Share

Dokter, Jangan Gitu Dong
Dokter, Jangan Gitu Dong
Author: Liazta

Bab 1

Author: Liazta
last update Last Updated: 2025-11-18 20:56:17

Bab 1

Alicia menutup berkas rekam medis terakhir hari itu, lalu memijat tengkuknya yang kaku. Shift hari ini benar-benar melelahkan. Bukan hanya karena tidak tidur selama 24 jam saja, tapi juga karena telepon dari orang tuanya pagi tadi masih terngiang nyata di kepala.

“Alicia, kamu sudah cukup umur. Charlotte juga sudah siap menikah dengan Jerry,”

suara ibunya terdengar lembut… namun penuh tekanan.

Alicia hanya terdiam waktu itu.

Bagaimana ia bisa menjawab?

Dadanya terasa sakit dan juga sesak saat mendengar nama Jerry di sebut

Jerry adalah pacarnya.

Bukan milik Charlotte.

Bukan milik anak angkat orang tuanya.

Yang lebih menyakitkan, mereka mengucapkannya seolah itu hal paling wajar di dunia.

“Kamu akan kami nikahkan dengan calon lain yang lebih cocok. Kamu harus mengalah terhadap adik mu. Ingat kondisi tubuh Charlotte lemah,”

ucap ayahnya dingin sebelum telepon terputus sepihak.

Alicia memejam lama. Napasnya berat.

Ia menyandarkan punggungnya disandar kursi.

Hal seperti ini sangat sering dilakukan oleh orang tuanya. 15 tahun Alicia mengalami hal menyakitkan seperti ini. Seharusnya ia sudah terbiasa. Namun nyatanya, rasa sakit tetap saja menusuk hingga uluh hati.

"Lagi-lagi harus mengalah demi anak pungut." Alicia tersenyum sinis. Namun air mata tetap saja menetes. Dengan cepat ia menguap pipinya.

Seperti biasa, yang harus mengalah adalah dia. Putri kandung.

Yang tidak pernah dianggap ada oleh orang tuanya.

Jika mereka tidak menginginkannya, lalu untuk apa menjemputnya di panti asuhan, lima belas tahun yang lalu.

Lamunan Alicia buyar ketika seorang perawat mengetuk pintu dan memberitahu, “Dokter Alicia, ada satu pasien lagi di ruang VIP.”

“Baik…” gumamnya, pasrah.

---

Tubuh Alicia terasa seperti hendak rubuh.

Sudah hampir 24 jam ia tidak tidur.

Piket malam + pasien emergency yang datang bertubi-tubi hingga subuh.

Kelopak matanya serasa dilem. Kepalanya berdenyut, dunia berputar.

Hanya 15 hari lagi ia resmi menjadi dokter tetap di Citra Hospital.

Karena itu, ia harus membuktikan diri agar diterima menjadi dokter tetap di rumah sakit ini. Ia ingin segera keluar dari keluarga Tonny Kurniawan. Dan menjalani hidup secara mandiri.

Sikap profesional, tidak boleh terlihat rapuh. Ia menarik napas panjang, kemudian memakai masker hingga menutup sebagian wajahnya. dan mendorong pintu pelan.

Ruang itu sunyi. Terlalu sunyi.

Di atas ranjang pasien, duduk seorang pria dewasa bertubuh tegap.

Kaki panjangnya menjuntai ke lantai, bahunya lebar.

Wajahnya tampak menahan nyeri, namun sorot matanya tajam saat melihat Alicia.

“Pasien… laki-laki dewasa?” gumam Alicia bingung.

Ruangan VIP itu dingin menusuk, AC terpasang di 16°C.

Namun punggung Alicia justru dipenuhi keringat dingin.

Ia adalah dokter yang menangani area sensitif karena SOP.

Dan pria di depannya, jelas bukan anak-anak.

Namun ia harus profesional. Demi bisa mendapatkan status dokter tetap. Jika tidak bekerja dengan baik, maka masa kerja tidak di lanjutkan. Itu artinya ia harus mencari rumah sakit yang lain.

