Share

Luka

Aku membuka mataku dan menemukan diriku sedang terbaring di atas kasur. Badanku terasa sakit di beberapa titik. Tanganku yang sebelumnya berdarah sekarang sudah diperban. Terasa nyeri sekali. Aku mengambil dompet dan ponsel ku lalu melangkah keluar dari ruangan ini dengan tertatih-tatih. Aku bisa melihat Liam sedang tertidur diatas sofa.

“Liam, bangun.” Aku mencoba membangunkan Liam dan mengguncang-guncangkan tubuhnya. Dia terbangun lalu mengucek matanya dan duduk diatas sofa. Dia kemudian memperhatikan aku, sepertinya dia cemas sekaligus kesal dengan apa yang sudah terjadi hari ini.

“Apa yang sudah kau lakukan? Kenapa kau menyakiti dirimu sendiri?” tanya Liam.

“Aku tidak tahu, Liam. Rasanya tanganku bergerak sendiri. Bukan aku yang menggerakkannya.”

“Jadi menurutmu sesuatu yang tak terlihat menggerakan tanganmu? Menurutmu apartemen ku berhantu? Jika itu alasanmu menyakiti dirimu kau sungguh sudah gila.”

“Ya. Mungkin hantu dari pria yang sudah aku bunuh kembali dan mencoba membunuhku, yang mana itu jauh lebih baik daripada beban yang harus aku tanggung sekarang ini.” Aku merasa kesal mendengar apa yang dia katakan. Mana mungkin alasan ku adalah karena hantu.

“Sudah ku bilang, kau tidak membunuhnya. Ava.”

“Baiklah, aku tidak membunuhnya. Aku membiarkan dia mati.”

“Ava…”

“Sudahlah, Liam. Aku ingin pulang. Sekarang sudah malam dan aku ingin pulang,” ucapku sambil melepaskan perban yang membalut tangan ku.

“Hey, itu belum sembuh. Kau tidak boleh membukanya dulu.”

“Diam lah Liam. Aku sedang tidak ingin mendengar seseorang bicara. Dimana nenek? Aku ingin berpamitan dengannya.”

“Dia sedang tidur di kamarnya.”

“Baiklah, sampaikan saja salam ku untuknya. Selamat tinggal. Terima kasih atas kebaikan mu,” kataku sambil melangkah ke pintu keluar.

“Hey, tunggu!” teriak Liam.

Aku tidak menggubrisnya dan menuruni tangga. Namun sepertinya dia tidak menyerah. Dia ikut menuruni tangga dan pada akhirnya aku sampai diluar bersama dirinya.

“Aku akan mengatarmu. Ikutlah dengan ku. Ada yang ingin ku bicarakan.” Kata Liam dengan nada memelas.

“Aku tidak mau Liam. Aku bisa pulang sendiri dengan menelpon taksi.”

“Aku mohon. Aku ingin membicarakan sesuatu”

Aku menghela napas dan menganggukkan kepalaku sambil berjalan menuju mobil pick-up Liam.  Dia langsung menyusulku dan duduk di kursi pengemudi. Dia lalu menaikkan lengan kiri bajunya dan menunjukkan pergelangan tangan kirinya kepada ku. Aku terkejut merlihat bekas sayatan seperti yang aku lihat di pria yang melompat pagi ini.

“I-itu, apa yang sudah terjadi dengan tanganmu?” tanyaku dengan sedikit terbata-bata

“Ini bagian dari masa lalu ku. Sudah satu tahun sejak aku mendapatkannya.”

“Kau mencoba mengakhiri hidupmu?” tanya ku yang masih syok karena luka itu.”

“Sayangnya aku tidak seberuntung pria itu yang berhasil mengakhiri hidupnya. Aku malah berhasil bertahan dan masih hidup sampai sekarang.”

“Kenapa kau menyayangkan hal itu, bodoh. Kau sangat beruntung masih bisa hidup.”

“Bagaimana mungkin aku merasa itu sebuah keberuntungan ketika aku sendiri tidak sanggup lagi menanggung semua penderitaan yang aku rasakan.”

Aku terdiam. Suasana di dalam mobil ini menjadi begitu tenang. Liam lalu menyalakan mobilnya dan mengendarainya menuju jalan utama. Beberapa menit berlalu tanpa ada satu pun dari kami yang bicara.

“Liam …”

“Ya, ada apa?”

“Bisa kah kita mampir sebentar ke Wendy’s? Aku lapar,” ucapku. Sebenarnya aku tidak lapar. Aku hanya ingin agar aku bisa sedikit berlama-lama dengannya. Aku penasaran dengan apa yang sudah dia lalui sebelum bertemu aku.

“Tentu saja.”

Liam pun mengendarai mobilnya menuju Wendy’s dan memarkirkan mobilnya. Kami berdua turun dari mobil dan masuk ke dalam. Suasana di dalam sangatlah tenang, hanya ada 7 orang pelanggan termasuk aku dan Liam. Aku menuju kasir untuk memesan makanan ku namun aku tidak melihat Liam yang sebelumnya berada di belakang ku. Ternyata dia sudah duduk di salah satu meja yang berada di dekat jendela. Aku terpaksa kembali untuk menghampirinya.

“Kau tidak ingin makan?” tanyaku kepada Liam.

“Aku tidak punya uang. Aku hanya berniat bicara denganmu sambil mengantarmu pulang,” jawab Liam

“Kau hanya ingin menunjukkan luka di tanganmu itu?”

“Sebenarnya tidak, tapi karena suasana di mobil terasa aneh, aku jadi bingung bagaimana aku memulainya.”

