Share

Lupa

Penulis: Aldrich Candra
last update Terakhir Diperbarui: 2021-07-03 03:11:13

Aya sebenarnya terlihat berbeda dengan tampilan kerja. Jauh lebih dewasa daripada saat bertemu di rumah sakit. Tidak ada kets hitam atau jins ketat. Benar-benar feminin.

Namun, cara makannya menggunakan jari-jari dan suapan penuh ternyata menarik. Sulit untukku berpaling atau menggerakkan sendok di tangan karena takjub dengan tingkah tanpa malunya Aya. Padahal dia tadi sudah menghinaku terang-terangan ketika mengacungkan jari tengah terus ngakunya enggak inget. Aneh.

Mengajak makan calon gebetan--calon korban--setelah mengisi perut dengan gadis lain sebenarnya bukan gayaku. Kalau memaksa perut untuk tetap diisi saat penuh, mungkin sampai rumah aku enggak bakal bisa tidur cepat.

"Memang kenapa kalau kamu enggak mau dijodohkan?" tanya Aya setelah kuceritakan masalah perjodohan dengan sedikit bumbu.

Siapa yang tidak akan simpatik dengan kisah sedih di zaman sekarang? Orang tertindas akan selalu dianggap pihak protagonis, bukan? Aku harap sih mempan di Aya.

"Umur dua delapan di Indo sudah dianggap aneh kalau masih melajang, Ya."

Siku kiriku sudah naik ke meja dengan telapak tangan menopang dagu hanya untuk mengamatinya yang tak teralihkan. Aya fokus pada campuran lontong dan sayuran yang disiram saus kacang.

Aku sangat ingat dia bilang, "Buat yang pedes banget yah, Mbok," pada penjaja gado-gado di tempat kami mampir.

Enggak kebayang berapa banyak cabe rawit yang mampu membuat Aya berkeringat. Kulit cerahnya merona seiring butiran air yang terus mengalir dari pori-pori.

Seksi.

Sekilas pemikiranku memang berputar pada urusan daleman. Butuh momen tertentu untuk melihat sisi menarik seorang perempuan dan aku mendapati imajinasi liar yang mengalir seketika.

Beberapa kali Aya menjilat permukaan bibirnya setiap mengenai saus kacang. Sudut mata yang berair. Dan ... desah yang terdengar setiap dia berhenti menyuap mampu memanggil singa yang sedang tertidur.

"Ya udah, nikahlah."

Kalimat Aya sontak memudarkan segala angan yang terbangun. Aku terkikik, sekadar menertawakan deja vu dalam pikiran tentangnya dulu. Tentang cengkeraman Aya di bahuku ketika mendapatkan puncak gairahnya. Tentang miliknya yang sangat ketat hingga membuatku sulit bertahan lebih lama. Salahkan libidoku yang sulit dikendalikan semenjak kenal dengannya dulu.

Kutarik salah satu botol dari susunan di pertengahan meja, membuka tutupnya sebelum diminum. Selesai sekali tegukan, aku kembalikan pertanyaannya. "Kamu sendiri? Sudah menikah? Pasti sudah punya anak. Reuni terakhir aja, teman kita ada yang bawa tiga buntut."

Aya berhenti menyuap. Jarinya tenggelam di antara sisa saus kacang. Bisa kulihat tatapannya sempat terpaku padaku lalu beralih pada jalan setapak di sisi kanan yang langsung mengarah taman penuh patung karakter kartun.

"Aku ...."

Jarum arloji penghias pergelangan tangan kananku seolah bergerak lambat saat menunggu kelanjutan kata dari bibir Aya. Namun, aku tidak sesabar itu untuk bertanya lagi.

"Maaf, atau sudah cerai?" Salahkan lancangnya bibir ini yang terlalu ingin tahu.

Aya tergelak, menunduk sebentar baru bertemu lagi dalam pantulan basah di permukaan bola mata. "Kamu lupa? Aku udah bilang cuma tinggal berdua sama Bapak. Lagian, aku enggak pernah ikutan reuni sekolah."

