LOGIN"Santai saja jika bersama dengan dokter. Saya melakukan segala sesuatu sesuai dengan SOP."
Ia mengenakan sarung tangan lateks. Lampu pemeriksaan ia tarik ke arah depan. Detik berikutnya, Alicia mulai melakukan pemeriksaan medis standar, sesuai teknis, klinis, terfokus. Bukan sensual, bukan menggoda. Murni prosedural. Ia memeriksa dengan sangat detail. "Tidak adanya pembengkakan, Tidak tanda-tanda infeksi, Tidak ada iritasi kulit, Tidak ada kelainan bentuk, dan tanda-tanda trauma. Wajah pria itu merah padam. Meskipun ia sudah dilecehkan oleh Alicia, namun mengapa bagian kejantanan nya tidak bisa diajak bekerja sama. Pentungan nya justru berdiri dengan gagah. "Bentuk Ok, ukuran besar, untuk standar pria dewasa. Ini juga tidak bengkok. Sedikit dipegang saja, sudah berdiri kokoh. Kemudian bagian biji, ada dua dengan bola yang besar-besar." Alicia berkata dengan sedikit tersenyum. Namun bulir bening di dahinya, menjadi pertanda bahwa dia s Semuanya dilakukan dengan keseriusan seorang dokter yang terlatih… …pada pasien yang salah. Devan menegang. Secara harfiah dan emosional. “Dokter… tolong hentikan sebentar…” suaranya serak, mencoba tetap sopan meski situasinya absurd. Alicia menatap dengan mata lelah tapi fokus. “Tolong jangan tegang. Ini hanya pemeriksaan fisik. Normal." “Normal bagi siapa?” Devan hampir kehilangan sabar. “Aku bukan—” “Sst.” Alicia mengangkat satu tangan, menyuruhnya diam seperti menyuruh anak kecil. Devan terdiam… antara kesal dan tak percaya. Alicia kembali memeriksa dengan sangat teliti. Ia mencatat kondisi kulit, memiringkan sedikit tubuh pria itu untuk memeriksa sisi lain, bahkan menyinari area yang menurutnya bermasalah. “Hmm… tidak ada tanda infeksi,” gumam Alicia tulus dan profesional. “Kenapa tadi perawat bilang kemungkinan peradangan ya? Atau mungkin kamu baru selesai sun—” “Dokter!” Devan akhirnya menghentikan. Alicia mengangkat kepala, menatapnya dengan mata benar-benar lelah. “Ada keluhan lain?” Devan memejamkan mata, mencoba mengumpulkan kesabaran. “Aku datang karena luka di pinggul, bukan untuk pemeriksaan… ini.” Alicia berkedip. Sekali. Dua kali. Kemudian… “…oh.” Hanya itu kata yang keluar. Pelan. Wajahnya memucat. Kelelahannya seperti menampar dirinya kembali ke realitas. Ia baru sadar, pria ini bukan pasien anak, bukan kasus infeksi kelamin, dan ia baru saja melakukan pemeriksaan yang tidak perlu… pada salah satu pengusaha muda paling terkenal di kota ini. Alicia menutup wajahnya dengan kedua tangan. “Ya Tuhan… apa yang telah aku lakukan?” Devan hanya menatapnya. Ada kesal. Ada bingung. “Dokter,” katanya pelan. “Kamu… selalu begini?” Wajah Devan sudah sangat marah. Ia merasa di lecehkan. "Kau sudah terbiasa melakukan pencabulan terhadap pasien laki-laki?" Alicia terdiam membatu. Otaknya seperti baru menyala setelah konslet parah selama lima menit terakhir. “A-aku…” Suara Alicia bergetar. Ia menunduk, telinganya panas menahan malu. Sementara itu Devan akhirnya menarik napas panjang untuk menahan emosi. Ia berdiri sambil memeluk pinggulnya. Ia benar-benar lupa soal celananya yang tergeletak di lantai. Rasa malu, marah, dan tidak percaya campur menjadi satu. “Kau…” Devan