Share

Dokter Jenius: Tangan Emas Sang Penyembuh
Dokter Jenius: Tangan Emas Sang Penyembuh
Author: Cutegurl

1. Mustahil

Author: Cutegurl
last update Last Updated: 2025-05-15 14:34:33

Di sebuah rumah sakit di kota Samara, terjadi sebuah keajaiban yang membuat para dokter dan perawat geger.

Bagaimana tidak—seorang pasien mati otak yang telah dinyatakan meninggal malam sebelumnya, tiba-tiba saja hidup kembali. Bahkan kini, pasien itu telah sadar sepenuhnya.

“Bagaimana ini bisa terjadi?”

“Tidak mungkin... ini pasti mimpi. Tolong cubit aku!”

Keributan pun tak terelakkan. Semua merasa apa yang mereka lihat pagi ini bertentangan dengan logika medis.

“Jangan-jangan... dia yang melakukannya,” gumam salah satu perawat, cukup lantang hingga didengar yang lain.

“Siapa maksudmu?” tanya rekannya.

“Kalian lupa? Semalam ada dokter baru yang datang—katanya ingin memeriksa jenazah pasien sebelum dibawa ke ruang pendingin. Apa mungkin... dia?”

Para perawat saling pandang, tatapan mereka berubah gugup. Mereka memang mengingat pria itu. Dokter asing dengan wajah tenang dan sorot mata tajam yang muncul entah dari mana. Tapi... mungkinkah dia?

“Jangan konyol! Pasien itu sudah mati otak. Semua alat penunjang sudah dilepas!”

“Lalu, siapa yang melakukannya?” tanya si perawat kembali.

Tak ada yang menjawab. Hening menggantung di udara. Bahkan dokter senior yang biasanya skeptis, kini berdiri kaku. Bulu kuduk mereka berdiri.

Dan saat itulah... suara langkah kaki terdengar di ujung koridor.

Semua mata menoleh.

Seorang pria berusia sekitar tiga puluhan berjalan tenang di antara mereka. Wajahnya tampan, tapi dingin. Sorot matanya tajam dan karismatik. Jas dokter putih membungkus tubuh tegapnya, membuat sosoknya terlihat lebih gagah dan tak tersentuh.

“Dokter?” seru salah satu perawat, nyaris tak percaya.

Pria itu hanya tersenyum tipis. Tanpa menjawab, ia melangkah masuk ke ruangan tempat pasien itu dirawat. Semua orang menahan napas.

“Bagaimana kondisi Anda?” tanyanya lembut.

Pasien itu, yang sebelumnya koma berkepanjangan, tersenyum. Wajahnya pucat, tapi kini dia hidup.

“Terima kasih, Dokter... Anda menyelamatkan saya,” katanya penuh haru.

Semua yang mendengar itu menegang. Tatapan mereka beralih cepat ke pria yang masih berdiri tenang di sisi ranjang.

“Tidak perlu berterima kasih. Menolong orang adalah tugasku.”

Ia menoleh sebentar, lalu menambahkan, “Perawat akan melanjutkan perawatan Anda. Dan ... jaga baik-baik tubuh Anda. Saya tidak berniat menyelamatkan orang yang ingin mati dua kali.”

Pria itu keluar dari ruangan tanpa menoleh ke belakang dengan langkah tenang.

Namanya adalah Elvario, dia baru satu hari menginjakkan kaki di Rumah Sakit Samara.

Saat itu, ia melangkah menyusuri lorong dingin rumah sakit ketika telinganya menangkap suara perawat yang sedang berbisik—tentang seorang pasien yang mati otak dan alat penopang hidupnya baru saja dicabut.

“Pasien itu... benar-benar sudah tidak ada harapan,” kata salah seorang perawat.

Langkah El terhenti. Ia menoleh.

“Tidak ada harapan?” gumamnya lirih, hampir seperti ejekan. “Kalian terlalu cepat menyerah.”

Karena penasaran, dia ingin melihat langsung pasien tersebut. Dan dalam sekali pandang, dia tahu kalau dirinya bisa menyelamatkannya.

