แชร์

Bab 3

ผู้เขียน: Liazta
last update ปรับปรุงล่าสุด: 2025-11-19 20:49:37

Pria itu sudah berbaik hati memberi Alicia kesempatan memperbaiki kesalahannya. Tanpa menunda, Alicia dengan cepat melepas kaos yang dikenakan Devan, gerakannya refleks, terlatih.

“Ternyata kamu memang mahir dalam buka-membuka, ya?” sindir Devan tajam.

Alicia tertawa kecil, gugup. Wajahnya memerah sampai ke telinga, tapi beruntung masker menutup separuh wajahnya sehingga pria itu tidak melihat betapa malunya ia saat ini.

“Dasar dokter mesum,” gumam Devan lagi.

Alicia mendengarnya jelas, setiap kata menusuk, namun ia memilih diam. Memang kesalahan itu ada padanya.

Ia menunduk, berada tepat di sisi tempat tidur. Devan kini berbaring menahan kesal, rahangnya mengeras. Luka di pinggulnya masih berdarah, dan setiap kali Alicia menyentuh sedikit saja, keningnya langsung berkerut tajam.

“Pelan,” perintah Devan, dingin.

Sorot matanya menatap Alicia seolah wanita itu adalah penyebab semua rasa sakitnya.

Alicia langsung mengangguk, terlalu cepat. Bahkan hampir seperti takut membuatnya makin marah.

“I-iya… maaf, tuan. Aku… aku hati-hati,” ujarnya pelan, menuang antiseptik dengan tangan yang sedikit gemetar.

Devan mendengus pendek. “Kamu bilang hati-hati, tapi tanganmu gemetar begitu.”

Alicia menelan ludah. Ia merunduk semakin dekat, tubuhnya membungkuk rendah, seperti seseorang yang rela merendahkan dirinya demi satu hal, mendapatkan maaf dari pria itu.

“Aku cuma takut bikin kamu sakit lagi,” ucap Alicia lembut. “Aku tahu kamu marah, dan itu wajar. Kesalahan ini memang salahku. Tapi, biar aku yang rawat lukamu, ya?”

Devan memalingkan wajah, garis rahangnya menegang.

“Aku nggak butuh dikasihani.”

“Aku bukan kasihan.” Alicia menggeleng pelan, matanya memohon. “Aku cuma ingin kamu memaafkanku. Sekali saja. Aku, bakal lakukan apa pun untuk menebusnya.”

Devan kembali menatapnya tajam, marah, tapi ada satu hal yang tidak bisa ia sembunyikan, keraguan. Dan sedikit tersentuh.

Alicia melanjutkan merawat lukanya dengan gerakan jauh lebih halus, hampir seperti belaian ringan. Suaranya jatuh makin lembut.

“Kalau sakit, bilang, ya? Aku… aku akan lebih pelan lagi.”

Devan tetap diam.

Namun napasnya berubah lebih berat, lebih cepat.

Marah, ya.

Tapi ada sesuatu yang mulai menggoyahkan kekesalannya dan ia sangat berusaha menutupinya.

Alicia masih menunduk, merawat luka di pinggul Devan dengan gerakan pelan seperti menyentuh guci peninggalan kuno. Setiap kali ia menyentuh kulit pria itu, Devan mengerutkan kening… tapi dia tidak mengatakan apa pun. Tidak memarahi. Tidak menghardik. Hanya diam.

Diam yang terasa berat.

Alicia berusaha mengatur napas. “Maaf… kalau terasa sakit,” ucapnya lagi, sangat lirih, seolah takut suara sedikit keras saja bisa memicu kemarahan Devan.

Devan tidak menjawab.

Ia hanya memalingkan kepala sedikit lalu menatapnya lagi.

Awalnya tatapan itu dingin. Marah. Menuntut.

Namun beberapa detik kemudian, sesuatu berubah.

Mata Alicia yang besar dan jernih itu memantulkan cahaya lampu ruangan. Indah. Terlalu indah untuk seorang pria yang sedang kesal. Ada ketulusan yang tidak ia mengerti, atau mungkin tidak ingin ia mengerti.

Devan menatapnya tanpa kedip.

Kesalnya masih ada, tapi seperti terhalang sesuatu yang lebih pelan, lebih lembut, yang merayap diam-diam ke dalam pikirannya.

