Share

Bab 5

Author: CUME
last update Last Updated: 2025-10-29 11:00:01

Benar saja, gosip lebih cepat dari angin. Desa Karangjati gempar akibat kabar yang dibawa Garda Desa mulai menyebar ke warga-warga.

Saat Satrio mendorong gerobak jamunya yang sudah sedikit ia perbaiki, tatapan warga berubah total. Ibu-ibu yang sedang mencuci di pancuran umum langsung membuang muka. Anak-anak yang biasanya mengejek, kini bersembunyi di balik punggung ibu mereka sambil berbisik ketakutan.

“Itu dia, si pemakai ilmu hitam…”

“Jangan lihat matanya, nanti kena guna-guna!”

“Katanya, nyawa anak Maman itu ditukar sama umur kakeknya yang baru meninggal. Makanya langsung manjur.”

Fitnah yang diorkestrasi oleh Kepala Desa menyebar dari mulut ke mulut, setiap kali berpindah, ceritanya menjadi semakin mengerikan. Satrio yang tadinya dianggap pahlawan sesaat, kini dicap sebagai pembawa sial, pewaris ilmu sesat.

Dua Garda Desa suruhan Pak Mulyono mendatangi rumah Maman. Mereka tidak berkata banyak, hanya berdiri di teras dengan tangan terlipat di dada, menatap Maman dan istrinya dengan pandangan mengintimidasi.

Salah satu dari mereka, Joko, dengan sengaja menyenggol keranjang sayuran milik istri Maman hingga isinya tumpah berantakan di tanah.

“Pak Lurah cuma pesan,” kata Joko dengan suara datar tanpa emosi. “Jangan dekat-dekat sama pembawa kutukan. Nanti seluruh desa bisa kena imbasnya.”

Maman hanya bisa mengepalkan tangan, wajahnya pucat pasi. Ia mantan preman, tapi melawan penguasa desa sama saja dengan bunuh diri. Ia hanya bisa menunduk pasrah saat kedua Garda Desa itu pergi, meninggalkan sayuran yang kotor dan rasa takut yang pekat. Kabar itu langsung tersebar, membuat Satrio semakin terisolasi. Tak ada lagi yang berani membelanya.

Puncaknya terjadi sore hari. Saat Satrio pulang setelah seharian berkeliling tanpa ada satu pun jamu yang laku, hatinya remuk. Di depan gubuknya yang reyot, ia menemukan pemandangan yang menghancurkan sisa semangatnya.

Gerobak jamunya hancur lebur.

Rodanya patah, kayu-kayunya remuk, botol-botol kaca pecah berserakan.

Sisa kunyit asam dan beras kencur menggenang di tanah, bercampur dengan debu, menebarkan bau asam yang menyedihkan.

Satrio jatuh berlutut. Tangannya gemetar saat menyentuh serpihan kayu gerobak peninggalan Simbah. Semua harapannya, semua keberanian yang baru ia kumpulkan, seolah ikut hancur bersama gerobak itu. Ia menunduk dalam-dalam, bahunya bergetar menahan isak yang tertahan. Gelap. Semua terasa gelap.

Di tengah keputusasaan itu, sesuatu yang hangat mulai terasa di dadanya. Semakin lama semakin kuat, seperti bara api kecil yang menolak padam. Ia merogoh kausnya, mengeluarkan liontin batu hijau itu.

Liontin itu bersinar. Cahayanya lembut, menembus senja yang mulai temaram. Di atas batu hijau itu, garis-garis cahaya kembali menari, membentuk Aksara Jawa yang rumit.

Lalu, sebuah suara menggema di dalam benaknya. “Le…”

Satrio mengangkat kepalanya. Air mata masih mengalir di pipinya.

“Jangan goyah,” suara itu melanjutkan, menenangkan gejolak di hatinya. “Hinaan itu adalah awal mula kamu menjadi seorang Kesatria! Semakin deras mereka menghantammu, semakin kuat akarmu akan mencengkeram bumi.”

Cahaya di liontin itu berdenyut. Aksara Jawa yang melayang perlahan memudar, digantikan oleh sebuah pola baru yang belum pernah Satrio lihat sebelumnya.

