Share

Bab 3

Author: CUME
last update Last Updated: 2025-10-29 10:59:28

“Bu, biar saya coba,” kata Satrio.

Ibu itu langsung kaget, matanya melebar. “Kamu? Satrio, cucunya Mbah Karto itu?”

“Iya. Saya belajar dari Simbah.”

“Belajar dari Simbah katamu?! Jangan sentuh anakku! Keluargamu itu terkenal sesat! Bapakmu dulu dituduh main ilmu hitam, makannya mati muda! Kakekmu juga sama, suka ngeracuni pasien! Aku nggak mau anakku dicoba-coba!”

Suara tangisnya makin keras, sampai tetangga berdatangan. Pak Suwito datang sembari menyalakan rokok, ikut nyeletuk.

“Ealah, Mbah Karto wis mati! Cucunya dukun gagal? Mau main-main sama nyawa anak orang lagi?”

“Udah, Bu. Jangan percaya. Kemarin aja bapaknya bikin orang mati pas lahiran.”

“Cucunya sama aja, paling cuma modal jamu pahit!”

Satrio mencoba tenang. “Bu, saya tahu orang sering bilang macam-macam. Tapi Simbah saya tabib, bukan dukun sesat. Liontin ini warisan leluhur, ini ilmunya nyata. Tolong izinkan saya coba, kalau tidak…”

“Cukup!” Ibu itu berdiri, mendekap anaknya erat. “Kalau kamu nekat, aku teriak biar warga mukuli kamu! Pergi cepat!”

Warga makin ramai karena setiap hari Senin pagi, mereka berbondong ke sawah, kebun, dan ada yang bekerja di kota. Teriakan bercampur caci kemudian menyatu, semuanya diarahkan ke Satrio.

“Dasar sok tabib!”

“Miskin, hina, sekarang cari panggung dengan anak sakit!”

“Pergi, Trio, sebelum ada yang ngamuk!”

Satrio menatap anak kecil yang tubuhnya panas bagai bara. Nalurinya tak bisa menoleh. Tapi ucapan mereka menusuk dada. “Aku hanya ingin menolong…”

Langkah kaki berat terdengar dari balik kerumunan. Melihat pria itu, warga langsung memberi jalan.

Seorang pria dengan caping lebar datang dari sawah, arit masih terselip di pinggang. Wajahnya keras, matanya merah karena begadang menjaga anak semalaman. Itu ayah si bocah.

“Ada apa ribut-ribut?” tanyanya, suaranya berat.

Orang-orang serempak menunjuk Satrio. “Dia mau coba-coba ngurus anakmu, Man. Anakmu dipakai mainan jamu!”

Wajah Maman itu berubah tegang. Ia menatap Satrio tajam, lalu menarik arit dari pinggangnya. “Dengar, Trio. Anakku satu-satunya ini sudah sakit sejak semalam. Kalau kamu berani main-main, kalau satu saja napasnya hilang gara-gara jamu atau pijatanmu, aku habisi kamu!”

Suaranya meninggi, tajam, setiap kata seperti cambuk.

Maman adalah mantan preman di desa itu, tapi dia tobat dan memilih jadi petani setelah menikah. Semua itu karena anak perempuan Maman terbunuh. Sekarang, anaknya hanya sisa satu itu dan dia tidak mau kehilangan anak lagi.

“Bapakmu, kakekmu, semua sama! Mereka pakai ilmu hitam, sesat! Sekarang kamu mau bawa nama keluarga busukmu untuk anakku? Jangan pernah coba! Aku lebih baik lihat anakku mati di pelukan sendiri, daripada mati di tangan pemakai ilmu hitam macam kamu!”

Orang-orang terdiam sejenak, lalu gaduh lagi.

Satrio menahan air mata. “Pak, saya bukan mau main-main. Saya tahu saya miskin, hina, semua orang meremehkan. Tapi tolong lihat anakmu. Kalau dibiarkan, panasnya bisa merusak otaknya, suhunya udah tinggi banget. Saya cuma minta satu kesempatan. Kalau gagal, saya siap ditusuk arit bapak!”

