Semua menoleh.
Elvario sudah berdiri di sana, lengkap dengan sarung tangan dan mata setajam belati. Tatapannya menusuk ke arah Tama. Tama mencibir. “Kau lagi? Aku rasa seharusnya kau tahu tempatmu, Elvario. Kau mungkin baru, tapi semua orang di sini tahu siapa aku. Aku yang menyelamatkan pasien mati otak semalam. Kau sendiri melihat pasien itu tampak sehat pagi ini, kan?” Orang-orang saling pandang, tampak ragu. El tetap diam, ia berjalan mendekati layar monitor yang baru saja menampilkan hasil CT-scan. Kemudian, El menunjuk area temporal pasien. “Kalau kau melakukan kraniotomi dari parietal, pasien ini akan mati kehabisan darah dalam empat menit. Ini bukan hematoma subdural, tapi epidural hematoma dengan ruptur arteri meningea media. Titik perdarahannya jelas.” Tama menatap layar, lalu Elvario. “Aku tahu perbedaan antara epidural dan subdural. Jangan ajari aku soal anatomi dasar.” “Kalau kau tahu, mengapa kau ingin membedah dari sisi yang salah?” “Aku tidak salah!” bentak Tama. “Aku yang punya wewenang di sini. Dan aku tidak butuh bantuan dari orang yang bahkan baru muncul kemarin entah dari mana.” El menghela napas, lalu memandang sekeliling. “Baik. Kalau begitu... tolong perlihatkan pada kami semua. Di mana tepatnya lokasi arteri meningea media berada di CT ini, Dokter Tama?” Tama terdiam. El menyilangkan tangan. “Ayo, tunjukkan. Kau bilang, kau adalah dokter bedah saraf terbaik di negeri ini, bukan? Maka buktikan.” Ruangan hening. Perawat dan dokter muda yang tadinya berdiri di sisi Tama mulai terlihat gelisah. Tama menatap layar, lalu kembali menatap El. Wajahnya menegang. Tangannya bergerak pelan, menunjuk sebuah titik di layar, lalu El mendesis pelan. “Itu bukan arteri meningea media. Itu sinus sagital superior.” Beberapa dokter menahan napas. “Aku bisa bantu koreksi kalau kau masih bingung,” lanjut El, suaranya datar, tapi penuh sindiran yang menusuk. Wajah Tama memerah, tapi ia masih bersikeras. Kalau dia mengalah, harga dirinya benar-benar hancur kali ini. "Minggir! Jangan mengajari aku! Kau hanya seorang dokter baru di rumah sakit ini!" Elvario menatap Tama dengan sorot tegas. “Kau akan membunuh pasien ini, Dokter Tama.” “Aku yang bertanggung jawab di sini! Mundur.” Beberapa detik Elvario hanya diam. Lalu, dengan napas berat, ia melangkah mundur. “Baik,” katanya lirih. “Lakukan sesuai kehendakmu.” Tama segera memakai sarung tangan, mengambil alih instrumen, dan mulai menyiapkan prosedur. Namun tak sampai dua menit setelah ia mulai membuka flap tengkorak, semuanya mulai kacau. Monitor jantung berbunyi kencang, membuat kepanikan diruangan itu bertambah berkali-kali lipat. “Tekanan darah drop!” seru seorang perawat berteriak dengan wajah panik. “Pupil melebar dua sisi!” “Pasien mengalami herniasi otak!” teriak dokter lain panik. Tama terpaku. Darah menyembur dari celah tulang yang baru ia buka. Pandangannya mulai gemetar. “I—ini... ini bukan yang aku duga...” “Tamponade! Cepat!” seru salah satu asisten, mencoba menahan pendarahan. Namun semua sudah terlambat. “SpO2 drop ke 70!” “Kejang mulai!” “Dia masuk koma!” Tama mundur satu langkah, wajahnya pucat. Tangannya bergetar hebat. Dalam kekacauan itu, Elvario maju kembali. “Pindahkan ke meja operasi. Siapkan bor sisi temporal. Kita masih punya waktu 3 menit sebelum batang otaknya lumpuh total.” Tak ada yang membantah kali ini. Semua langsung bergerak sesuai arahan El. Sambil berganti sarung tangan dan memeriksa kembali kondisi pasien yang nyaris kolaps, El berkata tanpa menatap Tama, “Ilmu tidak seharusnya digunakan untuk membuktikan siapa yang lebih unggul. Tapi untuk menyelamatkan nyawa. Tapi kau lebih memilih ego.” Tama berdiri terpaku, tak bisa berkata apa-apa. El seperti melemparkan seonggok kotoran ke wajahnya. Dia merasa sangat malu. Pasien sudah dipindahkan ke ruang tindakan dengan cepat. Elvario berdiri di sisi kanan kepala pasien, wajahnya tenang tapi penuh fokus. Ia tak butuh banyak bicara. Satu isyarat mata dan perawat langsung menyiapkan bor, suction, dan klem. “Titik insisi temporal kiri. Garis linear ke anterior. Siapkan drainase,” ucap El cepat. Tangannya