Share

Bab 3– Menjadi Tawanan

"Baiklah, aku akan menikah denganmu" jawab Rayna dengan berat hati. Tidak ada pilihan lain, Rayna seperti buah simalakama. Jika dia menolak nyawanya akan melayang, dia masih ingin menikmati hidup masih banyak impian yang belum tercapai. Namun, jika Rayna menerima tawaran Axel, meskipun tidak tahu kehidupannya nanti seperti apa, setidaknya dia masih bisa hidup.

Rayna mengehembuskan nafas berat setelah menyetujuinya. Dia berjongkok sembari membenamkan kepalanya diatas lutut. Dia begitu frustasi. 'Ya Tuhan, aku bisa gila jika seperti ini' gumamnya dalam hati mencoba pasrah.

Axel menatap tajam Rayna dengan mata elangnya, wajahnya selalu terlihat dingin dan tegas. "Kau terikat perjanjian denganku Rayna. Perjanjian kita adalah perjanjian darah, hidup dan mati. Setelah kita menikah nanti kau harus hidup dibawah aturanku. Apakah kau mengerti?!" kata Axel dengan tegas.

Rayna mengangkat kepalanya terkejut, mulutnya menganga tidak percaya. "Ya Tuhan, cobaan apa lagi ini" ujarnya lirih.

"Itu sebagai bayarannya, tidak ada yang mudah di dunia ini. Apa kau mengerti?! Jika sampai kau mengkhianatiku aku tidak akan segan-segan mengakhiri hidupmu!!" kata Axel disertai dengan ancaman.

"Baiklah-baiklah! cukup sudah! jangan bicara lagi, apapun yang kau mau, terserah!! aku tidak mau mendengarnya lagi. Sekarang, bawa aku pergi dari tempat ini" pintanya dengan kesal.

Axel bergeming menatap Rayna, sembari memicingkan sebelah alisnya. "Kau sudah berani memerintahku, dokter?" ujarnya sembari berbalik badan beranjak pergi dari tempat itu. Rayna menatap punggung Axel dengan sorot mata kebencian, sembari berjalan mengekorinya.

Sesampainya di depan petertanakan, Axel menyuruh Rayna masuk ke dalam mobil menunggunya disana. "Kau tunggulah disini, jangan coba untuk kabur" perintah Axel sembari membukakan pintu mobil.

Rayna memutar bola matanya malas, sembari mengikuti perintah pria dihadapannya ini, lalu segera masuk tanpa menatapnya.

Axel bergegas masuk ke rumah tempat dimana Deris berada. "Bagaimana dengan dokter itu?" tanya Deris dengan tidak sabar.

"Bisa kita bicara berdua sebentar?" tanya Axel sembari mlirik ke arah Calvin yang sedang berdiri disana dan beberapa orang yang berada di ruangan itu.

Deris menyapu seluruh pandangannya kepada mereka lalu menganggukkan kepalanya berjalan keluar mencari tempat yang lebih nyaman untuk mereka bicara, tanpa ada yang mendengar.

"Aku akan menikahi dokter itu" ucapnya dengan tegas.

Deris berbalik menatap Axel dengan marah. Rahangnya mengeras, wajahnya memerah. "Apa kau gila hah?! Aku menyuruhmu membunuhnya kau malah mau menikahinya? Apa yang didalam isi otakmu itu Axel??" tanya Deris membentak.

"Ini hidupku, itu pilihanku. Kau tidak bisa mengaturku paman!" jawab Axel melawan.

"Kau sadar bukan, siapa Rayna? dia adik Mark Abraham! komisaris polisi itu!" Deris mendekati Axel menatapnya seperti hewan buas yang siap menerkam mangsanya.

"Ya, aku tahu justru itu. Kita bisa memanfaatkannya bukan?" jawab Axel dengan tenang.

"Kau tidak seperti biasanya Axel" ujar Deris dengan tatapan menyelidik. Deris berjalan memutari tubuh Axel dengan tatapan tajam mencari jawaban. "Apa kau jatuh cinta dengan dokter itu?" tanya Deris kemudian.

Axel tersenyum kecut, "CK, pertanyaan gila macam apa itu? tidak mungkin aku jatuh cinta. itu tidak ada dalam prinsipku" jawabnya dengan kesal.

"Kau tenang saja, aku selesaikan pekerjaanku dan kau urus saja bagianmu sendiri. Jangan mengaturku, aku sudah memikirkannya" ujarnya lalu segera beranjak pergi meninggalkan Deris yang semakin kesal. Deris menatap tajam Axel sembari meredam amarah yang hampir meledak.

***

"Selamat datang Tuan Steve, ini ruangan Anda dan semoga anda nyaman" ucap seorang laki-laki muda berjas abu-abu sembari membuka pintu.