Nekat!

Itulah yang Satrio lakukan.

Dia percaya kekuatan liontin pemberian Simbah. Dia tidak punya apa-apa yang bisa dibanggakan lagi, kecuali warisan Simbah yang merupakan satu-satunya kenangan.

Ayah si bocah menegang. Tangannya gemetar memegang arit. Matanya menyipit, menimbang. Maman mengalihkan pandangan ke warga, semuanya heran bagaimana bisa Satrio seyakin itu.

Ibu si bocah menangis histeris saat mendengar ucapan Satrio. “Jangan, Pak! Jangan kasih dia sentuh! Itu anak kita, jangan dipertaruhkan!”

“Tapi kalau tidak ada yang berani, apa kita biarkan dia mati begitu saja?!” Maman akhirnya mengambil keputusan, dia coba berpikir logis..

Suasana pecah, teriakan bercampur isak. Semua mata memandang Satrio, pemuda miskin dengan gerobak jamu yang dipermalukan sehari sebelumnya, sekarang berdiri berhadapan dengan arit yang siap menghabisinya.

Liontin di dadanya bergetar makin kencang, hangatnya menyalakan keberanian yang bahkan ia sendiri tidak tahu ada.

Suasana di teras rumah bambu itu tegang. Anak kecil yang terbaring makin pucat, napasnya sesak, tubuhnya panas bagai bara. Ibu si bocah masih menangis, memeluk erat, sementara sang ayah berdiri dengan arit di tangan, urat lehernya menonjol.

“Awas, Trio. Sekali anak itu kenapa-kenapa, kamu habis!”

Satrio menarik napas, menundukkan kepala sebentar.

Liontin di dadanya bergetar semakin dahsyat. Warga tidak ada yang melihat itu karena liontinnya tersambung dengan kain kalung, kemudian batunya ada di balik baju Satrio.

Maman akhirnya bersuara, suaranya serak. “Buk, coba sekali saja. Kita orang miskin. Mau bawa ke dokter, uang dari mana? Kalau benar-benar bisa, apa salahnya dicoba?”

Si ibu menoleh cepat, tatapannya penuh amarah saat mendengar Maman berkata demikian. “Kamu gila? Mau kasih nyawa anakmu untuk percobaan bocah gagal ini?”

“Buk… Aku ga punya pilihan lain.” suara Maman bergetar.

Si ibu terdiam sejenak, kemudia nmenerima.

“Ingat, Trio! Aku kasih kamu satu kesempatan. Sekali anakku berhenti napas, arit ini langsung kutebaskan. Aku tidak peduli kamu cucu siapa, aku tidak peduli kamu miskin atau apa. Kalau ada apa-apa, kamu mati di sini juga!”

Satrio menatap Pak Maman dengan penuh keyakinan, dia percaya terhadap kekuatan liontin pemberian kakeknya. “Saya lebih baik mati setelah berusaha dari pada mati sia-sia tidak berguna!” 

Ia masuk ke rumah dan mengambil bambu sederhana, mencari bahan di dapur. Kunyit, jahe, batang serai, daun secang kering yang biasa dipakai tetangga untuk pewarna. Ia merebus dengan air sumur di periuk tanah, mengaduk perlahan.

Bau rempah hangat menyebar, menusuk hidung warga yang menonton dengan wajah curiga.

“Cuma rebusan dapur? Halah, semua orang juga bisa. Kalau cuma jahe sereh, mending aku bikin sendiri tiap malam!” Pak Suwito coba intervensi, tapi Maman langsung mengarahkan aritnya ke arah Pak Suwito.

“Sekali lagi kamu buka mulut, aritku juga akan memotong lidahmu!” Maman sudah gelap mata.

Satrio kembali ke teras, membawa mangkuk tanah berisi ramuan hangat. Ia duduk di samping si bocah, kemudian menengok ayahnya sebentar. “Pak, saya butuh ruang. Kalau Bapak tak percaya, silakan taruh arit itu dua centi di atas leher saya. Saya tidak lari.”

