Share

3. Dipermalukan

Penulis: Cutegurl
last update Terakhir Diperbarui: 2025-05-16 11:34:21

Semua menoleh.

Elvario sudah berdiri di sana, lengkap dengan sarung tangan dan mata setajam belati. Tatapannya menusuk ke arah Tama.

Tama mencibir. “Kau lagi? Aku rasa seharusnya kau tahu tempatmu, Elvario. Kau mungkin baru, tapi semua orang di sini tahu siapa aku. Aku yang menyelamatkan pasien mati otak semalam. Kau sendiri melihat pasien itu tampak sehat pagi ini, kan?”

Orang-orang saling pandang, tampak ragu.

El tetap diam, ia berjalan mendekati layar monitor yang baru saja menampilkan hasil CT-scan.

Kemudian, El menunjuk area temporal pasien. “Kalau kau melakukan kraniotomi dari parietal, pasien ini akan mati kehabisan darah dalam empat menit. Ini bukan hematoma subdural, tapi epidural hematoma dengan ruptur arteri meningea media. Titik perdarahannya jelas.”

Tama menatap layar, lalu Elvario. “Aku tahu perbedaan antara epidural dan subdural. Jangan ajari aku soal anatomi dasar.”

“Kalau kau tahu, mengapa kau ingin membedah dari sisi yang salah?”

“Aku tidak salah!” bentak Tama. “Aku yang punya wewenang di sini. Dan aku tidak butuh bantuan dari orang yang bahkan baru muncul kemarin entah dari mana.”

El menghela napas, lalu memandang sekeliling.

“Baik. Kalau begitu... tolong perlihatkan pada kami semua. Di mana tepatnya lokasi arteri meningea media berada di CT ini, Dokter Tama?”

Tama terdiam.

El menyilangkan tangan. “Ayo, tunjukkan. Kau bilang, kau adalah dokter bedah saraf terbaik di negeri ini, bukan? Maka buktikan.”

Ruangan hening. Perawat dan dokter muda yang tadinya berdiri di sisi Tama mulai terlihat gelisah.

Tama menatap layar, lalu kembali menatap El. Wajahnya menegang. Tangannya bergerak pelan, menunjuk sebuah titik di layar—lalu El mendesis pelan.

“Itu bukan arteri meningea media. Itu sinus sagital superior.”

Beberapa dokter menahan napas.

“Aku bisa bantu koreksi kalau kau masih bingung,” lanjut El, suaranya datar, tapi penuh sindiran yang menusuk.

Wajah Tama memerah, tapi ia masih bersikeras. Kalau dia mengalah, harga dirinya benar-benar hancur kali ini. "Minggir! Jangan mengajari aku! Kau hanya seorang dokter baru di rumah sakit ini!"

Elvario menatap Tama dengan sorot tegas. “Kau akan membunuh pasien ini, Dokter Tama.”

“Aku yang bertanggung jawab di sini! Mundur.”

Beberapa detik Elvario hanya diam. Lalu, dengan napas berat, ia melangkah mundur.

“Baik,” katanya lirih. “Lakukan sesuai kehendakmu.”

Tama segera memakai sarung tangan, mengambil alih instrumen, dan mulai menyiapkan prosedur.

Namun tak sampai dua menit setelah ia mulai membuka flap tengkorak—semuanya mulai kacau.

Monitor jantung berbunyi kencang, membuat kepanikan diruangan itu bertambah berkali-kali lipat.

“Tekanan darah drop!” seru seorang perawat berteriak dengan wajah panik.

“Pupil melebar dua sisi!”

“Pasien mengalami herniasi otak!” teriak dokter lain panik.

Tama terpaku. Darah menyembur dari celah tulang yang baru ia buka. Pandangannya mulai gemetar.

“I—ini... ini bukan yang aku duga...”

“Tamponade! Cepat!” seru salah satu asisten, mencoba menahan pendarahan.

Namun semua sudah terlambat.

“SpO2 drop ke 70!”

“Kejang mulai!”

