LOGINDevan kembali ke mansion, dengan langkah berat. Bukan karena lelah, tapi karena setiap gerakan kecil membuat pinggulnya seperti disayat. Luka akibat hantaman besi treadmill itu masih terasa berdenyut, panas, dan memar. Hari yang seharusnya dimulai dengan olahraga pagi… malah berubah menjadi bencana.
Dokter mesum itu. Alicia. Nama itu terus muncul di kepalanya, membuat sarafnya menegang setiap kali ia mengingat wajah polos dan bodoh wanita itu. Begitu sampai di ruang kerja, ia langsung duduk, menghidupkan laptop, dan mengikuti tiga rapat virtual tanpa jeda. Meski tubuhnya ingin berbaring, Devan tetap fokus, suaranya tegas seperti biasa. Tidak ada satu pun asistennya yang berani mempertanyakan kondisinya. Namun begitu layar rapat tertutup, ia menegakkan punggung sambil menahan desis pelan. “Sial…” desisnya rendah. “Hari ini benar-benar sial.” Ia memijat pelipisnya. Rasa frustrasi sudah menumpuk sejak pagi. Diserang treadmill, dipermalukan seorang dokter yang bahkan salah ruangan, sampai disentuh dan diperiksa seperti objek penelitian. Bukan hanya itu saja, dokter itu menyentuh, memainkan dua bola pompong nya. Benar-benar mempermalukan dirinya. “Dokter gila,” gumamnya sambil mendengus keras. Kepalanya miring sedikit, wajahnya memerah kesal setiap kali ingatan itu muncul. Betapa wanita itu berani, tanpa malu, menarik celananya, menahan kakinya, memeriksa bagian yang bahkan istrinya tidak se-detal itu. Devan mengetukkan jarinya di meja, sedang satu tangan lagi, memegang bagian yang terasa nyeri. Tepat saat itu, ponselnya berbunyi. Layar menyala. Nama yang muncul, Istriku. Devan menarik napas panjang.Ia menatap layar itu beberapa detik, bibirnya menegang. Luka, rapat, dokter mesum… dan sekarang istrinya. Hari ini benar-benar menguji kesabarannya. Dengan tangan yang menegang, ia akhirnya menggeser layar dan menerima telepon. “Ya,” jawabnya pendek. "Halo sayang." Vivian tersenyum lebar saat melihat wajah Devan di layar handphone nya. “Ada apa?" Suaranya datar, lelah, dan tidak terlalu bersemangat. "Aku merindukan mu," jawab Vivian dengan suara lembut. Vivian merupakan sosok wanita yang lembut namun tegas. Cara bicaranya sangat tersusun rapi, layaknya artis terkenal yang sudah biasa tampil di depan publik. Siapa yang tidak mengenal Vivian, artis yang sedang populer dan dikagumi banyak orang. Devan hanya diam. “Devan, aku dengar kamu jatuh dari treadmill? Manager ku mendengar berita dari satpam mansion. Kamu baik-baik saja kan?” Devan menyandarkan tubuhnya, meringis kecil. “Itu bukan jatuh…” gumamnya. “Aku terseret.” “Hah?” Vivienne terdengar tercengang. “Terseret treadmill? Devan… kok bisa?” Devan memejamkan mata, merasa harga dirinya kembali diinjak. “Aku sedang lari cepat. Lalu telepon dari kantor masuk. Aku pegang sebentar, keseimbanganku hilang. Kakiku terpeleset dan aku terseret ke belakang.” Vivienne menghela napas panjang, sambil menatap Devan. “Aku sudah bilang berkali-kali, jangan angkat telepon saat olahraga. Kamu itu bukan atlet, Dev.” Devan tersenyum samar. " Kapan kamu mengatakan hal itu? Kapan kamu memperhatikan suamimu ini? " Vivian terdiam mendengar pertanyaan Devan. Wanita itu kemudian melanjutkan, suaranya lebih lembut sekarang, “Lukanya parah? Kamu sudah ke dokter?” Devan menegang. Ingatan tentang Alicia langsung muncul, dokter polos, ceroboh, konyol, mesum dan sangat menyebalkan itu. “Sudah,” jawab Devan singkat. “Dokternya laki-laki atau perempuan?” Nada Vivienne tiba-tiba berubah curiga. Naluri seorang istri terkenal yang selalu diawasi publik. Namun apakah benar seorang Vivian Astra akan cemburu seperti ini? Devan mengusap wajahnya, frustasi. “Perempuan.” “Hm.” Vivienne terdengar tidak suka, tapi mencoba tetap elegan. “Baiklah. Yang penting sekarang istirahat. Aku nggak bisa pulang, ada tapping acara. Tapi aku telepon lagi nanti. Jangan banyak gerak, Dev.” "Berapa lama lagi kamu di sana?" Wajah Devan mengeras Ketika menanyakan hal itu kepada istrinya. "Aku di sini sekitar dua minggu lagi deh. Syuting ini sudah hampir selesai." Devan langsung mengerutkan