Maman menoleh ke semua warga, memberi isyarat mereka untuk tidak mengganggu Satrio, kemudian matanya menatap tajam Satrio. “Ingat, anakku tidak lagi bernafas, aku pastikan kepalamu lepas dari badanmu!”

Satrio mengangguk, lalu menyendok ramuan itu sedikit demi sedikit, meniup, dan meminumkan ke bibir bocah yang lemah.

Anak itu menelan, meski dengan susah payah.

Setelah ramuan masuk, Satrio mengangkat anak itu sedikit, lalu memijat titik tertentu di punggung bawah, seperti yang digambar oleh cahaya liontin semalam.

Jemarinya menekan lembut, penuh keyakinan, sampai diulang tiga kali.

“Sekarang, tunggu tiga puluh detik,” katanya tenang.

Ayah menggeram. “Apa maksudmu, tiga puluh detik?”

“Kalau ramuan ini bekerja, gejalanya muncul dulu. Sesak napas, lalu keringat. Setelah tiga puluh detik, panasnya turun.”

Warga ribut mendengar itu, tapi keributan tiba-tiba pecah saat si bocah bereaksi. Baru lima detik, tubuh bocah itu terhuyung, matanya membelalak, napasnya tersengal keras.

“Anak saya! Ya Allah!” jerit ibunya, memeluk.

“Berhenti! Bunuh dia sekarang juga!” teriak seorang tetangga.

“Aku sudah bilang, dukun gagal!”

Maman langsung mengangkat arit, menempelkannya ke leher Satrio. Suaranya meledak, panjang, penuh amarah. Urat di tangannya menegang, arit diangkat tinggi-tinggi dan siap diayunkan.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Dokter Jenius Desa Menjadi Penguasa   Bab 20

    Wajah Mulyono pucat pasi."Kalau saya salah, saya siap digantung di alun-alun," lanjut Satrio. "Tapi kalau saya benar..."Satrio menatap tajam mata Mulyono."...Bapak yang harus jelaskan ke semua orang ini. Racun apa yang sudah Bapak tuang ke air minum kami?"Wajah Pak Kades Mulyono pucat pasi. Minum air yang sudah dia tumbali sendiri? Ide gila."Kamu..." Mulyono gemetar. Dia kehabisan kata-kata.Maman maju selangkah, dadanya dibusungkan. "Gimana, Pak Kades? Ditantang minum aja kok keringetan? Katanya airnya bersih?""Iya! Coba minum!" seru warga yang lain.Surya Handoko melihat situasi sudah tidak terkendali. Dia menarik lengan Mulyono."Sudah, Pak! Gak usah diladeni orang gila!" desis Surya. "Kita urus wabahnya dulu. Urusan dia gampang."Mulyono tersadar. Dia memakai topeng wibawanya lagi."Cukup!" teriak Mulyono. "Saya harus mengurus wabah ini! Saya harus panggil bantuan dari kota! Urusan penghasut ini, kita tunda!"Mulyono dan Surya bergegas pergi meninggalkan balai desa, pura-pur

  • Dokter Jenius Desa Menjadi Penguasa   Bab 19

    Hening.Semua warga syok.Mulyono pucat pasi karena tidak menyangka, Satrio bisa seberani ini mengungkap fakta yang buktinya saja masih samar. Surya memandang Mulyono sekilas, kemudian menyipitkan mata. "Sialan. Kok dia bisa tahu?""Itu bukan air bersih layak minum!" lanjut Satrio. "Itu racun! Itu zat kotor! Itu yang bikin anak-anak desa ini sekarat dan ibu-ibu merasa mual!"Mulyono tidak bisa diam lagi. Jika dia diam, warga akan curiga. Dia harus menyerang balik."Bajingan tengik!" Mulyono maju, telunjuknya menuding wajah Satrio. "Kurang ajar sekali, berani ya, kamu bicara seperti itu! Namanya fitnah, dan ingat, fitnah lebih kejam dari kesesaatan kakekmu!""Saya bicara kebenaran!