Steve tersenyum menganggukkan kepalanya lalu berkata, "Terima kasih" ucapnya lalu melangkah masuk ke dalam ruang kerjanya yang baru. Steve baru saja tiba di Florida, dia dipindah tugaskan disini untuk menangani kasus yang sangat penting baginya.

Dengan bangga Steve berjalan menuju meja kerjanya, lalu menghenyakkan dirinya di kursi kerjanya dengan tersenyum hangat. 'Akhirnya, sebentar lagi tujuanku akan tercapai' gumamnya dalam hati. Tidak berapa lama, teleponnya berdering.

"Hallo"

'Tuan Steve, komisaris Mark sudah datang. Dia ingin menemui anda'

"Baiklah, suruh dia masuk sekarang"

Steve menutup meletakkan gagang teleponnya kembali keatas meja. Lalu dia bersiap merapikan jasnya, dan membenarkan posisi duduknya agar nyaman.

Suara ketukan pintu dari luar terdengar, seorang pria berbadan tinggi tegap berkharismatik berjalan dengan gagahnya masuk mendekati Steve. Jaket jeans yang dikenakannya menambah keangkuhan pria ini.

Steve berdiri menyambut kedatangan tamu pentingnya itu dengan tersenyum sopan. Mark mengulurkan tangannya, membalas sambutan Steve dengan ramah.

"Selamat datang tuan Mark, saya sudah menunggu kedatangan Anda" ucapnya sembari membalas uluran tangan Mark. Mark tersenyum sembari menganggukkan kepalanya.

"Terima kasih, tuan Steve" ucapnya membalas.

Steve mempersilahkan Mark untuk duduk. Mereka akan membicarakan kerja sama mereka untuk menyelidiki sebuah kasus. Mark merupakan komisaris polisi yang hebat, dia sangat profesional dan juga selalu teliti dalam menangani setiap kasus yang diberikan kepadanya. Karena itu, Steve memilih Mark untuk bekerja sama dengannya menangani kasus ini.

"Tuan Steve, tahu bukan jika Deris Sandiago ini tidak pernah bisa tersentuh hukum?" kata Mark dengan wajah serius, sembari menggaruk dagunya yang tidak gatal.

"Ya, saya tahu. Karena itu saya memilih Anda untuk bekerja sama dengan saya. Kejahatan Deris harus dihentikan. Kita harus menegakkan keadilan." kata Steve dengan yakin.

"Saya sudah mengumpulkan beberapa bukti kejahatannya, hanya saja bukti-bukti ini masih belum cukup untuk kita menuntutnya" kata Steve sembari memberikan dokumen berwarna cokelat kepada Mark.

Mark menatap dokumen itu sembari mengernyitkan dahinya, lalu meraihnya dan dibukanya. "Anda sungguh serius sekali, Tuan" ujarnya menatap Steve sekilas dengan tajam lalu kembali memeriksa dokumen yang berada di tangannya.

"Baiklah, tuan saya akan membantu Anda menyelesaikan kasus ini. Semoga kita bisa mengumpulkan bukti-bukti lain dan membekuk penjahat itu" ujar Mark dengan penuh percaya diri.

Dering ponsel Mark berbunyi, membuatnya menatap Steve merasa tidak enak. Steve menyadari expresi Mark tersenyum mengerti. "Angkatlah Tuan! tidak masalah. siapa tahu telepon penting" kata Steve mempersilakan.

Mark menganggukkan kepalanya, lalu segera menggeser tombol hijau.

"Ya, Liana ada apa menelponku"

'Mark, Rayna menghilang.'

"Jangan bercanda, bagaimana mungkin hah?! dia bilang lembur ada operasi penting"

Mark mencoba tenang sembari menggaruk pelipisnya yang tidak gatal.

'Tidak, aku ada janji hari ini dengannya. Tetapi aku tidak menemukannya di rumah sakit. Mereka bilang Rayna pergi ke tempat kecelakaan tetapi sampai sekarang belum juga kembali. Mark, aku khawatir padanya'

"Baiklah, kau dimana aku akan segera kesana"

Panggilan teleponnya segera berakhir. Mark terlihat gusar sembari mengernyitkan dahinya berpikir.

"Ada apa tuan Mark? apakah ada masalah? mungkin saya bisa membantu" tanya Steve menyadari ada yang tidak beres.

"Ah, Rayna adik saya menghilang. Bolehkah saya pergi untuk memastikan?" ujar Mark dengan wajah cemas.

"Tentu, tentu saja. Hubungi aku jika butuh bantuanku. Jangan sungkan" kata Steve menawarkan.