Alicia mendongak sedikit, menyadari tatapan itu. “A-ada yang salah?” bisiknya cemas.

Devan tidak segera menjawab.

Lama. Terlalu lama untuk sekadar tatapan marah.

Hingga akhirnya ia membuka mulut, suaranya rendah dan dalam.

“Lepas maskermu.”

Alicia terkejut. “Hah?”

Tatapan Devan tidak goyah. “Aku mau lihat wajahmu.”

Alicia berkedip, gugup. “T-tapi… aku sedang bertugas…”

“Di rumah sakit ini tidak ada aturan dokter wajib memakai masker. Tidak ada pula aturan yang mengatakan dokter tidak boleh memperlihatkan wajahnya kepada pasien,” potong Devan, nada dinginnya kembali, tapi ada sesuatu yang lain di baliknya, rasa ingin tahu yang aneh.

“Aku ingin tahu, siapa sebenarnya dokter yang berani membuatku marah seperti ini.”

Alicia terdiam.

Jantungnya berdebar keras.

Sementara Devan, untuk pertama kalinya sejak insiden tadi, tatapannya bukan hanya marah. Tapi juga penasaran.

"Jika kau tidak mau membuka masker, maka aku akan melaporkan ke direktur rumah sakit ini!"

Dengan tangan yang gemetar halus, Alicia menyentuh tali masker di telinganya.

Dadanya naik turun cepat, antara takut dimarahi dan takut kehilangan pekerjaannya.

Devan hanya menatap. Diam.

Namun sorot matanya tajam, menuntut, sekaligus membuat punggung Alicia seperti ditusuk hawa dingin.

Perlahan… masker itu terlepas.

Alicia menunduk sedikit, tetapi tetap mengangkat wajah agar pria itu bisa melihatnya dengan jelas. Rambut kecil yang keluar dari ikatannya jatuh ke pipi, membuat wajahnya terlihat semakin muda.

Wajah Alicia polos. Lembut.

Tak ada riasan.

Hanya mata bulat yang penuh cemas, dan bibir kecil yang tampak menggigit ketika gugup.

Devan terpaku.

Sekitar lima detik…

lalu sepuluh detik…

Alicia semakin gelisah.

“J-jadi… apa saya sudah—”

“Cukup.”

Suara Devan memotongnya tegas.

Pria itu mengambil ponsel dan kuncinya di meja kecil di samping ranjang. Gerakannya cepat, seolah ia mendadak ingin menjauh.

Alicia langsung panik. “Tuan! Apa Anda masih akan melaporkan saya? Tadi Anda bilang—”

“Aku katakan mempertimbangkan bukan tidak melaporkan.”

Ia berdiri, masih tidak melihat Alicia secara langsung.

Alicia sadar akan kesalahannya. Ia langsung bersimpuh di kaki Devan dan memeluk kaki pria tersebut.

"Tuan, saya mohon, jangan laporkan saya. Saya janji untuk tidak nakal lagi. Saya janji akan menurut dengan anda." Alicia berkata dengan penuh rasa takut.

"Lepas," kata Devan.

Dengan cepat Alicia menggelengkan kepalanya.

Devan menarik napas panjang dan kemudian menghembuskannya secara berlahan-lahan. "Baiklah."

Hanya satu kalimat dari Devan, sudah membuat Alicia seakan lepas dari tali yang melilit tubuhnya.

“Jangan lakukan kesalahan serupa lagi.”

Nada suaranya dingin, tapi bukan marah—lebih seperti ia sedang menahan sesuatu. Entah apa.

Alicia menelan ludah. Kepalanya menganggukkan dengan cepat. “T-terima kasih… terima kasih banyak.”

Devan berjalan menuju pintu, namun sebelum membuka gagang, ia menoleh sedikit.

Hanya dalam beberapa detik,

sudah cukup untuk melihat wajah Alicia sekali lagi.

“Dokter sepolos apa kamu sampai berani melakukan hal tadi?” gumamnya pelan, lebih kepada dirinya sendiri.

Alicia tidak mengerti.

Dan sebelum ia sempat bertanya, Devan sudah keluar dari ruangan, tanpa menunggu, tanpa memberi penjelasan apa-apa.