“Dia masuk koma!”

Tama mundur satu langkah, wajahnya pucat. Tangannya bergetar hebat.

Dalam kekacauan itu, Elvario maju kembali.

“Pindahkan ke meja operasi. Siapkan bor sisi temporal. Kita masih punya waktu 3 menit sebelum batang otaknya lumpuh total.”

Tak ada yang membantah kali ini. Semua langsung bergerak sesuai arahan El.

Sambil berganti sarung tangan dan memeriksa kembali kondisi pasien yang nyaris kolaps, El berkata tanpa menatap Tama, “Ilmu tidak seharusnya digunakan untuk membuktikan siapa yang lebih unggul. Tapi untuk menyelamatkan nyawa. Tapi kau lebih memilih ego.”

Tama berdiri terpaku, tak bisa berkata apa-apa. El seperti melemparkan seonggok kotoran ke wajahnya. Dia merasa sangat malu.

Pasien sudah dipindahkan ke ruang tindakan dengan cepat. Elvario berdiri di sisi kanan kepala pasien, wajahnya tenang tapi penuh fokus. Ia tak butuh banyak bicara. Satu isyarat mata dan perawat langsung menyiapkan bor, suction, dan klem.

“Titik insisi temporal kiri. Garis linear ke anterior. Siapkan drainase,” ucap El cepat.

Tangannya bergerak seperti mesin. Tegas. Tajam. Tanpa keraguan. Kulit kepala dibuka, tulang kepala dibor. Begitu flap diangkat, darah muncrat, tapi Elvario sudah siap. Ia langsung mengangkat bekuan darah dan menghentikan perdarahan arteri meningea media dengan klip mikro.

Monitor mulai menunjukkan perubahan.

“Tekanan darah naik kembali.”

“SpO2 stabil!”

“Refleks pupil kembali responsif!”

“Dia kembali... pasien kembali!”

Seruan lega terdengar dari seluruh ruangan. Suara tepukan ringan, helaan napas yang tadi tertahan.

Namun tak semua orang yang ada di sana bersorak.

Di sudut ruangan, ada Tama yang berdiri membeku. Matanya menatap prosedur yang dilakukan Elvario seolah tak percaya.

Ia melihat bagaimana semua orang bergerak sesuai irama El—tanpa banyak perintah, tanpa ada kekacauan. Semua berjalan seperti koreografi yang sudah dilatih ratusan kali.

“Kenapa dia bisa... secepat itu?” bisik Tama pada dirinya sendiri. “Padahal... aku juga tahu teorinya... aku juga bisa...”

Namun kenyataannya berkata lain. Tangannya yang tadi gemetar saat operasi kini terasa beku. Ia bahkan tak bisa menjawab dalam pikirannya sendiri.

Yang paling menyakitkan bukan hanya karena Elvario berhasil dan mengalahkannya—tapi karena semua mata kini menatap El dengan kekaguman. Dan orang-orang mulai mengabaikannya.

Perawat yang tadi ragu-ragu kini menatap El dengan mata berbinar. Asisten bedah yang tadi tampak gugup, kini berseri-seri karena menyaksikan operasi darurat yang nyaris mustahil itu berhasil diselamatkan.

Dan Tama? Ia merasa seperti bayangan di pojok ruangan. Tak ada yang mempedulikannya sekarang.

Elvario akhirnya melepaskan sarung tangan, melepas masker, dan menghela napas pelan.

“Pasien stabil. Pantau tekanan intrakranial selama 24 jam. Siapkan ICU,” ucapnya sebelum berjalan keluar ruangan.

Ia tak menoleh ke arah Tama sekali pun.

Namun justru itu yang membuat dada Tama semakin sesak. Ia merasa harganya dirinya benar-benar hancur kali ini.

Ia merasa diremehkan. Ditinggalkan. Dihakimi tanpa sepatah kata. Tapi ia juga... dihancurkan oleh kenyataan bahwa Elvario memang jauh di atasnya.

