Share

Maaf

"Kopi?" Kusodorkan gelas kertas berisi cairan hitam pekat. Telunjukku mengetuk stoples kecil berisi butiran putih di meja. "Tanpa gula. Kalau perlu gula, ini."

"Makasih." Aya mengangkat gelas yang kuberikan dengan kedua tangan. Bibirnya masih pucat meski kami telah berpindah dalam ruangan.

"Bajumu basah?" Pertanyaanku tentu hanya basa-basi. Hujan deras jelas menyiram kami sebelumnya sampai tiba di ruanganku.

Ketukan pada pintu terbuka terdengar seiring kata, "Paket, Pak Abra."

Ah, itu Nanda mengantar tas kertas berlogo salah satu market store terkemuka yang membuka pelayanan online.

Aku menghampiri ambang pintu, mengucap terima kasih sambil meraih benda yang disebut paket oleh Nanda. Bisa kulihat senyuman dari perawat baru itu saat melirik dalam ruangan.

"Aku enggak tahu ukuranmu, jadi tadi pesan yang kelihatan aja." Kuletakkan tas kertas di meja, tepat samping tangan Aya, kemudian menunjuk pintu di sudut ruangan. "Ada kamar mandi."

Aya mengeluarkan isi tas. Keningnya mengernyit. Hanya ada blus lengan panjang navy dan rok hitam. Satu stel yang kutemukan pada tampilan layar saat membuka situs pemesanan. Kalau pilih celana, tentu harus tahu dulu ukurannya.

"Kamu? Basah juga, kan?" Dia baru menyadari kalau isi tas itu hanya untuknya.

"Selalu ada baju ganti di sini." Aku beralih pada nakas di dekat meja. Laci-laci di dalamnya masih penuh dengan kaus berplastik yang kubeli secara grosir di pasar. Murah dan nyaman, tergantung keahlian memilih.

"Yah, terkadang enggak selalu bisa pulang. Bahkan tidur saja belum tentu kalau dapet jaga malam." Kutarik keluar salah satu dan berhenti sesaat, memperhatikan Aya yang menyeruput kopinya sebelum masuk kamar mandi.

Tanpa gula? Gokil.

Kugelengkan kepala, menyadari senyuman yang kembali muncul setelah melihatnya justru luntur karena pembicaraan panjang mengenai hari itu. Kejadian yang membuatku terus berpikir ulang tentang rasa bersalah menodainya di akhir sekolah menengah.

Ketika penyerahan penghargaan siswa terbaik selesai diberikan, Aya menghilang dari kerumunan siswa.

Aku cukup tahu kalau banyak yang tidak menyukai prinsipnya untuk jujur. Bahkan Aya mau memberi bimbingan gratis kalau memang teman-teman berniat belajar. Sayangnya, momok menakutkan dari ujian saat itu juga menentukan syarat masuk universitas yang tidak hanya meningkatkan kecurangan, tapi juga menghilangkan moral.

Kayak aku bermoral juga? Menurutmu? Aku enggak sebaik yang terlihat.

Aya benar kalau aku juga menikmati momen pertama saat itu. Namun, belum ada yang mampu memberi kenikmatan yang sama seperti saat menyentuhnya.

"Aya?" Aku terkejut, mendapati gadis itu terdiam di depan kamar mandi melihatku melepas kemeja. Tanganku sudah meraih kaus yang akan dikenakan, tetapi pergerakan terhenti saat menyadari tatapan lebarnya.

"Maaf, Bra. Aku cuma mau nanya plastik buat baju basah." Tangan kiri Aya masih memegangi kenop pintu kamar mandi, memutarnya sambil menunduk.

Kuambil lipatan bungkusan dari laci dan menghampiri Aya. "Ini."

Dia masih tidak bergerak atau menoleh sampai aku perlu menarik sudut dagunya biar melihat ke arahku. "Enggak ada yang luka, kan?" Pertanyaanku saat menghadapinya di IGD berulang, memastikan lagi meski hasil rontgen Aya tidak menunjukkan pergeseran selain lebam kebiruan yang terlihat jelas di bahunya saat pemeriksaan.

"Aya?"

Kedua tanganku melambai di depan wajahnya berkali-kali. Aya tampak terkejut saat kupergoki sedang memperhatikan perutku yang tak tertutup.

"Lihat ini, Ya?" Telunjukku mengarah pada tonjolan yang terbentuk seiring usia.