---

อ่านหนังสือเล่มนี้ต่อได้ฟรี
สแกนรหัสเพื่อดาวน์โหลดแอป

บทล่าสุด

  • Dokter, Jangan Gitu Dong    Bab 6

    Bab 6 Devan menurunkan ponselnya perlahan. Jemarinya masih bergetar.Kata-kata Vivienne, yang biasanya lembut… hari ini berubah jadi seperti pisau tipis.Ia mendengus, menyandarkan tubuh — dan langsung meringis karena pinggulnya kembali berdenyut.“Hari apa ini…” gumamnya dengan tawa pahit.Ia hanya ingin istrinya pulang.Hanya itu.Tapi justru pekerjaan yang selalu menang.Vivienne: “Jangan dramatis.”Kalimat itu terus berputar di kepalanya, seperti mengejek harga diri seorang suami.Detik itu, kesabarannya pecah.Notifikasi ponsel berbunyi lagi.“Tuan, salah seorang staf infotainment sudah di gerbang. Orang itu ingin melihat kondisi anda, terkait insiden treadmill.”— Satpam MansionDevan mengusap wajah kasar-kasar. “Sempurna. Dunia benar-benar punya humor buruk hari ini.”Belum sempat bernapas, telepon masuk, dari asisten Vivienne.“Halo tuan, Nyonya mengirim vitamin, salep luka untuk anda. salap itu diantar langsung oleh salah seorang staf—”“Cukup.”Nada Devan turun satu oktaf,

  • Dokter, Jangan Gitu Dong    Bab 5

    Devan kembali ke mansion, dengan langkah berat. Bukan karena lelah, tapi karena setiap gerakan kecil membuat pinggulnya seperti disayat. Luka akibat hantaman besi treadmill itu masih terasa berdenyut, panas, dan memar. Hari yang seharusnya dimulai dengan olahraga pagi… malah berubah menjadi bencana.Dokter mesum itu.Alicia.Nama itu terus muncul di kepalanya, membuat sarafnya menegang setiap kali ia mengingat wajah polos dan bodoh wanita itu.Begitu sampai di ruang kerja, ia langsung duduk, menghidupkan laptop, dan mengikuti tiga rapat virtual tanpa jeda. Meski tubuhnya ingin berbaring, Devan tetap fokus, suaranya tegas seperti biasa. Tidak ada satu pun asistennya yang berani mempertanyakan kondisinya.Namun begitu layar rapat tertutup, ia menegakkan punggung sambil menahan desis pelan.“Sial…” desisnya rendah. “Hari ini benar-benar sial.”Ia memijat pelipisnya. Rasa frustrasi sudah menumpuk sejak pagi. Diserang treadmill, dipermalukan seorang dokter yang bahkan salah ruangan, sampai

  • Dokter, Jangan Gitu Dong    Bab 4

    Pintu ruang pemeriksaan tertutup pelan. Devan melangkah pergi tanpa menoleh sedikit pun, meninggalkan Alicia yang berdiri kaku layaknya patung. Semua ketegangan yang Alicia tahan sejak tadi, meledak. “Aaakh…” teriak Alicia. Ia langsung jatuh berlutut. Seakan kehabisan tenaga. Napasnya tak beraturan dan bahunya bergetar kecil. “Ya Tuhann, kenapa... kenapa harus seperti ini…” Ia menutupi wajahnya dengan kedua tangan kecilnya, tapi itu sama sekali tidak membantu. Tangisnya malah semakin pecah. Ia benar-benar marah terhadap dirinya sendiri. “Aku bodoh… aku terlalu lelah… kenapa aku nggak cek datanya dulu…” “Kenapa aku malah buka celananya? Kenapa aku sentuh semuanya tanpa mikir?” Suaranya tenggelam di balik tangisan. Ia menggigit bibirnya sampai terasa perih. Ia tahu betul aturan rumah sakit ini seketat ujian masuk kampus impian. Sedikit saja salah prosedur… sedikit saja laporan masuk… Kariernya tamat. Semua perjuangannya selama berbulan-bulan… Shift panjang tanpa tidur… B