Tama mengepalkan tangan. Wajahnya tegang. Antara marah dan tak berdaya.

“Dia bukan dewa...” gumam Tama lirih. “Dia cuma manusia... aku juga bisa melampauinya... suatu hari nanti...”

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Dokter Jenius: Tangan Emas Sang Penyembuh    15. Undangan

    Lampu operasi perlahan diredupkan. Mesin monitor menunjukkan stabilisasi sempurna. Elvario menurunkan pisau bedah untuk kedua kalinya hari ini. Tangannya masih tegap, tidak gemetar sedikit pun, meski sudah lebih dari dua jam berada di bawah sorotan panas lampu bedah.“Pasien stabil,” suara salah satu dokter anestesi terdengar lega.“Pindahkan ke ICU. Pasang observasi tekanan intrakranial. Pantau selama 24 jam pertama. Jangan tinggalkan ruangannya,” ucap El, sebelum melangkah pergi.Semua orang dalam ruangan berdiri diam. Bukan karena kelelahan, tapi karena masih tidak percaya apa yang baru mereka lihat.Dua operasi besar.Dua nyawa yang hampir hilang.Diselamatkan... oleh satu orang.El membuka pintu ruang operasi, menyibak dinginnya AC rumah sakit dengan langkah tenang. Tapi di luar sana, dunia sedang berguncang.Beberapa menit kemudian. “Breaking News! Seorang dokter muda berhasil menyelamatkan dua pasien kritis dalam dua operasi besar hanya dalam satu pagi. Namanya—Elvario. Belum

  • Dokter Jenius: Tangan Emas Sang Penyembuh    14. Kecelakaan

    Roda ranjang berderit pelan di lorong steril menuju ruang ICU. Pasien pria muda yang baru saja keluar dari operasi kini dalam kondisi stabil, wajahnya lebih tenang, meski masih dipenuhi selang dan monitor. Dua perawat mendorong ranjang dengan hati-hati, diapit oleh dua tenaga medis dan satu dokter jaga yang mencatat semua data vital terbaru. El berjalan di belakang mereka. Matanya memandang lurus ke depan. Azalea mengikuti dari samping, masih mengenakan pakaian bedah. Peluh di dahinya belum sempat mengering, tapi sorot matanya kini berbeda. Ada ketegangan, tapi juga rasa percaya diri yang baru tumbuh—karena telah menjadi bagian dari sesuatu yang besar. Ia benar-benar tidak menyangka, kalau dirinya bisa menjadi asisten dari operasi yang dilakukan oleh dokter El. Begitu ranjang berhenti di ruang ICU, El mendekat, mengecek ulang semua monitor dan selang. Suara bip ritmis terdengar menenangkan. “Nafas spontan mulai kembali. Tekanan intratorakal membaik. Tidak ada tanda infeksi

  • Dokter Jenius: Tangan Emas Sang Penyembuh    13. Dia monster jenius

    Pagi itu, langit sedikit mendung. Awan kelabu menggantung di atas gedung tinggi Medical Hospital, seolah menandai bahwa hari ini tidak akan berjalan seperti biasa. Sebuah mobil hitam berkilap berhenti di pelataran utama rumah sakit. Seorang sopir turun cepat, membukakan pintu belakang. Elvario melangkah turun. Penampilannya tetap rapi seperti biasa—kemeja biru gelap dan celana panjang yang pas, dengan jas dokter terlipat di lengannya. Wajahnya tanpa ekspresi, matanya tajam menelusuri area depan rumah sakit, seperti sedang memetakan medan. Hingga suara sirine memecah rutinitas pagi. Satu. Dua. Tiga ambulans berhenti bersamaan di depan UGD. Pintu-pintunya terbuka serempak, dan suara panik langsung menyambar udara: “Korban kecelakaan lalu lintas! Tabrakan beruntun di tol barat!” “Pasien laki-laki, usia sekitar dua puluh, henti napas sesaat di lokasi!” “Perempuan—perdarahan aktif di perut dan panggul! Jalan napas tidak stabil!” Petugas keamanan membuka jalur. Paramed

