Share

Bab 4

Author: Liazta
last update Last Updated: 2025-11-24 15:23:02

Pintu ruang pemeriksaan tertutup pelan.

Devan melangkah pergi tanpa menoleh sedikit pun, meninggalkan Alicia yang berdiri kaku layaknya patung. Semua ketegangan yang Alicia tahan sejak tadi, meledak.

“Aaakh…” teriak Alicia. Ia langsung jatuh berlutut. Seakan kehabisan tenaga. Napasnya tak beraturan dan bahunya bergetar kecil.

“Ya Tuhann, kenapa... kenapa harus seperti ini…”

Ia menutupi wajahnya dengan kedua tangan kecilnya,

tapi itu sama sekali tidak membantu.

Tangisnya malah semakin pecah. Ia benar-benar marah terhadap dirinya sendiri.

“Aku bodoh… aku terlalu lelah… kenapa aku nggak cek datanya dulu…”

“Kenapa aku malah buka celananya? Kenapa aku sentuh semuanya tanpa mikir?”

Suaranya tenggelam di balik tangisan. Ia menggigit bibirnya sampai terasa perih.

Ia tahu betul aturan rumah sakit ini seketat ujian masuk kampus impian.

Sedikit saja salah prosedur…

sedikit saja laporan masuk…

Kariernya tamat.

Semua perjuangannya selama berbulan-bulan…

Shift panjang tanpa tidur…

Belajar sampai pingsan di meja…

Semua itu bisa hilang cuma gara-gara satu pasien yang salah penanganan.

Ia memeluk lututnya, kepalanya menyentuh pahanya sendiri.

Tubuh mungilnya berguncang hebat.

“Duh, Licia… Licia… kamu tuh dokter atau satpam pasar… kenapa asal grepe begitu…”

Ia menepuk kepalanya pelan, kesal pada dirinya sendiri.

Lalu tiba-tiba.

flaaash!

Satu nama muncul jelas di kepalanya.

Devan Alexander.

Alicia langsung mematung.

Bibirnya terbuka sedikit.

“Itu tadi… miliarder yang sering muncul di berita…?”

Ia langsung memukul pelan lantai.

“Ya ampun Liciaaaa, kenapa dari semua pasien, harus itu orang!?”

Wajahnya semakin merah, antara malu, takut, dan ingin menguap karena kurang tidur.

Tapi lalu ia mengingat satu hal penting.

Devan…

pria itu berjanji tidak akan melaporkannya.

Alicia mengusap air matanya dengan punggung tangannya.

“Dia udah janji…” gumamnya lirih.

“Aku pasti aman, iya kan? Iya kan, Licia? Ini cuma salah paham kecil, kecil banget, ya ampun tapi aku buka celananya…”

Matanya kembali melebar panik.

“Aku bukan cuma buka… aku megang…”

Wajahnya memerah sampai telinga.

“Dan aku PERIKSA semuanya…”

Ia menutup wajah dengan kedua tangan lagi.

“Oke, itu tidak kecil. Itu super besar.”

Ia hampir pingsan sendiri oleh pikirannya.

Dan seakan belum cukup, otaknya memutar ulang adegan paling memalukan itu.

Ketika ia memeriksa lubang saluran kencing dan bagian lain… dengan sangat teliti.

Alicia memukul dahinya sendiri tiga kali.

“Aku bakal masuk berita besok kalau dia berubah pikiran…”

Air mata kembali menetes.

Devan, orang berpengaruh, miliarder, bukan tipikal orang yang bisa didekati, apalagi salah sentuh.

Alicia terisak pelan.

“Tolong jangan laporkan aku…” bisiknya memohon pada udara, seolah tuan miliarder itu masih di sana.

Di dalam ruangan yang sunyi dan dingin itu,

Alicia menangis sendirian…

antara takut, malu, dan marah dengan kebodohan dirinya sendiri.

---

Devan keluar dari ruang pemeriksaan dengan raut wajah suram. Wajahnya memerah, antara menahan sakit, malu, dan marah.

Bram, pria tinggi berjas hitam yang selalu mengikuti di belakangnya, langsung menghampiri.

“Bagaimana kondisi Anda, Tuan?” suara Bram hati-hati, melihat ekspresi bosnya yang seperti baru diledakkan granat.

Devan tidak menjawab. Rahangnya mengeras, napasnya berat.

“Apa Anda… baik-baik saja?” Bram mengulang, lebih pelan.

Devan menatapnya tajam. “Menurutmu aku terlihat baik-baik saja?”

Bram langsung diam. Benar saja, auranya benar-benar buruk.

Tanpa diminta, Bram mengikuti langkah cepat Devan menyusuri koridor rumah sakit.

“Luka di pinggul anda sangat parah?” Bram menunduk sedikit, mencoba tidak menyinggung perasaan bosnya.

