Share

Teman Kencan

"Dompetmu," ucap Caca, gadis yang meletakkan benda kulit berwarna hitam tepat pada meja di depan. Dompetku. Dia langsung duduk tanpa perlu dipersilakan.

Entah warna apa lagi yang menjadi highlight rambut panjang tergerainya hari ini. Ungu? Merah muda? Enggak penting sebenarnya. Aku cuma penasaran apa yang membuat seorang perempuan begitu memperhatikan penampilan atau membuat ciri khasnya sendiri. Seperti Aya yang terkesan garang dari penampilan, Caca yang lebih banyak mengenakan warna pastel dari kaki sampai aksesoris rambut, atau wanita lain yang cenderung menghabiskan waktu di kamar mandi dan depan cermin hanya untuk memastikan banyak hal. Itu yang kuhadapi dari teman kencanku setiap selesai bergulat di kasur.

"Sorry semalam." Kuangkat cangkir dari meja dan menyeruput isinya dari pinggiran. Kebutuhan kopiku sepertinya bertambah setelah semalaman bertugas dan secangkir Long Black tanpa gula cukup menambah pahit hari ini.

"Serius, Bra. Kamu nyuruh aku ambil dompet ini cuma karena mobil baret?" tanya Caca sambil mengerucutkan bibirnya setelah menunjuk pesanan dari menu yang dibawakan pelayan. Dia mengangkat ponsel, seperti biasa, bercermin.

Tatapanku beralih pada keseluruhan tampilan kafe yang mampu ditangkap mata. Cukup menyenangkan bisa melihat susunan lampu-lampu mikro yang membentuk pola zig-zag dari kejauhan. Beberapa bulan lalu aku masih berkutat dengan tampilan blur dan goyang jika tidak mengenakan kacamata.

Jariku mengetuk pinggiran meja sambil meletakkan cangkir pada tatakan. "Baret juga perlu biaya buat dimulusin lagi. Kayak muka kamu, tuh."

Aku mendapat pelototan lebar setelah melontarkan kalimat itu. Caca mengambil garpu yang baru disediakan pelayan di meja lalu menekannya pada piring saji, menciptakan derit yang memekakkan hingga aku harus menutup kedua telinga.

"Ca ...." Desis akhirnya keluar dari bibirku seiring penyebutan namanya. Pelan dan tegas.

"Ish, Abra." Denting garpu beradu piring mengakhiri tingkahnya yang menurutku kekanakan. Ponsel Caca pun sudah berpindah ke permukaan meja. "Kamu kan tinggal minta sama Om Rangga, ayah kamu."

Dahiku sepertinya mengernyit saat nama itu kembali disebutkan. "Sama siapa? Aku enggak bakal minta sama orang yang udah buang aku dan Ibu."

Lengkap sudah pahitnya hari ini. Kalau boleh, kukeluhkan satu per satu masalah yang menghinggapi kepala, tapi pada siapa?

Baru Caca menyebutkan namanya, pria tua yang dimaksud sudah mengirimkan bukti transfer dalam jumlah tidak sedikit. Untuk apa? Apa itu cukup membeli hidup yang telah dilewatkannya? Jangan harap.

"Ayah kamu juga, Bra."

Aku bertanya, "Ngadu, kamu?" memperlihatkan tampilan layar yang jelas menunjukkan kata 'Bajingan' pada Caca.

Alih-alih mengangguk atau berlagak memohon pengampunan, Caca justru menunjuk ke arah luar jendela resto tanpa rasa bersalah. Cengirannya seolah memberitahukan keberadaan seseorang berseragam serba hitam di seberang jalan.

"Apa sekarang aku tahanan?" Kuputar ponsel di telapak tangan yang menghadap langit-langit sebelum memasukkannya dalam saku sambil menyengir, mengalihkan raut yang mungkin muncul karena tidak nyaman. Senyuman lebar yang kupaksakan hanya sekadar menghargai pelayan yang mengantarkan pesanan Caca, yang juga ditujukan padaku.

"Kamu hanya perlu makan dan hidup, Bra." Caca menarik pisau dan garpu lain dari samping piring saji dan mulai mengiris-iris daging setebal buku pengantar bahasa saat awal kuliah. "Kita akan menikah sesuai perjanjian dan semua selesai."

Namun, suaraku justru membicarakan hal lain di luar pikiran yang begitu penuh dengan gejolak menyakitkan. "Bisa enggak berhenti manggil aku 'Bra'? Berasa daleman yang lagi kamu pakai."

Gadis itu tersedak. Lebih tepatnya batuk-batuk setelah sadar ke mana tatapanku tertuju. Dia spontan menaikkan tali terusan yang menggantung di bahu dan meminum air yang tersaji dalam gelas di hadapannya.

