Sesuai janji Fadia pada Mahendra, wanita itu pun menyuruh Emir untuk menyelidiki semua tentang Reza dan juga Sifa. Setelah mendapatkan hasil, lelaki itu membawanya ke rumah sakit tempat Mahendra praktek. Lelaki itu mengetuk pintu ruangan Mahendra.
“Permisi, Tuan. Saya telah mendapatkan informasi tentang aset Tuan.” Mahendra yang saat itu tengah memeriksa laporan pasien langsung menoleh. “Bicaralah.” Emir menyalakan tabletnya kemudian menyodorkannya di hadapan Mahendra. “Semua aset Tuan dipindahkan ke perusahaan bernama RZ Corp. Setelah kami selidiki, pemilik saham terbesar RZ Corp adalah Reza, adik tiri Tuan. Mahendra mengepalkan tangannya. “Kurang ajar! Berani sekali dia! Dan sejak kapan dia memiliki RZ Corp?” Tak lama setelah itu, Fadia masuk dengan membawa sebuah paper bag di tangannya. "Aku bawakan kamu makan siang. Kita bisa diskusi sambil makan bersama." Mahendra pun mengangguk. Dia lalu berdiri dan duduk di sofa panjang agar mereka bisa makan bersama. Fadia pun kembali melanjutkan, “Setelah aku selidiki lebih jauh, Reza dan juga ibu tirimu, ternyata memiliki andil dalam kematian ayahmu. Hanya saja, aku masih belum menemukan bukti valid tentang itu." Tatapan Mahendra berubah tajam. Tangannya mengepal erat. Jika memang kedua orang itu terlibat dalam kematian ayannya, dia akan pastikan, kedua orang itu tak akan bisa lolos dari kematian. --- Di sebuah rumah tua di ujung jalan, seorang pria dengan wajah tegang berlari masuk. Nafasnya memburu, tangannya gemetar saat menyerahkan sebuah tablet ke hadapan Reza yang sedang duduk santai di kursinya sambil memainkan pulpen perak di sela-sela jari. “Bos, kita punya masalah serius,” kata anak buahnya dengan suara pelan tapi serius. Reza mengangkat alis, tak menghentikan gerakan tangannya. “Masalah serius?” Ia menyeringai. “Masalah apa?.” Anak buahnya menelan ludah. “Seseorang… telah meretas sistem data kita. Semua log transaksi rahasia, pergerakan uang dan barang, bahkan nama-nama mitra kita—diretas.” Tangan Reza berhenti. Pulpen itu terhenti di udara, lalu jatuh pelan ke meja. “Siapa?” tanyanya tajam, nadanya berubah dingin. “Kami sedang melacak IP-nya, tapi ada satu nama yang muncul dari dark trace…” Suaranya makin pelan. “Seorang dokter… wanita… Dia sangat cantik. Tapi dia bukan sembarang wanita.” Reza menyipitkan mata. “Dokter?” “Ya. Nama samarannya Dr. Fadia. Dia bekerja sebagai dokter forensik di rumah sakit Grand Central. Tapi dia juga dikenal sebagai salah satu pimpinan di lingkaran hitam sebagai—” "Ketua Black Mamba?” potong Reza, kini matanya menyala tajam. Anak buahnya mengangguk perlahan. “Kepala organisasi bawah tanah khusus penjualan organ ilegal yang sudah bertahun-tahun tak bisa disentuh. Semua mengira dia adalah pria tua kejam, tapi tak ada yang tahu, ternyata dia… seorang wanita.” Reza tertawa kecil, nada sinis menyelip di ujung suara. “Huh... Dunia ini memang penuh kejutan. Si cantik bertangan dingin ternyata mulai menyusup ke kandangku. Tapi kenapa?” gumamnya, lalu menatap anak buahnya tajam. “Kami tidak tahu kenapa, tapi sepertinya, ini ada hubungannya dengan Kakak tiri Tuan." "Mahendra? Kau yakin ini orang yang sama?” “Cocok 99 persen dengan data IP-nya. Beberapa kali, dia