Share

Lupa

Aya sebenarnya terlihat berbeda dengan tampilan kerja. Jauh lebih dewasa daripada saat bertemu di rumah sakit. Tidak ada kets hitam atau jins ketat. Benar-benar feminin.

Namun, cara makannya menggunakan jari-jari dan suapan penuh ternyata menarik. Sulit untukku berpaling atau menggerakkan sendok di tangan karena takjub dengan tingkah tanpa malunya Aya. Padahal dia tadi sudah menghinaku terang-terangan ketika mengacungkan jari tengah terus ngakunya enggak inget. Aneh.

Mengajak makan calon gebetan--calon korban--setelah mengisi perut dengan gadis lain sebenarnya bukan gayaku. Kalau memaksa perut untuk tetap diisi saat penuh, mungkin sampai rumah aku enggak bakal bisa tidur cepat.

"Memang kenapa kalau kamu enggak mau dijodohkan?" tanya Aya setelah kuceritakan masalah perjodohan dengan sedikit bumbu.

Siapa yang tidak akan simpatik dengan kisah sedih di zaman sekarang? Orang tertindas akan selalu dianggap pihak protagonis, bukan? Aku harap sih mempan di Aya.

"Umur dua delapan di Indo sudah dianggap aneh kalau masih melajang, Ya."

Siku kiriku sudah naik ke meja dengan telapak tangan menopang dagu hanya untuk mengamatinya yang tak teralihkan. Aya fokus pada campuran lontong dan sayuran yang disiram saus kacang.

Aku sangat ingat dia bilang, "Buat yang pedes banget yah, Mbok," pada penjaja gado-gado di tempat kami mampir.

Enggak kebayang berapa banyak cabe rawit yang mampu membuat Aya berkeringat. Kulit cerahnya merona seiring butiran air yang terus mengalir dari pori-pori.

Seksi.

Sekilas pemikiranku memang berputar pada urusan daleman. Butuh momen tertentu untuk melihat sisi menarik seorang perempuan dan aku mendapati imajinasi liar yang mengalir seketika.

Beberapa kali Aya menjilat permukaan bibirnya setiap mengenai saus kacang. Sudut mata yang berair. Dan ... desah yang terdengar setiap dia berhenti menyuap mampu memanggil singa yang sedang tertidur.

"Ya udah, nikahlah."

Kalimat Aya sontak memudarkan segala angan yang terbangun. Aku terkikik, sekadar menertawakan deja vu dalam pikiran tentangnya dulu. Tentang cengkeraman Aya di bahuku ketika mendapatkan puncak gairahnya. Tentang miliknya yang sangat ketat hingga membuatku sulit bertahan lebih lama. Salahkan libidoku yang sulit dikendalikan semenjak kenal dengannya dulu.

Kutarik salah satu botol dari susunan di pertengahan meja, membuka tutupnya sebelum diminum. Selesai sekali tegukan, aku kembalikan pertanyaannya. "Kamu sendiri? Sudah menikah? Pasti sudah punya anak. Reuni terakhir aja, teman kita ada yang bawa tiga buntut."

Aya berhenti menyuap. Jarinya tenggelam di antara sisa saus kacang. Bisa kulihat tatapannya sempat terpaku padaku lalu beralih pada jalan setapak di sisi kanan yang langsung mengarah taman penuh patung karakter kartun.

"Aku ...."

Jarum arloji penghias pergelangan tangan kananku seolah bergerak lambat saat menunggu kelanjutan kata dari bibir Aya. Namun, aku tidak sesabar itu untuk bertanya lagi.

"Maaf, atau sudah cerai?" Salahkan lancangnya bibir ini yang terlalu ingin tahu.

Aya tergelak, menunduk sebentar baru bertemu lagi dalam pantulan basah di permukaan bola mata. "Kamu lupa? Aku udah bilang cuma tinggal berdua sama Bapak. Lagian, aku enggak pernah ikutan reuni sekolah."

Sumpah, enggak ada yang lucu. Aku bisa menangkap getir dalam kalimatnya ketika memaksakan tawa. Semenjak jumpa di IGD, Aya terus memasang topeng, dinding tebal tak kasatmata di antara kami.

