak nyaman. Ia menoleh ke arah Zanara yang tampak pucat dan kelelahan. "Periksa ponselmu dan matikan sistem lokasimu sekarang juga!" perintahnya, yang dengan segera dipatuhi ol
Jayme tak bisa terpejam meski sudah mencoba berbagai cara. Pikirannya masih berkelana dan mencari solusi untuk Zanara. Apakah hal itu ia lakukan murni demi Zanara dan Marion tanpa tujuan untuk kepentingannya sendiri?Jika ditanya demikian, maka jawabannya antara ya dan tidak.Benar jika ia melakukan itu demi Zanara dan Marion, tetapi di samping itu juga tentu saja untuk kepentingannya, agar Zanara tak pernah pergi lagi.Jayme tak bisa membayangkan apa yang akan terjadi dengan dirinya jika sampai tak bisa bertemu lagi dengan Zanara dan Marion. Mereka sudah layaknya separuh jiwa dalam hidup Jayme.Waktu yang ia miliki lebih banyak dihabiskan bersama Marion ketimbang dengan kehidupannya yang lama.Ia sungguh tak dapat terpejam, meski makin lama matanya semakin meredup, tetapi sebuah panggilan kembali membuatnya terjaga.Nama ibunya tertera di layar, tentu tak mungkin ia abaikan."Jayme, kau di mana, Nak? Apakah kau masih di rumah sakit?" tanya wanita di seberang dengan nada cemas. Jayme
Jayme nyaris melupakan janji dengan seorang pasien yang telah ia atur minggu lalu. Menginap semalam saja di bawah satu atap dengan Zanara membuat Jayme melupakan banyak hal. Ia bahkan belum terpejam sejak semalam, tetapi justru memilih untuk menghabiskan waktu menemani Marion.Beruntungnya salah seorang perawat menghubungi dan mengingatkan mengenai janjinya itu. Bergegas ia melajukan mobil menuju ke rumah sakit. Namun, ia tak menyangka bahwa hal yang pertama ia temui saat melangkah masuk ke dalam ruangan bukanlah pasien yang menunggu, melainkan Clara."Cla? Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Jayme sembari memakai jas kerjanya dan bersiap untuk menyambut pasiennya. "Apakah ada yang penting? Jika tidak, bisakah kau keluar? Akan ada pasien yang datang sebentar lagi.""Aku ingin bicara denganmu, bisa?"Jayme menatap Clara sejenak, kemudian mempersilakan gadis itu untuk duduk, begitu juga dengan dirinya. "Hanya lima menit, setelah itu berjanjilah kau akan membiarkanku bekerja dengan tena
Jayme mengerang kesakitan. Pecahan kaca yang semula berada di tangan Bernadette, kini menancap di lengan pria itu. Mungkin bukan dengan kesengajaan, karena di detik berikutnya Bernadette sudah memekik histeris dan tampak panik."Oh, Dokter Demir, m-maafkan aku. Sungguh aku tidak bermaksud ... oh, tidak, kau berdarah!" racaunya, dengan bibir bergetar.Namun, wanita itu tampak tak tahu harus berbuat apa. Tatapannya menyapu ruangan seolah mencari sesuatu yang bisa ia gunakan untuk menolong Jayme menghentikan pendarahan, tetapi pada akhirnya tak ada satu pun benda yang ia raih. Wanita itu justru merosot ke lantai. "Tidak, aku bukan pembunuh! Aku tidak sengaja melakukannya!"Melihat reaksi wanita itu, Jayme dengan terpaksa mengabaikan nyeri yang mulai menjalar dari lengannya. Ia berjongkok dan meraih tubuh Bernadette."Hey, Bernadette, it's okay. Aku tahu kau tidak bermaksud melakukannya. Tenangkan dirimu, okay! Aku akan mencari pertolongan untuk kita."Dengan tertatih, Jayme bangkit kem
Jayme memutuskan untuk pulang ke rumah yang ditinggali oleh Zanara. Hari mulai gelap, lingkungan rumahnya itu pasti akan lengang setiap mulai pukul delapan malam, karenanya ia bebas keluar masuk. Terlebih Jayme selalu pulang ketika hari petang.Kali ini, ia tidak mengetuk pintu, bahkan masuk ke dalam rumah dengan mengendap. Zanara memang dengan sengaja tidak mengunci pintu agar Jayme bisa masuk tanpa mengganggu istirahatnya.Ia tak ingin terlalu berinteraksi dengan pria itu, karenanya ia lebih sering mengurung diri di kamar untuk mencegah pertemuan dengan Jayme. Jelas ia mengizinkan Jayme ikut tinggal di sana demi bisa melindungi dan menjaga dirinya dan Marion.Katakanlah kini Zanara bergantung pada Jayme dalam segala hal, begitu pula Jayme merasa memiliki tanggung jawab terhadap Zanara dan Marion, seolah ia adalah suami Zanara dan ayah dari Marion.Seolah itu hal yang nyata, padahal untuk saat ini hanya ada dalam imajinya.Jayme kini tengah celingukan, memastikan Zanara tak akan kelu