Tepat saat itu, dari ujung lorong terdengar suara datar dan tenang.
“Lucu sekali. Bagaimana mungkin aku Anda? Padahal saya tidak melihat Anda di ruangan pasien semalam.” Semua menoleh. Elvario berdiri di sana, menyandarkan tubuh pada dinding dengan tangan bersilang. Sorot matanya tajam, nyaris menusuk. Tama mendongak, tubuhnya kaku. Wajahnya pucat. Jantungnya mencelos saat matanya menangkap sosok pria berjas putih yang berjalan mendekat. Tegap. Gagah. Dan... terasa sangat familiar. “Tidak mungkin...” desisnya, nyaris tanpa suara. Pria itu—dengan wajah dingin dan sorot mata menusuk—berdiri di ambang pintu. Rambutnya hitam legam, rapi. Aura yang ia bawa seolah menekan atmosfer ruangan. Para perawat langsung memberi jalan tanpa sadar, seperti tunduk pada kekuatan tak kasat mata. Elvario berdiri tegak. Menatap pasien yang kini sadar, lalu matanya bergerak perlahan... menatap langsung ke arah Tama. Tatapan mereka bersirobok. Dan dunia seolah membeku. Tama mematung. Wajah itu... tak mungkin salah. Tapi ini mustahil! El sudah mati. Dia melihat sendiri El memuntahkan darah malam itu, tak bernyawa di tanah berlumpur. Tapi sekarang... pria itu berdiri di depannya, dengan pandangan menusuk dan aura dendam yang terasa sangat kuat. “El...” gumam Tama tanpa sadar. Mata El menyipit sedikit, tapi tak ada emosi yang tergambar. Hanya ketenangan yang mematikan. Ia membuka suara, suaranya rendah dan berat. “Maaf, siapa Anda?” Tama terperanjat. “A... aku... perkenalkan, aku Tama. Dokter spesialis bedah saraf (neurosurgeon). Aku yang menangani pasien ini semalam.” Tama menatap El tak berkedip. Pria di depannya ini... mengenalnya. 'Aku tahu dia mengenalku. Tapi mengapa dia berpura-pura?' pikir Tama. El melangkah pelan ke arah Tama. Begitu dekat, hingga hanya tinggal beberapa jengkal di antara mereka. Lalu ia menatap lurus ke mata Tama. Tama bisa merasakan hawa dingin mengalir dalam pori-porinya. “Apa kau yakin, kalau dirimu yang menyembuhkan pasien ini, Dokter Tama? Ini adalah pasien yang sudah didiagnosa mati otak, lho,” ujar El, suaranya tenang tapi mengandung nada menyindir yang tajam. Tama menggertakkan giginya. “T-tentu saja. Aku dokter spesialis bedah saraf terbaik di negeri ini.” El mengangguk-angguk pelan, tapi bibirnya mencibir tipis. Pria di depannya ini benar-benar menjijikkan. "Baiklah, Perkenalkan," ujarnya. "aku Elvario, spesialis bedah saraf, sama sepertimu!" Ruangan kembali senyap. Hanya terdengar suara detak jam dinding dan tarikan napas yang tertahan dari para perawat dan beberapa orang dokter yang masih berdiri di tempat, tidak berani bergerak. Tama menggertakkan gigi. Tangannya mengepal di balik jas lab putih. Ia tahu—pria ini tidak datang untuk memperkenalkan diri. Elvario melangkah pelan, membungkuk sedikit seolah ingin menyampaikan sesuatu secara pribadi. Tapi justru kata-katanya disampaikan cukup keras, agar semua orang bisa mendengar. “Dokter Tama, Anda yakin, kalau Anda yang menyembuhkan pasien ini?” Tama terperangah. “A-apa maksudmu?! Tentu saja aku yang melakukannya!” El menarik napas pelan. Tatapannya tidak berubah. Tetap tajam. Tetap dingin. “Aku memeriksa ulang hasil diagnosis dan metode tindakanmu. Jujur saja... aku ragu apakah kau tahu letak medulla oblongata manusia atau tidak.” Semua orang yang ada di sana saling pandang. Beberapa perawat menunduk, ada yang menahan senyum kaku, yang lain menahan napas. Suasana