"Bener juga." Punggungku menegak, mencipta jarak dari meja saat lepaskan sendok. "Sorry, aku bisa mati penasaran kalau enggak nanya. Bapak gimana abis dipindah ke ICCU?"

"Lebih baik." Aya menjawab singkat, kemudian melanjutkan suapannya.

Sekali lagi dia berhenti saat bertemu tatap. Ibu jariku berhenti tepat di depan bibirnya, menunggu persetujuan. Karena Aya tetap diam, kuusap sudut bibirnya dari sisa saus.

Mata kelam Aya seakan mampu menghipnotis untuk bertahan padanya. Jika tidak menyadari keberadaan, mungkin saja aku memilih menculiknya sebagai pengganti pelampiasan beberapa hari terakhir. Namun, aku justru mundur, mengambil tisu dari kotak di pertengahan meja untuk membersihkan jemari yang menyisihkan saus kacang.

Sebisa mungkin kujaga pikiran agar tidak terdistraksi pada rencana kotor seperti dulu, ketika teman-teman memberi hukuman pada Aya di masa akhir sekolah menengah dengan menjadikannya mainan yang bisa digunakan bergantian. Pasti menyakitkan untuk Aya.

"Gimana kamu kerja jadi teknisi kalau kerja di sini jaga parkir?" Kualihkan pembicaraan pada hal lain. Seenggaknya masih ada hal yang kuingat dari pembicaraan dengannya mengenai pekerjaan saat di rumah sakit.

"Freelance, Bra. Enggak ada batasan waktu buat kapan kerja atau libur. Kerja dapet duit, enggak kerja yah sabar-sabar dulu. Makasih buat traktirannya, Bra." Aya mengangkat piringnya ke udara sesaat.

Kuputar bola mata saat mendengar panggilan itu lagi. Siapa juga ngasih nama panggilan seperti benda pusaka para perempuan? Kenapa enggak panggil Nathan atau El yang kerenan dikit kayak para cowok di sinetron tontonan Mama?

Senyuman lebar yang kupaksakan hanya menyamarkan rencana balas dendam. "Enggak masalah. Lain kali ... kita bisa ketemu lagi?" Tersisa sudut kanan yang naik ketika Aya justru memberi jawaban dengan gelengan.

"Kamu memanggilku Bra, bukan Abra, dengan mudah. Kamu enggak benar-benar lupa sama aku kan, Ya?" Kuperjelas dugaan beberapa hari terakhir dari cara Aya menciptakan masalah yang terus mengejutkanku. Perilaku anarkisnya terlalu kentara.

"Kamu perlu jawaban seperti apa?" Aya menuntaskan suapan. Jari-jarinya yang diselimuti saus kacang masuk dalam mulut satu per satu, diisapnya hingga benar-benar bersih.

"Sial!" Aku menegang. Bukan hanya wajahku, tetapi juga hasrat yang susah payah aku tahan semenjak makan bersamanya.

Selesai mencuci tangan di pinggiran parit tepat di samping meja kami, Aya berseloroh dengan datar, "To the point. Apa tujuan kamu nemuin aku kayak gini?"

***

"Kenapa, Nan?" tanyaku begitu selesai memasang jas putih sambil menyusuri lorong dan bertemu si perawat baru yang sudah bisa kuhafal namanya saking seringnya berada dalam satu sif.

Gadis kurus berkulit putih itu mengiringi di sisi sambil memberi formulir yang sudah diisi keluarga pasien. Dia mengangsur pulpen dan secangkir kopi yang sebelumnya kuminta selama berada di perjalanan dalam panggilan.

Bertemu dengan Aya sebelum bertugas benar-benar masalah. Aku harus bisa profesional dengan fokus pada pekerjaan. Meneguk tuntas cairan gelap kehitaman dari Nanda cukup membantu. Cangkir yang kukembalikan pada Nanda segera berganti lembaran tebal yang menunjukkan data gadis kecil berusia tujuh tahun dengan gejala sesak napas.