terlihat bersama dengan Dokter Mahendra. Mungkin, dia ingin Kakak tiri Tuan menyelamatkan adiknya, atau mingkin, ada urusan lain yang kita tidak tahu.” Reza bersandar santai. Matanya menatap langit-langit seakan menghitung rencana. “Berani sekali dia menggigit ekor naga. Tapi tak masalah. Mungkin sudah waktunya aku bermain sedikit lebih kasar.” Ia mengambil kembali pulpennya, memutarnya di antara jemarinya. “Baik, kita akan temui dia." --- Beberapa hari kemudian, Reza akhirnya menemukan markas kedua Dokter cantik yang mulai mencampuri urusannya. Fadia baru saja keluar dari ruang rekam medis dengan berkas di tangannya, pikirannya masih sibuk mengolah catatan transaksi senjata ilegal milik RZ Corp yang baru saja ia dapatkan guna menjerat Reza. Langkahnya terhenti saat melihat seseorang berdiri di ujung lorong, menyandarkan tubuhnya di dinding dengan ekspresi santai. Jas mahal membungkus tubuh pria itu, wajahnya tampak licik namun sangat tenang. Tatapan matanya begitu tajam seolah menelanjanginya hidup-hidup. Dia adalah Reza, adik tiri Mahendra. "Cukup susah juga aku mencarimu, Dokter Fadia Az Zahra." Tubuh Fadia menegang. Napasnya tertahan. Ia tak menduga akan berhadapan langsung dengan pria itu malam ini, apalagi di rumah sakit rahasia miliknya. Ia mengatur napas dan berusaha untuk tetap tenang di hadapan lelaki licik ini. "Tuan Reza. Ada keperluan apa Anda datang kemari?" Reza melangkah pelan, suara sepatu mahalnya menggema di lorong rumah sakit itu. "Heh!Lucu sekali. Seharusnya aku yang bertanya. Ada apa kamu mengorek semua informasi tentangku? Mengorek data keuanganku? Mencari tahu keterlibatanku dengan kematian ayah Mahendra?" Ia berhenti tepat di depan Fadia, menatap langsung ke mata wanita itu. Membuat Fadia gugup karena hembusan napas lelaki itu terasa hangat di wajahnya. "Apa kau ingin menjadikanku calon suamimu, Sayang. Atau... kau sedang menargetkan salah satu organ dalamku untuk kau jual, hmm?" Wajah cantik Fadia menegang. Pupil matanya membesar seketika. Selama ini ia menyamar sebagai dokter forensik demi satu tujuan: menyelamatkan adiknya... dengan menjual organ dalam manusia. Entah bagaimana caranya, lelaki ini tahu semuanya. Fadia pun sedikit gelagapan. Baru kali ini, dia merasa gugup luar biasa. “Kau... bicara apa?” suaranya nyaris bergetar. Reza tersenyum miring, tatapannya seperti elang yang siap memakan mangsanya.. “Kamu sangat cantik, pintar, tapi juga berbahaya. Topengmu sebagai dokter forensik di rumah sakit Grand Central begitu mengesankan. Tapi sayangnya, aku juga punya koneksi yang sama denganmu, Sayang. Dunia hitam bukan hanya milikmu.” Fadia melangkah mundur satu langkah. Jantungnya berdetak kencang. Tak mungkin... Hanya Emir dan beberapa orang kepercayaannya yang tahu tentang bisnis gelap jual-beli organ manusia. Tak ada jejak digital. Tak ada catatan apapun. Bagaimana dia bisa tahu? “Aku tidak tahu apa maksudmu,” jawabnya kaku. Reza menyipitkan mata. “Tenang saja, aku belum berniat membocorkannya ke publik... selama kau tidak ikut campur urusanku.” “Kalau kau tak punya apa-apa untuk disembunyikan, kenapa kau takut aku menyelidikimu?” balas Fadia, mencoba mengendalikan suasana. Reza tertawa dingin. “Aku tak takut