“Halo,” Alicia memperkenalkan diri dengan suara serak.

“Saya Alicia. Anda boleh panggil saya Dokter Licia.”

Pria itu memperhatikannya dalam diam.

Mata tajam itu menilai, seolah meragukan kelayakannya.

Tidak tersenyum. Tidak bicara.

Dan keheningan itu membuat Alicia semakin gugup.

“Mengapa pasien dewasa tapi tetap diarahkan ke aku…”

batinnya, otaknya terasa lambat karena lelah. "Ya sudah setengah melakukan pemeriksaan, jika penyakitnya berat dan aku tidak bisa menanganinya, tinggal di serahkan ke dokter Joko, Spesialis Urologi," batin Alicia.

Bulu kuduk Alicia merinding ketika membayangkan benda yang akan ia lihat nanti.

Devan mengerutkan keningnya saat memandang Alicia.

“Ada apa?” tanyanya dalam suara rendah yang menggetarkan ruangan.

Alicia tersentak. Ia segera kembali ke mode profesional.

“Silakan buka, tuan," katanya sambil menunjuk tepat ke celana pria itu.

Devan refleks menoleh cepat. “Maksudnya?”

Alicia menelan ludah. “Iya… buka. Kalau tidak bisa, saya bantu bukakan.”

Hening.

Dua detik. Tiga detik.

“Dokter Licia…” suara Devan rendah tapi sangat jelas,

“Jangan mesum.”

“Hah? Mesum dari mana?!”

Alicia hampir tersedak napasnya sendiri.

“Kamu nunjuk celana saya,”

Devan mengangkat alis, tatapan menuduh.

“Itu karena saya dokter, bebas melihat tubuh manusia dibagian manapun. Bagi saya, bagian tubuh manapun, hanya lah gumpalan daging, tanpa nafsu, tanpa ketertarikan. Mau sebesar ini atau sebesar ini sekalipun, tidak masalah!”

Alicia berkata sambil menunjukkan jari telunjuk serta pergelangan tangannya.

Tapi Devan menatapnya dengan penuh kemarahan.

Alicia sudah terlalu lelah untuk debat. Saat ini ia ingin segera menyelesaikan pekerjaannya dan kembali pulang ke rumah untuk beristirahat.

“Silakan buka,” ulangnya tegas.

“Tidak.”

Devan menolak.

“Apa kau tahu siapa aku?

Aku Devan Alexander,” geramnya.

Nama itu jelas penting. Siapa yang tidak kenal Devan Alexander. Mendengar namanya saja sudah membuat nyali nyali menciut. Namun berbeda dengan Alicia. Wanita itu terlihat tenang dan tidak peduli.

Mode dokter otopilot aktif.

Tanpa peringatan, ia maju dan menarik karet celana training Devan.

“A—HEY!”

Devan hampir terlompat dari ranjang.

Alicia sudah setengah berjongkok.

Profesional. Sangat cepat.

“Tuan Devan, siapa pun Anda, saat ini Anda sedang sakit dan butuh pertolongan.

Dan saya… akan bekerja sebaik mungkin.” Alicia berkata dengan wajah tegang.

Devan ternganga tidak percaya.

Alicia bahkan sempat bercanda.

“Tidak pakai celana dalam ya?

Wah, persiapan yang sangat baik…”

Ia terkekeh gugup.

“Atau… Anda tipikal tubles? Yang memang gak bakal dalaman.”

Wajah Devan memerah padam.

Ia memang tidak memakai celana dalam karena cedera pinggul dan sulit menunduk.

Tapi dokter ini… tidak perlu terlalu jujur juga!

“Kamu mencari masalah denganku,” geramnya.

Ia hendak meraih celana itu kembali.

Namun Alicia dengan refleks medis tiada banding, menendang celananya jauh ke belakang.

Membuat Devan semakin ingin meledak.