menunjuk wajah Alicia dengan jari gemetar karena menahan amarah. “Kau benar-benar… benar-benar—” Kata-katanya tertahan. Entah karena terlalu kesal… atau terlalu malu mengulang apa yang baru saja terjadi. Alicia langsung berdiri tegak, seperti prajurit yang baru dipergoki melakukan kesalahan fatal. “Tuan, tolong maafkan saya.” Nada suaranya berubah lembut sekali, seperti anak kucing takut dimarahi. Devan tak menjawab. Ia hanya menunduk mencari celananya, sampai Alicia mendadak memungut celana itu lebih dulu. Dan bukannya memberikan dengan baik-baik… Alicia justru memegangi celana itu erat-erat sambil menahannya dari tangan Devan. “Kembalikan celana saya!” Devan berkata dengan rahang mengeras. “Aku tahu,” Alicia menggenggam celana itu semakin kuat. “Tapi tolong maafkan saya dulu.” “Aku ingin pakai celanaku dulu.” “Tapi aku mau minta maaf dulu!!” Keduanya saling tarik menarik celana training tersebut. Tubuh Devan tidak baik-baik saja. Ia bahkan melepaskan celananya karena kalah kuat dari Alicia. Devan menatapnya dengan mata tajam. Alicia menatap balik dengan mata berkaca-kaca. “Tolong maafkan saya…” suara Alicia melemah lagi, kecil, gemetar, penuh penyesalan. Devan menghela napas berat. Bukan karena luluh. Tapi karena kesal sampai tidak tahu harus berkata apa. Baru kali ini ia bertemu dengan dokter mesum seperti ini. “Alicia.” Suara Devan tegas, dingin. “…kau benar-benar mencari masalah denganku.” Alicia langsung memucat. Jantungnya terasa jatuh ke lantai. “T-tapi saya dokter! Saya hanya… saya hanya menjalankan SOP!” katanya panik, walau malah makin menunjukkan kepolosannya. “SOP apa?” Devan menyipitkan mata. “Tunjuk celana orang dan langsung membukanya?” Alicia terdiam. Mulutnya terbuka… tapi tak ada satu pun jawaban yang masuk akal keluar. Devan akhirnya merampas celananya dengan kasar. Alicia refleks terlonjak, tapi tidak melawan. “Tuan Devan, tolong maafkan saya…” ulang Alicia, kali ini suaranya lirih sekali. Ia meremas jarinya, gugup, takut, sekaligus merasa sangat bersalah. Devan perlahan memakai celananya. Gerakannya napas naik turun karena marah. Alicia menunduk, tidak berani melihat. “Kalau… kalau Tuan mau laporkan saya ke bagian HRD juga boleh. Tapi jangan laporkan ke direktur, nanti saya nggak lulus training…” Devan menghentikan gerakannya. Ia menatap Alicia lama. Dokter muda itu menggigit bibir, menahan tangis. Wajahnya merah dan pucat bersamaan. “Kau ini…” Devan mengusap wajahnya sendiri. “…dokter paling menyebalkan yang pernah kutemui.” Alicia mengangguk cepat, seperti anak kecil. “Saya tahu. Saya sadar. Saya menyesal. Tolong jangan laporkan saya. Saya tidak mau dipecat.” Devan hendak menjawab marah tapi kalimat itu tertahan lagi di tenggorokan. Karena entah kenapa… Melihat dokter kecil itu hampir menangis, dengan mata merah kelelahan, rambut acak-acakan, dan suara yang gemetar. Marahnya pelan-pelan mereda. "Kenapa kau ceroboh sekali?!" Tapi dia tetap Devan. Harga dirinya terlalu tinggi untuk luluh dalam satu menit. “Aku belum tentu memaafkanmu,” katanya dingin. Alicia langsung menunduk makin dalam. “Tapi…” Devan menambahkan, suaranya lebih pelan. “Aku akan memutuskan setelah kau