Kepalaku menggeleng pelan. Tanganku sudah meraih perangkat makan yang sama dengan Caca untuk mengiris sekecil mungkin daging sapi di piring. Aku sedang tidak ingin banyak mengunyah saat harus bicara. "Yakin setelah kita menikah semua urusan bakal selesai?"

"Maksud kamu?"

Kuhela napas panjang setelah berhasil menuntaskan kunyahan untuk menjawab pertanyaannya dengan intonasi sedatar mungkin. "Kebiasaan Mama ngeracunin anaknya pakai sinetron. Tau jalan ceritanya? Abis nikah entar diminta punya keturunan dan sederet perjanjian lain sampai saling jatuh cinta, kemudian 'Happy Ending', deh."

Caca langsung tergelak. Hilang citra anggun yang biasa ditampakkan pada media sosial ketika 'grok' terdengar dari hidungnya. "Pikiranmu kejauhan, Nathanael Abraham. Mau kupanggil kayak daleman lagi?" ejeknya setelah meneguk isi gelas lagi.

"Dikasih dalemannya aja, mau."

"Mesum." Kedua benda di tangan Caca terlihat berhenti bergerak. Bisa kurasakan tatapannya yang terpaku di depanku.

Daging di piringku sudah tandas. Tersisa paduan wortel, buncis, brokoli, dan kacang polong berselimut saus lada hitam yang tentunya takkan kusentuh. Lupakan aturan tentang peletakkan alat makan, kedua benda dari tanganku hanya menggeletak asal di pertengahan piring.

"Siapa yang enggak mau? Tempo hari ada tuh DJ yang jual daleman enggak dicuci seharga lima puluh juta, laku aja." Aku hanya mengutarakan hal di kepala yang kebetulan numpang lewat.

Berita semacam itu bukan lagi hal memalukan di masa kini. Bahkan sepertinya perempuan yang bekerja dalam bidang hiburan memang sengaja menaikkan pamor melalui topik-topik menyerempet dalaman dari pelindung sampai isinya.

"Abra mesum!"

Kalimat cercaan yang keluar dari bibir Caca seiring nyeri yang menabrak bagian depan celanaku. Sial!

Gadis itu menendang hal paling penting dan krusial dalam hidup seorang pria. Kepalan tanganku sudah menguat di atas meja, menahan jeritan, kalau saja tidak ingat sedang diawasi dari kejauhan.

"Aku normal, Ca. Masih tertarik sama lawan jenis." Aku protes, berusaha berdeham dan memperbaiki posisi dudukku yang sempat tegang karena ulahnya. "Lihat ayahku. Apa coba yang dia cari dari wanita muda? Daleman juga, kan?"

"Kamu mau kayak Om Rangga dengan bayar teman kencan kayak semalam?"

"Berhenti ngebahas hidupku, Ca."

"Kamu enggak suka dengan yang telah Om Rangga lakukan, tapi kamu ...." Caca lebih dulu berdiri. Telunjuknya sudah mengarah padaku tanpa takut.

"Membosankan." Aku turut bangkit, mengambil dompet dan meletakkan beberapa lembar merah muda di dekat piring.

Kuraih telunjuk Caca, menurunkannya ke sisi gadis itu dan bilang, "Aku duluan. Makasih sudah ambilin," sambil memamerkan si dompet sebelum melangkah meninggalkannya.

"Abra bego!"

Teriakan Caca bisa terdengar. Kusempatkan berbalik hanya untuk memberi kecupan jarak jauh bersama kedipan dari mata kiri.

Setelahnya?

Aku yakin dia bakal menghentakkan kaki kuat-kuat setelah kutinggalkan. Tipe gadis yang lucu untuk dijadikan mainan pada saat yang tepat.

Keluar dari pintu resto, pemandangan yang tersaji hanya area parkir dalam gedung tinggi. Tempat sama ketika aku mengumpat karena ulah si pengendara sembrono yang meninggalkan baret di sepanjang sisi kiri mobilku.

Harus menuruni tangga darurat sepanjang tiga lantai lagi hingga aku mencapai bagian keamanan di dekat loket pemeriksaan karcis. Di sana, terlihat Aya mengenakan kemeja putih dan rok sepan hitam keluar dari salah satu ruang loket.

Hal yang kusesalkan, Aya melotot ke arahku sambil mengacungkan jari tengah. Sial! Dia jelas-jelas mengajak perang dan aku sama sekali belum menyiapkan amunisi balas dendam.

Satu kalimat keluar dari mulutku, "God! Kenapa harus ketemu di sini?"

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status