---

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Dokter, Jangan Gitu Dong    Bab 6

    Bab 6 Devan menurunkan ponselnya perlahan. Jemarinya masih bergetar.Kata-kata Vivienne, yang biasanya lembut… hari ini berubah jadi seperti pisau tipis.Ia mendengus, menyandarkan tubuh — dan langsung meringis karena pinggulnya kembali berdenyut.“Hari apa ini…” gumamnya dengan tawa pahit.Ia hanya ingin istrinya pulang.Hanya itu.Tapi justru pekerjaan yang selalu menang.Vivienne: “Jangan dramatis.”Kalimat itu terus berputar di kepalanya, seperti mengejek harga diri seorang suami.Detik itu, kesabarannya pecah.Notifikasi ponsel berbunyi lagi.“Tuan, salah seorang staf infotainment sudah di gerbang. Orang itu ingin melihat kondisi anda, terkait insiden treadmill.”— Satpam MansionDevan mengusap wajah kasar-kasar. “Sempurna. Dunia benar-benar punya humor buruk hari ini.”Belum sempat bernapas, telepon masuk, dari asisten Vivienne.“Halo tuan, Nyonya mengirim vitamin, salep luka untuk anda. salap itu diantar langsung oleh salah seorang staf—”“Cukup.”Nada Devan turun satu oktaf,

  • Dokter, Jangan Gitu Dong    Bab 5

    Devan kembali ke mansion, dengan langkah berat. Bukan karena lelah, tapi karena setiap gerakan kecil membuat pinggulnya seperti disayat. Luka akibat hantaman besi treadmill itu masih terasa berdenyut, panas, dan memar. Hari yang seharusnya dimulai dengan olahraga pagi… malah berubah menjadi bencana.Dokter mesum itu.Alicia.Nama itu terus muncul di kepalanya, membuat sarafnya menegang setiap kali ia mengingat wajah polos dan bodoh wanita itu.Begitu sampai di ruang kerja, ia langsung duduk, menghidupkan laptop, dan mengikuti tiga rapat virtual tanpa jeda. Meski tubuhnya ingin berbaring, Devan tetap fokus, suaranya tegas seperti biasa. Tidak ada satu pun asistennya yang berani mempertanyakan kondisinya.Namun begitu layar rapat tertutup, ia menegakkan punggung sambil menahan desis pelan.“Sial…” desisnya rendah. “Hari ini benar-benar sial.”Ia memijat pelipisnya. Rasa frustrasi sudah menumpuk sejak pagi. Diserang treadmill, dipermalukan seorang dokter yang bahkan salah ruangan, sampai

  • Dokter, Jangan Gitu Dong    Bab 4

    Pintu ruang pemeriksaan tertutup pelan. Devan melangkah pergi tanpa menoleh sedikit pun, meninggalkan Alicia yang berdiri kaku layaknya patung. Semua ketegangan yang Alicia tahan sejak tadi, meledak. “Aaakh…” teriak Alicia. Ia langsung jatuh berlutut. Seakan kehabisan tenaga. Napasnya tak beraturan dan bahunya bergetar kecil. “Ya Tuhann, kenapa... kenapa harus seperti ini…” Ia menutupi wajahnya dengan kedua tangan kecilnya, tapi itu sama sekali tidak membantu. Tangisnya malah semakin pecah. Ia benar-benar marah terhadap dirinya sendiri. “Aku bodoh… aku terlalu lelah… kenapa aku nggak cek datanya dulu…” “Kenapa aku malah buka celananya? Kenapa aku sentuh semuanya tanpa mikir?” Suaranya tenggelam di balik tangisan. Ia menggigit bibirnya sampai terasa perih. Ia tahu betul aturan rumah sakit ini seketat ujian masuk kampus impian. Sedikit saja salah prosedur… sedikit saja laporan masuk… Kariernya tamat. Semua perjuangannya selama berbulan-bulan… Shift panjang tanpa tidur… B