Sumpah, enggak ada yang lucu. Aku bisa menangkap getir dalam kalimatnya ketika memaksakan tawa. Semenjak jumpa di IGD, Aya terus memasang topeng, dinding tebal tak kasatmata di antara kami.

"Bener juga." Punggungku menegak, mencipta jarak dari meja saat lepaskan sendok. "Sorry, aku bisa mati penasaran kalau enggak nanya. Bapak gimana abis dipindah ke ICCU?"

"Lebih baik." Aya menjawab singkat, kemudian melanjutkan suapannya.

Sekali lagi dia berhenti saat bertemu tatap. Ibu jariku berhenti tepat di depan bibirnya, menunggu persetujuan. Karena Aya tetap diam, kuusap sudut bibirnya dari sisa saus.

Mata kelam Aya seakan mampu menghipnotis untuk bertahan padanya. Jika tidak menyadari keberadaan, mungkin saja aku memilih menculiknya sebagai pengganti pelampiasan beberapa hari terakhir. Namun, aku justru mundur, mengambil tisu dari kotak di pertengahan meja untuk membersihkan jemari yang menyisihkan saus kacang.

Sebisa mungkin kujaga pikiran agar tidak terdistraksi pada rencana kotor seperti dulu, ketika teman-teman memberi hukuman pada Aya di masa akhir sekolah menengah dengan menjadikannya mainan yang bisa digunakan bergantian. Pasti menyakitkan untuk Aya.

"Gimana kamu kerja jadi teknisi kalau kerja di sini jaga parkir?" Kualihkan pembicaraan pada hal lain. Seenggaknya masih ada hal yang kuingat dari pembicaraan dengannya mengenai pekerjaan saat di rumah sakit.

"Freelance, Bra. Enggak ada batasan waktu buat kapan kerja atau libur. Kerja dapet duit, enggak kerja yah sabar-sabar dulu. Makasih buat traktirannya, Bra." Aya mengangkat piringnya ke udara sesaat.

Kuputar bola mata saat mendengar panggilan itu lagi. Siapa juga ngasih nama panggilan seperti benda pusaka para perempuan? Kenapa enggak panggil Nathan atau El yang kerenan dikit kayak para cowok di sinetron tontonan Mama?

Senyuman lebar yang kupaksakan hanya menyamarkan rencana balas dendam. "Enggak masalah. Lain kali ... kita bisa ketemu lagi?" Tersisa sudut kanan yang naik ketika Aya justru memberi jawaban dengan gelengan.

"Kamu memanggilku Bra, bukan Abra, dengan mudah. Kamu enggak benar-benar lupa sama aku kan, Ya?" Kuperjelas dugaan beberapa hari terakhir dari cara Aya menciptakan masalah yang terus mengejutkanku. Perilaku anarkisnya terlalu kentara.

"Kamu perlu jawaban seperti apa?" Aya menuntaskan suapan. Jari-jarinya yang diselimuti saus kacang masuk dalam mulut satu per satu, diisapnya hingga benar-benar bersih.

"Sial!" Aku menegang. Bukan hanya wajahku, tetapi juga hasrat yang susah payah aku tahan semenjak makan bersamanya.

Selesai mencuci tangan di pinggiran parit tepat di samping meja kami, Aya berseloroh dengan datar, "To the point. Apa tujuan kamu nemuin aku kayak gini?"

***

"Kenapa, Nan?" tanyaku begitu selesai memasang jas putih sambil menyusuri lorong dan bertemu si perawat baru yang sudah bisa kuhafal namanya saking seringnya berada dalam satu sif.

Gadis kurus berkulit putih itu mengiringi di sisi sambil memberi formulir yang sudah diisi keluarga pasien. Dia mengangsur pulpen dan secangkir kopi yang sebelumnya kuminta selama berada di perjalanan dalam panggilan.

