INICIAR SESIÓN“Bu, biar saya coba,” kata Satrio.
Ibu itu langsung kaget, matanya melebar. “Kamu? Satrio, cucunya Mbah Karto itu?”
“Iya. Saya belajar dari Simbah.”
“Belajar dari Simbah katamu?! Jangan sentuh anakku! Keluargamu itu terkenal sesat! Bapakmu dulu dituduh main ilmu hitam, makannya mati muda! Kakekmu juga sama, suka ngeracuni pasien! Aku nggak mau anakku dicoba-coba!”
Suara tangisnya makin keras, sampai tetangga berdatangan. Pak Suwito datang sembari menyalakan rokok, ikut nyeletuk.
“Ealah, Mbah Karto wis mati! Cucunya dukun gagal? Mau main-main sama nyawa anak orang lagi?”
“Udah, Bu. Jangan percaya. Kemarin aja bapaknya bikin orang mati pas lahiran.”
“Cucunya sama aja, paling cuma modal jamu pahit!”
Satrio mencoba tenang. “Bu, saya tahu orang sering bilang macam-macam. Tapi Simbah saya tabib, bukan dukun sesat. Liontin ini warisan leluhur, ini ilmunya nyata. Tolong izinkan saya coba, kalau tidak…”
“Cukup!” Ibu itu berdiri, mendekap anaknya erat. “Kalau kamu nekat, aku teriak biar warga mukuli kamu! Pergi cepat!”
Warga makin ramai karena setiap hari Senin pagi, mereka berbondong ke sawah, kebun, dan ada yang bekerja di kota. Teriakan bercampur caci kemudian menyatu, semuanya diarahkan ke Satrio.
“Dasar sok tabib!”
“Miskin, hina, sekarang cari panggung dengan anak sakit!”
“Pergi, Trio, sebelum ada yang ngamuk!”
Satrio menatap anak kecil yang tubuhnya panas bagai bara. Nalurinya tak bisa menoleh. Tapi ucapan mereka menusuk dada. “Aku hanya ingin menolong…”
Langkah kaki berat terdengar dari balik kerumunan. Melihat pria itu, warga langsung memberi jalan.
Seorang pria dengan caping lebar datang dari sawah, arit masih terselip di pinggang. Wajahnya keras, matanya merah karena begadang menjaga anak semalaman. Itu ayah si bocah.
“Ada apa ribut-ribut?” tanyanya, suaranya berat.
Orang-orang serempak menunjuk Satrio. “Dia mau coba-coba ngurus anakmu, Man. Anakmu dipakai mainan jamu!”
Wajah Maman itu berubah tegang. Ia menatap Satrio tajam, lalu menarik arit dari pinggangnya. “Dengar, Trio. Anakku satu-satunya ini sudah sakit sejak semalam. Kalau kamu berani main-main, kalau satu saja napasnya hilang gara-gara jamu atau pijatanmu, aku habisi kamu!”
Suaranya meninggi, tajam, setiap kata seperti cambuk.
Maman adalah mantan preman di desa itu, tapi dia tobat dan memilih jadi petani setelah menikah. Semua itu karena anak perempuan Maman terbunuh. Sekarang, anaknya hanya sisa satu itu dan dia tidak mau kehilangan anak lagi.
“Bapakmu, kakekmu, semua sama! Mereka pakai ilmu hitam, sesat! Sekarang kamu mau bawa nama keluarga busukmu untuk anakku? Jangan pernah coba! Aku lebih baik lihat anakku mati di pelukan sendiri, daripada mati di tangan pemakai ilmu hitam macam kamu!”
Orang-orang terdiam sejenak, lalu gaduh lagi.
Satrio menahan air mata. “Pak, saya bukan mau main-main. Saya tahu saya miskin, hina, semua orang meremehkan. Tapi tolong lihat anakmu. Kalau dibiarkan, panasnya bisa merusak otaknya, suhunya udah tinggi banget. Saya cuma minta satu kesempatan. Kalau gagal, saya siap ditusuk arit bapak!”
