Share

Jahat?

"Di mana?" tanya pemanggil dalam sambungan dari ponselku menggunakan pelantang tanpa kabel. Suaranya semakin familier di telinga dan mampu mengundang geli di perut. Ingin tersenyum terus rasanya.

Jalan menurun di ujung jalan layang sempat mengundang kekhawatiran. Hampir seluruh kendaraan berkecepatan tinggi. Aku bahkan kesulitan mencari pelataran parkir saking banyaknya tempat makan. Buat apa coba Aya ngajak ketemuan di tempat ramai siang terik begini?

Kuangsurkan selembar biru pada anak kecil di pinggiran trotoar setelah menanyakan harga sekotak klepon, makanan berbentuk bola hijau berisi gula merah dengan taburan kelapa parut. Usianya mungkin sekitar lima atau enam tahun. Dua anak kecil di dekatnya jauh lebih kecil dan kurus, duduk sambil menyapu keringat.

"Ambil tiga sepuluh ribu, Om."

Aku tergelak disebut om. Lucu. Setua itukah wajahku? "Harga biasa aja, Dik. Ambilkan empat."

Si anak kecil terlihat memeriksa bungkusan plastiknya setelah menyerahkan pesananku. Terlihat lembaran lusuh dari pecahan dua ribuan yang dihitungnya sambil bergetar.

"Abra?"

Panggilan yang terdengar di telinga mengalihkan perhatianku lagi. "Sudah dekat. Aku tinggal nyebrang." Kakiku spontan melangkah menuju zebra cross, garis putih pendek berjejer dekat pemberhentian angkutan umum dan perputaran jalan.

"Otewe." Kata terakhir menutup panggilan. Tidak ada basa-basi dari Aya yang sekarang. Dia lebih lepas saat membicarakan pekerjaannya daripada menanggapi cerita tentang kehidupanku.

Memang siapa yang ingin tahu kisah membosankan dari anak pengusaha besar yang baru diakui saat diperlukan sebagai pewaris?

Langkahku sudah melalui pembatas tengah jalan. Selangkah ... dua langkah.

"Om! Kembaliannya!" Si anak kecil berlari menghampiri, tapi aku segera berbalik dan menggendongnya ke sisi jalan sebelumnya. Hanya refleks karena terkejut. Dia belum menyerah menyodorkan tumpukan lembaran dua ribuan ke tanganku.

"Enggak. Enggak apa-apa. Buat kamu aja, Dik." Kuletakkan kembali lembaran itu dalam genggamannya, menutup kuat sambil menurunkannya di dekat kedua adiknya.

Belum selesai lagi menghela napas, terdengar suara decit ban disusul tabrakan kuat yang membuatku spontan menoleh. Motor sport hitam yang kukenal terseret mengenai sedan tua di putaran jalan.

"Ya Tuhan!" Tak kupedulikan kata terima kasih dan sederet doa yang tak kumengerti terdengar dari berbagai sisi saat meninggalkan si anak kecil sambil berlari.

Sulit menentukan prioritas ketika yang pertama kulihat justru Aya yang berusaha bangun setelah menyeret roda motornya di aspal. Keramaian yang sudah merambat mempercepat masyarakat berkerumun. Aku mencoba menyela di antara rapatnya manusia yang berjejal.

Tidak ada pilihan lain. Kukeluarkan salah satu kartu nama dari dompet dan meminta setiap orang memberi jalan. "Saya dokter. Bisa hubungi 119?" Kuucapkan berkali-kali, berharap mereka lebih respek dengan menghubungi pihak ambulan daripada menonton bahkan merekam kejadian. Sumpah. Kecelakaan bukan pertunjukan.

"A--Aya?" Aku mampu mencapai gadis berjaket kulit hitam, melepaskan helmnya perlahan. "Masih bisa berdiri?"

Aya mengangguk. Tidak terlihat luka atau lebam di luaran tubuh. "Aku kuat."

"Oke. Kutinggal bentar, ya?" Aku beralih pada para pria yang berusaha membuka pintu sedan yang sudah penyok. Tampak para penumpang yang berusaha dikeluarkan secara paksa. "Jangan dipindah!"

Ah, tidak mungkin memberitahu masyarakat perlahan di saat darurat. Akhirnya aku fokus pada pintu supir yang telah dibuka.

"Tolong, Pak!" kataku saat meminta pria besar yang membawa linggis bergeser.

Pemegang roda kemudi tidak bergeser karena menggunakan sabuk pengaman, tetapi pecahan dari kaca samping bertebaran hingga pangkuannya. Posisi lelaki kurus itu kubenahi hingga punggungnya melekat dengan benar pada sandaran. Perlahan, kuturunkan sandaran dan memeriksa aliran napasnya dari dekat.

