Di sebuah rumah sakit di kota Samara, terjadi sebuah keajaiban yang membuat para dokter dan perawat geger.
Bagaimana tidak—seorang pasien mati otak yang telah dinyatakan meninggal malam sebelumnya, tiba-tiba saja hidup kembali. Bahkan kini, pasien itu telah sadar sepenuhnya. “Bagaimana ini bisa terjadi?” “Tidak mungkin... ini pasti mimpi. Tolong cubit aku!” Keributan pun tak terelakkan. Semua merasa apa yang mereka lihat pagi ini bertentangan dengan logika medis. “Jangan-jangan... dia yang melakukannya,” gumam salah satu perawat, cukup lantang hingga didengar yang lain. “Siapa maksudmu?” tanya rekannya. “Kalian lupa? Semalam ada dokter baru yang datang, katanya ingin memeriksa jenazah pasien sebelum dibawa ke ruang pendingin. Apa mungkin... dia?” Para perawat saling pandang, tatapan mereka berubah gugup. Mereka memang mengingat pria itu. Dokter asing dengan wajah tenang dan sorot mata tajam yang muncul entah dari mana. Tapi... mungkinkah dia? “Jangan konyol! Pasien itu sudah mati otak. Semua alat penunjang sudah dilepas!” “Lalu, siapa yang melakukannya?” tanya si perawat kembali. Tak ada yang menjawab. Hening menggantung di udara. Bahkan dokter senior yang biasanya skeptis, kini berdiri kaku. Bulu kuduk mereka berdiri. Dan saat itulah... suara langkah kaki terdengar di ujung koridor. Semua mata menoleh. Seorang pria berusia sekitar tiga puluhan berjalan tenang di antara mereka. Wajahnya tampan, tapi dingin. Sorot matanya tajam dan karismatik. Jas dokter putih membungkus tubuh tegapnya, membuat sosoknya terlihat lebih gagah dan tak tersentuh. “Dokter?” seru salah satu perawat, nyaris tak percaya. Pria itu hanya tersenyum tipis. Tanpa menjawab, ia melangkah masuk ke ruangan tempat pasien itu dirawat. Semua orang menahan napas. “Bagaimana kondisi Anda?” tanyanya lembut. Pasien itu, yang sebelumnya koma berkepanjangan, tersenyum. Wajahnya pucat, tapi kini dia hidup. “Terima kasih, Dokter... Anda menyelamatkan saya,” katanya penuh haru. Semua yang mendengar itu menegang. Tatapan mereka beralih cepat ke pria yang masih berdiri tenang di sisi ranjang. “Tidak perlu berterima kasih. Menolong orang adalah tugasku.” Ia menoleh sebentar, lalu menambahkan, “Perawat akan melanjutkan perawatan Anda. Dan ... jaga baik-baik tubuh Anda. Saya tidak berniat menyelamatkan orang yang ingin mati dua kali.” Pria itu keluar dari ruangan tanpa menoleh ke belakang dengan langkah tenang. Namanya adalah Elvario, dia baru satu hari menginjakkan kaki di Rumah Sakit Samara. Saat itu, ia melangkah menyusuri lorong dingin rumah sakit ketika telinganya menangkap suara perawat yang sedang berbisik, tentang seorang pasien yang mati otak dan alat penopang hidupnya baru saja dicabut. “Pasien itu... benar-benar sudah tidak ada harapan,” kata salah seorang perawat. Langkah El terhenti. Ia menoleh. “Tidak ada harapan?” gumamnya lirih, hampir seperti ejekan. “Kalian terlalu cepat menyerah.” Karena penasaran, dia ingin melihat langsung pasien tersebut. Dan dalam sekali pandang, dia tahu kalau dirinya bisa menyelamatkannya. Tiba-tiba, langkah El terhenti ketika layar televisi di ruang tunggu menayangkan sebuah berita. “Dokter muda Tama kembali menyabet penghargaan tertinggi untuk Misi Kemanusiaan di wilayah konflik... ” Nama itu. Dada El mengencang. Tangan yang sejak tadi berada