Nekat!
Itulah yang Satrio lakukan.
Dia percaya kekuatan liontin pemberian Simbah. Dia tidak punya apa-apa yang bisa dibanggakan lagi, kecuali warisan Simbah yang merupakan satu-satunya kenangan.
Ayah si bocah menegang. Tangannya gemetar memegang arit. Matanya menyipit, menimbang. Maman mengalihkan pandangan ke warga, semuanya heran bagaimana bisa Satrio seyakin itu.
Ibu si bocah menangis histeris saat mendengar ucapan Satrio. “Jangan, Pak! Jangan kasih dia sentuh! Itu anak kita, jangan dipertaruhkan!”
“Tapi kalau tidak ada yang berani, apa kita biarkan dia mati begitu saja?!” Maman akhirnya mengambil keputusan, dia coba berpikir logis..
Suasana pecah, teriakan bercampur isak. Semua mata memandang Satrio, pemuda miskin dengan gerobak jamu yang dipermalukan sehari sebelumnya, sekarang berdiri berhadapan dengan arit yang siap menghabisinya.
Liontin di dadanya bergetar makin kencang, hangatnya menyalakan keberanian yang bahkan ia sendiri tidak tahu ada.
Suasana di teras rumah bambu itu tegang. Anak kecil yang terbaring makin pucat, napasnya sesak, tubuhnya panas bagai bara. Ibu si bocah masih menangis, memeluk erat, sementara sang ayah berdiri dengan arit di tangan, urat lehernya menonjol.
“Awas, Trio. Sekali anak itu kenapa-kenapa, kamu habis!”
Satrio menarik napas, menundukkan kepala sebentar.
Liontin di dadanya bergetar semakin dahsyat. Warga tidak ada yang melihat itu karena liontinnya tersambung dengan kain kalung, kemudian batunya ada di balik baju Satrio.
Maman akhirnya bersuara, suaranya serak. “Buk, coba sekali saja. Kita orang miskin. Mau bawa ke dokter, uang dari mana? Kalau benar-benar bisa, apa salahnya dicoba?”
Si ibu menoleh cepat, tatapannya penuh amarah saat mendengar Maman berkata demikian. “Kamu gila? Mau kasih nyawa anakmu untuk percobaan bocah gagal ini?”
“Buk… Aku ga punya pilihan lain.” suara Maman bergetar.
Si ibu terdiam sejenak, kemudia nmenerima.
“Ingat, Trio! Aku kasih kamu satu kesempatan. Sekali anakku berhenti napas, arit ini langsung kutebaskan. Aku tidak peduli kamu cucu siapa, aku tidak peduli kamu miskin atau apa. Kalau ada apa-apa, kamu mati di sini juga!”
Satrio menatap Pak Maman dengan penuh keyakinan, dia percaya terhadap kekuatan liontin pemberian kakeknya. “Saya lebih baik mati setelah berusaha dari pada mati sia-sia tidak berguna!”
Ia masuk ke rumah dan mengambil bambu sederhana, mencari bahan di dapur. Kunyit, jahe, batang serai, daun secang kering yang biasa dipakai tetangga untuk pewarna. Ia merebus dengan air sumur di periuk tanah, mengaduk perlahan.
Bau rempah hangat menyebar, menusuk hidung warga yang menonton dengan wajah curiga.
“Cuma rebusan dapur? Halah, semua orang juga bisa. Kalau cuma jahe sereh, mending aku bikin sendiri tiap malam!” Pak Suwito coba intervensi, tapi Maman langsung mengarahkan aritnya ke arah Pak Suwito.
“Sekali lagi kamu buka mulut, aritku juga akan memotong lidahmu!” Maman sudah gelap mata.
Satrio kembali ke teras, membawa mangkuk tanah berisi ramuan hangat. Ia duduk di samping si bocah, kemudian menengok ayahnya sebentar. “Pak, saya butuh ruang. Kalau Bapak tak percaya, silakan taruh arit itu dua centi di atas leher saya. Saya tidak lari.”