diselidiki. Aku hanya tidak suka ada orang lain yang menyentuh area yang seharusnya tidak boleh disentuh oleh siapain. Dan kau, Fadia... kau terlalu cantik untuk mati dalam kantong mayat yang kau jahit sendiri di ruang forensikmu.” Kalimat itu seperti pisau yang menyayat. hati Fadia. Wanita itu mengepalkan tangannya. “Kau mengancamku?” “Hehe, tidak! Anggap saja... peringatan dari seseorang yang mengagumimu dalam diam."Ruangan ICU yang tadi penuh dengan tegang kini perlahan mereda. Setelah kejut jantung berkali-kali tak membuahkan hasil, Mahendra nekat menyuntikkan dosis kedua dari ramuan yang ia racik sendiri. Tangannya masih gemetar ketika jarum menembus selang infus.“Ini yang terakhir, Nyonya… kalau kau tidak kembali juga, aku tak akan pernah memaafkan diriku,” bisik Mahendra dengan suara bergetar.Beberapa menit terasa seperti jam. Monitor yang semula menunjukkan garis lurus tiba-tiba berbunyi beep… beep… beep. Detak jantung Sofia kembali terpantau, lambat namun stabil.“Dia kembali!” perawat berteriak dengan lega.Mahendra langsung menunduk, air matanya tumpah deras. “Terima kasih… Tuhan… dia kembali.”Kelopak mata Sofia bergerak pelan. Nafasnya membaik. Meski belum sepenuhnya sadar, wajahnya terlihat jauh lebih tenang daripada sebelumnya.“Obat ini… berhasil,” gumam Mahendra, nyaris tak percaya dengan apa yang ia lihat.---Beberapa hari kemudian, Sofia benar-benar sadar. Tubuhnya memang masi
Laboratorium kecil di rumah sakit itu dipenuhi aroma tajam dari bahan-bahan herbal yang Mahendra kumpulkan dari hutan. Di meja, alat medis modern bercampur dengan botol kaca berisi cairan berwarna hijau tua, akar kering, dan serbuk tumbukan tanaman.Mahendra berdiri dengan wajah tegang. Tangannya bergetar saat mencampur ekstrak tumbuhan itu dengan obat herbal lain yamg bisa mendukung pwngobatan Sofia.."Harus berhasil kali ini ... aku tidak boleh gagal lagi," gumamnya lirih.Fadia masuk, membawa segelas air. “Mahen, kamu belum istirahat sama sekali sejak tadi malam. Kalau kamu jatuh sakit, siapa yang akan merawat Nyonya Sofia?”Mahendra menoleh sekilas, matanya memerah. “Aku tidak bisa berhenti, Fadia. Obat pertama justru membuat kondisi Sofia semakin parah. Kalau aku menyerah sekarang, dia bisa—” suaranya tercekat. “Aku tidak akan biarkan itu terjadi.”Fadia mendesah, namun tidak melarang lagi. Dia hanya menatap suaminya yang begitu keras kepala.Beberapa jam kemudian, racikan itu se
Mahendra menatap cairan bening dalam tabung kecil itu. Jemarinya gemetar saat memegang pipet, seakan beban dunia bertumpu di tangannya. Obat hasil kerja kerasnya selama berbulan-bulan kini siap diuji. Tapi bukan di pasien lain—melainkan langsung pada Sofia, wanita yang sangat perhatian padanya meski tak ada hubungan apapun diantara keduanya.“Ini terlalu berisiko, Nyonya,” ucap Mahendra dengan suara berat, matanya tak lepas dari tabung kaca itu. “Saya belum menguji efek sampingnya, belum tahu dosis pastinya.”Sofia duduk tegak di kursi rodanya, sorot matanya begitu tenang. Dia menggeleng pelan. “Jangan buang waktu, Mahendra. Penyakit ini tak akan memberiku kesempatan hidup lebih lama. Kalau aku menunggu kamu menguji pada pasien lainnya, mungkin besok aku sudah tak bisa lagi berbicara denganmu.”Mahendra memejamkan mata, lalu mendesah panjang. “Tapi reputasi saya … kalau ini gagal, nama saya benar-benar akan hancur. Semua kerja keras saya selama ini tak akan ada artinya.”Sofia terseny