  • Dokter, Jangan Gitu Dong    Bab 3

    Pria itu sudah berbaik hati memberi Alicia kesempatan memperbaiki kesalahannya. Tanpa menunda, Alicia dengan cepat melepas kaos yang dikenakan Devan, gerakannya refleks, terlatih.“Ternyata kamu memang mahir dalam buka-membuka, ya?” sindir Devan tajam.Alicia tertawa kecil, gugup. Wajahnya memerah sampai ke telinga, tapi beruntung masker menutup separuh wajahnya sehingga pria itu tidak melihat betapa malunya ia saat ini.“Dasar dokter mesum,” gumam Devan lagi.Alicia mendengarnya jelas, setiap kata menusuk, namun ia memilih diam. Memang kesalahan itu ada padanya.Ia menunduk, berada tepat di sisi tempat tidur. Devan kini berbaring menahan kesal, rahangnya mengeras. Luka di pinggulnya masih berdarah, dan setiap kali Alicia menyentuh sedikit saja, keningnya langsung berkerut tajam.“Pelan,” perintah Devan, dingin.Sorot matanya menatap Alicia seolah wanita itu adalah penyebab semua rasa sakitnya.Alicia langsung mengangguk, terlalu cepat. Bahkan hampir seperti takut membuatnya makin mar

  • Dokter, Jangan Gitu Dong    Bab 2

    "Santai saja jika bersama dengan dokter. Saya melakukan segala sesuatu sesuai dengan SOP."Ia mengenakan sarung tangan lateks.Lampu pemeriksaan ia tarik ke arah depan.Detik berikutnya, Alicia mulai melakukan pemeriksaan medis standar, sesuai teknis, klinis, terfokus.Bukan sensual, bukan menggoda.Murni prosedural.Ia memeriksa dengan sangat detail. "Tidak adanya pembengkakan,Tidak tanda-tanda infeksi,Tidak ada iritasi kulit,Tidak ada kelainan bentuk,dan tanda-tanda trauma.Wajah pria itu merah padam. Meskipun ia sudah dilecehkan oleh Alicia, namun mengapa bagian kejantanan nya tidak bisa diajak bekerja sama. Pentungan nya justru berdiri dengan gagah."Bentuk Ok, ukuran besar, untuk standar pria dewasa. Ini juga tidak bengkok. Sedikit dipegang saja, sudah berdiri kokoh. Kemudian bagian biji, ada dua dengan bola yang besar-besar." Alicia berkata dengan sedikit tersenyum. Namun bulir bening di dahinya, menjadi pertanda bahwa dia sSemuanya dilakukan dengan keseriusan seorang dokt

  • Dokter, Jangan Gitu Dong    Bab 1

    Bab 1Alicia menutup berkas rekam medis terakhir hari itu, lalu memijat tengkuknya yang kaku. Shift hari ini benar-benar melelahkan. Bukan hanya karena tidak tidur selama 24 jam saja, tapi juga karena telepon dari orang tuanya pagi tadi masih terngiang nyata di kepala.“Alicia, kamu sudah cukup umur. Charlotte juga sudah siap menikah dengan Jerry,”suara ibunya terdengar lembut… namun penuh tekanan.Alicia hanya terdiam waktu itu.Bagaimana ia bisa menjawab?Dadanya terasa sakit dan juga sesak saat mendengar nama Jerry di sebut Jerry adalah pacarnya.Bukan milik Charlotte.Bukan milik anak angkat orang tuanya.Yang lebih menyakitkan, mereka mengucapkannya seolah itu hal paling wajar di dunia.“Kamu akan kami nikahkan dengan calon lain yang lebih cocok. Kamu harus mengalah terhadap adik mu. Ingat kondisi tubuh Charlotte lemah,”ucap ayahnya dingin sebelum telepon terputus sepihak.Alicia memejam lama. Napasnya berat.Ia menyandarkan punggungnya disandar kursi. Hal seperti ini sangat

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status