"Keluarganya mana?" Pertanyaan pertama kuajukan melihat tidak ada penunggu di sisi brankar selain petugas medis.

"Tadi bilang bapaknya mau lunasin jamkes dulu, Pak."

Kepalaku mengangguk, berusaha menolerir kemungkinan tunggakan jaminan. Jumlah pembayaran bulanan memang jadi beban yang tidak sedikit bagi keluarga dengan penghasilan rendah, dan aku pun pernah rasakan saat memilih tinggal bersama Mama.

Akan tetapi, manfaat jaminan kesehatan baru terasa ketika memerlukan pembiayaan yang tinggi. Ah, aku hanya berpikir untuk tidak sakit dan pembiayaan yang kubayar berguna untuk orang lain.

Saat tiba di ruang gawat darurat, monitor di sampingnya berbunyi cepat. Saturasi darah rendah seiring lurusnya garis yang menunjukkan detak jantung. Apalagi tidak ada denyut pada nadi di urat leher.

"Defibrilasi, Nan!" Aku spontan mengambil tindakan resusitasi, menekan kedua tangan yang ditumpuk pada dada pasien.

"Mbak Dara! Tolong!" Kupanggil wanita berjilbab yang baru masuk ruangan menenteng ransel. "Minta intubasi! Epinefrin!"

Setelahnya, aku tidak memperhatikan. Hanya fokus memancing detakan sampai Nanda membawa defibrilator, alat kejut jantung, mendekat.

"200 Joule, Nan! Siap?" Kuambil kedua paddle yang permukaannya diolesi gel, menunggu tekanan dipersiapkan dengan menaikkan kaus pasien, lalu kutekan dada bagian depan pasien begitu Nanda menjawab ya.

Belum ada perubahan. Mbak Dara menyuntikkan cairan dari ampul biru melalui jarum infus pasien.

Aku mengangguk pada Nanda, "300, Nan. Siap?" bersiap menekan paddle lagi pada dada pasien, berharap kali ini tidak ada yang meninggal di bawah pengawasanku.

Hitungan satu sampai tiga dari bibirku terasa dingin. Tuhan, biarkan dia sembuh dulu.

Tekanan terakhir hampir membuatku putus asa. Sesak. Namun, suara tampilan EKG pada monitor menunjukkan adanya kehidupan.

"Syukurlah." Lututku rasanya melemas. Getaran di kedua tangan masih ada meski tidak lagi memegang alat kejut jantung.

Kudengar Mbak Dara juga menghela napas, melepaskan syukur dalam bahasa yang tak kumengerti, termasuk dua perawat di dekat kami.

"Kerja bagus, Mas Abra." Mbak Dara mengambil suntikan lain pada saluran infus dan memeriksa selang pernapasan yang dipasang sebelumnya.

"Laporannya sesak napas, Mbak. Mungkin juga alergi pada jenis makanan tertentu."

"Apa-apa zaman sekarang kamu sebut alergi. Enggak ada bahasan lain?" protesnya sambil menerima lembaran kertas yang sempat kutinggalkan pada meja di ujung ranjang pasien.

"Lah, bahan makanan sekarang kan banyakan rekayasa genetik, Mbak. Ini anak kecil sudah ngalamin henti jantung."

"Nanti kita tanya keluarganya. Semoga mereka mau bicara jujur."

Kuembuskan napas dengan kasar ketika Mbak Dara sudah lebih dulu keluar dari ruangan, memikirkan hal paling berat dalam tugas di garda depan pelayanan. Rasa bersalah dan dipersalahkan.

Segala sesuatu dalam sumpah dan prosedur ketika menjadi tenaga medis bukanlah hal mudah. Kalau boleh mengeluhkan, tekanan yang kami alami tidak hanya dari tuntutan pasien untuk maksimal, tapi juga kalangan atas yang meminta minimalisir pembiayaan karena hutang. Entah hal mana yang harus dipegang.

Perhatianku teralihkan pada getar ponsel di saku jas. Sebuah pesan yang tampak di layar tanpa perlu dibuka.

"Aku terima tawaranmu." Nama Aya tertera pada pengirim pesan. Oke, ikan telah memakan umpan.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status