LOGINBenar saja, gosip lebih cepat dari angin. Desa Karangjati gempar akibat kabar yang dibawa Garda Desa mulai menyebar ke warga-warga.
Saat Satrio mendorong gerobak jamunya yang sudah sedikit ia perbaiki, tatapan warga berubah total. Ibu-ibu yang sedang mencuci di pancuran umum langsung membuang muka. Anak-anak yang biasanya mengejek, kini bersembunyi di balik punggung ibu mereka sambil berbisik ketakutan.
“Itu dia, si pemakai ilmu hitam…”
“Jangan lihat matanya, nanti kena guna-guna!”
“Katanya, nyawa anak Maman itu ditukar sama umur kakeknya yang baru meninggal. Makanya langsung manjur.”
Fitnah yang diorkestrasi oleh Kepala Desa menyebar dari mulut ke mulut, setiap kali berpindah, ceritanya menjadi semakin mengerikan. Satrio yang tadinya dianggap pahlawan sesaat, kini dicap sebagai pembawa sial, pewaris ilmu sesat.
Dua Garda Desa suruhan Pak Mulyono mendatangi rumah Maman. Mereka tidak berkata banyak, hanya berdiri di teras dengan tangan terlipat di dada, menatap Maman dan istrinya dengan pandangan mengintimidasi.
Salah satu dari mereka, Joko, dengan sengaja menyenggol keranjang sayuran milik istri Maman hingga isinya tumpah berantakan di tanah.
“Pak Lurah cuma pesan,” kata Joko dengan suara datar tanpa emosi. “Jangan dekat-dekat sama pembawa kutukan. Nanti seluruh desa bisa kena imbasnya.”
Maman hanya bisa mengepalkan tangan, wajahnya pucat pasi. Ia mantan preman, tapi melawan penguasa desa sama saja dengan bunuh diri. Ia hanya bisa menunduk pasrah saat kedua Garda Desa itu pergi, meninggalkan sayuran yang kotor dan rasa takut yang pekat. Kabar itu langsung tersebar, membuat Satrio semakin terisolasi. Tak ada lagi yang berani membelanya.
Puncaknya terjadi sore hari. Saat Satrio pulang setelah seharian berkeliling tanpa ada satu pun jamu yang laku, hatinya remuk. Di depan gubuknya yang reyot, ia menemukan pemandangan yang menghancurkan sisa semangatnya.
Gerobak jamunya hancur lebur.
Rodanya patah, kayu-kayunya remuk, botol-botol kaca pecah berserakan.
Sisa kunyit asam dan beras kencur menggenang di tanah, bercampur dengan debu, menebarkan bau asam yang menyedihkan.
Satrio jatuh berlutut. Tangannya gemetar saat menyentuh serpihan kayu gerobak peninggalan Simbah. Semua harapannya, semua keberanian yang baru ia kumpulkan, seolah ikut hancur bersama gerobak itu. Ia menunduk dalam-dalam, bahunya bergetar menahan isak yang tertahan. Gelap. Semua terasa gelap.
Di tengah keputusasaan itu, sesuatu yang hangat mulai terasa di dadanya. Semakin lama semakin kuat, seperti bara api kecil yang menolak padam. Ia merogoh kausnya, mengeluarkan liontin batu hijau itu.
Liontin itu bersinar. Cahayanya lembut, menembus senja yang mulai temaram. Di atas batu hijau itu, garis-garis cahaya kembali menari, membentuk Aksara Jawa yang rumit.
Lalu, sebuah suara menggema di dalam benaknya. “Le…”
Satrio mengangkat kepalanya. Air mata masih mengalir di pipinya.
“Jangan goyah,” suara itu melanjutkan, menenangkan gejolak di hatinya. “Hinaan itu adalah awal mula kamu menjadi seorang Kesatria! Semakin deras mereka menghantammu, semakin kuat akarmu akan mencengkeram bumi.”
Cahaya di liontin itu berdenyut. Aksara Jawa yang melayang perlahan memudar, digantikan oleh sebuah pola baru yang belum pernah Satrio lihat sebelumnya.
“Mereka menghancurkan gerobakmu, tapi mereka tidak bisa menghancurkan ilmumu dan tekadmu menjadi orang baik. Bangun, Le. Ujian yang sesungguhnya baru saja dimulai.”
Suara itu menghilang, menyisakan kehangatan yang menjalar ke seluruh tubuh Satrio. Ia menatap gerobaknya yang hancur, lalu menggenggam liontinnya erat-erat.
Saat Satrio menawarkan jamunya yang ia bawa dengan tas dari lilitan sarung melewati pancuran umum, tempat para ibu berkumpul, bisik-bisik itu berubah menjadi suara yang terang-terangan.
“Itu dia, si pewaris ilmu hitam!” celetuk seorang ibu sambil buru-buru menarik anaknya menjauh.
“Jangan lihat matanya! Nanti kena guna-guna!” timpal yang lain, suaranya dibuat-buat agar terdengar ngeri.
Satrio berhenti, menatap mereka. “Pagi, Bu. Jamunya?” tawarnya, mencoba bersikap biasa.
Bu Wati, yang tak pernah ketinggalan, meludah ke tanah. “Jamu? Atau air tumbal? Kami dengar, kau menukar nyawa anak Maman dengan arwah kakekmu. Pantas saja manjur!”
“Itu tidak benar, Bu Wati,” balas Satrio, suaranya mulai bergetar menahan emosi. “Itu ilmu pengobatan biasa, pakai rempah-rempah.”
“Halah, alasan!” cibir Bu Wati. “Semua orang juga tahu, keluargamu itu aneh dari dulu! Kakekmu mati dicap dukun sesat, sekarang kau mau meneruskan jejaknya? Jangan harap kami mau jadi korbanmu!”
