Share

Chapt 3: Past in Present

Zanara merasa panik seketika, kemudian mengambil cermin kecil dari dalam saku celemek yang ia gunakan, memeriksa apa yang menempel di wajahnya. Kotorankah?

Tak ada apa pun di sana, sementara Jayme dengan sikap tak bertanggung jawab justru tersenyum sendiri.

"Jangan bercanda! Ada apa di wajahku?" tanya Zanara, sedikit jengkel.

Jayme menggeleng.

"Ada kecantikan di sana. Baiklah ... aku pergi dulu. Ini ponselmu, sudah selesai kubersihkan dari pengganggu itu, jadi kau aman sekarang."

Jayme kemudian memutar tubuh dan mengayun langkah pergi meninggalkan Zanara yang hanya menatap punggung Jayme yang menjauh.

Ia lega karena akhirnya Jayme pergi dan mungkin akan kembali setelah beberapa hari. Pekerjaannya sebagai dokter jiwa membuat Jayme lebih sering berada di rumah sakit ketimbang di rumah. Dan saat libur, pria itu justru datang menemuinya dan menghabiskan waktu dengan Marion.

Apakah ia tidak punya keluarga untuk dikunjungi hingga selalu datang pada Zanara?

Padahal Zanara selalu bersikap ketus pada pria itu, tetapi Jayme seperti tidak kapok untuk datang lagi dan lagi, dengan alasan bertemu Marion, padahal rindu pada ibunya Marion.

Jayme mendekatinya sejak lama. Bahkan sejak Marion baru lahir, pria itu bersikap seolah punya tanggung jawab terhadap Marion hingga ia selalu datang dan meluangkan waktu bermain bersama gadis kecil yang mulai terbiasa bahkan yang ia tahu selama ini Jayme adalah ayahnya.

"Mama, apakah papa akan tinggal bersama kita? Ia selalu pergi dan kembali setelah beberapa hari berselang," tanya Marion dengan polosnya, ketika mereka tengah bercengkerama di balkon apartemen.

Zanara membelai rambut putrinya yang seketika mengingatkannya pada Mark. Namun, dengan cepat ia tepis pikiran itu. Tak boleh ada pria itu lagi dalam kehidupan Zanara maupun Marion. Sampai kapan pun bagi Zanara pria itu sudah mati.

"Marion, bagaimana mama harus katakan padamu? Paman Jayme itu ... dia ...." Zanara menghela napas, pasrah ketika menyadari Marion kini terlelap di pangkuannya. Zanara tersenyum memandangi paras ayu dan polos yang kini ada dalam rengkuhannya.

Ingatannya kembali pada dua tahun lalu, saat dirinya memergoki Mark melakukan hal menyakitkan di depan matanya. Andaikan saat itu ia tidak pergi dari rumah, entah apa yang akan terjadi padanya saat ini.

Ponsel Zanara meraung keras. Nama Shienna tertera di sana. Sudah sekian lama adiknya itu tidak menghubunginya, dan kini akhirnya ia melakukan panggilan yang jelas sangat dinanti oleh wanita yang kini menginjak usia 33 tahun tetapi masih tampak muda dan cantik layaknya berusia dua puluh tahunan.

"Hey, bagaimana kabarmu?" sapa Zanara, yang langsung disambut desahan kesal. "Ada apa" Apakah ada masalah?"

"Kau tahu, Zee. Lagi-lagi Mark datang menemuiku demi meminta informasi tentangmu. Apakah kau baik-baik di sana?" tanya Shienna, setelah melaporkan mengenai kejadian yang baru saja terjadi.

Zanara memang meminta Shienna untuk tidak mengatakan pada siapa pun mengenai keberadaannya. Ia tak ingin ada ada yang mengetahui di bumi mana ia berpijak sekarang.

Hidupnya dan Marion sudah bahagia, ia tak ingin ada seorang pun yang merusak itu semua.

Ia ingin kehidupannya dan Marion tak terusik oleh apa pun. Dan Jayme adalah kejadian luar biasa. Ia tak menyangka pria itu akan hadir dalam kehidupannya.

"Aku baik, sampai sekarang. Aman dan masih bersuara."

"Baguslah. Bagaimana dokter tampan itu? Apakah ia masih sering mengunjungimu?" Kali ini Shienna memelankan tempo bicaranya, takut jika Zanara akan marah mendengar pertanyaan yang berulang kali ia tanyakan mengenai Jayme.

"Itu lagi. Kumohon jangan mulai, Shie ... aku sangat malas membahasnya. Ia tadi datang dan suasana hatiku mendadak suram. Bagaimana jika buatmu saja. Namanya hampir sama dengan mantan suamimu itu."