Tiba-tiba, langkah El terhenti ketika layar televisi di ruang tunggu menayangkan sebuah berita.

“Dokter muda Tama kembali menyabet penghargaan tertinggi untuk Misi Kemanusiaan di wilayah konflik... ”

Nama itu.

Dada El mengencang. Tangan yang sejak tadi berada di saku jas putih kini mengepal erat. Rahangnya mengeras. Dan matanya... dingin.

Tama. Nama yang seharusnya sudah terkubur bersama masa lalunya yang kelam. Elvario membenci nama itu!

Ia kemudian menghela napas tajam melirik tampilan Tama di layar.

“Kau bahkan tidak layak memakai jas putih itu.”

Dulu, El adalah dokter jenius. Ia dikirim dalam misi kemanusiaan bersama Sera—tunangan yang ia cintai, dan Tama—sahabat yang ia percaya.

Misi itu seharusnya menyelamatkan banyak nyawa.

Tapi ternyata, Tama punya rencana lain.

Saat malam itu datang, El merasa tubuhnya aneh setelah meminum minuman yang diberikan oleh Tama.

Dunia seperti berputar, lalu rasa perih yang membakar dari dalam organ tubuhnya menyebar dengan cepat. Ia terjatuh, darah menyembur dari mulutnya. Napasnya terputus-putus.

Dan di ujung kesadarannya, ia melihat Tama.

Pria itu tertawa mengejeknya, bergandengan dengan Sera. Mereka berdua lalu meninggalkannya di tanah penuh lumpur dan darah. Dan sebuah kotak kecil—bekas racun—jatuh dari tangan Tama dan terhempas ke tanah.

Sakit di tubuh El tak sebanding dengan luka yang menganga di hatinya.

Dalam perjuangan terakhir, tubuh El menggeliat. Darah yang mengalir dari mulutnya menetes ke cincin giok kehijauan yang tersemat di jarinya. Cincin itu adalah hadiah dari pria tua misterius yang pernah ia selamatkan.

Dan saat darah menyentuh giok itu...

ZRAKK!

Cahaya menyilaukan meledak dari dalam cincin. Lalu semuanya gelap.

Elvario tidak mati.

Ia... terjebak.

Ternyata, cincin itu adalah segel kutukan kuno. Dan darah seseorang yang berada di ambang kematian telah membuka gerbangnya.

Di dalam cincin itu, El dipertemukan dengan satu-satunya makhluk yang masih hidup—Tabib Terkutuk. Seorang legenda kelam dunia pengobatan, dibuang dan dicap sebagai iblis oleh semua klan medis karena ilmunya terlalu 'berbahaya'.

Namun ilmu itu... menyelamatkan El.

Selama terjebak di dalam cincin giok itu, El menjadi murid dari Tabib Terkutuk.

Ia mempelajari semua pengobatan langka dari Tabib Terkutuk. Bahkan ia bisa mengetahui penyakit seseorang, hanya dari melihat tubuh orang itu.

Suara tawa dari televisi kembali menggema, menusuk telinga Elvario.

Tama tersenyum lebar di layar, dikerumuni wartawan, mengenakan jas putih kebanggaannya seolah ia pahlawan dunia medis.

“Tertawalah selagi bisa, Tama. Kini aku sudah kembali. Dan aku pasti akan membalas semua yang sudah kau lakukan padaku!”

El menarik napas panjang.

Tangan yang semula terkepal perlahan mengendur, namun kilatan di matanya tetap tak surut.

El kemudian memalingkan wajahnya. Tak ada gunanya melihat berita itu lebih lama.

Tak lama setelah itu, berita tentang pasien mati otak yang kembali sadar menyebar seperti api. Rumah sakit gempar. Dunia medis geger.

Dan tentu saja, kabar itu cepat sampai ke telinga Tama.

Setelah acara penghargaan usai, Tama datang tergesa ke rumah sakit bersama rombongan dokter.