di saku jas putih kini mengepal erat. Rahangnya mengeras. Dan matanya... dingin. Tama. Nama yang seharusnya sudah terkubur bersama masa lalunya yang kelam. Elvario membenci nama itu! Ia kemudian menghela napas tajam melirik tampilan Tama di layar. “Kau bahkan tidak layak memakai jas putih itu.” Dulu, El adalah dokter jenius. Ia dikirim dalam misi kemanusiaan bersama Sera, tunangan yang ia cintai, dan Tama, sahabat yang ia percaya. Misi itu seharusnya menyelamatkan banyak nyawa. Tapi ternyata, Tama punya rencana lain. Saat malam itu datang, El merasa tubuhnya aneh setelah meminum minuman yang diberikan oleh Tama. Dunia seperti berputar, lalu rasa perih yang membakar dari dalam organ tubuhnya menyebar dengan cepat. Ia terjatuh, darah menyembur dari mulutnya. Napasnya terputus-putus. Dan di ujung kesadarannya, ia melihat Tama. Pria itu tertawa mengejeknya, bergandengan dengan Sera. Mereka berdua lalu meninggalkannya di tanah penuh lumpur dan darah. Dan sebuah kotak kecil—bekas racun—jatuh dari tangan Tama dan terhempas ke tanah. Sakit di tubuh El tak sebanding dengan luka yang menganga di hatinya. Dalam perjuangan terakhir, tubuh El menggeliat. Darah yang mengalir dari mulutnya menetes ke cincin giok kehijauan yang tersemat di jarinya. Cincin itu adalah hadiah dari pria tua misterius yang pernah ia selamatkan. Dan saat darah menyentuh giok itu... ZRAKK! Cahaya menyilaukan meledak dari dalam cincin. Lalu semuanya gelap. Elvario tidak mati. Ia... terjebak. Ternyata, cincin itu adalah segel kutukan kuno. Dan darah seseorang yang berada di ambang kematian telah membuka gerbangnya. Di dalam cincin itu, El dipertemukan dengan satu-satunya makhluk yang masih hidup—Tabib Terkutuk. Seorang legenda kelam dunia pengobatan, dibuang dan dicap sebagai iblis oleh semua klan medis karena ilmunya terlalu 'berbahaya'. Namun ilmu itu... menyelamatkan El. Selama terjebak di dalam cincin giok itu, El menjadi murid dari Tabib Terkutuk. Ia mempelajari semua pengobatan langka dari Tabib Terkutuk. Bahkan ia bisa mengetahui penyakit seseorang, hanya dari melihat tubuh orang itu. Suara tawa dari televisi kembali menggema, menusuk telinga Elvario. Tama tersenyum lebar di layar, dikerumuni wartawan, mengenakan jas putih kebanggaannya seolah ia pahlawan dunia medis. “Tertawalah selagi bisa, Tama. Kini aku sudah kembali. Dan aku pasti akan membalas semua yang sudah kau lakukan padaku!” El menarik napas panjang. Tangan yang semula terkepal perlahan mengendur, namun kilatan di matanya tetap tak surut. El kemudian memalingkan wajahnya. Tak ada gunanya melihat berita itu lebih lama. Tak lama setelah itu, berita tentang pasien mati otak yang kembali sadar menyebar seperti api. Rumah sakit gempar. Dunia medis geger. Dan tentu saja, kabar itu cepat sampai ke telinga Tama. Setelah acara penghargaan usai, Tama datang tergesa ke rumah sakit bersama rombongan dokter. Namun, begitu melihat langsung kondisi pasien yang kini duduk sadar dan bisa berbicara, semua orang membelalak. "Ini mustahil..." "Siapa yang bisa melakukan ini?" "Ini di luar logika medis!" Para dokter itu terpaku. Kekaguman, kebingungan, dan rasa tidak percaya bercampur dalam sorot mata mereka. Mereka penasaran, tentang orang jenius yang bisa menghidupkan kembali pasien mati otak ini. Tama berdiri membisu. Tangannya