"Ya terima kasih" ucap Mark segera bangkit lalu mengulurkan tangannya dan segera beranjak pergi setelah Steve membalas uluran tangannya.

Mark berjalan dengan tergesa-gesa menuju mobilnya sembari berusaha menghubungi nomor Rayna. Namun, nomor Rayna tidak bisa dihubungi. 'Sial! kau kemana Rayna? Kau tidak seperti biasanya' gumam Mark sangat mengkhawatirkan keadaan Rayna.

Mark melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi menuju ke rumah sakit tempat Rayna bekerja menemui Liana yang sudah menunggunya disana.

***

"Kau akan membawaku kemana? Aku ingin pulang! kakakku pasti mengkhawatirkanku" kata Rayna bersungut-sungut di dalam mobil.

Axel tidak bergeming, dia menatap tajam jalanan tetap fokus pada kemudinya.

Rayna menghela nafas kasar, sembaru berdecak kesal. "CK, apakah kau tidak mendengarku hah?! setidaknya jawab pertanyaanku" protesnya menatap tajam merasa kesal dengan pria disebelahnya.

"Aku akan bicara jika hanya aku ingin! jadi kau jangan pernah mengaturku dokter?!" jawab Axel dengan kecut.

"Setidaknya berikan ponselku dan biarkan aku menghubungi kakakku agar dia tidak mengkhawatirkanku" pinta Rayna dengan sedikit berteriak menahan marah.

"Jika aku tidak mengizinkannya?" jawab Axel dengan santai membuat Rayna naik pitam.

"Kau ini sebenarnya manusia macam apa? hah?! benar-benar baru kutemui pria tidak punya hati sepertimu" kata Rayna berteriak.

Axel mengambil ponsel Rayna lalu diberikannya. Rayna menatap ponselnya sesaat lalu meraihnya dengan kasar. Rayna mulai menyalakan ponselnya yang mati. "Hai, apa yang kau lakukan dengan ponselku?" protes Rayna kesal.

"Tidak ada hanya mengganti nomormu" jawab Axel tanpa merasa bersalah.

"Sungguh makhluk macam apa kau ini, Tuan" maki Rayna dengan hati mendidih.

"Kirim kakakmu pesan dan katakan sesuai dengan apa yang aku katakan!" perintah Axel melirik sekilas kepada Rayna lalu mengalihkan kembali ke depan.

Rayna mengehela nafas kasar, sebentar lagi dia benar-benar akan menjadi gila dengan semua ini. 'Ya Tuhan, kehidupan macam apa lagi yang harus kuhadapi setelah ini' gumamnya dalam hati.

" Bilang padanya, kau baik-baik saja jangan mengkhawatirkanmu dan kau sedang berada di desa terpencil untuk melakukan operasi. nanti kau akan menghubunginya kembali ketika ada sinyal" ujar Axel memerintah.

Rayna mengetik pesan itu sesuai dengan apa yang diperintah Axel dengan berat hati. Hatinya menahan kekesalan kepada pria yang berada disampingnya ini.

Mobil Axel sampai disebuah apartemen. Dia memarkirkan mobilnya lalu segera keluar mobil dan menyeret tangan Rayna membawanya masuk ke dalam. "Kau gila!! kenapa membawaku kesini aku ingin pulang!" pinta Rayna bersungut-sungut dengan sedikit berlari mengimbangi langkah kaki Axel.

Axel membuka pintu apartemennya lalu melepaskan cengkraman tangannya dengan kasar. "kau akan disini sampai pernikahan nanti, Rayna" kata Axel sembari melepas jaket kulitnya melemparkan kesembarang tempat.

"Astaga! aku sudah bilang aku ingin pulang, aku tidak akan melarikan diri apa kau tidak percaya padaku hah?!" teriak Rayna frustasi.

"Aku tidak percaya pada siapapun. diamlah dan jadilah anak baik" ujar Axel yang berjalan keluar kamar mandi, lalu meraih kembali jaketnya.

"Kau gila hah?! aku harus tinggal ditempat seperti ini? aku ini calon istrimu atau tawananmu?!" protes Rayna sembari berkacak pinggang.

Axel menatap tajam Rayna sembari melangkahkan kakinya mendekati Rayna. Kini dia berdiri begitu dekat dengan Rayna, Axel meraih dagu Rayna agar menatapnya. "Apa kau lupa?! apapun itu kau berhutang nyawa padaku! jadi tutup mulutmu dan jangan banyak bicara apa kau mengerti?!" kata Axel dengan tegas disertai ancaman. Axel melepaskan dagu Rayna dengan kasar lalu segera beranjak pergi keluar. Dia mengunci pintu dari luar, mengurungnya didalam apartemennya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status