bergerak seperti mesin. Tegas. Tajam. Tanpa keraguan. Kulit kepala dibuka, tulang kepala dibor. Begitu flap diangkat, darah muncrat, tapi Elvario sudah siap. Ia langsung mengangkat bekuan darah dan menghentikan perdarahan arteri meningea media dengan klip mikro. Monitor mulai menunjukkan perubahan. “Tekanan darah naik kembali.” “SpO2 stabil!” “Refleks pupil kembali responsif!” “Dia kembali... pasien kembali!” Seruan lega terdengar dari seluruh ruangan. Suara tepukan ringan, helaan napas yang tadi tertahan. Namun tak semua orang yang ada di sana bersorak. Di sudut ruangan, ada Tama yang berdiri membeku. Matanya menatap prosedur yang dilakukan Elvario seolah tak percaya. Ia melihat bagaimana semua orang bergerak sesuai irama El, tanpa banyak perintah, tanpa ada kekacauan. Semua berjalan seperti koreografi yang sudah dilatih ratusan kali. “Kenapa dia bisa... secepat itu?” bisik Tama pada dirinya sendiri. “Padahal... aku juga tahu teorinya... aku juga bisa...” Namun kenyataannya berkata lain. Tangannya yang tadi gemetar saat operasi kini terasa beku. Ia bahkan tak bisa menjawab dalam pikirannya sendiri. Yang paling menyakitkan bukan hanya karena Elvario berhasil dan mengalahkannya—tapi karena semua mata kini menatap El dengan kekaguman. Dan orang-orang mulai mengabaikannya. Perawat yang tadi ragu-ragu kini menatap El dengan mata berbinar. Asisten bedah yang tadi tampak gugup, kini berseri-seri karena menyaksikan operasi darurat yang nyaris mustahil itu berhasil diselamatkan. Dan Tama? Ia merasa seperti bayangan di pojok ruangan. Tak ada yang mempedulikannya sekarang. Elvario akhirnya melepaskan sarung tangan, melepas masker, dan menghela napas pelan. “Pasien stabil. Pantau tekanan intrakranial selama 24 jam. Siapkan ICU,” ucapnya sebelum berjalan keluar ruangan. Ia tak menoleh ke arah Tama sekali pun. Namun justru itu yang membuat dada Tama semakin sesak. Ia merasa harganya dirinya benar-benar hancur kali ini. Ia merasa diremehkan. Ditinggalkan. Dihakimi tanpa sepatah kata. Tapi ia juga... dihancurkan oleh kenyataan bahwa Elvario memang jauh di atasnya. Tama mengepalkan tangan. Wajahnya tegang. Antara marah dan tak berdaya. “Dia bukan dewa...” gumam Tama lirih. “Dia cuma manusia... aku juga bisa melampauinya... suatu hari nanti...”Ketika El tiba di lokasi kecelakaan terjadi, aroma dari besi, asap, dan darah yang anyir langsung menusuk indera penciumannya. Pemandangan di depannya saat ini membuat napas El langsung tercekat: ada sekitar sepuluh mobil berserakan tak karuan di jalanan, beberapa dari mobil itu ringsek parah hingga saling menindih. Dan ada juga dua mobil yang terlihat tergantung di bawah jurang, hanya tersangkut bebatuan dan pepohonan. Suara tangis yang menyayat hati, jeritan kesakitan, dan teriakan panik memenuhi udara di tempat itu. Sirene ambulan meraung-raung, lampu strobo merah-biru memantul liar di permukaan jalan. El bergegas turun dari dalam mobilnya. Seorang paramedis tampak berlari ke arahnya, wajahnya terlihat penuh dengan keringat. “Dokter El! Syukurlah Anda datang. Situasinya saat ini sangat kacau, ada terlalu banyak korban. Kami bahkan kekurangan tangan untuk menolong mereka yang terjepit.” El mengangguk cepat mendengar laporan itu. “Tunjukkan semua titik korban. Saya akan b
“Pak! Pak, bangun!” teriak seorang wanita. El dan Azalea sontak menoleh. Seorang pria paruh baya tergeletak tak berdaya di lantai, tubuhnya kejang-kejang hebat. Mulutnya keluar busa, matanya mendelik ke atas. Kakinya menghentak-hentak keras ke lantai. Refleks dokter dalam diri El langsung aktif. Ia langsung bangkit dan berdiri, bahkan kursinya hampir saja terjatuh. “Kami adalah dokter!” serunya dengan suara keras. “Semuanya tolong mundur, beri kami ruang!” Azalea segera menyusul El, wajahnya langsung berubah serius. “Jangan pegang tubuhnya sembarangan! Jauhkan benda berbahaya dari sekitarnya!” Orang-orang yang mendengar kalau El dan Azalea adalah seorang dokter, segera menjauh dari sana dan memberikan jalan. El berlutut di sisi pria itu, matanya menilai dengan tajam, dan dalam sekali lihat, ia langsung mengetahui apa yang terjadi pada pria itu. Kejang epilepsi… grand mal. “Azalea, tolong ambilkan jaketku, gulung, dan taruh di bawah kepalanya agar tidak terbentur,” perintah E
