"Datang ke rumah sakit Black Mamba malam ini, kita akan menikah disana. Ingat, tidak ada yang boleh tahu tentang pernikahan kita!" Setelah mengatakan itu, Fadia pergi meninggalkan ruangan Mahendra.
Sementara lelaki itu, menatap kosong surat perjanjian pernikahan yang naru saja dia tanda tangani. "Apakah yang aku lakukan ini sudah benar?" Setelah praktek, Mahendra bersiap pergi ke rumah sakit Black Mamba. Helaan napas panjang terdengar sebelum dia mengambil kunci mobilnya, seolah dia menanggung beban yang begitu berat. Sesampainya di rumah sakit, Mahendra langsung dibawa ke sebuah ruangan yang dijaga ketat oleh beberapa penjaga. Hanya ada lima orang yang ada di dalam ruangan tu. Mahendra, Fadia, seorang lelaki paruh baya yang Mahendra tebak, dia adalah seorang penghulu. Adik, Fadia, dan juga seorang lelaki bernama Emir. Mahendra berdiri di depan meja di ruang VVIP yang telah diubah menjadi meja akad nikah sederhana. Sementara di belakangnya, berdiri Emir, menjadi saksi pernikahan mereka. Fayra, adik kecil Fadia, berada di brankar. Wajahnya pucat, tapi matanya memancatkan binar bahagia.. "Apa kau benar-benar yakin dengan semua ini, Kak? Aku sudah pasrah dengan hidupku. Kakak tidak perlu mengorbankan masa depan Kakak hanya untukku, apalagi, menikah dengan lelaki yang tidak Kakak cintai," kata Fayra dengan suara lirih. Fadia membelai rambut adiknya lembut. "Ini satu-satunya cara agar kamu bisa terus hidup, Fayra. Kamu adalah satu-satunya yang Kakak punya. Dan dokter Mahendra... kuharap, dia bisa menyembuhkanmu." Fadia lalu menatap Mahendra. Pandangan mata mereka bertemu. Tidak ada cinta di sana saat ini, hanya sebuah kesepakatan yang dibangun di atas kebutuhan yang saling menguntungkan. --- Beberapa orang penting Black Mamba baru saja masuk dan langsung duduk di sisi ruangan. Seorang notaris bernama Mike, yang juga merupakan bagian dari jaringan Black Mamba menyiapkan dokumen pernikahan Mahendra dan Fadia. "Apa kalian sudah yakin melakukan perjanjian ini?" tanya sang notaris. Mahendra menarik napas panjang. "Ya. Kami sudah sepakat." Notaris itu mengangguk, lalu mulai membaca dokumen resmi yang mereka susun: Surat Perjanjian Pernikahan... Demi kepentingan medis, penyelamatan nyawa pihak keluarga dari mempelai wanita, serta kerja sama strategis antara Rumah Sakit Black Mamba dan Mahendra Medical Project, maka kedua pihak sepakat menjalin hubungan pernikahan secara sah berdasarkan hukum di negara ini. Setelah Fadia dan Mahendra menyetujui surat perjanjian itu, penghulu pun menjabat tangan Mahendra dengan erat. "Dokter Dewa Mahendra, saya nikahkan dan kawinkan engkau dengan Fadia Az Zahra binti Samuel Ar Rasyid dengan maskawin seperangkat alat sholat dan uang tunai sebesar 20 juta rupiah dibayar tunai!" Mahendra melirik sekilas ke arah Fayra yang tersenyum kecil, lalu kembali menatap Fadia. "Saya terima nikah dan kawinnya Fadia Az Zahra binti Samuel Ar Rasyid dengan maskawin tersebut dibayar tunai!" Mahendra menjawab dengan suara lantang "Bagaimana saksi? Sah? tanya penghulu pada Emir dan juga pengacara Fadia. "Sah!" teriak mereka serempak. Penghulu menengadahkan doa lalu menyuruh kedua mempelai untuk menandatangani buku nikah mereka. "Ini buku nikah kalian. Ingat, ada hak dan kewajiban suami dan istri yang harus kalian penuhi