MasukAlicia menerima tas itu. Membukanya.Ia terdiam.Lalu tersenyum kecil.Gaun itu.Gaun bekas Charlotte.Sama seperti tahun lalu.Dan tahun-tahun sebelumnya.“Aku tahu,” gumam Alicia pelan.Ia mengangkat wajahnya, tersenyum tipis.“Baiklah.”Sofia tertegun.Tonny yang duduk di sofa akhirnya bersuara setelah mengatur napasnya.“Kamu harus datang,” katanya keras.Ia benar-benar tidak menyangka Alicia akan berubah sejauh ini.Alicia berdiri, melipat kembali gaun itu dengan rapi, lalu menatap Tonny.“Baiklah,” ucapnya.Senyumnya miring.Berbahaya.Namun sebelum pergi, Alicia berkata dengan nada bercanda."Jika aku berjalan dengan Tuan Tonny, dan juga Lotte. Aku yakin orang-orang akan beranggapan bahwa anak kandung Tuan Tonny adalah Si Lotte. Jujur saja wajah Tuan Tonny sangat mirip dengan Lotte. Dan aku yakin ini tidak kebetulan. Atau jangan-jangan, si Lotte itu memang anak dari simpanan Tuan Tonny. Dan yang bodohnya nyonya Sofia justru membesarkan anak simpanan sendiri." Alicia kemudian te
Begitu pintu rumah mewah itu terbuka, udara di dalam terasa berat.Alicia baru melangkah dua langkah ketika gelas kristal melayang ke arahnya.BRAK!Alicia refleks menghindar. Gelas itu menghantam dinding dan pecah berkeping-keping.Suara pecahan kaca masih menggema saat suara Tonny menyusul, penuh amarah.“Heh—”“Hebat,” ejeknya sinis. “Sekarang sudah berani menghindar?”Alicia menoleh perlahan.Tatapan matanya dingin, kosong, tidak ada rasa takut.Tanpa berkata apa pun, ia meraih vas bunga besar di atas meja.Tangannya terangkat, lalu—PRANG!Vas itu melayang ke arah Tonny.Sofia menjerit histeris.Charlotte berteriak panik.Ketiganya refleks menghindar, bangkit dari sofa dan berlari ke arah lain.Vas itu menghantam dinding dan hancur berkeping-keping.Nyaris, jika Tonny, tidak menghindar, kepala pria itu sudah berlumuran darah karena vas bunga. Hening.Lalu—Alicia tertawa ngakak, keras, panjang, penuh ejekan.“HAHAHAHAHA—!”Bibi Rika yang berdiri tak jauh dari sofa langsung gemet
“Kita akan membahas acara ulang tahun adik kamu, Charlotte.”Jari Alicia mengencang di ponsel.Ada rasa malas yang langsung merambat ke seluruh tubuhnya. Padahal usianya sama dengan Charlotte. Tapi tetap saja si Lotte harus menjadi adiknya.“Aku sedang kerja,” jawabnya dingin.“Dan seingatku, urusan pesta bukan tanggung jawabku.”Sofia terdiam sesaat, lalu berkata dengan nada seolah memberi kabar besar,“Ulang tahunnya akan dibuat besar. Megah.”Alicia hampir tertawa.“Dan?” tanyanya hambar.“Kali ini,” lanjut Sofia,“pesta itu untuk Charlotte dan kamu.”Kalimat itu membuat Alicia menutup mata.Bukan terharu—melainkan muak.“Aku?”Ia tertawa kecil, getir.“Sejak kapan keluarga itu ingat tanggal lahirku?”Sofia mendesah. Wanita itu tampak berusaha menahan emosi.“Kamu jangan berpikir negatif terus.”Negatif?Alicia mengingat dengan jelas bagaimana selama bertahun-tahun,tanggal lahirnya hanya sekadar angka di kalender.Tidak pernah ada kue.Tidak pernah ada ucapan.Bahkan di pesta ulan