Mahendra duduk termenung di ruang kerjanya. Laptop di depannya masih terbuka, namun pikirannya jauh melayang ke arah wanita tua yang akhir-akhir ini terlalu sering mengatur dan memperhatikannya—Sofia.Sudah beberapa hari ia meminta anak buahnya mencari informasi tentang wanita itu. Namun hasilnya nihil. Yang mereka temukan hanya hal-hal umum: Sofia adalah seorang janda, ditinggal mati oleh suaminya bertahun-tahun lalu. Pekerjaannya sederhana, kadang menyanyi di sebuah konser amal, kadang juga ikut kegiatan sosial di lingkungannya. Tidak ada catatan mencurigakan, tidak ada masa lalu yang bisa menjelaskan kenapa ia begitu melekat padanya.Mahendra mengetuk-ngetuk meja dengan jemarinya. "Aneh," gumamnya lirih. "Kalau hanya seorang janda biasa, kenapa pedulinya berlebihan sekali?"Pikirannya kacau. Setiap kali ia sakit atau terluka, Sofia selalu berada di sana. Bahkan kadang lebih duluan dari Fadia. Perhatian itu terasa hangat, tapi sekaligus menimbulkan rasa curiga.Sore itu, ketika Sofi
Kedatangan Fadia bukannya membawa kebahagiaan bagi Mahendra, dengan hadirnya Fadia, justru membuatnya pusing kepala karena kedua wanita itu terus saja berseteru. Di sisi kiri, Fadia dengan gesit menyiapkan kotak makanan yang dibawanya, sementara di sisi kanan, Sofia tak mau kalah, menatap Fadia dengan tatapan yang menusuk.“Sayang, aku belikan bubur kesukaanmu,” ujar Fadia lembut sambil membuka wadah makanan. Tangannya sigap menyendok bubur itu ke sendok kecil. “Ayo, aku suapin, biar cepat pulih.”Namun sebelum sendok itu sampai ke bibir Mahendra, Sofia mendesah keras, tangannya yang gemetar meraih lengan anaknya. “Nak, jangan asal makan. Ibu sudah bawakan sup ayam hangat yang lebih bergizi dari bubur instan itu.” Tatapan Sofia bergeser pada Fadia, penuh sindiran. “Apalagi kalau dibuat asal-asalan, bagaimana bisa menyembuhkan?”Fadia menahan senyum, berusaha tetap tenang meski hatinya sudah mendidih. “Bu, saya tahu apa yang terbaik untuk suami saya. Dokter juga sudah bilang bubur ini
"Nyonya, Tuan Mahendra saat ini ada di rumah sakit daerah," lapor anak buah Fadia pada majikannya. Fadia yang saat itu tengah fokus mengotopsi mayat langsung mendongakkan kepalanya. "Rumah sakit daerah? Kenapa?" "Sepertinya, beliau mengalami kecelakaan saat mengambil obat untuk salah satu pasiennya. Dan sekarang dirawat disana," jawab sang anak buah. Fadia segera menghentikan kegiatannya kemudian pergi menuju ke rumah sakit daerah. Sesampainya di sana, wanita itu sedikit berlari menuju ke ruang perawatan Mahendra. Rasa panik bercampur cemas yang mendera sejak ia menerima kabar suaminya dirawat, membuatnya tak sabar ingin segera melihat keadaan sang suami. Namun, langkahnya mendadak terhenti begitu pintu terbuka lebar. Mahendra dengan wajahnya yang masih lebam dan penuh perban tampak duduk bersandar di ranjang. Di sampingnya, seorang wanita paruh baya dengan rambut sebagian beruban sedang menyuapkan bubur ke mulutnya. Wanita itu duduk di kursi roda, tubuhnya terlihat rapuh, tapi t