  • Dokter Jenius Desa Menjadi Penguasa   Bab 18

    Satrio memeriksa nadi si bocah. Nadi itu kembali melemah. Satrio yang sudah sangat lelah, hanya bisa mendesis pelan. "Racunnya... masih ada.”"Maksudmu?""Air kelapa ini cuma memperlambat. Cuma paliatif. Racunnya sudah masuk terlalu dalam ke darah mereka." Satrio mendapat petunjuk dari liontin, apa yang dia baca dari aksara Jawa, dia jelaskan kepada warga."Jadi... mereka bakal kumat lagi?" tanya Bu Wati, yang dijawab anggukan berat Satrio.Warga yang tadi sudah lega, kembali menangis. "Gimana ini, Trio? Air kelapanya juga sudah habis!"Ketika suasana sudah kalut total, seseorang berbaju serba putih dan stetoskop melingkar di leher, datang."Permisi! Permisi! Dokter puskesma

  • Dokter Jenius Desa Menjadi Penguasa   Bab 17

    Bu Wati, yang paling sering menghinanya, melihat Satrio. Dia berlari, bersimpuh di kaki Satrio. "Trio! Tolong, Trio! Aku tahu kamu bisa! Selamatkan cucuku! Aku mohon!"Warga yang kemarin mencibirnya, kini menatapnya penuh harap.Pak Sastro, tabib resmi desa, berdiri di tengah kebingungan. Dia sibuk mengoleskan minyak angin ke dahi anak-anak. Tidak ada gunanya."Ini... ini kesambet! Pasti kesambet penunggu pohon beringin!" kata Pak Sastro, asal bicara. "Sabar, Bu... ini saya pijat refleksi. Biar racunnya...""Mijat dari tadi gak ada hasilnya!" bentak seorang bapak. "Anakku makin biru itu!""Pak Sastro bohong!" teriak Satrio Suaranya menggelegar, memotong semua tangisan. Semua orang menoleh padanya. “Ini bukan sakit biasa. Jang

  • Dokter Jenius Desa Menjadi Penguasa   Bab 16

    Satrio berlari. Dia tidak lagi merasakan lelah setelah ritual empat jam tadi. Dia melesat menembus kebun singkong, melompati parit, matanya terpaku pada jejak energi hitam di depannya.Satrio mencium jejak kaki Surya Handoko. “Baunya memuakkan, sial! Belerang bercampur dengan sesuatu yang anyir. Sepertinya ini darah!”Jejak itu membawanya ke batas desa. Pinggir hutan. Tepat di balik rumpun bambu raksasa, seperti yang ditunjukkan Ibu Kades Mulyono.Di sana, Sumur Warisan itu berada.Satrio melompat ke atas pohon nangka, bersembunyi di balik dedaunan lebat. Dari atas, dia bisa melihat semuanya.Jantungnya serasa berhenti berdetak.Di bawah, di sekitar bibir sumur tua, em

  • Dokter Jenius Desa Menjadi Penguasa   Bab 15

    Satrio menahan napas. Dia cepat bersembunyi di balik pilar besar."Ya, kamu benar. Untung kamu datang. Ini soal Mandala Group itu. Kamu yakin mereka mau investasi besar di desa ini?""Pasti. Bos besar sudah setuju. Tapi syaratnya... lahan di pinggir hutan itu harus 'bersih'."'Bersih?' batin Satrio."Sudah aku urus. Tapi sumur tua sialan itu masih di sana. Katanya angker," kata Mulyono."Halah, angker itu urusan gampang. Yang penting, malam Purnama nanti, kita ketemu tim Mandala di sana. Kita ritual sedikit. 'Bersihkan' tempat itu biar keuntungan kita dari investasi air bersih Mandala Group bisa berjalan lancar.""Ritual apa?"Surya te

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status