"Tok tok tok!"Suara ketukan di kaca jendela mengagetkan keduanya. Mahendra menghentikan gerakannya. Dada Fadia naik-turun menahan gairah yang sudah berada di ubun-ubun. Fadia pun akhirnya turun dari pangkuan sang suami dan merapikan pakaiannya, sementara Mahendra menoleh, melihat siluet seseorang di luar.“Sialan…” desis Mahendra, nyaris mendesis. “Mau unboxing istri kok susah amat!”Fadia mendesis pelan, pura-pura mengelap bibirnya dengan punggung tangan. “Hukuman buat suami nakal.”Dengan enggan, Mahendra menurunkan kaca jendela. Sinar senter menyorot wajah mereka. Seorang polisi dengan ekspresi kaku berdiri, tangannya memegang buku tilang.“Malam, Pak. Kenapa mobilnya berhenti di tengah jalan begini? Apa ada masalah?”Mahendra menahan senyum masam, berusaha terlihat seformal mungkin. “Tidak ada, Pak. Hanya sedang membujuk istri yang lagi ngambek. Aman, kok.”Fadia menyandarkan diri di jok, bibirnya melengkung ke atas. “Iya, Pak. Suami saya ini drama sekali. Maaf kalau mengganggu …
“Kemana kamu, Fadia … Apa kamu baik-baik saja?” Mahendra mondar-mandir di dalam apartemennya. Gelisah menunggu sang istri yang tak kunjung pulang.Sudah lebih dari 20 kali dia menelepon sang istri. Namun, tak ada satupun pamggilannya yang dijawab. Bahkan, 15 pesan yang dia kirim belum ada satupun yang centang biru. Pikirannya melayang kemana-mana, dadanya terasa sesak. Biasanya, Fadia akan membalas teleponnya, meski hanya dengan gumaman ketus. Tapi malam ini? Tidak.Mahendra menenggak sisa kopi di meja, rasa pahitnya tak mampu mengusir gelisah di dadanya.Ia kembali menekan tombol panggil. Tangan kirinya mengetuk-ngetuk jendela tanpa sadar. Satu dering. Dua dering. Lima dering.Mahendra mengerang pelan. “Ayolah, Fadia … Angkat …”Dering kedelapan, sambungan tiba-tiba terhubung. Mahendra berdiri tegak, suaranya langsung meledak tanpa sempat menata nada.“Kamu dimana?!” tanyanya cepat, nyaris bergetar.Di seberang, suara Fadia terdengar — begitu ringan, begitu … bahagia? Seolah tak ad
“Mahendra … pria itu terlalu jenius untuk dibunuh. Tapi kalau dia kehilangan Fadia, dia akan butuh pegangan baru. Dan di situlah Angel masuk. Buat dia lapar akan kuasa. Biar dia terikat sama kita.”Anya menatap Rocky dengan hormat. “Jadi kita punya Fadia di satu tangan, Mahendra di tangan satunya?” Rocky tersenyum tipis, menepuk bahu Anya. “Begitu caranya, Anya. Kalau mau menguasai kota ini, kita harus menguasai otak dan hati orang-orang yang terkuat.” --- Sementara itu, Sifa berjalan keluar bar, menyelinap ke dalam mobilnya. Di kursinya, dia menghela napas berat. Wajahnya mengeras, matanya merah menahan amarah. “Kalau Rocky nggak mau, aku sendiri yang akan cari orang. Fadia harus hancur. Harus!” Di kejauhan, dua pria bertubuh besar mengikuti mobil Sifa dengan motor tanpa plat nomor. Mereka diam, tapi di telinga mereka, suara Anya terdengar di radio kecil. “Ikuti dia. Pastikan dia menyewa kalian. Tapi ingat, kalian tetap berjalan sesuai perintah Rocky, bukan perintah dia!”
Sifa duduk di seberang Rocky, di sebuah lounge privat di bar bawah tanah milik mafia Kota Raya. Sifa menatap gelisah lelaki di hadapannya. Make up di wajahnya masih tebal, tapi sorot matanya sayu. Rasa malu setelah dipermalukan Mahendra di depan media membuatnya hampir gila. Rocky memainkan cerutunya, menghembuskan asap ke samping. Suaranya dingin, meremehkan, tapi penuh penekanan. “Jadi, mau apa kamu memanggilku kemari, Mbak Model yang sudah dibuang tunangannya?” Sifa menggigit bibir, mencoba menahan harga dirinya yang sudah terlanjur remuk. Ia meraih tas tangan mungil di sampingnya, menurunkannya ke pangkuan, lalu mendekatkan tubuh. “Aku mau … minta bantuanmu. Aku tahu kamu benci Fadia, bukan?” Nadanya pelan, merayu. “Kita punya musuh yang sama. Kenapa kita nggak kerja sama saja?” Rocky mendengus geli. “Hah! Kerja sama denganmu? Kamu sendiri nggak punya pasukan, cuma modal air mata di depan kamera. Mau bantu apa kamu?” Sifa meremas jemarinya sendiri. “Culik Fadia! Suruh ana
“Reza! Lakukan sesuatu! Ini semua gara-gara kamu!” Sifa menjerit sambil melempar ponselnya ke sofa apartemennya.Reza duduk di ujung meja makan, mengenakan kaus polos, wajahnya pucat, kantong matanya menghitam. Sejak foto-foto itu beredar, setiap detik hidupnya terus diteror oleh para wartawan.Dia meraih sebatang rokok di meja, menyalakannya kemudian menghisapnya. Asap rokok memenuhi ruangan yang pengap bercampur dengan aroma parfum mahal Sifa.“Diam dulu, Sifa. Aku sedang mikir!” Reza membentak, meski suaranya serak. Tangannya menekan pelipisnya kuat-kuat, otaknya bekerja keras mencari celah.Sifa tertawa sinis, matanya memerah. “Mikir? Hah! Kamu bilang Mahendra bodoh! Kamu bilang Fadia nggak akan punya bukti! Lalu sekarang apa? Kita di-bully netizen! Aku sudah kehilangan tiga kontrak iklan! TIGA, Reza!”Reza menekan rokoknya ke asbak, abu beterbangan ke meja. Ia membalas tatapan Sifa dengan dingin. “Sudah kubilang, jangan terlalu sering keluar bersamaku. Kau yang manja, kau yang se
“Benarkah foto itu, Mbak Sifa? Dokter Mahendra benar-benar berselingkuh dengan … Ratu Mafia?”Mikrofon berlogo berbagai media nasional menempel nyaris ke wajah Sifa, yang kini duduk anggun di kursi merah dengan air mata yang menetes deras — entah itu sungguhan atau hanya disiramkan cairan khusus oleh make-up artist pribadinya sebelum naik panggung. Di sampingnya, Reza berdiri tegak, mengenakan jas hitam rapi, ekspresinya seperti saudara ipar yang sedang berduka.Sifa mendongak perlahan. Matanya basah, bibirnya gemetar menahan tangis. Ia menggenggam tisu di tangan, menekannya ke ujung mata.“Saya … saya ini memang bukan siapa-siapa … saya hanya seorang model biasa. Saya tahu Mahendra lelaki sibuk, dia dokter jenius, dia punya tanggung jawab besar …” Suaranya pecah, sengaja ditarik naik turun agar dramanya sempurna.Reza menepuk bahu Sifa pelan, pura-pura memberi semangat. Matanya melirik kamera, memastikan setiap gesturnya terekam jelas.Sifa menarik napas panjang, berusaha terdengar t