setelah kalian menandatangani buku nikah ini. Hargailah pernikahan kalian. Jika kalian merasa tidak cocok, atau perjanjian kalian sudah berakhir, maka berpisah adalah jalan yang terbaik. Jangan menodai pernikahan kalian dengan sebuah pengkhianatan." Itulah nesehat dari penghulu sebelum lelaki paruh baya itu meninggalkan rumah sakit. Keduanya pun tersenyum setelah memegang buku nikah itu. Meski tak ada cinta diantara keduanya, setidaknya, mereka menghargai komitmen yang meraka jalani saat ini. --- Usai penandatanganan, Fadia menghampiri Mahendra dan berkata pelan, nyaris seperti bisikan: "Mulai sekarang, kita tim. Aku bantu menyingkirkan Reza dan Sifa. Kau selamatkan Fayra." Mahendra mengangguk singkat. "Kita mulai permainan ini, Fadia." Sementara itu, di tempat lain, Sifa tengah mengirim pesan manja pada Mahendra. "Sayang, kok kamu jarang balas chat akhir-akhir ini? Kamu pasti sibuk ya? Aku kangen." Mahendra menatap pesan itu sekilas, lalu menghapusnya tanpa berniat membalasnya. Wajahnya datar. Tangannya mengepal erat saat bayangan perselingkuhan Sifa hadir di pelupuk matanya. "Kalian akan merasakan balasan dariku. Tunggu tanggal mainnya!" *** Donor jantung untuk Fayra telah didapatkan. Mahendra pun menjadwalkan operasi untuk Fayra malam ini. Fadia pun sudah menyiapkan segalanya di rumah sakit miliknya. Sebelum melakukan operasi, Mahendra memandang city scan jantung milik Fayra. Sekilas, bayangan operasi yang akan dia lakukan terlintas di kepalanya. Lelaki itu pun memejamkan matanya. "Semoga aku bisa!" Mahendra pun berjalan menuju ke ruang operasi setelah semuanya siap. Lelaki itu berdiri di ruang operasi dengan pakaian steril. Semua dokter di dalam ruangan adalah orang-orang terpilih yang dipercaya Fadia. Fadia berdiri di balik kaca observasi, kedua tangannya mengepal. Napasnya tertahan setiap detik. Jantung donor yang didapat Fadia, kini ada di tangan Mahendra. Lelaki itu menaruhnya dalam wadah yang steril dengan pompa jantung yang terus menyala. "Dok, detak jantung pasien hampir berhenti!" teriak salah satu perawat disana. "Stabilkan tekanan darah! Kita mulai transplantasi sekarang!" seru Mahendra sambil mengambil jantung donor dari wadah steril "Dok, tekanan darah pasien terus menurun. 70/40... dan terus menurun." "Siapkan klem. Kita mulai transplantasinya sekarang. Potong aora pertama dengan hati-hati!" perintah Alvaro pada tim dokternya. Tangan Mahendra mulai menyayat tubuh kecil itu. Seolah ada yang menuntunnya, tangan lelaki itu terus bergerak tanpa gemetar sedikitpun. Jarum jam terus bergerak. Empat jam. Lima jam. Enam jam. Sementara di dalam, Mahendra terus berkejaran dengan waktu. "Dok, detak jantung pasien berhenti!" teriak dokter yang menjadi asistennya. "Kita yang akan memberinya detak yang baru." Mahendra pun mulai menyambung pembuluh darah satu per satu. "Siapkan defibrillator. Kita aktifkan jantungnya dalam hitungan ketiga." "Satu, dua, tiga...." Namun, monitor jantung masih menunjukkan garis lurus. "20 joule!' Tubuh Fayra pun terangkat. Namun mesin EKG masih datar. "Dok, garisnya masih lurus!" teriak dokter asisten itu panik. Mahendra menatap monitor jantung. "Tambah lagi 30 joule. Sekarang!" Tak lama setelah itu, suara mesin EKG nulai terdengar. "Dok, jantungnya berdetak kembali. Iramanya sudah mulai