  • Dokter Jenius: Tangan Emas Sang Penyembuh    12. Sebuah pengingat

    Ruangan VVIP itu kini tak lagi sehening kemarin. Beberapa alat bantu medis sudah dilepas, selang oksigen diganti dengan kanula ringan, dan monitor detak jantung yang sebelumnya berdentang cepat kini berbunyi dengan irama normal, nyaris menenangkan. Di atas tempat tidur berlapis linen putih bersih, Bintang—gadis kecil dengan mata teduh dan rambut panjang selembut kapas—terbaring dalam posisi setengah duduk. Ia tampak lemah, tapi sorot matanya sudah kembali jernih. Di sebelah ranjangnya, Tuan Sujana masih setia duduk, tak berpaling sedetik pun. Elvario berdiri di sisi kanan tempat tidur, stetoskop tergantung di lehernya, dan satu tablet medis menyala di tangannya. “Bagaimana rasanya sekarang?” tanyanya, suara lembut tapi tak kehilangan ketegasan. Bintang menoleh pelan, lalu menjawab dengan suara serak yang nyaris tak terdengar, “Agak pusing... tapi nggak sakit, Dok.” El mengangguk. “Itu normal. Jantungmu sedang menyesuaikan diri setelah operasi besar. Tapi kamu kuat. Sangat kuat.”

  • Dokter Jenius: Tangan Emas Sang Penyembuh    11. Sesuatu yang paling berharga

    Kabar itu menyebar lebih cepat dari virus apa pun. Dalam waktu kurang dari dua belas jam sejak operasi penyelamatan cucu Tuan Sujana, nama Elvario sudah menjadi desas-desus hangat di setiap sudut rumah sakit kota Samara. Lorong-lorong yang biasanya dipenuhi suara langkah tergesa dan panggilan medis kini berubah menjadi panggung bisik-bisik samar, saling lempar kabar tak resmi yang semuanya mengarah pada satu hal: Dokter Elvario direkrut langsung oleh Tuan Sujana. “Serius? Dia sekarang dokter pribadi cucu Tuan Sujana?” “Aku dengar dia dikasih apartemen mewah di pusat kota, lengkap dengan mobil dan sopir.” “Gajinya tiga kali lipat dari kita, bahkan katanya bisa minta fasilitas bebas akses ke semua lab.” “Padahal dia cuma dokter bedah saraf, bukan jantung... Tapi yang lain bahkan nggak dikasih kesempatan!” Suara-suara itu mengambang di udara. Tak ada yang berani menyuarakannya terlalu keras, tapi semua orang tahu—rasa iri itu nyata. Membuncah diam-diam di dada para dokter yang m

  • Dokter Jenius: Tangan Emas Sang Penyembuh    10. Selamat datang

    Tak lama setelah operasi dinyatakan selesai, El melangkah keluar dari ruang operasi. Pakaian bedahnya masih penuh bercak darah kecil, sarung tangan yang belum sempat dilepas meneteskan sisa cairan desinfektan ke lantai berubin putih. Lorong rumah sakit yang biasanya dipenuhi suara langkah kini senyap. Semua mata tertuju padanya, namun tak ada yang berani membuka suara. Para perawat membungkuk cepat, dokter-dokter senior berdiri tegap seolah baru saja menyaksikan kehadiran seorang jenderal yang pulang dari medan perang. Di ujung lorong, Tuan Sujana berdiri dengan tongkatnya, didampingi dua pria berjas hitam. Tatapannya tak beralih dari El sedetik pun. Ada sesuatu dalam sorot mata itu—tak hanya rasa terima kasih... tapi juga pengakuan. Seperti seorang raja yang akhirnya menemukan ksatria paling setianya, sekaligus paling mematikan. El menghentikan langkahnya tepat di depan pria tua itu. Matanya masih tajam, tapi nadanya tenang. “Cucumu selamat. Untuk sekarang.” Tuan Sujana m

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status