Wajah Mulyono pucat pasi."Kalau saya salah, saya siap digantung di alun-alun," lanjut Satrio. "Tapi kalau saya benar..."Satrio menatap tajam mata Mulyono."...Bapak yang harus jelaskan ke semua orang ini. Racun apa yang sudah Bapak tuang ke air minum kami?"Wajah Pak Kades Mulyono pucat pasi. Minum air yang sudah dia tumbali sendiri? Ide gila."Kamu..." Mulyono gemetar. Dia kehabisan kata-kata.Maman maju selangkah, dadanya dibusungkan. "Gimana, Pak Kades? Ditantang minum aja kok keringetan? Katanya airnya bersih?""Iya! Coba minum!" seru warga yang lain.Surya Handoko melihat situasi sudah tidak terkendali. Dia menarik lengan Mulyono."Sudah, Pak! Gak usah diladeni orang gila!" desis Surya. "Kita urus wabahnya dulu. Urusan dia gampang."Mulyono tersadar. Dia memakai topeng wibawanya lagi."Cukup!" teriak Mulyono. "Saya harus mengurus wabah ini! Saya harus panggil bantuan dari kota! Urusan penghasut ini, kita tunda!"Mulyono dan Surya bergegas pergi meninggalkan balai desa, pura-pur
Hening.Semua warga syok.Mulyono pucat pasi karena tidak menyangka, Satrio bisa seberani ini mengungkap fakta yang buktinya saja masih samar. Surya memandang Mulyono sekilas, kemudian menyipitkan mata. "Sialan. Kok dia bisa tahu?""Itu bukan air bersih layak minum!" lanjut Satrio. "Itu racun! Itu zat kotor! Itu yang bikin anak-anak desa ini sekarat dan ibu-ibu merasa mual!"Mulyono tidak bisa diam lagi. Jika dia diam, warga akan curiga. Dia harus menyerang balik."Bajingan tengik!" Mulyono maju, telunjuknya menuding wajah Satrio. "Kurang ajar sekali, berani ya, kamu bicara seperti itu! Namanya fitnah, dan ingat, fitnah lebih kejam dari kesesaatan kakekmu!""Saya bicara kebenaran!
Satrio memeriksa nadi si bocah. Nadi itu kembali melemah. Satrio yang sudah sangat lelah, hanya bisa mendesis pelan. "Racunnya... masih ada.”"Maksudmu?""Air kelapa ini cuma memperlambat. Cuma paliatif. Racunnya sudah masuk terlalu dalam ke darah mereka." Satrio mendapat petunjuk dari liontin, apa yang dia baca dari aksara Jawa, dia jelaskan kepada warga."Jadi... mereka bakal kumat lagi?" tanya Bu Wati, yang dijawab anggukan berat Satrio.Warga yang tadi sudah lega, kembali menangis. "Gimana ini, Trio? Air kelapanya juga sudah habis!"Ketika suasana sudah kalut total, seseorang berbaju serba putih dan stetoskop melingkar di leher, datang."Permisi! Permisi! Dokter puskesma
Bu Wati, yang paling sering menghinanya, melihat Satrio. Dia berlari, bersimpuh di kaki Satrio. "Trio! Tolong, Trio! Aku tahu kamu bisa! Selamatkan cucuku! Aku mohon!"Warga yang kemarin mencibirnya, kini menatapnya penuh harap.Pak Sastro, tabib resmi desa, berdiri di tengah kebingungan. Dia sibuk mengoleskan minyak angin ke dahi anak-anak. Tidak ada gunanya."Ini... ini kesambet! Pasti kesambet penunggu pohon beringin!" kata Pak Sastro, asal bicara. "Sabar, Bu... ini saya pijat refleksi. Biar racunnya...""Mijat dari tadi gak ada hasilnya!" bentak seorang bapak. "Anakku makin biru itu!""Pak Sastro bohong!" teriak Satrio Suaranya menggelegar, memotong semua tangisan. Semua orang menoleh padanya. “Ini bukan sakit biasa. Jang
Satrio berlari. Dia tidak lagi merasakan lelah setelah ritual empat jam tadi. Dia melesat menembus kebun singkong, melompati parit, matanya terpaku pada jejak energi hitam di depannya.Satrio mencium jejak kaki Surya Handoko. “Baunya memuakkan, sial! Belerang bercampur dengan sesuatu yang anyir. Sepertinya ini darah!”Jejak itu membawanya ke batas desa. Pinggir hutan. Tepat di balik rumpun bambu raksasa, seperti yang ditunjukkan Ibu Kades Mulyono.Di sana, Sumur Warisan itu berada.Satrio melompat ke atas pohon nangka, bersembunyi di balik dedaunan lebat. Dari atas, dia bisa melihat semuanya.Jantungnya serasa berhenti berdetak.Di bawah, di sekitar bibir sumur tua, em
Satrio menahan napas. Dia cepat bersembunyi di balik pilar besar."Ya, kamu benar. Untung kamu datang. Ini soal Mandala Group itu. Kamu yakin mereka mau investasi besar di desa ini?""Pasti. Bos besar sudah setuju. Tapi syaratnya... lahan di pinggir hutan itu harus 'bersih'."'Bersih?' batin Satrio."Sudah aku urus. Tapi sumur tua sialan itu masih di sana. Katanya angker," kata Mulyono."Halah, angker itu urusan gampang. Yang penting, malam Purnama nanti, kita ketemu tim Mandala di sana. Kita ritual sedikit. 'Bersihkan' tempat itu biar keuntungan kita dari investasi air bersih Mandala Group bisa berjalan lancar.""Ritual apa?"Surya te