  • Dokter, Jangan Gitu Dong    Bab 3

    Pria itu sudah berbaik hati memberi Alicia kesempatan memperbaiki kesalahannya. Tanpa menunda, Alicia dengan cepat melepas kaos yang dikenakan Devan, gerakannya refleks, terlatih.“Ternyata kamu memang mahir dalam buka-membuka, ya?” sindir Devan tajam.Alicia tertawa kecil, gugup. Wajahnya memerah sampai ke telinga, tapi beruntung masker menutup separuh wajahnya sehingga pria itu tidak melihat betapa malunya ia saat ini.“Dasar dokter mesum,” gumam Devan lagi.Alicia mendengarnya jelas, setiap kata menusuk, namun ia memilih diam. Memang kesalahan itu ada padanya.Ia menunduk, berada tepat di sisi tempat tidur. Devan kini berbaring menahan kesal, rahangnya mengeras. Luka di pinggulnya masih berdarah, dan setiap kali Alicia menyentuh sedikit saja, keningnya langsung berkerut tajam.“Pelan,” perintah Devan, dingin.Sorot matanya menatap Alicia seolah wanita itu adalah penyebab semua rasa sakitnya.Alicia langsung mengangguk, terlalu cepat. Bahkan hampir seperti takut membuatnya makin mar

  • Dokter, Jangan Gitu Dong    Bab 2

    "Santai saja jika bersama dengan dokter. Saya melakukan segala sesuatu sesuai dengan SOP."Ia mengenakan sarung tangan lateks.Lampu pemeriksaan ia tarik ke arah depan.Detik berikutnya, Alicia mulai melakukan pemeriksaan medis standar, sesuai teknis, klinis, terfokus.Bukan sensual, bukan menggoda.Murni prosedural.Ia memeriksa dengan sangat detail. "Tidak adanya pembengkakan,Tidak tanda-tanda infeksi,Tidak ada iritasi kulit,Tidak ada kelainan bentuk,dan tanda-tanda trauma.Wajah pria itu merah padam. Meskipun ia sudah dilecehkan oleh Alicia, namun mengapa bagian kejantanan nya tidak bisa diajak bekerja sama. Pentungan nya justru berdiri dengan gagah."Bentuk Ok, ukuran besar, untuk standar pria dewasa. Ini juga tidak bengkok. Sedikit dipegang saja, sudah berdiri kokoh. Kemudian bagian biji, ada dua dengan bola yang besar-besar." Alicia berkata dengan sedikit tersenyum. Namun bulir bening di dahinya, menjadi pertanda bahwa dia sSemuanya dilakukan dengan keseriusan seorang dokt

  • Dokter, Jangan Gitu Dong    Bab 1

    Bab 1Alicia menutup berkas rekam medis terakhir hari itu, lalu memijat tengkuknya yang kaku. Shift hari ini benar-benar melelahkan. Bukan hanya karena tidak tidur selama 24 jam saja, tapi juga karena telepon dari orang tuanya pagi tadi masih terngiang nyata di kepala.“Alicia, kamu sudah cukup umur. Charlotte juga sudah siap menikah dengan Jerry,”suara ibunya terdengar lembut… namun penuh tekanan.Alicia hanya terdiam waktu itu.Bagaimana ia bisa menjawab?Dadanya terasa sakit dan juga sesak saat mendengar nama Jerry di sebut Jerry adalah pacarnya.Bukan milik Charlotte.Bukan milik anak angkat orang tuanya.Yang lebih menyakitkan, mereka mengucapkannya seolah itu hal paling wajar di dunia.“Kamu akan kami nikahkan dengan calon lain yang lebih cocok. Kamu harus mengalah terhadap adik mu. Ingat kondisi tubuh Charlotte lemah,”ucap ayahnya dingin sebelum telepon terputus sepihak.Alicia memejam lama. Napasnya berat.Ia menyandarkan punggungnya disandar kursi. Hal seperti ini sangat

บทอื่นๆ
สำรวจและอ่านนวนิยายดีๆ ได้ฟรี
เข้าถึงนวนิยายดีๆ จำนวนมากได้ฟรีบนแอป GoodNovel ดาวน์โหลดหนังสือที่คุณชอบและอ่านได้ทุกที่ทุกเวลา
อ่านหนังสือฟรีบนแอป
สแกนรหัสเพื่ออ่านบนแอป
DMCA.com Protection Status