perban lukaku dulu.” Alicia langsung mengangkat kepala cepat-cepat. “Jadi… jadi masih ada kesempatan saya tidak dipecat?” Devan mendesah frustrasi. “Perban dulu lukaku. Setelah itu baru kita bicara soal yang lainnya.” Alicia tersenyum canggung. “Baik, Tuan. Tapi… tolong jangan marah lagi ya.” Devan hanya diam sambil memejamkan matanya. Menahan rasa sakit dan kesal secara bersamaan. ---Bab 6 Devan menurunkan ponselnya perlahan. Jemarinya masih bergetar.Kata-kata Vivienne, yang biasanya lembut… hari ini berubah jadi seperti pisau tipis.Ia mendengus, menyandarkan tubuh — dan langsung meringis karena pinggulnya kembali berdenyut.“Hari apa ini…” gumamnya dengan tawa pahit.Ia hanya ingin istrinya pulang.Hanya itu.Tapi justru pekerjaan yang selalu menang.Vivienne: “Jangan dramatis.”Kalimat itu terus berputar di kepalanya, seperti mengejek harga diri seorang suami.Detik itu, kesabarannya pecah.Notifikasi ponsel berbunyi lagi.“Tuan, salah seorang staf infotainment sudah di gerbang. Orang itu ingin melihat kondisi anda, terkait insiden treadmill.”— Satpam MansionDevan mengusap wajah kasar-kasar. “Sempurna. Dunia benar-benar punya humor buruk hari ini.”Belum sempat bernapas, telepon masuk, dari asisten Vivienne.“Halo tuan, Nyonya mengirim vitamin, salep luka untuk anda. salap itu diantar langsung oleh salah seorang staf—”“Cukup.”Nada Devan turun satu oktaf,
Devan kembali ke mansion, dengan langkah berat. Bukan karena lelah, tapi karena setiap gerakan kecil membuat pinggulnya seperti disayat. Luka akibat hantaman besi treadmill itu masih terasa berdenyut, panas, dan memar. Hari yang seharusnya dimulai dengan olahraga pagi… malah berubah menjadi bencana.Dokter mesum itu.Alicia.Nama itu terus muncul di kepalanya, membuat sarafnya menegang setiap kali ia mengingat wajah polos dan bodoh wanita itu.Begitu sampai di ruang kerja, ia langsung duduk, menghidupkan laptop, dan mengikuti tiga rapat virtual tanpa jeda. Meski tubuhnya ingin berbaring, Devan tetap fokus, suaranya tegas seperti biasa. Tidak ada satu pun asistennya yang berani mempertanyakan kondisinya.Namun begitu layar rapat tertutup, ia menegakkan punggung sambil menahan desis pelan.“Sial…” desisnya rendah. “Hari ini benar-benar sial.”Ia memijat pelipisnya. Rasa frustrasi sudah menumpuk sejak pagi. Diserang treadmill, dipermalukan seorang dokter yang bahkan salah ruangan, sampai
Pintu ruang pemeriksaan tertutup pelan. Devan melangkah pergi tanpa menoleh sedikit pun, meninggalkan Alicia yang berdiri kaku layaknya patung. Semua ketegangan yang Alicia tahan sejak tadi, meledak. “Aaakh…” teriak Alicia. Ia langsung jatuh berlutut. Seakan kehabisan tenaga. Napasnya tak beraturan dan bahunya bergetar kecil. “Ya Tuhann, kenapa... kenapa harus seperti ini…” Ia menutupi wajahnya dengan kedua tangan kecilnya, tapi itu sama sekali tidak membantu. Tangisnya malah semakin pecah. Ia benar-benar marah terhadap dirinya sendiri. “Aku bodoh… aku terlalu lelah… kenapa aku nggak cek datanya dulu…” “Kenapa aku malah buka celananya? Kenapa aku sentuh semuanya tanpa mikir?” Suaranya tenggelam di balik tangisan. Ia menggigit bibirnya sampai terasa perih. Ia tahu betul aturan rumah sakit ini seketat ujian masuk kampus impian. Sedikit saja salah prosedur… sedikit saja laporan masuk… Kariernya tamat. Semua perjuangannya selama berbulan-bulan… Shift panjang tanpa tidur… B