mendadak penuh ketegangan yang menyesakkan. Tama menggertakkan giginya. Dadanya sesak, bukan karena malu, tapi karena merasa diinjak-injak di depan umum. Selama ini, semua orang memandangnya sebagai dokter hebat. Ia tak terbiasa direndahkan, apalagi oleh seseorang yang baru saja muncul entah dari mana—seseorang yang... sangat mirip dengan orang yang seharusnya sudah mati. “Aku tidak tahu dari mana kau mendapatkan keberanian untuk menghinaku seperti ini, Dokter Elvario,” katanya, suaranya meninggi, berusaha mempertahankan wibawa. “Tapi semua tindakan medis yang kulakukan semalam sudah sesuai prosedur. Pasien ini bisa sadar hari ini juga karena penanganan darurat yang aku berikan. Tanpa intervensiku, dia mungkin tidak akan selamat!” Semua yang ada di sana diam tak bersuara. El hanya menatapnya. Kemudian ia tersenyum licik. Bagus! Penghianat ini, sudah masuk dalam perangkapnya. “Bagus sekali,” ujarnya. “Karena ini adalah kasus pertama dalam sejarah medis. Seseorang yang sudah mati otak bisa sadar kembali. Sebuah keajaiban yang tak pernah terjadi sebelumnya.” Ia menoleh ke kerumunan dokter dan perawat. “Maka saya ingin bertanya pada Dokter Tama,” katanya keras, agar semua mendengar, “prosedur apa yang Anda gunakan untuk menyelamatkan pasien yang sudah mati otak?” Tama terdiam. Seluruh perhatian kini tertuju padanya. Mata-mata penuh tanya, ragu, dan diam-diam... curiga. “Elvario, aku tidak—” “Oh, ayolah, Dokter Tama,” potong El. “Kami semua ingin tahu. Anda harus berbagi. Ini bisa jadi penemuan besar. Penyelamatan ajaib yang tak ada duanya.” Tama tercekat. Kerongkongannya kering. Napasnya berat. Kata-kata tak keluar. “Ya, Dokter Tama!” sela salah satu dokter muda. “Tolong jelaskan pada kami. Ini luar biasa. Anda menyelamatkan pasien mati otak! Bagaimana caranya?” “Benar. Semua prosedurnya. Kami semua ingin tahu.” Tama membatu. Semua mata kini mengarah padanya. Mereka semua menginginkan penjelasan. Namun sebelum suara kembali terdengar dari bibir Tama yang bergetar, suara interkom rumah sakit mendadak menggelegar di seluruh ruangan. “Seluruh dokter spesialis dimohon segera menuju IGD. Terjadi kecelakaan tunggal dengan korban luka berat. Ulangi—seluruh dokter spesialis, segera ke IGD.” Suara interkom itu terdengar genting. Membelah atmosfer tegang yang sejenak membeku. Para perawat saling pandang. Beberapa dokter langsung bergerak, reflek profesional mengalahkan rasa penasaran mereka. Salah satu perawat menunduk pada Elvario. “Dokter, kami harus ke IGD sekarang.” El mengangguk pelan. Tatapannya masih menusuk ke arah Tama. “Kau dengar itu, Dokter Tama? Sepertinya waktumu untuk membuktikan kemampuan sudah datang.” Tama tak menjawab. Wajahnya kaku, tapi matanya menyiratkan kegelisahan. Ia tahu—Elvario menantangnya secara terbuka. Di depan semua orang. “Aku akan ke IGD. Kita akan lihat langsung, siapa yang benar-benar tahu letak medulla oblongata,” lanjut Elvario, suaranya tenang namun berbahaya. Dengan langkah tegap dan aura dingin yang mendominasi, Elvario membalikkan badan, ia berjalan lebih dulu meninggalkan ruangan. Jas putihnya mengepak ringan, menciptakan bayangan panjang di lantai. Tama mengepalkan tangan, menatap benci ke arah siluet Elvario yang mulai hilang dari pandangannya. Napasnya memburu, tapi ia tak punya pilihan. Kini, bukan hanya reputasi yang dipertaruhkan. Suasana IGD mendadak hiruk-pikuk. Beberapa perawat