Bertemu dengan Aya sebelum bertugas benar-benar masalah. Aku harus bisa profesional dengan fokus pada pekerjaan. Meneguk tuntas cairan gelap kehitaman dari Nanda cukup membantu. Cangkir yang kukembalikan pada Nanda segera berganti lembaran tebal yang menunjukkan data gadis kecil berusia tujuh tahun dengan gejala sesak napas.

"Keluarganya mana?" Pertanyaan pertama kuajukan melihat tidak ada penunggu di sisi brankar selain petugas medis.

"Tadi bilang bapaknya mau lunasin jamkes dulu, Pak."

Kepalaku mengangguk, berusaha menolerir kemungkinan tunggakan jaminan. Jumlah pembayaran bulanan memang jadi beban yang tidak sedikit bagi keluarga dengan penghasilan rendah, dan aku pun pernah rasakan saat memilih tinggal bersama Mama.

Akan tetapi, manfaat jaminan kesehatan baru terasa ketika memerlukan pembiayaan yang tinggi. Ah, aku hanya berpikir untuk tidak sakit dan pembiayaan yang kubayar berguna untuk orang lain.

Saat tiba di ruang gawat darurat, monitor di sampingnya berbunyi cepat. Saturasi darah rendah seiring lurusnya garis yang menunjukkan detak jantung. Apalagi tidak ada denyut pada nadi di urat leher.

"Defibrilasi, Nan!" Aku spontan mengambil tindakan resusitasi, menekan kedua tangan yang ditumpuk pada dada pasien.

"Mbak Dara! Tolong!" Kupanggil wanita berjilbab yang baru masuk ruangan menenteng ransel. "Minta intubasi! Epinefrin!"

Setelahnya, aku tidak memperhatikan. Hanya fokus memancing detakan sampai Nanda membawa defibrilator, alat kejut jantung, mendekat.

"200 Joule, Nan! Siap?" Kuambil kedua paddle yang permukaannya diolesi gel, menunggu tekanan dipersiapkan dengan menaikkan kaus pasien, lalu kutekan dada bagian depan pasien begitu Nanda menjawab ya.

Belum ada perubahan. Mbak Dara menyuntikkan cairan dari ampul biru melalui jarum infus pasien.

Aku mengangguk pada Nanda, "300, Nan. Siap?" bersiap menekan paddle lagi pada dada pasien, berharap kali ini tidak ada yang meninggal di bawah pengawasanku.

Hitungan satu sampai tiga dari bibirku terasa dingin. Tuhan, biarkan dia sembuh dulu.

Tekanan terakhir hampir membuatku putus asa. Sesak. Namun, suara tampilan EKG pada monitor menunjukkan adanya kehidupan.

"Syukurlah." Lututku rasanya melemas. Getaran di kedua tangan masih ada meski tidak lagi memegang alat kejut jantung.

Kudengar Mbak Dara juga menghela napas, melepaskan syukur dalam bahasa yang tak kumengerti, termasuk dua perawat di dekat kami.

"Kerja bagus, Mas Abra." Mbak Dara mengambil suntikan lain pada saluran infus dan memeriksa selang pernapasan yang dipasang sebelumnya.

"Laporannya sesak napas, Mbak. Mungkin juga alergi pada jenis makanan tertentu."

"Apa-apa zaman sekarang kamu sebut alergi. Enggak ada bahasan lain?" protesnya sambil menerima lembaran kertas yang sempat kutinggalkan pada meja di ujung ranjang pasien.

"Lah, bahan makanan sekarang kan banyakan rekayasa genetik, Mbak. Ini anak kecil sudah ngalamin henti jantung."

"Nanti kita tanya keluarganya. Semoga mereka mau bicara jujur."

Kuembuskan napas dengan kasar ketika Mbak Dara sudah lebih dulu keluar dari ruangan, memikirkan hal paling berat dalam tugas di garda depan pelayanan. Rasa bersalah dan dipersalahkan.

Segala sesuatu dalam sumpah dan prosedur ketika menjadi tenaga medis bukanlah hal mudah. Kalau boleh mengeluhkan, tekanan yang kami alami tidak hanya dari tuntutan pasien untuk maksimal, tapi juga kalangan atas yang meminta minimalisir pembiayaan karena hutang. Entah hal mana yang harus dipegang.