Shienna terbahak seketika, kala mendengar kata demi kata yang diucapkan Zanara. "Kau bercanda? Aku tak mau patah hati lagi, Zee. Semua pria jika sudah memilihmu, maka ia akan tetap pada pendiriannya. Meski kita kembar, kau ingat bagaimana Mark—oops, maaf, Zee ... aku tak bermaksud—"

Zanara menghela napas lelah. "Tak masalah, Shie. Sudahlah, jangan bahas itu. Bagaimana dengan Aaron? Apakah ia sudah mulai bersekolah? Aku sangat merindukan kalian. Kapan-kapan kau harus datang ke sini, kalian pasti akan menyukai tempat ini."

Dan berbagai obrolan mengalir begitu saja antara mereka sebagai cara melepaskan rindu. Setelah sekian lama terpaksa berjauhan, tentu saja terbit kerinduan di hati keduanya terhadap masing-masing.

Namun, Zanara yakin suatu saat mereka akan berkumpul kembali.

Ia bersyukur dengan adanya Shienna, ia tak merasa seorang diri karena masih memiliki seseorang yang bisa menjadi sahabat baginya.

"Baiklah kalau begitu, aku hanya ingin menyampaikan itu dan memeriksa kabar kalian berdua. Aku merindukanmu, Zee. Semoga aku akan bisa menyusul ke sana segera. Dah ... aku mencintaimu."

Panggilan berakhir dan meninggalkan Zanara dengan berbagai pikirannya tentang apa yang baru saja disampaikan oleh Shienna. Benarkah Mark mencarinya? Apakah ia dan wanita itu telah berpisah?

Bukankah kabar terakhir yang ia dengar, Mark telah bertunangan dengan wanita bernama Laura itu. Entah Laura atau Bernadette, yang pasti wanita itu telah merusak keharmonisan rumah tangga Zanara.

Namun, ini tak hanya kesalahan wanita itu, karena jika cinta, meski godaan sekuat apa pun menghempas, Mark tak akan pernah goyah. Kenyataannya justru sebaliknya.

Mengenang masa lalu tak akan pernah ada habisnya, selain itu juga hanya akan menerbitkan luka di hatinya kembali menganga.

Zanara kembali menghadap layar ponselnya, kemudian menekan nomor Melika, pengasuh Marion. Ia membutuhkan bantuannya besok, karena tak mau lagi membawa Marion ikut bekerja.

Ia tak ingin Jayme memiliki alasan untuk datang terus menerus. Jika ia ingin datang menemui Marion, ia bisa menemuinya di rumah.

Zanara sungguh tak ingin bertemu pria itu, meski secara tak sengaja.

"Ya, Nyonya Miller?" sapa Melika dari seberang. Gadis berusia 20 tahun itu terdengar bersemangat setiap kali menerima panggilan dari Zanara. Satu lagi orang yang menyayangi Marion selain dirinya. Dan Jayme, tentu saja.

"Hey, Melika. Bisakah besok kau menemani Marion seharian di rumah? Dan jika kau mau, aku ingin kau mulai melakukannya setiap hari, karena mulai besok aku tak akan membawanya bekerja lagi."

"Mau, Nyonya. Terima kasih banyak. Aku akan datang lebih pagi besok. Terima kasih."

Satu masalah telah terselesaikan. Kini tinggal mengatur bagaimana agar Marion tak lagi merengek untuk ikut dengannya saat bekerja. Bagaimana pun Marion masihlah kecil, jadi akan ada saatnya ia meminta untuk selalu lengket dengannya, rewel dan segala tingkah polah yang terkadang menggemaskan meski juga membuat Zanara kesal.

Namun, jelas cintanya untuk Marion tak terkira. Ia bahkan rela mati demi kebahagiaan putri tunggalnya itu.

Zanara kemudian bangkit, mengangkat tubuh mungil Marion dan membawanya ke kamar. Ia kembali memandangi gadis kecil itu, mengusap kepalanya, lalu mengecupnya dengan penuh cinta.

Ia meninggalkan gadis itu terlelap, sementara dirinya mulai mempersiapkan bahan untuk membuat roti yang akan ia jual besok.

Tengah berkutat dengan kesibukannya, ponsel Zanara berdering untuk ke sekian kalinya. Panggilan dari nomor tak dikenal lagi. Ini sudah entah berapa kali ia mendapat panggilan semacam itu. Dan untuk kesekian kalinya, meski ragu, ia terpaksa menerima panggilan itu.

"Halo," sapanya, berharap yang menjawab adalah salah satu teman atau anggota keluarga. Atau bila perlu sekalian saja orang-orang tak dikenal atau salah sambung. Namun, yang ia terima justru sebaliknya.

Suara seseorang yang tak mungkin ia lupa seumur hidupnya, yang selama ini berusaha ia buang jauh segala kenangan tentang pria itu dari rongga kepalanya.

"Halo, Zee. Bagaimana kabarmu ... dan anak kita—siapa namanya? Aku sangat merindukan kalian."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status