"Shie ... apa yang harus kulakukan sekarang?" Zanara tak ingat sejak kapan ia mulai sering dilanda kecemasan. Ia jadi sering menggigiti jemarinya terkadang hingga berdarah, dan baru menyadarinya saat tangannya mulai terasa perih."Jayme. Coba hubungi Jayme, siapa tahu ia bisa membantu."Zanara membulatkan maniknya. "Apa? Tidak! Aku tak akan pernah menghubunginya untuk meminta apa pun! Aku tidak mau ia mengambil kesempatan dari ini semua.""Zee, untuk sekali ini saja coba tekan egomu. Lupakan apa pun yang tengah kau rasakan pada Jayme atau pria mana pun. Nyatanya kau membutuhkan bantuan mereka. Kau butuh bantuan, kau bukan wonderwoman, okay?"Zanara masih bergeming. Tak ingin mengiyakan begitu saja, karena benar apa yang dikatakan oleh Shienna, egonya memaksa untuk menang saat ini. Entah dengan tujuan apa, tetapi Zanara sama sekali tak ingin mengalah.Ia tak ingin pria itu berpikir bahwa dirinya lemah hingga membutuhkan bantuan pria itu. Ia sudah membuktikan sendiri bahwa nyatanya hingg
Mendengar suara bariton berat yang dulu sempat sangat menghibur pendengarannya, Zanara mematung. Berharap bahwa apa yang terjadi saat ini hanyalah mimpi, ia ingin agar bisa terbangun segera jika memang pria yang berdiri di balik punggungnya adalah benar pria itu.Tubuhnya bergetar hebat, tak ingin sampai bertemu mata dengan pria itu. Bukan takut hatinya akan lemah, melainkan tak ingin. Ia benci jika harus menatap pria itu lagi. Ia tak ingin bayang-bayang perselingkuhan Mark kembali bermain nakal di rongga kepalanya.Namun, sial!Ia bahkan tak mampu menggerakkan kedua kakinya untuk melarikan diri dari tempat itu. Jayme. Di mana pria itu? Apakah ia sudah pergi? Ataukah masih berdiri di tempat yang sama dan menanti kelanjutan cerita yang tengah dimainkan di depan matanya?Setelah bersusah payah menelan jantungnya yang nyaris mencelus, Zanara pada akhirnya memutar tubuh. Sorot mata yang semula penuh kepanikan, kini berubah tegar seketika, seiring bertemunya dua manik dari kejauhan.Benar,
Jayme sudah berdiri di depan pintu dengan sebuket bunga di tangannya, ia ulurkan pada Zanara. Tak ada maksud apa pun, tidak juga demi merayu wanita itu agar lebih memilih dirinya ketimbang kembali pada mantan suaminya. Sungguh semua itu murni untuk menghibur.Namun, niat baiknya sepertinya tak mendapat sambutan baik. Seperti biasa, Zanara dengan tanpa ekspresi menyambut dan menanyakan tujuan Jayme datang ke apartemennya."Apa tujuanmu datang kemari? Bukankah kau sudah puas bermain dengan Marion? Sekarang apa lagi?" desis Zanara, tajam. Namun, tetap menjaga intonasi dan volume suara agar tak didengar langsung oleh Marion."Zee ... jangan salah sangka dulu. Aku ingin bicara denganmu. Boleh?""Perkara apa? Aku sedang tak ingin membicarakan masalah yang sering kau tanyakan, tentang romansa atau apa pun itu." Wanita itu membuang wajah ke arah lain, tak ingin memandang wajah Jayme secara langsung. Bagaimana pun ia hanyalah manusia biasa, bisa saja pria itu akan memasang wajah memelas dan pad
Jayme masih mematung sesaat, memandangi wanita cantik yang wajahnya mulai memucat. Mungkin Zanara terlalu lelah seharian ini menghadapi konflik yang mendera, yang salah satunya disebabkan olehnya, tentu saja.Ia merasa bersalah, itu pasti. Namun, untuk membuat Zanara kembali tenang, pastilah bukan hal yang mudah. Dalam keadaan baik-baik saja pun ia akan bersikap ketus, terlebih kali ini."Zee, aku tahu kau tak akan pernah menganggap ini penting, tapi setidaknya izinkan aku mengatakan semua, hanya agar hidupku tenang," ucap Jayme, kemudian, setelah lama tepekur dan hanya memandangi Zanara serta menghibur penglihatannya dengan cara mengagumi sosok indah itu.Hanya mencuri pandang sesekali saja, karena jika Zanara tahu kalau Jayme memerhatikan sedetail itu, wanita itu pasti akan kesal dan itu jelas akan merusak suasana hatinya yang sudah memburuk."Terserah kau saja, tapi cepatlah ... aku tak ingin Marion mengetahui kehadiranmu."Mendengar kalimat itu, Jayme tentu saja merasa kecewa. Nam