Perhatianku teralihkan pada getar ponsel di saku jas. Sebuah pesan yang tampak di layar tanpa perlu dibuka.

"Aku terima tawaranmu." Nama Aya tertera pada pengirim pesan. Oke, ikan telah memakan umpan.

***

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Dokter Tampan Pemikat Wanita   Dijemput Malaikat

    "Kamu yang jemput?" Aku menjawab panggilan suara setelah memastikan barang-barang yang dibawa ke ruang rawat inap sudah lengkap masuk dalam tas besar."Enggak suka?" Suara Aya terdengar merajuk. "Aku balik aja lagi kalau gitu."Lucu aja, sih. Aya yang manja seperti ini biasanya cuma ketemu pas dia lagi hamil. Kalau lagi mode normal, banyakan cueknya.Atau jangan-jangan .... Ah, enggak. Belum ada ngapa-ngapain kok semenjak nifasnya selesai. Aku juga masih mikirin kondisi tubuh Aya yang mungkin kesulitan semenjak operasi.Ujungnya, aku cuma terkekeh ketika diantarkan pihak medis berpakaian APD lengkap melalui lorong keluar dari bangsal karantina. Kebanyakan ruangan memang kosong, tetapi bangsal yang terisi tampak miris.Kayaknya belakangan yang diterima karantina hanya untuk kasus khusus.Aku mendengar beberapa selentingan mengenai isolasi mandiri jika terlular tanpa gejala membahayakan. Lumayan, kalau memang benar, efeknya bisa mengurangi penuhnya IGD seperti yang belakangan terjadi."

  • Dokter Tampan Pemikat Wanita   Sadar Diri

    Beberapa orang yang masuk ruanganku menggunakan seragam APD datang berbaris. Dokter paling depan jelas kukenali, sementara orang-orang di belakangnya mungkin dokter baru yang bertugas mencatat dan membawa perlengkapan."Sudah enakan?" tanya Iren, sambil menggerakkan diaphgram stetoskop di dadaku sementara yang lain melakukan pemeriksaan terhadap laju cairan infus, bahkan mengambil urin yang sengaja diminta."Lumayan." Aku mengangguk, jauh lebih baik setelah menelepon Aya dan mendapat tontonan biru secara pribadi.Masih kebayang gimana panasnya Aya ketika memainkan puncak di depan tubuhnya sambil memejamkan mata. Caranya memanggil namaku dengan sangat sensual.Sulit menahan diri untuk tidak pergi ke kamar mandi meski harus membawa tiang infus dan penyangga tabung oksigen.Mengingat Aya saja sudah bisa membuatku tegang kembali. Sial!"Usahakan tidak stres, atur pola makan, dan perbanyak istirahat, ya." Pesan Iren, selaku dokter yang menanganiku kali ini.Dalam sehari ada dua kali kunjun

  • Dokter Tampan Pemikat Wanita   Komunikasi Lagi

    Lepas masker sesampai di rumah, aku melihat lagi citra luar dari jendela kaca yang terlindungi vitrase dan menyamarkan keberadaanku. Penguntit tadi memang tidak mengikuti lagi, tetapi mobil berkaca riben dengan plat nomor yang sama berkali-kali melintas."Baru pulang?" Suara lembut datang menyusul terbukanya pintu dari ruangan di belakangku, mamanya Abra. Tangis rendah menyertai dalam gendongannya."Udah dari tadi, Ma." Aku bergegas mencapai keran di bak cuci, mencuci tangan dan wajah sebelum mengambil bayi dari wanita yang juga aku panggil 'mama' itu."Maureen belum tidur?" tanyaku meski tahu jawabannya hanya sebatas senyum dan binar.Dia salah satu alasanku bertahan hidup meski tidak lagi memiliki keluarga. Dia salah satu alasanku mencoba menetapkan hati pada Abra. Entah bagaimana perasaan papanya yang jujur padaku.Setiap kata cinta atau rindu yang terucap dari bibirnya selalu meninggalkan perih, sangat dalam."Sudah telepon Abra?" Mama terlihat menutup tirai yang melapisi vitrase.