berlarian, membuka jalur. Tim medis mendorong ranjang dengan pasien yang penuh luka dan darah. Wajah korban nyaris tak dikenali—hancur karena benturan keras. Ada serpihan logam menancap di pelipis, dan pendarahan aktif di bagian kepala. "Pasien laki-laki, 28 tahun! Kecelakaan tunggal, diduga kehilangan kendali dan menghantam tiang beton dengan kecepatan tinggi!" seru salah satu petugas ambulans. "Ada kemungkinan fraktur basis cranii dan cedera otak berat! Kesadaran menurun, pupil anisoskoris!" Dokter-dokter mendekat. Salah satunya adalah Tama—wajahnya masih pucat, tapi ia berusaha profesional. Ia memeriksa pasien sekilas, lalu mengangguk. “Kita harus segera CT-scan dan persiapkan kraniotomi darurat! Ini hematoma subdural masif!” katanya cepat. Namun tiba-tiba, suara tenang dan dalam memotong. “Tidak. Ini bukan hematoma subdural.”Lampu operasi perlahan diredupkan. Mesin monitor menunjukkan stabilisasi sempurna. Elvario menurunkan pisau bedah untuk kedua kalinya hari ini. Tangannya masih tegap, tidak gemetar sedikit pun, meski sudah lebih dari dua jam berada di bawah sorotan panas lampu bedah.“Pasien stabil,” suara salah satu dokter anestesi terdengar lega.“Pindahkan ke ICU. Pasang observasi tekanan intrakranial. Pantau selama 24 jam pertama. Jangan tinggalkan ruangannya,” ucap El, sebelum melangkah pergi.Semua orang dalam ruangan berdiri diam. Bukan karena kelelahan, tapi karena masih tidak percaya apa yang baru mereka lihat.Dua operasi besar.Dua nyawa yang hampir hilang.Diselamatkan... oleh satu orang.El membuka pintu ruang operasi, menyibak dinginnya AC rumah sakit dengan langkah tenang. Tapi di luar sana, dunia sedang berguncang.Beberapa menit kemudian. “Breaking News! Seorang dokter muda berhasil menyelamatkan dua pasien kritis dalam dua operasi besar hanya dalam satu pagi. Namanya—Elvario. Belum
Roda ranjang berderit pelan di lorong steril menuju ruang ICU. Pasien pria muda yang baru saja keluar dari operasi kini dalam kondisi stabil, wajahnya lebih tenang, meski masih dipenuhi selang dan monitor. Dua perawat mendorong ranjang dengan hati-hati, diapit oleh dua tenaga medis dan satu dokter jaga yang mencatat semua data vital terbaru. El berjalan di belakang mereka. Matanya memandang lurus ke depan. Azalea mengikuti dari samping, masih mengenakan pakaian bedah. Peluh di dahinya belum sempat mengering, tapi sorot matanya kini berbeda. Ada ketegangan, tapi juga rasa percaya diri yang baru tumbuh—karena telah menjadi bagian dari sesuatu yang besar. Ia benar-benar tidak menyangka, kalau dirinya bisa menjadi asisten dari operasi yang dilakukan oleh dokter El. Begitu ranjang berhenti di ruang ICU, El mendekat, mengecek ulang semua monitor dan selang. Suara bip ritmis terdengar menenangkan. “Nafas spontan mulai kembali. Tekanan intratorakal membaik. Tidak ada tanda infeksi
Pagi itu, langit sedikit mendung. Awan kelabu menggantung di atas gedung tinggi Medical Hospital, seolah menandai bahwa hari ini tidak akan berjalan seperti biasa. Sebuah mobil hitam berkilap berhenti di pelataran utama rumah sakit. Seorang sopir turun cepat, membukakan pintu belakang. Elvario melangkah turun. Penampilannya tetap rapi seperti biasa—kemeja biru gelap dan celana panjang yang pas, dengan jas dokter terlipat di lengannya. Wajahnya tanpa ekspresi, matanya tajam menelusuri area depan rumah sakit, seperti sedang memetakan medan. Hingga suara sirine memecah rutinitas pagi. Satu. Dua. Tiga ambulans berhenti bersamaan di depan UGD. Pintu-pintunya terbuka serempak, dan suara panik langsung menyambar udara: “Korban kecelakaan lalu lintas! Tabrakan beruntun di tol barat!” “Pasien laki-laki, usia sekitar dua puluh, henti napas sesaat di lokasi!” “Perempuan—perdarahan aktif di perut dan panggul! Jalan napas tidak stabil!” Petugas keamanan membuka jalur. Paramed