kening. “Jadi kamu… tetap di sana? Padahal kamu sudah tahu aku terluka?” Vivienne mendesah pelan, nada suaranya terdengar seperti seseorang yang sudah capek membahas hal yang sama. “Dev, ini pekerjaan penting. Aku syuting iklan untuk Brand besar. Aku juga syuting untuk film layar lebar. Jika film ini meledak di pasaran, maka namaku akan semakin terkenal, jadwal ketat. Aku bukan bisa seenaknya kabur dari sini. Ada puluhan orang yang bekerja, dan aku bagian dari mereka jika aku pergi, maka syuting tidak bisa dilanjutkan. Begitu juga dengan shooting.” “Profesionalitas,” gumam Devan sinis. Nada dinginnya langsung menegang. “Berapa uang yang harus aku keluarkan, Vivi?” suaranya turun lebih rendah, tajam. “Berapa kerugian yang harus kubayar supaya kamu bisa berhenti syuting dan pulang?” Vivienne terdiam beberapa detik, hening yang membuat ombak di belakangnya terdengar lebih keras. “Devan…” Nada suaranya berubah dingin. “Masalah ini bukan tentang uang. Ini tentang profesionalitas. Aku bertanggung jawab pada pekerjaanku. Kamu tahu kerjaanku bukan sekedar…” Ia menarik napas. "Bukan sekedar ‘pose di depan kamera. Aku serius bekerja di sini.” “Aku sanggup bayar gajimu sepuluh kali lipat.” Devan membalas cepat dan kasar. “Kalau itu membuatmu pulang.” “Uang bukan segalanya, Devan.” Kali ini nada Vivienne menusuk, bukan marah, tapi kecewa. “Berapa lama aku harus mengulanginya padamu? Semua hal di hidupku tidak bisa kamu beli. Ini cita-citaku. Ini yang membuat aku merasa hidup. Dan kamu tahu itu.” Devan mengepal tangan. “Jadi kamu memilih pekerjaanmu daripada suamimu yang sedang terluka?” “Jangan dramatis.” Vivienne memotong tegas. “Aku peduli sama kamu. Tapi aku tidak bisa menghentikan syuting hanya karena kamu tergores treadmill.” “Itu bukan gores—” “Devan.” Nada Vivienne berubah lebih keras. “Aku akan menelepon lagi nanti.” Tanpa menunggu balasan… tanpa ada ruang kompromi… Klik. Sambungan terputus. Devan menatap layar ponsel yang kini gelap. Rahangnya mengeras. Dadanya naik turun cepat. Hari ini benar-benar hari paling sial dalam hidupnya. Terseret treadmill. Dipermalukan dokter mesum. Dan istrinya, memilih pantai Bali daripada dirinya. ---Bab 6 Devan menurunkan ponselnya perlahan. Jemarinya masih bergetar.Kata-kata Vivienne, yang biasanya lembut… hari ini berubah jadi seperti pisau tipis.Ia mendengus, menyandarkan tubuh — dan langsung meringis karena pinggulnya kembali berdenyut.“Hari apa ini…” gumamnya dengan tawa pahit.Ia hanya ingin istrinya pulang.Hanya itu.Tapi justru pekerjaan yang selalu menang.Vivienne: “Jangan dramatis.”Kalimat itu terus berputar di kepalanya, seperti mengejek harga diri seorang suami.Detik itu, kesabarannya pecah.Notifikasi ponsel berbunyi lagi.“Tuan, salah seorang staf infotainment sudah di gerbang. Orang itu ingin melihat kondisi anda, terkait insiden treadmill.”— Satpam MansionDevan mengusap wajah kasar-kasar. “Sempurna. Dunia benar-benar punya humor buruk hari ini.”Belum sempat bernapas, telepon masuk, dari asisten Vivienne.“Halo tuan, Nyonya mengirim vitamin, salep luka untuk anda. salap itu diantar langsung oleh salah seorang staf—”“Cukup.”Nada Devan turun satu oktaf,
Devan kembali ke mansion, dengan langkah berat. Bukan karena lelah, tapi karena setiap gerakan kecil membuat pinggulnya seperti disayat. Luka akibat hantaman besi treadmill itu masih terasa berdenyut, panas, dan memar. Hari yang seharusnya dimulai dengan olahraga pagi… malah berubah menjadi bencana.Dokter mesum itu.Alicia.Nama itu terus muncul di kepalanya, membuat sarafnya menegang setiap kali ia mengingat wajah polos dan bodoh wanita itu.Begitu sampai di ruang kerja, ia langsung duduk, menghidupkan laptop, dan mengikuti tiga rapat virtual tanpa jeda. Meski tubuhnya ingin berbaring, Devan tetap fokus, suaranya tegas seperti biasa. Tidak ada satu pun asistennya yang berani mempertanyakan kondisinya.Namun begitu layar rapat tertutup, ia menegakkan punggung sambil menahan desis pelan.“Sial…” desisnya rendah. “Hari ini benar-benar sial.”Ia memijat pelipisnya. Rasa frustrasi sudah menumpuk sejak pagi. Diserang treadmill, dipermalukan seorang dokter yang bahkan salah ruangan, sampai