terkepal erat. Ia benar-benar tidak bisa mempercayai ini. Siapa orang hebat yang bisa melakukan ini? "Dokter Tama, apakah Anda yang menyelamatkan pasien ini?" "Anda dokter jenius... ini pasti kerja Anda, bukan?" "Lagipula, dia adalah pasien dalam tanggung jawab Anda, kan?" Seketika semua tatapan mengarah padanya. Dengan pandangan penuh kekaguman, dan rasa hormat. Mulut mereka menyebut namanya dengan nada memuja. Tama sempat ragu. Tapi kemudian, ia tersenyum, angkuh dan licik. "Ah... kalian ini. Saya sudah berusaha menyembunyikannya, tapi ternyata kalian tahu juga, ya?" ucapnya tanpa malu, seolah benar-benar pahlawan di balik mukjizat itu.Ketika El tiba di lokasi kecelakaan terjadi, aroma dari besi, asap, dan darah yang anyir langsung menusuk indera penciumannya. Pemandangan di depannya saat ini membuat napas El langsung tercekat: ada sekitar sepuluh mobil berserakan tak karuan di jalanan, beberapa dari mobil itu ringsek parah hingga saling menindih. Dan ada juga dua mobil yang terlihat tergantung di bawah jurang, hanya tersangkut bebatuan dan pepohonan. Suara tangis yang menyayat hati, jeritan kesakitan, dan teriakan panik memenuhi udara di tempat itu. Sirene ambulan meraung-raung, lampu strobo merah-biru memantul liar di permukaan jalan. El bergegas turun dari dalam mobilnya. Seorang paramedis tampak berlari ke arahnya, wajahnya terlihat penuh dengan keringat. “Dokter El! Syukurlah Anda datang. Situasinya saat ini sangat kacau, ada terlalu banyak korban. Kami bahkan kekurangan tangan untuk menolong mereka yang terjepit.” El mengangguk cepat mendengar laporan itu. “Tunjukkan semua titik korban. Saya akan b
“Pak! Pak, bangun!” teriak seorang wanita. El dan Azalea sontak menoleh. Seorang pria paruh baya tergeletak tak berdaya di lantai, tubuhnya kejang-kejang hebat. Mulutnya keluar busa, matanya mendelik ke atas. Kakinya menghentak-hentak keras ke lantai. Refleks dokter dalam diri El langsung aktif. Ia langsung bangkit dan berdiri, bahkan kursinya hampir saja terjatuh. “Kami adalah dokter!” serunya dengan suara keras. “Semuanya tolong mundur, beri kami ruang!” Azalea segera menyusul El, wajahnya langsung berubah serius. “Jangan pegang tubuhnya sembarangan! Jauhkan benda berbahaya dari sekitarnya!” Orang-orang yang mendengar kalau El dan Azalea adalah seorang dokter, segera menjauh dari sana dan memberikan jalan. El berlutut di sisi pria itu, matanya menilai dengan tajam, dan dalam sekali lihat, ia langsung mengetahui apa yang terjadi pada pria itu. Kejang epilepsi… grand mal. “Azalea, tolong ambilkan jaketku, gulung, dan taruh di bawah kepalanya agar tidak terbentur,” perintah E
Keesokan paginya, sinar matahari menerobos masuk lewat jendela kamar El, menyentuh wajahnya yang masih lelah. Namun, janji yang ia buat pada Azalea kemarin, kembali menguatkan semangatnya. Hari ini, mereka sudah sepakat untuk pergi jalan-jalan bersama. Anggap saja sebagai kencan pertama mereka sejak menjadi sepasang kekasih. El kemudian bersiap dengan sederhana namun rapi, lalu menyalakan mobilnya dan menuju rumah Azalea. Sesampainya di sana, ia sempat berpikir untuk masuk dan menyapa orangtua kekasihnya itu sebagai bentuk sopan santunnya terhadap mereka. Tapi Azalea yang sudah menunggunya di teras rumah tersenyum sambil berkata lembut, “Orang tuaku sedang di luar kota, El. Jadi… hanya ada aku dan beberapa asisten rumah tangga.” El mengangguk pelan mendengar perkataan kekasihnya itu. Senyum samar muncul di wajahnya. “Kalau begitu, aku bisa menculikmu seharian penuh tanpa ada yang marah,” ucapnya, dengan setengah bercanda. Azalea tertawa kecil, matanya berkilat malu-malu saat men