Ruangan VVIP itu kini tak lagi sehening kemarin. Beberapa alat bantu medis sudah dilepas, selang oksigen diganti dengan kanula ringan, dan monitor detak jantung yang sebelumnya berdentang cepat kini berbunyi dengan irama normal, nyaris menenangkan. Di atas tempat tidur berlapis linen putih bersih, Bintang—gadis kecil dengan mata teduh dan rambut panjang selembut kapas—terbaring dalam posisi setengah duduk. Ia tampak lemah, tapi sorot matanya sudah kembali jernih. Di sebelah ranjangnya, Tuan Sujana masih setia duduk, tak berpaling sedetik pun. Elvario berdiri di sisi kanan tempat tidur, stetoskop tergantung di lehernya, dan satu tablet medis menyala di tangannya. “Bagaimana rasanya sekarang?” tanyanya, suara lembut tapi tak kehilangan ketegasan. Bintang menoleh pelan, lalu menjawab dengan suara serak yang nyaris tak terdengar, “Agak pusing... tapi nggak sakit, Dok.” El mengangguk. “Itu normal. Jantungmu sedang menyesuaikan diri setelah operasi besar. Tapi kamu kuat. Sangat kuat.”
Kabar itu menyebar lebih cepat dari virus apa pun. Dalam waktu kurang dari dua belas jam sejak operasi penyelamatan cucu Tuan Sujana, nama Elvario sudah menjadi desas-desus hangat di setiap sudut rumah sakit kota Samara. Lorong-lorong yang biasanya dipenuhi suara langkah tergesa dan panggilan medis kini berubah menjadi panggung bisik-bisik samar, saling lempar kabar tak resmi yang semuanya mengarah pada satu hal: Dokter Elvario direkrut langsung oleh Tuan Sujana. “Serius? Dia sekarang dokter pribadi cucu Tuan Sujana?” “Aku dengar dia dikasih apartemen mewah di pusat kota, lengkap dengan mobil dan sopir.” “Gajinya tiga kali lipat dari kita, bahkan katanya bisa minta fasilitas bebas akses ke semua lab.” “Padahal dia cuma dokter bedah saraf, bukan jantung... Tapi yang lain bahkan nggak dikasih kesempatan!” Suara-suara itu mengambang di udara. Tak ada yang berani menyuarakannya terlalu keras, tapi semua orang tahu—rasa iri itu nyata. Membuncah diam-diam di dada para dokter yang m
Tak lama setelah operasi dinyatakan selesai, El melangkah keluar dari ruang operasi. Pakaian bedahnya masih penuh bercak darah kecil, sarung tangan yang belum sempat dilepas meneteskan sisa cairan desinfektan ke lantai berubin putih. Lorong rumah sakit yang biasanya dipenuhi suara langkah kini senyap. Semua mata tertuju padanya, namun tak ada yang berani membuka suara. Para perawat membungkuk cepat, dokter-dokter senior berdiri tegap seolah baru saja menyaksikan kehadiran seorang jenderal yang pulang dari medan perang. Di ujung lorong, Tuan Sujana berdiri dengan tongkatnya, didampingi dua pria berjas hitam. Tatapannya tak beralih dari El sedetik pun. Ada sesuatu dalam sorot mata itu—tak hanya rasa terima kasih... tapi juga pengakuan. Seperti seorang raja yang akhirnya menemukan ksatria paling setianya, sekaligus paling mematikan. El menghentikan langkahnya tepat di depan pria tua itu. Matanya masih tajam, tapi nadanya tenang. “Cucumu selamat. Untuk sekarang.” Tuan Sujana m