Namun, begitu melihat langsung kondisi pasien yang kini duduk sadar dan bisa berbicara, semua orang membelalak.

"Ini mustahil..."

"Siapa yang bisa melakukan ini?"

"Ini di luar logika medis!"

Para dokter itu terpaku. Kekaguman, kebingungan, dan rasa tidak percaya bercampur dalam sorot mata mereka. Mereka penasaran, tentang orang jenius yang bisa menghidupkan kembali pasien mati otak ini.

Tama berdiri membisu. Tangannya terkepal erat. Ia benar-benar tidak bisa mempercayai ini. Siapa orang hebat yang bisa melakukan ini?

"Dokter Tama, apakah Anda yang menyelamatkan pasien ini?"

"Anda dokter jenius... ini pasti kerja Anda, bukan?"

"Lagipula, dia adalah pasien dalam tanggung jawab Anda, kan?"

Seketika semua tatapan mengarah padanya. Dengan pandangan penuh kekaguman, dan rasa hormat.

Mulut mereka menyebut namanya dengan nada memuja.

Tama sempat ragu. Tapi kemudian, ia tersenyum, angkuh dan licik.

"Ah... kalian ini. Saya sudah berusaha menyembunyikannya, tapi ternyata kalian tahu juga, ya?" ucapnya tanpa malu, seolah benar-benar pahlawan di balik mukjizat itu.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Dokter Jenius: Tangan Emas Sang Penyembuh    5. Menyembuhkan

    Perjalanan menuju rumah orang tuanya terasa begitu sunyi dan juga sangat lama. Ibu pemilik kedai itu duduk di jok belakang motor, menunjukkan arah sambil sesekali menatap punggung Elvario yang membisu. Ia tahu, pemuda itu sedang menahan sesuatu yang dalam—lebih dalam dari sekadar rindu.Motor itu akhirnya berhenti di depan sebuah rumah kecil yang tampak sederhana. Dindingnya mulai kusam, dan halaman depannya dipenuhi tanaman liar yang tumbuh tanpa terurus. Tapi lampu di beranda menyala hangat, seakan masih ada secercah harapan di dalamnya.“Itu rumahnya. Ketuk saja pintunya, orang tuamu ada di dalam. Aku pamit ya, Nak,” ujar wanita tadi lembut. El mengangguk pelan. "Terima kasih karena sudah mengantarku, ya, Bu," ujar El, menunduk hormat. Wanita itu kemudian tersenyum kecil dan mengangguk. Ia melangkah meninggalkan El sendirian sembari menatap rumah yang didalamnya ada kedua orang tuanya.Ep lalu melangkah perlahan ke depan pintu.Ia mengangkat tangannya, hendak mengetuk… namun rag

  • Dokter Jenius: Tangan Emas Sang Penyembuh    4. Bertemu masa lalu

    Setelah menyelesaikan operasi darurat yang menegangkan, Elvario berjalan keluar dari ruang bedah dengan langkah tenang. Wajahnya tak menunjukkan lelah sedikit pun, meski bajunya bernoda darah dan sarung tangannya baru saja dilepas. Tatapannya tetap tajam, penuh perhitungan. Begitu kembali ke UGD, langkahnya terhenti. Di lorong yang lengang, seorang wanita berdiri membelakanginya. Rambut panjang bergelombang itu tampak familiar. Jas dokter yang melekat di tubuh rampingnya membingkai siluet yang pernah ada dalam hidup Elvario—seseorang yang seharusnya sudah lama ia kubur dalam ingatan. Wanita itu menoleh. Mata mereka bersirobok. Detik itu juga, dunia wanita itu seolah runtuh. "E-El...?" gumamnya lirih, tangan terangkat menutupi mulutnya. Tubuhnya mundur satu langkah, seakan menghadapi hantu dari masa lalu. Napasnya tercekat, jantungnya berdegup liar. Wajahnya memucat seketika. Elvario tidak menunjukkan reaksi berarti. Ia hanya memandang datar, lalu mengalihkan tatapannya