Pintu ruang pemeriksaan tertutup pelan. Devan melangkah pergi tanpa menoleh sedikit pun, meninggalkan Alicia yang berdiri kaku layaknya patung. Semua ketegangan yang Alicia tahan sejak tadi, meledak. “Aaakh…” teriak Alicia. Ia langsung jatuh berlutut. Seakan kehabisan tenaga. Napasnya tak beraturan dan bahunya bergetar kecil. “Ya Tuhann, kenapa... kenapa harus seperti ini…” Ia menutupi wajahnya dengan kedua tangan kecilnya, tapi itu sama sekali tidak membantu. Tangisnya malah semakin pecah. Ia benar-benar marah terhadap dirinya sendiri. “Aku bodoh… aku terlalu lelah… kenapa aku nggak cek datanya dulu…” “Kenapa aku malah buka celananya? Kenapa aku sentuh semuanya tanpa mikir?” Suaranya tenggelam di balik tangisan. Ia menggigit bibirnya sampai terasa perih. Ia tahu betul aturan rumah sakit ini seketat ujian masuk kampus impian. Sedikit saja salah prosedur… sedikit saja laporan masuk… Kariernya tamat. Semua perjuangannya selama berbulan-bulan… Shift panjang tanpa tidur… B
Pria itu sudah berbaik hati memberi Alicia kesempatan memperbaiki kesalahannya. Tanpa menunda, Alicia dengan cepat melepas kaos yang dikenakan Devan, gerakannya refleks, terlatih.“Ternyata kamu memang mahir dalam buka-membuka, ya?” sindir Devan tajam.Alicia tertawa kecil, gugup. Wajahnya memerah sampai ke telinga, tapi beruntung masker menutup separuh wajahnya sehingga pria itu tidak melihat betapa malunya ia saat ini.“Dasar dokter mesum,” gumam Devan lagi.Alicia mendengarnya jelas, setiap kata menusuk, namun ia memilih diam. Memang kesalahan itu ada padanya.Ia menunduk, berada tepat di sisi tempat tidur. Devan kini berbaring menahan kesal, rahangnya mengeras. Luka di pinggulnya masih berdarah, dan setiap kali Alicia menyentuh sedikit saja, keningnya langsung berkerut tajam.“Pelan,” perintah Devan, dingin.Sorot matanya menatap Alicia seolah wanita itu adalah penyebab semua rasa sakitnya.Alicia langsung mengangguk, terlalu cepat. Bahkan hampir seperti takut membuatnya makin mar
"Santai saja jika bersama dengan dokter. Saya melakukan segala sesuatu sesuai dengan SOP."Ia mengenakan sarung tangan lateks.Lampu pemeriksaan ia tarik ke arah depan.Detik berikutnya, Alicia mulai melakukan pemeriksaan medis standar, sesuai teknis, klinis, terfokus.Bukan sensual, bukan menggoda.Murni prosedural.Ia memeriksa dengan sangat detail. "Tidak adanya pembengkakan,Tidak tanda-tanda infeksi,Tidak ada iritasi kulit,Tidak ada kelainan bentuk,dan tanda-tanda trauma.Wajah pria itu merah padam. Meskipun ia sudah dilecehkan oleh Alicia, namun mengapa bagian kejantanan nya tidak bisa diajak bekerja sama. Pentungan nya justru berdiri dengan gagah."Bentuk Ok, ukuran besar, untuk standar pria dewasa. Ini juga tidak bengkok. Sedikit dipegang saja, sudah berdiri kokoh. Kemudian bagian biji, ada dua dengan bola yang besar-besar." Alicia berkata dengan sedikit tersenyum. Namun bulir bening di dahinya, menjadi pertanda bahwa dia sSemuanya dilakukan dengan keseriusan seorang dokt
Bab 1Alicia menutup berkas rekam medis terakhir hari itu, lalu memijat tengkuknya yang kaku. Shift hari ini benar-benar melelahkan. Bukan hanya karena tidak tidur selama 24 jam saja, tapi juga karena telepon dari orang tuanya pagi tadi masih terngiang nyata di kepala.“Alicia, kamu sudah cukup umur. Charlotte juga sudah siap menikah dengan Jerry,”suara ibunya terdengar lembut… namun penuh tekanan.Alicia hanya terdiam waktu itu.Bagaimana ia bisa menjawab?Dadanya terasa sakit dan juga sesak saat mendengar nama Jerry di sebut Jerry adalah pacarnya.Bukan milik Charlotte.Bukan milik anak angkat orang tuanya.Yang lebih menyakitkan, mereka mengucapkannya seolah itu hal paling wajar di dunia.“Kamu akan kami nikahkan dengan calon lain yang lebih cocok. Kamu harus mengalah terhadap adik mu. Ingat kondisi tubuh Charlotte lemah,”ucap ayahnya dingin sebelum telepon terputus sepihak.Alicia memejam lama. Napasnya berat.Ia menyandarkan punggungnya disandar kursi. Hal seperti ini sangat







