Share

Bab 4

Author: CUME
last update Last Updated: 2025-10-29 10:59:47

“Cepat bunuh Satrio, Man, jangan biarkan kesialannya merembet ke semua orang di desa ini!” Pak Suwito membentak keras.

Ketika Maman mengangkat arit, istrinya tiba-tiba memeluk kaki Maman. “Tunggu 30 detik, seperti apa yang dikatakan Satrio! Ini satu-satunya harapanku! A-aku berubah pikiran. Aku ga ada harapan lagi, Pak!”

Maman pun menghela nafas berat. Andai bukan permintaan istrinya, dia sudah memenggal kepala Satrio!”

Warga pun heran.

Satrio tidak bergeser dari posisinya, bahkan ketika arit itu diayunkan tinggi-tinggi. Dengan tenangnya, dia kemudian berujar, “Pak, sabar. Ini gejala awal. Saya tahu semua orang membenci keluarga saya. Saya tahu semua orang ingin lihat saya gagal. Tapi kalau Bapak bunuh saya sekarang, anak Bapak yang benar-benar mati. Tunggu… tinggal sebentar lagi!”

Detik berjalan lambat, semua warga was-was mendengar itu. Maman dan istrinya teru menghitung detik demi detik. Lima belas… dua puluh… dua lima.

Bocah itu menggeliat, wajahnya memerah, napasnya makin cepat. Semua orang panik. Ibu menangis histeris, memukul-mukul dada anaknya.

“Tolong, jangan mati, Nak…”

“Dasar Satrio bajingan! Kamu beneran mau bunuh anakku!” Maman sudah habis kesabaran. Dia ambil kuda-kuda dengan kaki kanan sebagai tumpuan, siap mengayunkan kembali artinya.

Tiga puluh detik.

Tiba-tiba, bocah itu menghela napas panjang, keras sekali, seperti baru keluar dari dalam air. Tubuhnya bergetar, keringat menetes di dahinya, dan matanya terbuka. Ia menatap ibunya pelan, lalu berkata dengan suara serak, “Bu… aku haus. Aku mau air putih.”

Hening.

Ibu bocah langsung berteriak, tangisnya pecah. “Ya Allah! Nak… kamu bangun! Kamu bangun!”

Ayah anak itu kemudian menjatuhkan aritnya. Tangannya gemetar, matanya berkaca. Tapi sebelum kebahagiaan itu sempat dirasakan, suara warga memecah lagi.

“Paling cuma kebetulan.”

“Baru bangun, siapa tahu sebentar lagi mati lagi.”

“Jangan-jangan diracuni. Anak itu cuma tersadar bentar.”

Suasana memanas lagi. Beberapa orang maju, menunjuk Satrio.

“Usir dia! Jangan sampai bawa sial di desa ini!”

“Kalau anak itu kumat, gantung saja dia di pohon!”

Maman menunduk, masih menatap anaknya yang kini bisa bicara, tapi amarah di wajahnya belum hilang. Ia memungut arit lagi, menatap Satrio.

“Kali ini anakku selamat. Tapi ingat, Trio. Sekali saja dia sakit lagi karena ramuanmu, aku cari kau ke manapun. Aku tebas lehermu sendiri.”

Satrio menunduk, menerima ancaman itu. Ia tahu ini baru awal. Warga tidak serta-merta percaya. Hinaan masih akan terus datang. Tapi saat matanya menatap bocah kecil itu, yang kini bisa duduk pelan di pangkuan ibunya, ia tahu satu hal: untuk pertama kalinya, ilmunya benar-benar bekerja.

Dan suara Simbah menggema samar di dadanya, lewat liontin yang masih hangat.

“Giliranmu sudah dimulai, Le. Jangan takut, meski dunia menuduhmu sesat.”

Pagi di Karangjati penuh gosip. Kabar anak kecil yang “bangun lagi” setelah minum jamu Satrio menyebar cepat, tapi rasa ingin tahu warga lebih besar dari rasa terima kasih. Di depan rumah bambu itu, ibu si bocah menatap Satrio dengan mata basah, berkali-kali mengucap terima kasih sambil menunduk.

Anak kecil itu duduk bersandar di pangkuan ibunya, keringatnya sudah kering, pipinya mulai berwarna.

“Mas… terima kasih. Aku… nggak tahu harus balas apa,” katanya pelan.

Satrio tersenyum tipis. “Jaga minumnya, Bu. Nanti sore bikin lagi secangkir, dengan ramuan jahe, secang, jeruk nipis, dan kapulaga. Panasnya jangan sampai tinggi. Kalau malam, kompres hangat. Besok, kalau ada apa-apa, panggil aku, aku pasti bantu.”

Maman yang tadi mengacungkan arit, menatap Satrio lama. Wajahnya masih tegang, tapi ancamannya reda setitik karena anaknya bisa bicara. Ia memungut arit, mengaitkannya lagi di pinggang. “Sekali saja anakku sakit lagi karena ramuanmu, aku cari kamu, Trio. Ingat itu!”