Maman menoleh ke semua warga, memberi isyarat mereka untuk tidak mengganggu Satrio, kemudian matanya menatap tajam Satrio. “Ingat, anakku tidak lagi bernafas, aku pastikan kepalamu lepas dari badanmu!”
Satrio mengangguk, lalu menyendok ramuan itu sedikit demi sedikit, meniup, dan meminumkan ke bibir bocah yang lemah.
Anak itu menelan, meski dengan susah payah.
Setelah ramuan masuk, Satrio mengangkat anak itu sedikit, lalu memijat titik tertentu di punggung bawah, seperti yang digambar oleh cahaya liontin semalam.
Jemarinya menekan lembut, penuh keyakinan, sampai diulang tiga kali.
“Sekarang, tunggu tiga puluh detik,” katanya tenang.
Ayah menggeram. “Apa maksudmu, tiga puluh detik?”
“Kalau ramuan ini bekerja, gejalanya muncul dulu. Sesak napas, lalu keringat. Setelah tiga puluh detik, panasnya turun.”
Warga ribut mendengar itu, tapi keributan tiba-tiba pecah saat si bocah bereaksi. Baru lima detik, tubuh bocah itu terhuyung, matanya membelalak, napasnya tersengal keras.
“Anak saya! Ya Allah!” jerit ibunya, memeluk.
“Berhenti! Bunuh dia sekarang juga!” teriak seorang tetangga.
“Aku sudah bilang, dukun gagal!”
Maman langsung mengangkat arit, menempelkannya ke leher Satrio. Suaranya meledak, panjang, penuh amarah. Urat di tangannya menegang, arit diangkat tinggi-tinggi dan siap diayunkan.
Mulyono tertegun. Mulutnya ternganga. "Apa... apa maksud Ibu? Dia... menyembuhkan aku?""Iya! Setelah tabib bayaranmu angkat tangan! Dia yang mengobatimu! Dia yang menarikmu dari kematian!"Wajah Pak Kades memucat, lalu memerah. Bukan karena terima kasih. Tapi karena malu. Malu yang luar biasa.Harga dirinya sebagai penguasa desa hancur lebur. Dia diselamatkan oleh orang yang paling dia benci. Orang yang baru saja dia hancurkan harapannya."Tidak mungkin..." desisnya. "Ini pasti akal-akalannya. Dia meracuniku, lalu pura-pura menyembuhkanku! Dia itu tabib sesat seperti kakeknya!""MULYONO!" bentak ibunya.Satrio hanya menatap Pak Kades dengan tenang. Ketenangan yang menusuk.
Satrio menatap wanita tua di depannya. Ini pasti jebakan. Tidak mungkin ibu dari musuh bebuyutannya datang sambil menangis, memohon di depan gubuknya yang reyot."Bu... Pak Mulyono?" tanya Satrio, memastikan dia tidak salah dengar."Iya, Nak! Anakku! Pak Kadesmu!" Ibu tua itu terisak, suaranya putus asa. "Dia sekarat di rumah. Badannya kaku, napasnya satu-satu. Tabib desa sudah angkat tangan!"Satrio terdiam. Pak Kades Mulyono. Orang yang menghancurkan gerobaknya. Orang yang menyebar fitnah tentang ilmu kakeknya. Orang yang baru saja bersekongkol dengan Surya untuk menghancurkan harapannya di pasar.Menolongnya? Gila."Kenapa... kenapa Ibu minta tolong saya?" lirih Satrio. "Ibu tahu sendiri, anak Ibu sangat membenci saya."