Alicia melangkah masuk ke kamarnya perlahan. Pintu ditutup tanpa suara, seolah ia tak ingin dunia luar ikut masuk bersamanya. Tubuhnya terasa lelah, tapi pikirannya jauh lebih lelah lagi.Ia duduk di tepi ranjang, lalu mengeluarkan ponsel dari saku. Jarinya sempat ragu sebelum akhirnya menekan nama Ibu Rika.Panggilan itu segera tersambung.“Halo Nak,” suara Rika terdengar lebih dulu, penuh harap.“Kamu jadi pulang?”Alicia menghela napas pelan, lalu tersenyum—senyum yang sengaja ia bentuk agar terdengar kuat.“Belum, Bu,” jawabnya lembut.“Pekerjaanku di sini belum selesai. Jadi aku nggak jadi pulang dulu.”Di seberang sana, terdengar helaan napas panjang.“Nak,” suara Rika merendah, jelas cemas,“apa mereka baik sama kamu?”Alicia mengangguk, meski tahu Rika tak bisa melihatnya.“Iya, Bu. Sangat baik,” katanya cepat. “Mereka orang-orang kaya. Royal banget. Aku mau lanjut kerja di sini. Siapa tahu dapat bonus besar.”Ia tertawa kecil, dibuat-buat.Rika ikut tersenyum, tapi sorot ma
Ponsel Devan bergetar di atas meja kerja.Nama Vivian menyala di layar.Devan menatapnya beberapa detik sebelum akhirnya mengangkat panggilan itu. Ekspresinya datar, nyaris dingin. Sudah satu bulan hubungan mereka semakin terasa dingin. Vivian terlalu sibuk dengan pekerjaan bahkan tidak memiliki waktu hanya sekedar bertanya kabar Devan.Begitu juga saat Devan menghubungi Vivian. Yang sering terjadi, rasa kecewa karena yang menerima teleponnya justru manajer istrinya. “Halo,” sapa Vivian. Suara Vivian terdengar cerah. Terlalu cerah.“Sayang,” katanya dengan nada berbunga-bunga, seolah tidak ada jarak yang memisahkan mereka.“Aku mau kasih kabar bagus.”Devan tidak menjawab. Ia hanya bersandar di kursinya, satu tangan memijat pelipis.“Aku dapa kontrak t film layar lebar,” lanjut Vivian cepat, jelas penuh kebanggaan.“Dan aku jadi pemeran utamanya. Full lead, Dev.”Hening."Sayang, kamu dengar aku kan? Kamu pasti sangat bahagia mendengar kabar dari ku."Devan mengerjap perlahan.“Oh,
Sudah satu bulan Vivian berada di Bali.Pulau itu seharusnya memberi ketenangan—laut biru, matahari hangat, dan suasana eksklusif yang selalu berhasil menenangkan banyak orang. Namun bagi Vivian, Bali hanyalah latar. Bukan tempat untuk beristirahat, melainkan panggung sementara sebelum ia kembali ke pusat sorotan yang sesungguhnya.Ia berdiri di balkon vila mewah yang disewa khusus untuknya, mengenakan jubah tipis berwarna putih. Angin sore menyibakkan rambut panjangnya, namun wajahnya sama sekali tidak tampak damai. Tangannya menggenggam ponsel erat-erat, rahangnya mengeras.“Dua bulan?” suaranya meninggi, tajam, nyaris melengking.“Kamu gila, ya?”Manajernya di seberang sana terdiam sejenak, seolah sudah menduga reaksi itu."Aku sudah kejar tayang, bahkan tidur saja hanya 4-5 jam perhari. Ini semua agar syuting cepat selesai dan aku kembali ke jakarta. Tapi kenapa kau justru mengambil kontrak yang baru lagi?" “Vivian, dengarkan dulu,” suara wanita itu terdengar tenang, terlalu ten