stabil!" dokter asisten itu berteriak tak percaya. Mahendra menutup matanya. Merasa lega karena telah berhasil menyelamatkan nyawa gadis kecil yang kini telah menjadi adik iparnya. "Kita berhasil. Dia selamat," ucap Mahendra, sambil melepaskan sarung tangannya. Fadia yang saat itu melihat prosesnya dari ruang observasi langsung terduduk di lantai. Wanita itu menangis dalam diam. Begitu Mahendra keluar dari ruang operasi, Fadia langsung berlari memeluk suaminya. "Terima kasih, Mahendra. Kamu telah menyelamatkan adikku. Dan kini, saatnya aku menepati janjiku untuk menghancurkan adik dan kekasihmu."Ruangan ICU yang tadi penuh dengan tegang kini perlahan mereda. Setelah kejut jantung berkali-kali tak membuahkan hasil, Mahendra nekat menyuntikkan dosis kedua dari ramuan yang ia racik sendiri. Tangannya masih gemetar ketika jarum menembus selang infus.“Ini yang terakhir, Nyonya… kalau kau tidak kembali juga, aku tak akan pernah memaafkan diriku,” bisik Mahendra dengan suara bergetar.Beberapa menit terasa seperti jam. Monitor yang semula menunjukkan garis lurus tiba-tiba berbunyi beep… beep… beep. Detak jantung Sofia kembali terpantau, lambat namun stabil.“Dia kembali!” perawat berteriak dengan lega.Mahendra langsung menunduk, air matanya tumpah deras. “Terima kasih… Tuhan… dia kembali.”Kelopak mata Sofia bergerak pelan. Nafasnya membaik. Meski belum sepenuhnya sadar, wajahnya terlihat jauh lebih tenang daripada sebelumnya.“Obat ini… berhasil,” gumam Mahendra, nyaris tak percaya dengan apa yang ia lihat.---Beberapa hari kemudian, Sofia benar-benar sadar. Tubuhnya memang masi
Laboratorium kecil di rumah sakit itu dipenuhi aroma tajam dari bahan-bahan herbal yang Mahendra kumpulkan dari hutan. Di meja, alat medis modern bercampur dengan botol kaca berisi cairan berwarna hijau tua, akar kering, dan serbuk tumbukan tanaman.Mahendra berdiri dengan wajah tegang. Tangannya bergetar saat mencampur ekstrak tumbuhan itu dengan obat herbal lain yamg bisa mendukung pwngobatan Sofia.."Harus berhasil kali ini ... aku tidak boleh gagal lagi," gumamnya lirih.Fadia masuk, membawa segelas air. “Mahen, kamu belum istirahat sama sekali sejak tadi malam. Kalau kamu jatuh sakit, siapa yang akan merawat Nyonya Sofia?”Mahendra menoleh sekilas, matanya memerah. “Aku tidak bisa berhenti, Fadia. Obat pertama justru membuat kondisi Sofia semakin parah. Kalau aku menyerah sekarang, dia bisa—” suaranya tercekat. “Aku tidak akan biarkan itu terjadi.”Fadia mendesah, namun tidak melarang lagi. Dia hanya menatap suaminya yang begitu keras kepala.Beberapa jam kemudian, racikan itu se
Mahendra menatap cairan bening dalam tabung kecil itu. Jemarinya gemetar saat memegang pipet, seakan beban dunia bertumpu di tangannya. Obat hasil kerja kerasnya selama berbulan-bulan kini siap diuji. Tapi bukan di pasien lain—melainkan langsung pada Sofia, wanita yang sangat perhatian padanya meski tak ada hubungan apapun diantara keduanya.“Ini terlalu berisiko, Nyonya,” ucap Mahendra dengan suara berat, matanya tak lepas dari tabung kaca itu. “Saya belum menguji efek sampingnya, belum tahu dosis pastinya.”Sofia duduk tegak di kursi rodanya, sorot matanya begitu tenang. Dia menggeleng pelan. “Jangan buang waktu, Mahendra. Penyakit ini tak akan memberiku kesempatan hidup lebih lama. Kalau aku menunggu kamu menguji pada pasien lainnya, mungkin besok aku sudah tak bisa lagi berbicara denganmu.”Mahendra memejamkan mata, lalu mendesah panjang. “Tapi reputasi saya … kalau ini gagal, nama saya benar-benar akan hancur. Semua kerja keras saya selama ini tak akan ada artinya.”Sofia terseny