"Apaan sih, Bra!" Kepalan tangan kanan Aya mengenai bahu kiri dan sukses membuatku mengaduh. Dia bergegas merebut benda di tanganku sebelum masuk kamar mandi.

Seperti ... berbeda.

Di satu sisi aku bertemu Aya yang membenciku. Di sisi lain, Aya seolah menganggap keberadaanku sebagai hal biasa, tidak pernah berarti.

Apa yang terjadi denganmu, Ya?

"Mas Abra setelah ini langsung pulang?" tanya pria yang lebih sering kusebut Mas Anan. Kebiasaan panggilan dalam lingkup kerja yang mayoritas didominasi pendatang. Dia menopang lengan pada daun pintu yang memang tidak tertutup.

Aku mengangguk, mengambil kaus yang harus dikenakan dan jaket dari laci nakas lainnya. "Datang cuma buat nganter korban aja, Mas. Kebetulan ada di lokasi kejadian. Liburku masih panjang."

"Enggak ibadah?"

"Ikut doa aja, Mas."

"Kebiasaan!" Mas Anan masuk ruangan. Dia sempat memegang gelas kopi bekas Aya dan menoleh pada pintu kamar mandi yang terbuka. "Ini siapa?"

Aya melihatku dan Mas Anan bergantian sebelum mendekat. Plastik hitam yang dipegangnya langsung kurebut dan tanpa ragu kusampirkan jemari di bahu Aya.

"Pacarku, Mas." Kurasakan injakan dari sepatu basah Aya di atas kulit kakiku yang hanya beralaskan sandal jepit. Ingin berteriak, tetapi sandiwara baru dimulai.

Sepertinya Aya benar-benar ingin merasakan perhitungan dariku.

"Yang ke berapa, Mas?"

Oke, aku merasa diinterogasi kali ini. Mungkin lebih tepatnya, memastikan. Mas Anan terus melirik Aya ketika mengambil salah satu kursi dari tumpukan di sudut ruangan.

"Satu-satunya lah." Kuabaikan nyeri di kaki hanya untuk menarik Aya ke sisi mejaku.

Mas Anan tertawa sambil membuka laci di meja dengan penanda namanya. "Yang tempo hari ngamuk di pos satpam siapa?"

Bukan rahasia lagi. Dokter yang lebih tua beberapa angkatan dariku itu seringkali mengambil alih urusan para fans yang sering dadakan datang mencariku.

"Orang gila itu, Mas." Celetukanku justru menambah gelegar tawanya. Anggap saja hanya candaan.

"Oalah! Ada ya orang gila cantik tenan?"

Tawa yang kupaksakan mendadak berhenti karena pelototan Aya. Riasan serba misteriusnya memang tidak lagi terlihat, tergerus hujan. Namun, kesan garangnya masih kuat.

"Udah, Ya. Enggak usah didengerin." Kumasukkan plastik berisi pakaian basahnya dalam tas kertas. Setelah yakin tidak perlu membawa apa pun selain ponsel, dompet, dan kunci, jemariku mengisi kekosongan dalam genggaman tangan Aya. "Mas Anan cuma iri liat cewek cantik."

Tanpa perlawanan, gadis itu hanya mengikuti tarikanku keluar ruangan meski harus diiringi siulan Mas Anan.

"Abra! Abraham!" Panggilan yang keluar dari bibir Aya tak menghentikan langkahku di sepanjang lorong menuju keluar rumah sakit melalui jalan belakang.

Pepohonan sawit tampak di sepanjang sisi lorong. Menua tak terawat. Sedangkan di kejauhan terlihat pembangunan untuk gedung baru rumah sakit. Di persimpangan, kami belok ke area parkir di depan gedung belajar milik fakultas kedokteran universitas terkemuka.

Nyeri menghunjam lengan. Kusadari gigi Aya mencengkeram dalam di dekat nadi.

"Aya! Lepasin!"

Aku refleks memegangi bekas dalam yang bersarang setelah Aya mundur. Dia mampu tersenyum lebar bersama binar cerah di bawah cahaya lampu yang menyambut malam.

"Sial! Ini sakit tahu, Ya."

"Anggap saja bayaran dari pegangan tanpa izin tadi."

Aya bersedekap. Terlihat manis dengan blus yang kupilihkan. Warna gelap sangat kontras dengan kulit cerahnya.

"Kita ke mana, Bra?"

"Menurutmu?"

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status