“Mereka menghancurkan gerobakmu, tapi mereka tidak bisa menghancurkan ilmumu dan tekadmu menjadi orang baik. Bangun, Le. Ujian yang sesungguhnya baru saja dimulai.”

Suara itu menghilang, menyisakan kehangatan yang menjalar ke seluruh tubuh Satrio. Ia menatap gerobaknya yang hancur, lalu menggenggam liontinnya erat-erat.

Saat Satrio menawarkan jamunya yang ia bawa dengan tas dari lilitan sarung melewati pancuran umum, tempat para ibu berkumpul, bisik-bisik itu berubah menjadi suara yang terang-terangan.

“Itu dia, si pewaris ilmu hitam!” celetuk seorang ibu sambil buru-buru menarik anaknya menjauh.

“Jangan lihat matanya! Nanti kena guna-guna!” timpal yang lain, suaranya dibuat-buat agar terdengar ngeri.

Satrio berhenti, menatap mereka. “Pagi, Bu. Jamunya?” tawarnya, mencoba bersikap biasa.

Bu Wati, yang tak pernah ketinggalan, meludah ke tanah. “Jamu? Atau air tumbal? Kami dengar, kau menukar nyawa anak Maman dengan arwah kakekmu. Pantas saja manjur!”

“Itu tidak benar, Bu Wati,” balas Satrio, suaranya mulai bergetar menahan emosi. “Itu ilmu pengobatan biasa, pakai rempah-rempah.”

“Halah, alasan!” cibir Bu Wati. “Semua orang juga tahu, keluargamu itu aneh dari dulu! Kakekmu mati dicap dukun sesat, sekarang kau mau meneruskan jejaknya? Jangan harap kami mau jadi korbanmu!”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Dokter Jenius Desa Menjadi Penguasa   Bab 14

    Mulyono tertegun. Mulutnya ternganga. "Apa... apa maksud Ibu? Dia... menyembuhkan aku?""Iya! Setelah tabib bayaranmu angkat tangan! Dia yang mengobatimu! Dia yang menarikmu dari kematian!"Wajah Pak Kades memucat, lalu memerah. Bukan karena terima kasih. Tapi karena malu. Malu yang luar biasa.Harga dirinya sebagai penguasa desa hancur lebur. Dia diselamatkan oleh orang yang paling dia benci. Orang yang baru saja dia hancurkan harapannya."Tidak mungkin..." desisnya. "Ini pasti akal-akalannya. Dia meracuniku, lalu pura-pura menyembuhkanku! Dia itu tabib sesat seperti kakeknya!""MULYONO!" bentak ibunya.Satrio hanya menatap Pak Kades dengan tenang. Ketenangan yang menusuk.

  • Dokter Jenius Desa Menjadi Penguasa   Bab 13

    Satrio menatap wanita tua di depannya. Ini pasti jebakan. Tidak mungkin ibu dari musuh bebuyutannya datang sambil menangis, memohon di depan gubuknya yang reyot."Bu... Pak Mulyono?" tanya Satrio, memastikan dia tidak salah dengar."Iya, Nak! Anakku! Pak Kadesmu!" Ibu tua itu terisak, suaranya putus asa. "Dia sekarat di rumah. Badannya kaku, napasnya satu-satu. Tabib desa sudah angkat tangan!"Satrio terdiam. Pak Kades Mulyono. Orang yang menghancurkan gerobaknya. Orang yang menyebar fitnah tentang ilmu kakeknya. Orang yang baru saja bersekongkol dengan Surya untuk menghancurkan harapannya di pasar.Menolongnya? Gila."Kenapa... kenapa Ibu minta tolong saya?" lirih Satrio. "Ibu tahu sendiri, anak Ibu sangat membenci saya."