Mahendra duduk termenung di ruang kerjanya. Laptop di depannya masih terbuka, namun pikirannya jauh melayang ke arah wanita tua yang akhir-akhir ini terlalu sering mengatur dan memperhatikannya—Sofia.Sudah beberapa hari ia meminta anak buahnya mencari informasi tentang wanita itu. Namun hasilnya nihil. Yang mereka temukan hanya hal-hal umum: Sofia adalah seorang janda, ditinggal mati oleh suaminya bertahun-tahun lalu. Pekerjaannya sederhana, kadang menyanyi di sebuah konser amal, kadang juga ikut kegiatan sosial di lingkungannya. Tidak ada catatan mencurigakan, tidak ada masa lalu yang bisa menjelaskan kenapa ia begitu melekat padanya.Mahendra mengetuk-ngetuk meja dengan jemarinya. "Aneh," gumamnya lirih. "Kalau hanya seorang janda biasa, kenapa pedulinya berlebihan sekali?"Pikirannya kacau. Setiap kali ia sakit atau terluka, Sofia selalu berada di sana. Bahkan kadang lebih duluan dari Fadia. Perhatian itu terasa hangat, tapi sekaligus menimbulkan rasa curiga.Sore itu, ketika Sofi
Kedatangan Fadia bukannya membawa kebahagiaan bagi Mahendra, dengan hadirnya Fadia, justru membuatnya pusing kepala karena kedua wanita itu terus saja berseteru. Di sisi kiri, Fadia dengan gesit menyiapkan kotak makanan yang dibawanya, sementara di sisi kanan, Sofia tak mau kalah, menatap Fadia dengan tatapan yang menusuk.“Sayang, aku belikan bubur kesukaanmu,” ujar Fadia lembut sambil membuka wadah makanan. Tangannya sigap menyendok bubur itu ke sendok kecil. “Ayo, aku suapin, biar cepat pulih.”Namun sebelum sendok itu sampai ke bibir Mahendra, Sofia mendesah keras, tangannya yang gemetar meraih lengan anaknya. “Nak, jangan asal makan. Ibu sudah bawakan sup ayam hangat yang lebih bergizi dari bubur instan itu.” Tatapan Sofia bergeser pada Fadia, penuh sindiran. “Apalagi kalau dibuat asal-asalan, bagaimana bisa menyembuhkan?”Fadia menahan senyum, berusaha tetap tenang meski hatinya sudah mendidih. “Bu, saya tahu apa yang terbaik untuk suami saya. Dokter juga sudah bilang bubur ini
"Nyonya, Tuan Mahendra saat ini ada di rumah sakit daerah," lapor anak buah Fadia pada majikannya. Fadia yang saat itu tengah fokus mengotopsi mayat langsung mendongakkan kepalanya. "Rumah sakit daerah? Kenapa?" "Sepertinya, beliau mengalami kecelakaan saat mengambil obat untuk salah satu pasiennya. Dan sekarang dirawat disana," jawab sang anak buah. Fadia segera menghentikan kegiatannya kemudian pergi menuju ke rumah sakit daerah. Sesampainya di sana, wanita itu sedikit berlari menuju ke ruang perawatan Mahendra. Rasa panik bercampur cemas yang mendera sejak ia menerima kabar suaminya dirawat, membuatnya tak sabar ingin segera melihat keadaan sang suami. Namun, langkahnya mendadak terhenti begitu pintu terbuka lebar. Mahendra dengan wajahnya yang masih lebam dan penuh perban tampak duduk bersandar di ranjang. Di sampingnya, seorang wanita paruh baya dengan rambut sebagian beruban sedang menyuapkan bubur ke mulutnya. Wanita itu duduk di kursi roda, tubuhnya terlihat rapuh, tapi t