Devan menghela napas panjang, penuh frustrasi. “Sudut treadmill itu harusnya dibakar.”

Bram menahan tawa. “Tuan… Anda sendiri yang—”

“Jangan lanjutkan,” potong Devan cepat.

Nada suaranya tajam, tapi ujungnya terdengar seperti seseorang yang sudah mengalami cukup banyak ‘kesialan hidup’ dalam sehari.

Bram mengangguk cepat, takut membuatnya makin naik darah.

Namun setelah beberapa langkah, ia akhirnya memberanikan diri bertanya lagi.

“Maaf, Tuan… tapi mengapa pemeriksaannya tadi… memakan waktu cukup lama?”

Devan berhenti.

Matanya menyipit.

Pipinya memanas lagi, entah karena marah, atau malu mengingat betapa polos atau bodohnya dokter tadi, membuka celananya tanpa ragu.

“Itu dokter…,” Devan menahan diri, kedua pelipisnya berdenyut, “Dokter itu… bahkan tidak mengecek dataku." Devan berkata dengan dada turun naik.

Bram menganga. “Lalu…?”

Devan tidak melanjutkan ucapannya. Ini adalah aib, apa kata dunia jika tahu, bahwa celana Devan Alexander, dibuka paksa oleh seorang dokter, amatiran.

"Dokter itu tidak melakukan hal yang senonoh kan, terhadap Anda?" tanya Bram dengan penasaran. jika hal itu benar, bisa di pastikan karier dokter itu akan selesai.

Devan diam tanpa memberikan jawaban. Namun raut wajahnya jelas tidak baik.

"Ah mana mungkin, dia pasti tidak akan berani." Bram berkata dengan yakin.

"Untuk kontrol selanjutnya, aku tidak ingin dokter itu."

---

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Dokter, Jangan Gitu Dong    Bab 6

    Bab 6 Devan menurunkan ponselnya perlahan. Jemarinya masih bergetar.Kata-kata Vivienne, yang biasanya lembut… hari ini berubah jadi seperti pisau tipis.Ia mendengus, menyandarkan tubuh — dan langsung meringis karena pinggulnya kembali berdenyut.“Hari apa ini…” gumamnya dengan tawa pahit.Ia hanya ingin istrinya pulang.Hanya itu.Tapi justru pekerjaan yang selalu menang.Vivienne: “Jangan dramatis.”Kalimat itu terus berputar di kepalanya, seperti mengejek harga diri seorang suami.Detik itu, kesabarannya pecah.Notifikasi ponsel berbunyi lagi.“Tuan, salah seorang staf infotainment sudah di gerbang. Orang itu ingin melihat kondisi anda, terkait insiden treadmill.”— Satpam MansionDevan mengusap wajah kasar-kasar. “Sempurna. Dunia benar-benar punya humor buruk hari ini.”Belum sempat bernapas, telepon masuk, dari asisten Vivienne.“Halo tuan, Nyonya mengirim vitamin, salep luka untuk anda. salap itu diantar langsung oleh salah seorang staf—”“Cukup.”Nada Devan turun satu oktaf,

  • Dokter, Jangan Gitu Dong    Bab 5

    Devan kembali ke mansion, dengan langkah berat. Bukan karena lelah, tapi karena setiap gerakan kecil membuat pinggulnya seperti disayat. Luka akibat hantaman besi treadmill itu masih terasa berdenyut, panas, dan memar. Hari yang seharusnya dimulai dengan olahraga pagi… malah berubah menjadi bencana.Dokter mesum itu.Alicia.Nama itu terus muncul di kepalanya, membuat sarafnya menegang setiap kali ia mengingat wajah polos dan bodoh wanita itu.Begitu sampai di ruang kerja, ia langsung duduk, menghidupkan laptop, dan mengikuti tiga rapat virtual tanpa jeda. Meski tubuhnya ingin berbaring, Devan tetap fokus, suaranya tegas seperti biasa. Tidak ada satu pun asistennya yang berani mempertanyakan kondisinya.Namun begitu layar rapat tertutup, ia menegakkan punggung sambil menahan desis pelan.“Sial…” desisnya rendah. “Hari ini benar-benar sial.”Ia memijat pelipisnya. Rasa frustrasi sudah menumpuk sejak pagi. Diserang treadmill, dipermalukan seorang dokter yang bahkan salah ruangan, sampai