Satrio mengangguk. “Saya paham, Pak.”

Warga yang berkerumun mulai riuh. Beberapa menatap Satrio dengan kagum, yang lain masih penuh curiga. Pak Suwito, yang tak pernah ketinggalan, meludah ke tanah.

“Halah, paling cuma kebetulan. Dukun juga banyak yang begitu, awalnya sembuh, besoknya kumat lagi.”

“Betul itu! Jangan-jangan pakai tumbal,” timpal seorang ibu dari belakang.

Mendengar cemoohan yang tak ada habisnya, ditambah kelegaan karena berhasil menolong, sebuah keberanian baru meletup di dada Satrio. Ia berdiri tegak, menatap lurus ke arah Pak Suwito dan kerumunan yang masih meragukannya. Liontin di balik bajunya terasa hangat, memberinya kekuatan.

“Saya memang bukan siapa-siapa!” suaranya terdengar jelas, memotong semua bisik-bisik. “Kemarin saya dihina, gerobak jamu saya diremehkan, cinta saya ditendang. Tapi hari ini, di depan Bapak dan Ibu semua, saya sudah buktikan kalau ilmu warisan Simbah saya bukan omong kosong!”

Ia menarik napas dalam-dalam, menunjuk dadanya sendiri.

“Lihat saja! Mulai hari ini, aku akan buktikan kalau saya bisa jadi ahli obat yang sesungguhnya. Akan kubuat semua warga di desa ini segan dan tunduk pada kemampuan medisku!”

Deklarasi itu menggema.

Beberapa orang terdiam kaget, ada yang mencibir, ada pula yang menatapnya dengan pandangan baru. Maman tampak khawatir, seolah tahu ucapan Satrio barusan adalah sebuah kesalahan besar.

Dan memang benar.

Di kejauhan, tersembunyi di balik pohon beringin besar di ujung jalan, seorang pria paruh baya bertubuh tegap mengamati semuanya. Wajahnya yang biasanya tenang kini mengeras. Dialah Pak Mulyono, Kepala Desa Karangjati. Tangannya yang memegang tongkat kayu jati mengerat hingga buku-buku jarinya memutih.

Ia tidak melihat seorang pemuda yang menolong warga. Ia melihat ancaman. Ancaman bagi kuasanya, bagi ketertiban yang selama ini ia bangun di atas rasa takut dan hormat. Kata “tunduk” yang diucapkan Satrio terdengar seperti lonceng perang di telinganya.

Tanpa berkata apa-apa lagi, Pak Mulyono berbalik. Langkahnya cepat dan berat menuju rumahnya yang paling besar di desa, sebuah rumah joglo dengan pendopo luas.

BRAK!

Pintu kayu jati yang tebal itu dibantingnya hingga membuat beberapa ekor burung gereja terbang kaget dari atap.

“Joko! Bimo!” teriaknya dengan suara menggelegar.

Dari belakang rumah, muncul dua orang pria berbadan kekar dengan wajah tanpa ekspresi. Keduanya mengenakan kemeja lurik yang sama, tatapan mereka kosong tapi siaga. Merekalah ‘Garda Desa’, tangan kanan Pak Mulyono yang ditakuti warga.

Pak Mulyono duduk di kursinya, menatap kedua pengawalnya dengan dingin.

“Ada bocah kemarin sore yang mulai besar kepala. Cucu Mbah Karto,” desisnya. “Mulai besok, sebarkan kabar. Bilang ilmu yang dia pakai itu sihir pemakan nyawa, warisan terkutuk dari kakeknya. Buat semua orang takut padanya. Paham?”

Kedua Garda Desa itu hanya mengangguk serempak, lalu menghilang secepat mereka muncul. Di pendopo yang lengang, Pak Mulyono tersenyum sinis. Di Desa Karangjati, hanya boleh ada satu penguasa. Dan itu adalah dirinya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Dokter Jenius Desa Menjadi Penguasa   Bab 20

    Wajah Mulyono pucat pasi."Kalau saya salah, saya siap digantung di alun-alun," lanjut Satrio. "Tapi kalau saya benar..."Satrio menatap tajam mata Mulyono."...Bapak yang harus jelaskan ke semua orang ini. Racun apa yang sudah Bapak tuang ke air minum kami?"Wajah Pak Kades Mulyono pucat pasi. Minum air yang sudah dia tumbali sendiri? Ide gila."Kamu..." Mulyono gemetar. Dia kehabisan kata-kata.Maman maju selangkah, dadanya dibusungkan. "Gimana, Pak Kades? Ditantang minum aja kok keringetan? Katanya airnya bersih?""Iya! Coba minum!" seru warga yang lain.Surya Handoko melihat situasi sudah tidak terkendali. Dia menarik lengan Mulyono."Sudah, Pak! Gak usah diladeni orang gila!" desis Surya. "Kita urus wabahnya dulu. Urusan dia gampang."Mulyono tersadar. Dia memakai topeng wibawanya lagi."Cukup!" teriak Mulyono. "Saya harus mengurus wabah ini! Saya harus panggil bantuan dari kota! Urusan penghasut ini, kita tunda!"Mulyono dan Surya bergegas pergi meninggalkan balai desa, pura-pur