  • Dokter Tampan Pemikat Wanita   Penguntit

    "Masih belum mau bicara juga?" Andi keluar dari konter dapur membawa pisau daging. Dari gerakannya sih aku nebaknya si barista cuma membersihkan pisau, tapi efeknya ternyata menakutkan bagi si penguntit."Saya cuma disuruh. Ampun." Lelaki berpakaian lengkap dengan topi kupluknya itu bak wartawan pengejar berita di sekitar kehidupan Elzar.Tidak dimungkiri, pernah dalam hubungan saling menguntungkan dengan si artis yang cuma modal wajah dan tubuh itu cukup memberiku informasi tentang kehidupan entertain di luar sana. Segala keluhan pekerjaan hingga larangan memiliki hubungan pribadi membuat kami mencapai satu kesepakatan kontrak dulu.Dulu sekali, sebelum ketemu Abra kembali."Transaksinya gimana?" Abyan mengambil ponsel si penguntit dari rampasan Aris.Model lama ponsel yang digunakan hanya untuk panggilan suara dan pesan singkat itu tidak memberi petunjuk. Layar penampil pesan dan panggilan terakhir benar-benar kosong,"Saya dihubungi menggunakan nomor pribadi," aku pria tua itu samb

  • Dokter Tampan Pemikat Wanita   Insiden Kafe

    "Jangan terlalu naif deh, Ya." Lagi-lagi pemilik nama lengkap Natasha Wiratama itu menertawakanku. Matanya menghilang di balik lengkungan setiap tertawa.Kalau boleh sedikit percaya diri, pantas saja Abra memilih bersamaku dibanding anak orang kaya ini. Terlalu banyak hal aneh yang aku dapati ketika bicara dekat dengannya, tetapi hanya dia kan yang bisa aku ajak bicara untuk sementara ini?Menoleransi kekurangan orang lain sebenarnya bukanlah kebiasaanku. Aku lebih mudah menarik diri jika merasa tidak nyaman atau menjadi berbahaya ketika merasa terancam.Naif? Yang aku tahu pengertian dari kata naif itu hanya dua, lugu atau bodoh. Mungkin aku termasuk yang kedua. Sudah mengetahui tanda jika dibodohi, tetapi masih saja terus berada di sisi seseorang yang memanfaatkanku.Caca condong maju ke arahku. Ujung-ujung rambut pendeknya mengikuti arah gravitasi, menebar di sisi pipi.Dengan sorot serius, dia bilang, "Di keluarga ini terlalu banyak mata dan telinga. Semua emang punya niatan salin

  • Dokter Tampan Pemikat Wanita   Perselingkuhan Abra

    Bagianku dimulai dari sini, ketika harus menunggu kabar Abra bisa sadar semenjak dia masuk ruang intensif khusus. Komplikasi yang dijelaskan dokter juga di luar dugaanku.Seingatku Abra itu bukan perokok. Tidak pernah aku menemukan aroma tembakau di pakaiannya, hanya sesekali wangi parfum wanita atau bercak sisa lipstik.Anggaplah aku tidak terlalu peduli. Selama dia tidak mencari masalah denganku, aku mungkin bisa menghargai ruang yang diinginkannya meskipun semakin lama ternyata melubangi hatiku sendiri."Aku paling benci berharap pada manusia tau, Ca." Itu yang sebenarnya aku rasakan ketika Caca terus mengorek masalah yang belakangan mempengaruhi hubunganku dengan Abra.Berharap pada manusia itu seperti memberi kesempatan bagi kecewa untuk menghancurkan diri, seperti yang aku alami di masa lalu. Harapan untuk bisa lulus sekolah dengan damai dan bisa kuliah di luar negeri pun pupus seketika.Aku membenci dan ingin menghapus garis waktu di masa itu, tetapi berakhir menjadi jarak tak