  • Dokter, Jangan Gitu Dong    Bab 4

    Pintu ruang pemeriksaan tertutup pelan. Devan melangkah pergi tanpa menoleh sedikit pun, meninggalkan Alicia yang berdiri kaku layaknya patung. Semua ketegangan yang Alicia tahan sejak tadi, meledak. “Aaakh…” teriak Alicia. Ia langsung jatuh berlutut. Seakan kehabisan tenaga. Napasnya tak beraturan dan bahunya bergetar kecil. “Ya Tuhann, kenapa... kenapa harus seperti ini…” Ia menutupi wajahnya dengan kedua tangan kecilnya, tapi itu sama sekali tidak membantu. Tangisnya malah semakin pecah. Ia benar-benar marah terhadap dirinya sendiri. “Aku bodoh… aku terlalu lelah… kenapa aku nggak cek datanya dulu…” “Kenapa aku malah buka celananya? Kenapa aku sentuh semuanya tanpa mikir?” Suaranya tenggelam di balik tangisan. Ia menggigit bibirnya sampai terasa perih. Ia tahu betul aturan rumah sakit ini seketat ujian masuk kampus impian. Sedikit saja salah prosedur… sedikit saja laporan masuk… Kariernya tamat. Semua perjuangannya selama berbulan-bulan… Shift panjang tanpa tidur… B

  • Dokter, Jangan Gitu Dong    Bab 3

    Pria itu sudah berbaik hati memberi Alicia kesempatan memperbaiki kesalahannya. Tanpa menunda, Alicia dengan cepat melepas kaos yang dikenakan Devan, gerakannya refleks, terlatih.“Ternyata kamu memang mahir dalam buka-membuka, ya?” sindir Devan tajam.Alicia tertawa kecil, gugup. Wajahnya memerah sampai ke telinga, tapi beruntung masker menutup separuh wajahnya sehingga pria itu tidak melihat betapa malunya ia saat ini.“Dasar dokter mesum,” gumam Devan lagi.Alicia mendengarnya jelas, setiap kata menusuk, namun ia memilih diam. Memang kesalahan itu ada padanya.Ia menunduk, berada tepat di sisi tempat tidur. Devan kini berbaring menahan kesal, rahangnya mengeras. Luka di pinggulnya masih berdarah, dan setiap kali Alicia menyentuh sedikit saja, keningnya langsung berkerut tajam.“Pelan,” perintah Devan, dingin.Sorot matanya menatap Alicia seolah wanita itu adalah penyebab semua rasa sakitnya.Alicia langsung mengangguk, terlalu cepat. Bahkan hampir seperti takut membuatnya makin mar

  • Dokter, Jangan Gitu Dong    Bab 2

    "Santai saja jika bersama dengan dokter. Saya melakukan segala sesuatu sesuai dengan SOP."Ia mengenakan sarung tangan lateks.Lampu pemeriksaan ia tarik ke arah depan.Detik berikutnya, Alicia mulai melakukan pemeriksaan medis standar, sesuai teknis, klinis, terfokus.Bukan sensual, bukan menggoda.Murni prosedural.Ia memeriksa dengan sangat detail. "Tidak adanya pembengkakan,Tidak tanda-tanda infeksi,Tidak ada iritasi kulit,Tidak ada kelainan bentuk,dan tanda-tanda trauma.Wajah pria itu merah padam. Meskipun ia sudah dilecehkan oleh Alicia, namun mengapa bagian kejantanan nya tidak bisa diajak bekerja sama. Pentungan nya justru berdiri dengan gagah."Bentuk Ok, ukuran besar, untuk standar pria dewasa. Ini juga tidak bengkok. Sedikit dipegang saja, sudah berdiri kokoh. Kemudian bagian biji, ada dua dengan bola yang besar-besar." Alicia berkata dengan sedikit tersenyum. Namun bulir bening di dahinya, menjadi pertanda bahwa dia sSemuanya dilakukan dengan keseriusan seorang dokt

  • Dokter, Jangan Gitu Dong    Bab 1

    Bab 1Alicia menutup berkas rekam medis terakhir hari itu, lalu memijat tengkuknya yang kaku. Shift hari ini benar-benar melelahkan. Bukan hanya karena tidak tidur selama 24 jam saja, tapi juga karena telepon dari orang tuanya pagi tadi masih terngiang nyata di kepala.“Alicia, kamu sudah cukup umur. Charlotte juga sudah siap menikah dengan Jerry,”suara ibunya terdengar lembut… namun penuh tekanan.Alicia hanya terdiam waktu itu.Bagaimana ia bisa menjawab?Dadanya terasa sakit dan juga sesak saat mendengar nama Jerry di sebut Jerry adalah pacarnya.Bukan milik Charlotte.Bukan milik anak angkat orang tuanya.Yang lebih menyakitkan, mereka mengucapkannya seolah itu hal paling wajar di dunia.“Kamu akan kami nikahkan dengan calon lain yang lebih cocok. Kamu harus mengalah terhadap adik mu. Ingat kondisi tubuh Charlotte lemah,”ucap ayahnya dingin sebelum telepon terputus sepihak.Alicia memejam lama. Napasnya berat.Ia menyandarkan punggungnya disandar kursi. Hal seperti ini sangat

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status