“Pesan lah sesuatu. Aku akan mentraktirmu, hitung-hitung balas budi, karena kau sudah baik kepadaku. Aku juga ingin mendengar ceritamu tentang luka itu,” ucapku sambil memainkan rambutku.

“Tak perlu repot-repot membalas kebaikan ku. Itu sudah seharusnya di lakukan. Kenapa kau ingin mengetahuinya?” tanya Liam.

“Sudahlah pesan saja.” Aku kemudian menarik lengan baju Liam menuju kasir.

“H-hey, baiklah.”

“Satu Premium Burgers, satu Spicy Cheese Burgers, satu Beef Spaghetti, Large French Fries, satu Crispy Chick-“

“Hey, kau yakin bisa menghabiskan semuanya?” tanya Liam memotong pembicaraan ku dengan kasir.

“Hmm, entahlah.”

“Lalu kenapa kau membeli sebanyak itu?”

“Kenapa ya? Karena aku kaya?”

“Anak bos minyak memang beda.”

Aku hanya tertawa mendengarnya. Biarlah, sepertinya aku jadi merasa lapar setelah pergi ke tempat ini.

“Apakah anda sudah selesai dengan pesanan anda?” tanya kasir yang sedang mencatat pesanan ku.

“Belum, hmm, satu Crispy Chicken Burgers, satu Baked Potato dan minumnya air mineral saja. Oh iya, akum au Volcano Frosty juga. Bagaimana denganmu, Liam?” tanyaku kepada Liam sambil tersenyum menyebalkan.

“Wanita gila. Aku pesan Beef Burgers dan Lemon Tea saja,” kata Liam sambil memebrikan tatapan kesal kepada ku.

“Hanya itu yang kau makan? Apakah kau ini benar-benar pria?”

“Sebaliknya, dengan makan sebanyak itu, apakah kau benar-benar wanita? Biasanya wanita sangat menjaga makannya. Karena takut dirinya akan menjadi gendut.”

“Persetan dengan menjadi gendut. Lagipula apa aku memang terlihat gendut, Liam?” tanyaku kepada Liam.

“Entahlah. Kau terlihat normal.”

“Memang yang tidak normal itu seperti apa?” tanyaku kesal.

“M-maksudku, sudahlah lupakan, kita sedang berada di depan kasir.”

“Huh menyebalkan,” kataku sambil mengeluarkan uang dari dompetku.

“Baiklah, karena pesanan anda lumayan banyak, kami akan mengantarkannya. Silahkan tunggu di meja. Terima kasih.”

Liam lalu melihatku dengan tatapan ‘lihat kan apa yang sudah kau lakukan sehingga makanannya menjadi lama untuk datang’. Namun aku pura-pura tidak melihatnya lalu pergi menuju meja dan menunggu makanan. Aku memperhatikan bekas luka di tangan Liam.

“Apa yang sudah ia lalui ya,” batinku.

Aku lalu mengalihkan pandanganku menuju wajahnya. Cukup lama aku memperhatikannya. Alisnya tebal dan hidungnya mancung. Matanya yang berwarna biru terang sedang melihat keluar jendela. Sepertinya dia merasa kalau dia sedang diperhatikan.

“Apa?” tanya Liam yang membuatku terkejut.

“T-tidak,” jawabku gugup.

“Ada apa dengan wajahku?”

“Tidak ada, hanya wajahmu terlihat… normal.”

“Memang yang tidak normal itu seperti apa?” tanya Liam dengan nada kesal.

“Hidung ada 2 dan mata ada 3, lalu mulutmu terletak di dahi. Itu tidak normal.”

Liam menghela nafas mendegarnya. Aku tertawa melihatnya. Padahal sebelumnya mood ku sedang buruk karena aku masih memikirkan pria yang melompat itu. Mungkin mood ku kembali karena membayangkan pesanan ku yang sekarang sedang di bawakan oleh pelayan.

“Silahkan,” kata pelayan itu seraya meletakan makanan di meja ku.

Aku langsung mengambil burger menggunakan tangan kanan ku dan kentang dengan tangan kiri ku dan melahap keduanya. Sepertinya, mood ku memang kembali karena aku memang ingin makan. Padahal, sebelumnya aku minta Liam untuk mampir ke Wendy’s hanya karena aku ingin bicara dengannya. Persetan dengan alasan ku. Aku lapar.

Liam memperhatikan aku makan dengan sedikit tidak percaya. Dia lalu tersenyum dan mengetawai aku serta meledekku yang akan menjadi gendut. Aku tidak peduli, aku lapar.

“Burpp,” aku bersendawa setelah menghabiskan semua yang aku pesan. Tinggal Volcano Frosty yang belum aku eksekusi.

“Aku tidak percaya kau bisa menghabiskan semuanya,” kata Liam

“Yah aku juga tidak percaya. Well, karena aku sudah kenyang. Ceritakan lah soal luka di tangan mu itu.”

“Kau benar-benar ingin mendengarnya?” tanyanya sambil meletakkan gelas Lemon Tea nya di atas meja.

“Tentu saja.”

“Kau tidak akan membenci ku?”

“Kenapa aku harus membenci mu?”

“Kau mungkin akan membenci ku setelah aku menceritakan ini.”

Apa yang dia katakan membuatku ragu untuk mendengarkan ceritanya. Tapi di sisi lain, aku penasaran dan ingin tahu apa yang sudah ia lalui. Aku lalu memperhatikannya dengan seksama. Mata birunya mengeluarkan air mata. Sial, cerita macam apa yang akan aku dengar.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status