Keesokan paginya, sinar matahari menerobos masuk lewat jendela kamar El, menyentuh wajahnya yang masih lelah. Namun, janji yang ia buat pada Azalea kemarin, kembali menguatkan semangatnya. Hari ini, mereka sudah sepakat untuk pergi jalan-jalan bersama. Anggap saja sebagai kencan pertama mereka sejak menjadi sepasang kekasih. El kemudian bersiap dengan sederhana namun rapi, lalu menyalakan mobilnya dan menuju rumah Azalea. Sesampainya di sana, ia sempat berpikir untuk masuk dan menyapa orangtua kekasihnya itu sebagai bentuk sopan santunnya terhadap mereka. Tapi Azalea yang sudah menunggunya di teras rumah tersenyum sambil berkata lembut, “Orang tuaku sedang di luar kota, El. Jadi… hanya ada aku dan beberapa asisten rumah tangga.” El mengangguk pelan mendengar perkataan kekasihnya itu. Senyum samar muncul di wajahnya. “Kalau begitu, aku bisa menculikmu seharian penuh tanpa ada yang marah,” ucapnya, dengan setengah bercanda. Azalea tertawa kecil, matanya berkilat malu-malu saat men
Tawa rendah itu terdengar seperti gema yang bergulung-gulung, menimbulkan getaran halus di ruang hampa itu. Tabib terkutuk menundukkan wajahnya, seolah menyimpan rahasia yang tak ingin ia ucapkan begitu saja. “Sorin Angkara…” Tabib Terkutuk bergumam pelan, matanya kemudian menyipit seolah mencoba menembus jarak dan waktu agar mengingat kembali memori yang tersimpan lama. “Nama itu terdengar tidak asing di telingaku. Meskipun aku sendiri belum pernah berjumpa langsung dengannya. Tapi, aku ingat… dulu aku pernah mendengar nama itu disebut-sebut oleh seorang musuh lamaku. Seorang Ahli Racun yang kejam, bernama Lesmana.” Elvario mendengarkan dengan tegang. Lesmana? Nama itu baru kali ini ia dengar, tapi dari nada gurunya, ia bisa merasakan kebencian mendalam yang tidak main-main. Mungkinkah dendam lama? “Ahli Racun?” ulang El pelan. Matanya menatap seperti sedang meminta penjelasan dari gurunya. Tabib terkutuk kemudian tersenyum tipis, matanya yang redup berkilat aneh. “Ya. D
Nama di layar membuat mata El menyipit. Panggilan itu ternyata dari salah satu orang kepercayaannya. Yaitu seorang informan bayangan yang ia tugaskan untuk menyelidiki sumber racun langka yang digunakan untuk menyerang Tuan Sujana beberapa waktu lalu. El mengangkat panggilan itu tanpa ragu. “Ya, ada apa, katakan,” ucap El singkat, suaranya terdengar dalam dan juga dingin. Di seberang sana, terdengar suara laki-laki dengan nada terengah, seolah baru saja menghindari sesuatu yang berbahaya. “Tuan Elvario… saya sudah menemukannya. Jejak pemasok racun itu.” El mengepalkan jemarinya di atas setir. Akhirnya, setelah beberapa lama ia hanya bisa menunggu, akhirnya sekarang dia bisa mengetahui siapa dalangnya. “Bicaralah dengan jelas. Siapa dia?” “Namanya… Sorin Angkara. Dia bukan orang yang biasa muncul di publik. Tidak banyak orang yang tahu soal keberadaannya. Tapi saya berhasil menemukan bahwa dia punya jaringan tersembunyi di wilayah perbatasan timur. Dia yang memasok rac
Namun, bagi Alya, kata-kata itu adalah pisau tajam yang menusuk tanpa ampun. Ia menoleh perlahan, dan tatapannya jatuh pada Azalea. Sorot matanya penuh dengan emosi campur aduk, rasa kaget, sakit, marah, dan tidak rela. “Kamu…” suaranya parau, nyaris seperti bisikan. “Kamu benar-benar menjalin hubungan dengan Dokter El?” Mata Alya menatap Azalea dengan tajam. Seperti pisau yang siap melukainya kapan saja. Azalea bergeming. Ia tidak pernah menyangka harus berhadapan dengan tatapan setajam itu. Ada rasa bersalah yang samar, meski ia tahu ia tidak melakukan kesalahan apa pun. Alya melangkah maju, suaranya meninggi, kini penuh emosi. “Azalea! Kamu tahu kan, aku sudah menyatakan perasaanku padanya lebih duku. Aku bahkan mengatakannya di depan ayahku! Kenapa kamu melakukan ini padaku, Dokter Azalea?” Rasa sakit yang teramat besar terlihat jelas dari mata Alya. Dia benar-benar syok dengan kebenaran yang baru saja diketahuinya. Alya melanjutkan kata-kata penuh amarahnya. “Dokter Azalea