"Aman. Tunggu ambulans datang yah, Pak," pesanku seraya melihat korban lain yang telah berpindah ke pedestrian.

Peluh dari pelipisku sudah bukan lagi rintik. Melihat saja sudah menekankan jika tidak ada istirahat untuk pengabdian hari ini.

***

"Gimana, Bra?" tanya Aya saat menemuiku di lorong rumah sakit.

Dia nanya siapa? Korban atau aku?

Seenggaknya hari ini tidak ada korban tewas. Hatiku selalu teremas sakit setiap melihat pasien yang tidak mampu bertahan di atas ranjang ruang gawat darurat. Ketika kami selaku petugas medis tak mampu mengubah takdir meski berusaha maksimal.

"Aku yang capek." Kuraup udara sebanyak mungkin selagi menyandarkan punggung sambil berdiri dekat pintu masuk. Kepalaku sudah menghadap langit-langit, mencari titik hitam di antara plafon putih, dan tidak ketemu.

Saat menoleh ke arah kedatangan Aya, gadis itu tengah berjongkok, menutup kedua telinga sambil menunduk.

"Kamu mau mencelakaiku, Ya?" Ucapanku pelan, tapi yakin jika dia mendengar di antara helaan napas yang masih terembus cepat.

"Mungkin."

Pendapatku tidak hanya terpaku dengan kejadian hari ini, tetapi juga pada kejadian sebelumnya. Tidak membahas bukan berarti aku melupakan obsesi balas dendam pada siapa saja yang mencari masalah denganku, tetapi ada waktu yang tepat untuk balasan yang lebih menyakitkan.

"Kenapa, Aya?"

Aku tak mampu melihat raut wajahnya, hanya isakan rendah yang terdengar hingga harus turut berjongkok di dekatnya. Menunggu ... sampai dia mau berbicara padaku lagi.

Salah satu perawat memanggilku masuk, sekadar menyerahkan hasil rontgen dari pasien yang mengalami patah tulang dan tanda tangan penanggung jawab. Kembali ke lorong, Aya sudah berdiri menghadap dinding kaca sambil menutup mulut dengan tangan kanannya. Mata merah dan basah yang terlihat mengingatkanku lagi pada hari itu, hari yang telah mengubah kehidupan kami.

Aku berdiri di sampingnya sambil memasukkan tangan di saku jas, menggenggam benda apa pun di dalamnya kuat-kuat. "Apa karena itu?"

Pertanyaanku dijawab dengan anggukan ragu, terlihat tatapan yang tertuju padaku dari pantulan kaca.

"Aku juga enggak mau waktu itu, Ya."

"Tapi kamu melakukannya."

Aya menghindari uluran tanganku, lagi. Dia sengaja mendorong, bahkan memukul usahaku. Aku kira pertemuan dengannya hari ini bisa menemui kata sepakat untuk perjanjian menjadi pasangan bohongan, ternyata malah harus menghadapi para korban kecelakaan,

"Aya ...."

Gadis itu berlari keluar dari gedung tanpa menghiraukan panggilan. Aku tidak mungkin tinggal diam setelah sepuluh tahun lebih terkurung dalam rasa bersalah dan penasaran.

Kukirimkan pesan pada Nanda dan Mbak Risa jika memang ada hal darurat yang memerlukan bantuan selagi mengejar Aya. Ada banyak hal yang perlu dijelaskan dalam keadaan tenang, tapi bukan sekarang.

Langit menurunkan rintiknya di saat tak terduga. Di saat yang sama, Aya mampu kurengkuh dari belakang, menariknya berteduh di pinggiran pedestrian.

"Kamu jahat, Abra ...."

Sisi lain dari Aya terkuak. Kukira saat awal jumpa dia memang berubah. Ternyata ... sama halnya denganku yang memerlukan topeng untuk terlihat kuat. Air matanya tampak jatuh, menyatu dengan aliran hujan di pipi.

"Iya." Jemariku mengerat, berkumpul di depan pinggangnya. Daguku bertumpu di bahu kanan Aya. Menunggu reaksi perlawanannya berhenti. "Anggap saja begitu."

"Kamu jahat, Abra ...." Dia mengulang kalimat yang sama. Lebih rendah seiring lemahnya perlawanan. Kedua tangannya telah luruh di sisi tubuh.

"Demi Tuhan, Aya. Aku enggak mau kamu menjadi korban dari banyak orang." Aku membisik pelan sembari melirik sekeliling, berharap tetap sepi ketika menenangkan dirinya.

"Maafkan aku."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status