"Kau sudah mengenalku, kan? Bukankah kau tahu aku seperti apa?" balas Jayme atas pernyataan dan kalimat yang dilontarkan oleh Clara dengan tujuan untuk mengintimidasinya. "Kau sudah sangat mengenalku, kau bahkan tahu seperti apa tipe wanita idamanku.""No, Jayme. Tipemu itu hanya omong kosong. Kau tak pernah punya tipe pasti. Wanita itu hanya harus bisa memuaskanmu di ranjang saja. Itu tipemu!" tuding gadis itu, yang membuat Jayme menggeleng tak percaya tanpa ingin membalas.Hanya saja entah apa yang baru saja dimakan gadis itu hingga bersikap sangat impulsif.Jayme bangkit dan mendekat pada gadis yang ia anggap seperti adiknya sendiri, ia kemudian memandangi wajah Clara serta pupil matanya yang tampak berbeda dari biasanya.Clara berusaha menghindari tatapan Jayme dengan melempar pandangan ke arah lain."Apa yang baru saja kau makan, Cla?" tanya Jayme, sembari memerhatikan sahabatnya yang masih berusaha menghindari kontak mata dengannya.Jayme yang mulai tak sabar, akhirnya meraih pip
Jayme mengerjap. Sorot cahaya matahari menyeruak masuk lewat celah tirai dan mengenai maniknya yang masih terpejam, perlahan terbuka seiring kembalinya kesadaran pria itu. Namun, menemukan dirinya tak berada di kamarnya sendiri membuatnya beringsut.Terlebih saat wajahnya menoleh pada sosok yang lelap tertidur di sampingnya tanpa busana dan hanya berbalut selimut. Ia buru-buru melihat ke arah dirinya sendiri dan tersadar."SHIT!" umpatnya, sembari bergegas bangkit dan memakai pakaian sekenanya, lalu mencari keberadaan kunci mobilnya.Drama yang terjadi kemarin jelas membuatnya mendadak pikun.Ia bahkan tak ingat kalau akhirnya dirinya justru mengambil kesempatan yang ditawarkan oleh Clara untuk menginap. Runtuh sudah pertahanannya selama ini. Hancur dan sia-sia sudah perjuangannya untuk berhenti dari kebiasaan buruk itu.Setelah dua tahun lamanya berhasil mengekang iblis dalam dirinya, kini semua itu menguap lagi di permukaan hanya karena kegoyahan jiwanya.Sebelumnya Jayme tak pernah
Jayme berusaha mencerna apa yang sedang ia hadapi saat ini. Menghadapi drama sahabat antara dirinya dan Clara, terbangun di pagi hari dalam kondisi yang tidak pernah ia bayangkan sama sekali, lalu sekarang mendengar suara pria yang menerima panggilan yang ia tujukan untuk Zanara.Apa yang terjadi dengan hidupnya kali ini? Ia sungguh merasa segalanya penuh beban sejak kehadiran Mark kembali dalam hidup Zanara. Sebelumnya, ia tak pernah merasa segalanya seberat ini.Mungkin ini semua kesalahannya, karena ia sama sekali tak pernah mempertimbangkan apa yang akan terjadi jika Mark nantinya kembali.Bagaimana pun, sebenci apa pun Zanara pada Mark, pria itu adalah ayah kandung Marion, bukan? Dan jika ia menginginkan Marion, maka dibanding Jayme, tentu saja Mark memiliki hak lebih besar. Bahkan terhadap Zanara sekali pun.Tidak boleh! Mark tidak boleh mengambil Marion, tidak juga Zanara. Tidak boleh keduanya. Jayme sudah begitu terbiasa akan kebersamaannya dengan Marion, tawa riang gadis keci
Mark berbalik saat sebuah suara memanggil namanya. Gadis berusia 20 tahunan yang selama ini bekerja pada Zanara untuk menjaga Marion, datang dari ambang pintu."Apakah kau menemukan jejaknya, Melika?" tanya Mark, dengan raut cemas yang tak mampu lagi ia sembunyikan.Gadis itu menggeleng. "Maafkan aku Tuan Anderson, aku tak menemukan apa pun. Sepertinya nyonya Miller ... maksudku nyonya Anderson sudah mengetahui semuanya. Aku sungguh minta maaf, Tuan," sesalnya.Mark hanya mengangguk, antara berusaha menerima dan memahami situasi yang tengah ia hadapi saat ini sekaligus memaklumi kelalaian Melika. Setelah sekian lama dan pada akhirnya berhasil menemukan keberadaan Zanara, kini ia harus kehilangan jejak wanita itu lagi.Hanya benda pipih itu yang tersisa, yang kini berada dalam genggamannya.Ia meremas benda itu kuat-kuat. Kemudian tak mampu lagi membendung amarah yang sejak tadi bergemuruh di dada, Mark menghempaskan benda itu ke lantai."AARGH!!!" jeritnya, sekeras mungkin, berusaha m