  • Dokter Jenius Desa Menjadi Penguasa   Bab 12

    Surya berjalan mendahului Satrio, mendekati seorang penjual rempah tua yang sedang menata dagangannya.“Pak Tua,” kata Surya dengan nada angkuh, sambil mengeluarkan beberapa lembar uang ratusan ribu dari dompetnya. “Berapa harga semua jahe merah dan akar alang-alangmu ini?”Penjual tua itu terkejut. “Semuanya, Den? Ya… mungkin sekitar tiga ratus ribu.”“Bagus.” Surya melempar lima lembar uang ratusan ribu ke atas meja. “Ini lima ratus ribu. Aku borong semuanya. Dan dengar baik-baik,” ia mencondongkan tubuhnya, suaranya merendah menjadi ancaman, “setelah ini, kalau pemuda dekil di belakangku ini datang untuk membeli apa pun, jangan kau layani. Kalau kau berani menjual seujung kuku pun padanya, aku pastikan besok pagi lapakmu ini sudah rata denga

  • Dokter Jenius Desa Menjadi Penguasa   Bab 11

    Satrio mengepalkan tangannya. Amarahnya langsung naik. "Mau apa kau ke sini, Sur?! Ini sudah malam!""Santai dong, jangan berlagak hanya karena namamu sudah terkenal di seluruh desa!" Tawa Surya pelan. "Aku cuma mau cek aja persiapanmu. Katanya, besok mau nyembuhin orang lumpuh? Hahaha!”Mata Surya tiba-tiba menangkap bunga aneh di atas meja. Bunga merah pekat yang tampak hidup. "Asem, bunga apa itu? Keren, wangi, jarang-jarang di desa ada yang punya bunga sebagus ini. Kau nyuri dari pekarangan warga, ya?"Tangan Surya terjulur hendak mengambilnya."JANGAN SENTUH!" Satrio menerjang, menepis tangan Surya."Ohh, berani nantang, ya?" Surya kaget, tapi lalu menyeringai licik. "Ini pasti ramuan rahasiamu, kan? Alat-alat klen

  • Dokter Jenius Desa Menjadi Penguasa   Bab 10

    Raungan marah itu menggema di antara tebing-tebing batu, membuat Satrio yang sedang bergantung di seutas tali seketika membeku. Jantungnya serasa berhenti berdetak.Perlahan, sosok pemilik mata itu melangkah keluar dari kegelapan.Seekor harimau.Itu bukan harimau biasa, melainkan harimau Jawa tua yang seharusnya sudah punah. Tubuhnya besar, lorengnya sedikit pudar karena usia, dan salah satu kaki depannya tampak pincang, meninggalkan jejak darah tipis di bebatuan.Napas Satrio tercekat di tenggorokan. Tangannya yang mencengkeram tali basah oleh keringat dingin.Di bawahnya ada jurang, di depannya ada predator puncak.Tamat.Inilah akhirnya.Namun, saat rasa panik hendak mengambil alih, liontin di dadanya bergetar hebat.Cahaya hijau samar berpendar dari balik kausnya, hanya terlihat olehnya. Di dalam benaknya, dia merasakan Simbah seperti memerintahnya dan melihat ke aksara Jawa yang melayang di udara.“Tulungen, dadi wong apik iku menyang kabeh makhluk, ora mung menungso.”Benar saj

  • Dokter Jenius Desa Menjadi Penguasa   Bab 9

    Melihat Surya dan Ratih yang bersembunyi seperti pengecut di kejauhan membuat darah Satrio mendidih, tapi hanya sesaat. Dulu, mungkin ia akan marah, merasa terhina, dan ingin balas membuktikan diri. Tapi sekarang, setelah memegang buku warisan Simbah, perasaannya berbeda.‘Kalian masih di situ?’ batinnya. ‘Urusanku sekarang lebih besar dari sekadar pamer motor atau cincin murahan’.Tanpa menoleh lagi, Satrio berjalan pulang dengan langkah cepat, pikirannya sudah fokus pada Gunung Lawu dan bunga langka yang harus ia dapatkan. Di belakangnya, Surya mungkin sedang tertawa sinis, dan Ratih mungkin sedang menatapnya dengan pandangan bingung. Satrio tidak peduli. Permainan mereka terlalu kecil.Keesokan paginya, sebelum ayam jantan sempat berkokok, sebuah pesan dari Pak Kades menyambutnya. Salah satu Garda Desa datang dan dengan kasar menempelkan selembar pengumuman di pintu gubuknya yang reyot.“Pesan dari Pak Lurah,” kata Garda Desa itu dengan nada mengejek. “Baca baik-baik, Trio!”Setela

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status