Pria itu sudah berbaik hati memberi Alicia kesempatan memperbaiki kesalahannya. Tanpa menunda, Alicia dengan cepat melepas kaos yang dikenakan Devan, gerakannya refleks, terlatih.“Ternyata kamu memang mahir dalam buka-membuka, ya?” sindir Devan tajam.Alicia tertawa kecil, gugup. Wajahnya memerah sampai ke telinga, tapi beruntung masker menutup separuh wajahnya sehingga pria itu tidak melihat betapa malunya ia saat ini.“Dasar dokter mesum,” gumam Devan lagi.Alicia mendengarnya jelas, setiap kata menusuk, namun ia memilih diam. Memang kesalahan itu ada padanya.Ia menunduk, berada tepat di sisi tempat tidur. Devan kini berbaring menahan kesal, rahangnya mengeras. Luka di pinggulnya masih berdarah, dan setiap kali Alicia menyentuh sedikit saja, keningnya langsung berkerut tajam.“Pelan,” perintah Devan, dingin.Sorot matanya menatap Alicia seolah wanita itu adalah penyebab semua rasa sakitnya.Alicia langsung mengangguk, terlalu cepat. Bahkan hampir seperti takut membuatnya makin mar
"Santai saja jika bersama dengan dokter. Saya melakukan segala sesuatu sesuai dengan SOP."Ia mengenakan sarung tangan lateks.Lampu pemeriksaan ia tarik ke arah depan.Detik berikutnya, Alicia mulai melakukan pemeriksaan medis standar, sesuai teknis, klinis, terfokus.Bukan sensual, bukan menggoda.Murni prosedural.Ia memeriksa dengan sangat detail. "Tidak adanya pembengkakan,Tidak tanda-tanda infeksi,Tidak ada iritasi kulit,Tidak ada kelainan bentuk,dan tanda-tanda trauma.Wajah pria itu merah padam. Meskipun ia sudah dilecehkan oleh Alicia, namun mengapa bagian kejantanan nya tidak bisa diajak bekerja sama. Pentungan nya justru berdiri dengan gagah."Bentuk Ok, ukuran besar, untuk standar pria dewasa. Ini juga tidak bengkok. Sedikit dipegang saja, sudah berdiri kokoh. Kemudian bagian biji, ada dua dengan bola yang besar-besar." Alicia berkata dengan sedikit tersenyum. Namun bulir bening di dahinya, menjadi pertanda bahwa dia sSemuanya dilakukan dengan keseriusan seorang dokt
Bab 1Alicia menutup berkas rekam medis terakhir hari itu, lalu memijat tengkuknya yang kaku. Shift hari ini benar-benar melelahkan. Bukan hanya karena tidak tidur selama 24 jam saja, tapi juga karena telepon dari orang tuanya pagi tadi masih terngiang nyata di kepala.“Alicia, kamu sudah cukup umur. Charlotte juga sudah siap menikah dengan Jerry,”suara ibunya terdengar lembut… namun penuh tekanan.Alicia hanya terdiam waktu itu.Bagaimana ia bisa menjawab?Dadanya terasa sakit dan juga sesak saat mendengar nama Jerry di sebut Jerry adalah pacarnya.Bukan milik Charlotte.Bukan milik anak angkat orang tuanya.Yang lebih menyakitkan, mereka mengucapkannya seolah itu hal paling wajar di dunia.“Kamu akan kami nikahkan dengan calon lain yang lebih cocok. Kamu harus mengalah terhadap adik mu. Ingat kondisi tubuh Charlotte lemah,”ucap ayahnya dingin sebelum telepon terputus sepihak.Alicia memejam lama. Napasnya berat.Ia menyandarkan punggungnya disandar kursi. Hal seperti ini sangat