  • Dokter Jenius: Tangan Emas Sang Penyembuh    3. Dipermalukan

    Semua menoleh. Elvario sudah berdiri di sana, lengkap dengan sarung tangan dan mata setajam belati. Tatapannya menusuk ke arah Tama. Tama mencibir. “Kau lagi? Aku rasa seharusnya kau tahu tempatmu, Elvario. Kau mungkin baru, tapi semua orang di sini tahu siapa aku. Aku yang menyelamatkan pasien mati otak semalam. Kau sendiri melihat pasien itu tampak sehat pagi ini, kan?” Orang-orang saling pandang, tampak ragu. El tetap diam, ia berjalan mendekati layar monitor yang baru saja menampilkan hasil CT-scan. Kemudian, El menunjuk area temporal pasien. “Kalau kau melakukan kraniotomi dari parietal, pasien ini akan mati kehabisan darah dalam empat menit. Ini bukan hematoma subdural, tapi epidural hematoma dengan ruptur arteri meningea media. Titik perdarahannya jelas.” Tama menatap layar, lalu Elvario. “Aku tahu perbedaan antara epidural dan subdural. Jangan ajari aku soal anatomi dasar.” “Kalau kau tahu, mengapa kau ingin membedah dari sisi yang salah?” “Aku tidak salah!” bentak Tam

  • Dokter Jenius: Tangan Emas Sang Penyembuh    2. Bertemu musuh lama

    Tepat saat itu, dari ujung lorong terdengar suara datar dan tenang. “Lucu sekali. Bagaimana mungkin aku Anda? Padahal saya tidak melihat Anda di ruangan pasien semalam.” Semua menoleh. Elvario berdiri di sana, menyandarkan tubuh pada dinding dengan tangan bersilang. Sorot matanya tajam, nyaris menusuk. Tama mendongak, tubuhnya kaku. Wajahnya pucat. Jantungnya mencelos saat matanya menangkap sosok pria berjas putih yang berjalan mendekat. Tegap. Gagah. Dan... terasa sangat familiar. “Tidak mungkin...” desisnya, nyaris tanpa suara. Pria itu—dengan wajah dingin dan sorot mata menusuk—berdiri di ambang pintu. Rambutnya hitam legam, rapi. Aura yang ia bawa seolah menekan atmosfer ruangan. Para perawat langsung memberi jalan tanpa sadar, seperti tunduk pada kekuatan tak kasat mata. Elvario berdiri tegak. Menatap pasien yang kini sadar, lalu matanya bergerak perlahan... menatap langsung ke arah Tama. Tatapan mereka bersirobok. Dan dunia seolah membeku. Tama mematung. Wajah itu...

  • Dokter Jenius: Tangan Emas Sang Penyembuh    1. Mustahil

    Di sebuah rumah sakit di kota Samara, terjadi sebuah keajaiban yang membuat para dokter dan perawat geger.Bagaimana tidak—seorang pasien mati otak yang telah dinyatakan meninggal malam sebelumnya, tiba-tiba saja hidup kembali. Bahkan kini, pasien itu telah sadar sepenuhnya.“Bagaimana ini bisa terjadi?”“Tidak mungkin... ini pasti mimpi. Tolong cubit aku!”Keributan pun tak terelakkan. Semua merasa apa yang mereka lihat pagi ini bertentangan dengan logika medis.“Jangan-jangan... dia yang melakukannya,” gumam salah satu perawat, cukup lantang hingga didengar yang lain.“Siapa maksudmu?” tanya rekannya.“Kalian lupa? Semalam ada dokter baru yang datang—katanya ingin memeriksa jenazah pasien sebelum dibawa ke ruang pendingin. Apa mungkin... dia?”Para perawat saling pandang, tatapan mereka berubah gugup. Mereka memang mengingat pria itu. Dokter asing dengan wajah tenang dan sorot mata tajam yang muncul entah dari mana. Tapi... mungkinkah dia?“Jangan konyol! Pasien itu sudah mati otak.

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status