Jayme membereskan meja kerjanya yang dipenuhi kertas yang berserakan. Pikirannya berkelana ke sembarang arah, seolah tak punyai rumah untuk bercokol.Biasanya, Zanara dan Marion yang menjadi fokusnya. Pada pukul sekian, ia sudah tahu siapa yang akan ia hubungi dan ajak berbincang. Tentu saja si cantik Marion. Kini, segalanya seolah berpencar.Seseorang muncul dari balik pintu sesaat setelah suara ketukan terdengar beberapa kali. Sudah pasti Clara. Tak ada lagi yang akan dengan tenang masuk ke ruang kerjanya selain gadis itu."Jay ... makan siang bersama?" tannya gadis itu, sembari rebah di atas kursi di seberang meja Jayme. Pria yang semula tampak frustasi dan tak bersemangat bekerja, kini justru menghadap kertas-kertas yang sudah rapi di hadapannya demi menghindari perbincangan dengan gadis itu."Maaf, Cla, aku tak bisa. Aku harus menyelesaikan data pasien dan mencatat di kalendar semua janji temu dalam minggu ini. Kau bisa pergi dengan lainnya." Jayme tak mengangkat wajah sama sekal
Jayme melajukan tunggangannya menuju ke toko kue milik Zanara, berharap bisa menemukan mereka bersembunyi di sana. Meski dalam keadaan nyaris putus asa, Jayme hanya memikirkan satu kemungkinan, Zanara tidak kembali pada Mark, melainkan justru tengah melarikan diri.Di mana mereka bersembunyi, itulah yang kini tengah dicari tahu oleh Jayme. Sekali saja ia menemukan Zanara, ia berjanji tak akan membuat onar dengan sering mendatanginya, karena bisa saja kedatangannya justru akan berbahaya bagi keselamatan dua orang terkasihnya itu—jika benar Zanara tengah menghindar dari mantan suaminya.Jayme memarkir mobil agak jauh dari toko, hanya agar tidak menarik perhatian. Ia kemudian memakai tudung jaket untuk menutupi kepalanya, kemudian berjalan sedikit terjingkat dan diam-diam. Jalanan tempat pejalan kaki tampak cukup lengang, oleh karena itu, bisa saja membuatnya terlihat mencolok.Mata pria itu terus mengawasi bangunan berwarna khas macaron itu. Memerhatikan dengan saksama agar bisa melihat
"Ssst ... jangan bersuara, Papa, nanti paman jahat itu akan tahu kalau kami di sini," ucap Marion, berbisik. Sementara Jayme terduduk lemas, bukan lantaran baru saja mengetahui kabar buruk, melainkan justru sebaliknya.Ia lega, bahkan sangat lega akhirnya bisa menemukan Marion di sana. Namun, di mana Zanara? Di sana jelas hanya ada Marion.Jayme tak ingin menunggu lagi, ia segera membantu Marion keluar dari tempat sempit yang pasti mengimpit dan membuat gadis itu tak nyaman. Pria itu kemudian mendekap erat tubuh mungil itu sebagai bentuk kebahagiaannya karena bisa bertemu lagi.Berkali-kali Jayme mengecup pucuk kepala Marion yang berada dalam dekapannya."Akhirnya papa menemukanmu, sayang. Apakah kau tidak bisa bernapas berada di sana? Apakah kau kepanasan, hm? Apa kau baik-baik saja? Di mana mama?" Jayme tak henti memberondong Marion dengan pertanyaan bertubi, sementara gadis itu hanya mengerjapkan matanya yang bulat."Aku kepanasan dan tak bisa bernapas, tapi aku baik-baik saja, Pap
Zanara pasrah saja saat Jayme menarik kopor miliknya dan Marion sembari menggendong gadis kecil itu. Kemudian mengemudikan tunggangannya menuju ke tempat yang tidak diketahui oleh Zanara.Tak mungkin pria itu akan membawa Zanara ke apartemennya, banyak hal yang menjadi alasannya tidak melakukan itu. Pertama karena keberadaan ibunya yang jelas tak merestui dirinya mendekati Zanara, kedua karena sang ibu merupakan wanita yang kolot. Akan jadi masalah baru jika dirinya nekat meminta Zanara tinggal di apartemennya.Setelah menempuh perjalanan yang cukup jauh dari lokasi toko, Jayme menghentikan mobilnya di depan sebuah rumah yang bisa dikatakan cukup mewah dengan halaman yang cukup luas.Tak menunggu Zanara bicara, Jayme sudah menggendong Marion dan memandu jalan agar Zanara mengikuti langkahnya memasuki bangunan tersebut. Tentu saja, Zanara tak sempat bertanya apa pun, karena Jayme tak memberinya kesempatan untuk melakukan itu."Masuklah, Zee. Aku akan menurunkan barang-barangmu," ucap J