Jayme masih di tempatnya, menanti Zanara buka suara. Namun, harapannya pupus kala Zanara berbalik, mengambil benda yang dibawa Jayme sebelumnya.Wanita itu menyerahkan buket bunga kembali pada pria itu."Bawa kembali benda ini, Dokter Demir. Aku tidak suka bunga, dan Marion ... kau tahu ia alergi serbuk sari. Maaf."Ah, benar! Jayme hampir saja melupakan penyakit bawaan gadis kecil yang sudah ia anggap anaknya sendiri itu. Mengapa ia bisa begitu bodoh? Dan Zanara ... memang, sejak dulu ini kebiasaannya. Wanita itu akan selalu memberikan kembali bunga yang dibawa Jayme untuknya.Bahkan semua yang diberikan Jayme pasti akan ia kembalikan."Maafkan aku, aku benar-benar lupa kalau Marion—""Tak apa, Dok. Pulanglah. Dan ...."Jayme bisa melihat ada keraguan dan kegugupan yang bercampur jadi satu pada rona wajah Zanara. Mungkin ia sejak tadi ingin mengatakan ini. Namun, entah apa yang membuatnya terlalu banyak berpikir hingga justru terkesan kebingungan bahkan bertele-tele."Terima kasih," u
"Kau sudah mengenalku, kan? Bukankah kau tahu aku seperti apa?" balas Jayme atas pernyataan dan kalimat yang dilontarkan oleh Clara dengan tujuan untuk mengintimidasinya. "Kau sudah sangat mengenalku, kau bahkan tahu seperti apa tipe wanita idamanku.""No, Jayme. Tipemu itu hanya omong kosong. Kau tak pernah punya tipe pasti. Wanita itu hanya harus bisa memuaskanmu di ranjang saja. Itu tipemu!" tuding gadis itu, yang membuat Jayme menggeleng tak percaya tanpa ingin membalas.Hanya saja entah apa yang baru saja dimakan gadis itu hingga bersikap sangat impulsif.Jayme bangkit dan mendekat pada gadis yang ia anggap seperti adiknya sendiri, ia kemudian memandangi wajah Clara serta pupil matanya yang tampak berbeda dari biasanya.Clara berusaha menghindari tatapan Jayme dengan melempar pandangan ke arah lain."Apa yang baru saja kau makan, Cla?" tanya Jayme, sembari memerhatikan sahabatnya yang masih berusaha menghindari kontak mata dengannya.Jayme yang mulai tak sabar, akhirnya meraih pip
Jayme mengerjap. Sorot cahaya matahari menyeruak masuk lewat celah tirai dan mengenai maniknya yang masih terpejam, perlahan terbuka seiring kembalinya kesadaran pria itu. Namun, menemukan dirinya tak berada di kamarnya sendiri membuatnya beringsut.Terlebih saat wajahnya menoleh pada sosok yang lelap tertidur di sampingnya tanpa busana dan hanya berbalut selimut. Ia buru-buru melihat ke arah dirinya sendiri dan tersadar."SHIT!" umpatnya, sembari bergegas bangkit dan memakai pakaian sekenanya, lalu mencari keberadaan kunci mobilnya.Drama yang terjadi kemarin jelas membuatnya mendadak pikun.Ia bahkan tak ingat kalau akhirnya dirinya justru mengambil kesempatan yang ditawarkan oleh Clara untuk menginap. Runtuh sudah pertahanannya selama ini. Hancur dan sia-sia sudah perjuangannya untuk berhenti dari kebiasaan buruk itu.Setelah dua tahun lamanya berhasil mengekang iblis dalam dirinya, kini semua itu menguap lagi di permukaan hanya karena kegoyahan jiwanya.Sebelumnya Jayme tak pernah
Jayme berusaha mencerna apa yang sedang ia hadapi saat ini. Menghadapi drama sahabat antara dirinya dan Clara, terbangun di pagi hari dalam kondisi yang tidak pernah ia bayangkan sama sekali, lalu sekarang mendengar suara pria yang menerima panggilan yang ia tujukan untuk Zanara.Apa yang terjadi dengan hidupnya kali ini? Ia sungguh merasa segalanya penuh beban sejak kehadiran Mark kembali dalam hidup Zanara. Sebelumnya, ia tak pernah merasa segalanya seberat ini.Mungkin ini semua kesalahannya, karena ia sama sekali tak pernah mempertimbangkan apa yang akan terjadi jika Mark nantinya kembali.Bagaimana pun, sebenci apa pun Zanara pada Mark, pria itu adalah ayah kandung Marion, bukan? Dan jika ia menginginkan Marion, maka dibanding Jayme, tentu saja Mark memiliki hak lebih besar. Bahkan terhadap Zanara sekali pun.Tidak boleh! Mark tidak boleh mengambil Marion, tidak juga Zanara. Tidak boleh keduanya. Jayme sudah begitu terbiasa akan kebersamaannya dengan Marion, tawa riang gadis keci