Tawa rendah itu terdengar seperti gema yang bergulung-gulung, menimbulkan getaran halus di ruang hampa itu. Tabib terkutuk menundukkan wajahnya, seolah menyimpan rahasia yang tak ingin ia ucapkan begitu saja. “Sorin Angkara…” Tabib Terkutuk bergumam pelan, matanya kemudian menyipit seolah mencoba menembus jarak dan waktu agar mengingat kembali memori yang tersimpan lama. “Nama itu terdengar tidak asing di telingaku. Meskipun aku sendiri belum pernah berjumpa langsung dengannya. Tapi, aku ingat… dulu aku pernah mendengar nama itu disebut-sebut oleh seorang musuh lamaku. Seorang Ahli Racun yang kejam, bernama Lesmana.” Elvario mendengarkan dengan tegang. Lesmana? Nama itu baru kali ini ia dengar, tapi dari nada gurunya, ia bisa merasakan kebencian mendalam yang tidak main-main. Mungkinkah dendam lama? “Ahli Racun?” ulang El pelan. Matanya menatap seperti sedang meminta penjelasan dari gurunya. Tabib terkutuk kemudian tersenyum tipis, matanya yang redup berkilat aneh. “Ya. D
Nama di layar membuat mata El menyipit. Panggilan itu ternyata dari salah satu orang kepercayaannya. Yaitu seorang informan bayangan yang ia tugaskan untuk menyelidiki sumber racun langka yang digunakan untuk menyerang Tuan Sujana beberapa waktu lalu. El mengangkat panggilan itu tanpa ragu. “Ya, ada apa, katakan,” ucap El singkat, suaranya terdengar dalam dan juga dingin. Di seberang sana, terdengar suara laki-laki dengan nada terengah, seolah baru saja menghindari sesuatu yang berbahaya. “Tuan Elvario… saya sudah menemukannya. Jejak pemasok racun itu.” El mengepalkan jemarinya di atas setir. Akhirnya, setelah beberapa lama ia hanya bisa menunggu, akhirnya sekarang dia bisa mengetahui siapa dalangnya. “Bicaralah dengan jelas. Siapa dia?” “Namanya… Sorin Angkara. Dia bukan orang yang biasa muncul di publik. Tidak banyak orang yang tahu soal keberadaannya. Tapi saya berhasil menemukan bahwa dia punya jaringan tersembunyi di wilayah perbatasan timur. Dia yang memasok rac
Namun, bagi Alya, kata-kata itu adalah pisau tajam yang menusuk tanpa ampun. Ia menoleh perlahan, dan tatapannya jatuh pada Azalea. Sorot matanya penuh dengan emosi campur aduk, rasa kaget, sakit, marah, dan tidak rela. “Kamu…” suaranya parau, nyaris seperti bisikan. “Kamu benar-benar menjalin hubungan dengan Dokter El?” Mata Alya menatap Azalea dengan tajam. Seperti pisau yang siap melukainya kapan saja. Azalea bergeming. Ia tidak pernah menyangka harus berhadapan dengan tatapan setajam itu. Ada rasa bersalah yang samar, meski ia tahu ia tidak melakukan kesalahan apa pun. Alya melangkah maju, suaranya meninggi, kini penuh emosi. “Azalea! Kamu tahu kan, aku sudah menyatakan perasaanku padanya lebih duku. Aku bahkan mengatakannya di depan ayahku! Kenapa kamu melakukan ini padaku, Dokter Azalea?” Rasa sakit yang teramat besar terlihat jelas dari mata Alya. Dia benar-benar syok dengan kebenaran yang baru saja diketahuinya. Alya melanjutkan kata-kata penuh amarahnya. “Dokter Azalea