Surya berjalan mendahului Satrio, mendekati seorang penjual rempah tua yang sedang menata dagangannya.“Pak Tua,” kata Surya dengan nada angkuh, sambil mengeluarkan beberapa lembar uang ratusan ribu dari dompetnya. “Berapa harga semua jahe merah dan akar alang-alangmu ini?”Penjual tua itu terkejut. “Semuanya, Den? Ya… mungkin sekitar tiga ratus ribu.”“Bagus.” Surya melempar lima lembar uang ratusan ribu ke atas meja. “Ini lima ratus ribu. Aku borong semuanya. Dan dengar baik-baik,” ia mencondongkan tubuhnya, suaranya merendah menjadi ancaman, “setelah ini, kalau pemuda dekil di belakangku ini datang untuk membeli apa pun, jangan kau layani. Kalau kau berani menjual seujung kuku pun padanya, aku pastikan besok pagi lapakmu ini sudah rata denga
Satrio mengepalkan tangannya. Amarahnya langsung naik. "Mau apa kau ke sini, Sur?! Ini sudah malam!""Santai dong, jangan berlagak hanya karena namamu sudah terkenal di seluruh desa!" Tawa Surya pelan. "Aku cuma mau cek aja persiapanmu. Katanya, besok mau nyembuhin orang lumpuh? Hahaha!”Mata Surya tiba-tiba menangkap bunga aneh di atas meja. Bunga merah pekat yang tampak hidup. "Asem, bunga apa itu? Keren, wangi, jarang-jarang di desa ada yang punya bunga sebagus ini. Kau nyuri dari pekarangan warga, ya?"Tangan Surya terjulur hendak mengambilnya."JANGAN SENTUH!" Satrio menerjang, menepis tangan Surya."Ohh, berani nantang, ya?" Surya kaget, tapi lalu menyeringai licik. "Ini pasti ramuan rahasiamu, kan? Alat-alat klen
Raungan marah itu menggema di antara tebing-tebing batu, membuat Satrio yang sedang bergantung di seutas tali seketika membeku. Jantungnya serasa berhenti berdetak.Perlahan, sosok pemilik mata itu melangkah keluar dari kegelapan.Seekor harimau.Itu bukan harimau biasa, melainkan harimau Jawa tua yang seharusnya sudah punah. Tubuhnya besar, lorengnya sedikit pudar karena usia, dan salah satu kaki depannya tampak pincang, meninggalkan jejak darah tipis di bebatuan.Napas Satrio tercekat di tenggorokan. Tangannya yang mencengkeram tali basah oleh keringat dingin.Di bawahnya ada jurang, di depannya ada predator puncak.Tamat.Inilah akhirnya.Namun, saat rasa panik hendak mengambil alih, liontin di dadanya bergetar hebat.Cahaya hijau samar berpendar dari balik kausnya, hanya terlihat olehnya. Di dalam benaknya, dia merasakan Simbah seperti memerintahnya dan melihat ke aksara Jawa yang melayang di udara.“Tulungen, dadi wong apik iku menyang kabeh makhluk, ora mung menungso.”Benar saj
Melihat Surya dan Ratih yang bersembunyi seperti pengecut di kejauhan membuat darah Satrio mendidih, tapi hanya sesaat. Dulu, mungkin ia akan marah, merasa terhina, dan ingin balas membuktikan diri. Tapi sekarang, setelah memegang buku warisan Simbah, perasaannya berbeda.‘Kalian masih di situ?’ batinnya. ‘Urusanku sekarang lebih besar dari sekadar pamer motor atau cincin murahan’.Tanpa menoleh lagi, Satrio berjalan pulang dengan langkah cepat, pikirannya sudah fokus pada Gunung Lawu dan bunga langka yang harus ia dapatkan. Di belakangnya, Surya mungkin sedang tertawa sinis, dan Ratih mungkin sedang menatapnya dengan pandangan bingung. Satrio tidak peduli. Permainan mereka terlalu kecil.Keesokan paginya, sebelum ayam jantan sempat berkokok, sebuah pesan dari Pak Kades menyambutnya. Salah satu Garda Desa datang dan dengan kasar menempelkan selembar pengumuman di pintu gubuknya yang reyot.“Pesan dari Pak Lurah,” kata Garda Desa itu dengan nada mengejek. “Baca baik-baik, Trio!”Setela