  • Dokter Tampan Pemikat Wanita   Mengakui Kesalahan

    Proses pemakaman berlangsung cepat. Lagian, di masa penyebaran virus seperti sekarang, kerumunan masih sangat dilarang. Jadi, tidak banyak orang yang bertandang ke rumah Mbak Dara.Hanya ... kebiasaan warga setempat yang kerap mengadakan pengajian sebagai bentuk doa bagi jenazah dan keluarga yang ditinggalkan."Di mana Randy?" tanya Caca ketika bertemu di pelataran rumah dan membiarkan dua anak lelaki yang bersamanya masuk ke dalam.Kami memilih berada di luar kerumunan dan melihat orang-orang yang melintas masuk bergantian ke dalam rumah. Aku belum bertemu Randy lagi semenjak dia ikut mengantarkan suami Dara ke tempat peristirahatan terakhir.Sesekali aku bersin, mungkin efek tidak tidur semalaman dan dingin mengigit meski telah mengenakan jaket tebal."Ikut pengajian di dalam?" jawabku datar setelah menengok dari ambang pintu. Benar, saudara dari istri keduaku ini sedang berkomat-kamit melihat buku kecil dalam pegangannya."Randy? Ngaji?" Caca hampir-hampir tidak percaya dan ikut me

  • Dokter Tampan Pemikat Wanita   Bertemu Kematian

    "Hei! Hei! Ada apa?" Randy tiba di lorong depan ICU. Dia ikut berjongkok seperti Mbak Dara yang masih menangis semenjak keluar dari ruang tempat sang suami ditangani."Mas Khalil, Ran ...." Kedua tangan Dara menyatu di depan wajah, tampak bergetar dan memucat.Aku tahu pasti keinginan Randy untuk menenangkan Mbak Dara, terlihat dari kedua tangannya yang menggantung di samping Mbak Dara. Namun, tidak ada yang terjadi. Mbak Dara memeluk diri sendiri dan terus tenggelam di antara lututnya."Kenapa?" Terlihat frustrasi, Randy menghampiri aku yang memilih berdiri di dekat pintu masuk ruang ICU."Masih nunggu." Aku mengangguk ragu sambil menunjuk ke arah pintu.Ya, aku juga masih merinding setelah melihat kondisi pasien secara langsung. Jemariku saja bergerak tidak tentu di wajah. Terkadang menutup keseluruhan, terkadang hanya mengusap ujung hidung yang beberapa kali terasa gatal."Lo kenapa muncul di sini?" singgung Randy. "Ngilang sana!""Sialan lo! Udah bagus gue bantuin Mbak Dara tadi."

  • Dokter Tampan Pemikat Wanita   Rasa Bersalah

    Aya berdiri mantap ketika aku berbalik melihatnya. Tatapan tajam itu sangat aku kenali, penuh dengan dendam.Aku enggak takut, hanya saja ketika amarah mengambil alih emosi, mungkin saja bagi Aya melakukan hal berbahaya lagi.Ya Tuhan! Terlibat dengan tiga wanita bermasalah saja sudah membuatku terus mengeluh."Kamu bicarain apa, Ya?" Tidak sanggup aku berteriak, hanya mencicit lemah.Aya benar, aku selalu membawa sarung pengaman dulu, ketika Nanda belum menunjukkan tanda kehamilannya dan memilih menggugurkan kandungan."Pikir aja sendiri!"Aya bahkan tidak menjawab maksud dari kecurigaannya, aku jadi enggak tahu sejauh apa informasi yang dimilikinya. Mungkin nama atau tempat dia memergoki atau mengawasi aku?Bodoh! Enggak mungkinlah Aya membongkar penyamaran dengan mudah kalau bisa mendapat bukti yang lebih banyak.Dia menendang kursi yang tadi diduduki hingga besinya bertabrakan dengan kaki meja kabinet."Aya!" panggilku ketika Aya memilih menuju kamar kami. "Aku bicarain kamu! Ken

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status