  • Dokter Jenius Desa Menjadi Penguasa   Bab 19

    Hening.Semua warga syok.Mulyono pucat pasi karena tidak menyangka, Satrio bisa seberani ini mengungkap fakta yang buktinya saja masih samar. Surya memandang Mulyono sekilas, kemudian menyipitkan mata. "Sialan. Kok dia bisa tahu?""Itu bukan air bersih layak minum!" lanjut Satrio. "Itu racun! Itu zat kotor! Itu yang bikin anak-anak desa ini sekarat dan ibu-ibu merasa mual!"Mulyono tidak bisa diam lagi. Jika dia diam, warga akan curiga. Dia harus menyerang balik."Bajingan tengik!" Mulyono maju, telunjuknya menuding wajah Satrio. "Kurang ajar sekali, berani ya, kamu bicara seperti itu! Namanya fitnah, dan ingat, fitnah lebih kejam dari kesesaatan kakekmu!""Saya bicara kebenaran!

  • Dokter Jenius Desa Menjadi Penguasa   Bab 18

    Satrio memeriksa nadi si bocah. Nadi itu kembali melemah. Satrio yang sudah sangat lelah, hanya bisa mendesis pelan. "Racunnya... masih ada.”"Maksudmu?""Air kelapa ini cuma memperlambat. Cuma paliatif. Racunnya sudah masuk terlalu dalam ke darah mereka." Satrio mendapat petunjuk dari liontin, apa yang dia baca dari aksara Jawa, dia jelaskan kepada warga."Jadi... mereka bakal kumat lagi?" tanya Bu Wati, yang dijawab anggukan berat Satrio.Warga yang tadi sudah lega, kembali menangis. "Gimana ini, Trio? Air kelapanya juga sudah habis!"Ketika suasana sudah kalut total, seseorang berbaju serba putih dan stetoskop melingkar di leher, datang."Permisi! Permisi! Dokter puskesma

  • Dokter Jenius Desa Menjadi Penguasa   Bab 17

    Bu Wati, yang paling sering menghinanya, melihat Satrio. Dia berlari, bersimpuh di kaki Satrio. "Trio! Tolong, Trio! Aku tahu kamu bisa! Selamatkan cucuku! Aku mohon!"Warga yang kemarin mencibirnya, kini menatapnya penuh harap.Pak Sastro, tabib resmi desa, berdiri di tengah kebingungan. Dia sibuk mengoleskan minyak angin ke dahi anak-anak. Tidak ada gunanya."Ini... ini kesambet! Pasti kesambet penunggu pohon beringin!" kata Pak Sastro, asal bicara. "Sabar, Bu... ini saya pijat refleksi. Biar racunnya...""Mijat dari tadi gak ada hasilnya!" bentak seorang bapak. "Anakku makin biru itu!""Pak Sastro bohong!" teriak Satrio Suaranya menggelegar, memotong semua tangisan. Semua orang menoleh padanya. “Ini bukan sakit biasa. Jang

  • Dokter Jenius Desa Menjadi Penguasa   Bab 16

    Satrio berlari. Dia tidak lagi merasakan lelah setelah ritual empat jam tadi. Dia melesat menembus kebun singkong, melompati parit, matanya terpaku pada jejak energi hitam di depannya.Satrio mencium jejak kaki Surya Handoko. “Baunya memuakkan, sial! Belerang bercampur dengan sesuatu yang anyir. Sepertinya ini darah!”Jejak itu membawanya ke batas desa. Pinggir hutan. Tepat di balik rumpun bambu raksasa, seperti yang ditunjukkan Ibu Kades Mulyono.Di sana, Sumur Warisan itu berada.Satrio melompat ke atas pohon nangka, bersembunyi di balik dedaunan lebat. Dari atas, dia bisa melihat semuanya.Jantungnya serasa berhenti berdetak.Di bawah, di sekitar bibir sumur tua, em

  • Dokter Jenius Desa Menjadi Penguasa   Bab 15

    Satrio menahan napas. Dia cepat bersembunyi di balik pilar besar."Ya, kamu benar. Untung kamu datang. Ini soal Mandala Group itu. Kamu yakin mereka mau investasi besar di desa ini?""Pasti. Bos besar sudah setuju. Tapi syaratnya... lahan di pinggir hutan itu harus 'bersih'."'Bersih?' batin Satrio."Sudah aku urus. Tapi sumur tua sialan itu masih di sana. Katanya angker," kata Mulyono."Halah, angker itu urusan gampang. Yang penting, malam Purnama nanti, kita ketemu tim Mandala di sana. Kita ritual sedikit. 'Bersihkan' tempat itu biar keuntungan kita dari investasi air bersih Mandala Group bisa berjalan lancar.""Ritual apa?"Surya te

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status