Share

Pembunuh

Aku berteriak. Hanya berteriak. Aku merasa tidak berguna karena aku hanya bisa berteriak. Tatapan kosong itu masih bisa terlihat meski dia sudah berada begitu jauh di bawah. Terlebih, senyumannya yang menurutku itu adalah sebuah senyuman yang tulus. Seakan-akan merasa terbebas. Padahal aku tidak mengenal siapa dia. Tapi apa yang dia lakukan membuat ku sangat terpukul. Orang-orang disekitar ku ikut berteriak.

“Pembunuh.”

“Wanita ini sudah membiarkannya mati.”

“Tidak punya hati.”

“Aku tidak akan bisa tidur jika aku jadi dia.”

Suara-suara itu muncul di belakang ku. Aku rasa mereka benar. Manusia macam apa yang diam saja melihat orang yang berada di depannya akan mengakhiri hidupnya?. Sial, aku benar-benar merasa jika dia mati karena aku. Namun tiba-tiba saja aku merasa seseorang menarik tanganku dengan kuat. Membuatku menjauh dari kerumunan orang-orang yang masih shock karena apa yang mereka lihat. Aku mencoba melihat wajahnya. Masih terlihat samar-samar karena mataku masih berderai air mata. Kami berhenti di sebuah mobil pick-up dan dia membukakan pintu untuk ku. Aku hanya bisa menurut ketika dia sedikit mendorong tubuhku untuk masuk ke dalam mobil itu. Tak lama kemudian dia pun masuk dan langsung mengendarai mobil ini dengan kecepatan penuh.

“Bukan salah mu.” Suara beratnya mengagetkan ku yang sedang melamun.

“Tentu saja salah ku.” Memang salah ku.

“Kau tidak membunuhnya," katanya lagi.

“Aku membiarkan dia mati,” ucapku sambil menutup wajahku menggunakan telapak tangan.

“Kau tidak membiarkan dia mati. Itu pilihan yang dia ambil," katanya sambil melihat aku

“Jangan menasihati ku. Kita baru saja bertemu dan bisa saja kau adalah orang jahat yang memanfaatkan situasi saat aku sedang lemah.” Aku asal bicara. Sejujurnya aku bahkan tidak bisa memikirkan hal lain selain pria yang melompat itu.

“Bagaimana bisa kau bilang seperti itu saat kau sendiri merasa bahwa kau telah membunuh seseorang?” katanya yang membuatku terdiam. Dia benar, aku lah orang jahatnya

“Tenang saja, aku akan mengantarmu pulang,” katanya.

“Aku tidak mau pulang, suasana rumahku ditambah kondisiku yang seperti ini akan membuatku menyusul pria itu.” Yah, aku rasa aku memang benar. Mungkin saja aku jadi ikut mengharapkan kematian apabila aku pulang.

“Ucapan gila.” Katanya dengan setengah tertawa.

“Kau tidak akan mengerti.”

“Kau tidak memiliki tempat untuk pulang, kau mau kerumah ku?.” Katanya sambil berhenti di sebuah tempat pengisian bahan bakar.

“Terserah.” Jawabku asal.

Aku masih tidak bisa berhenti memikirkannya. Entah kenapa senyuman dan tatapan itu membuatku membeku. Luka sayatan di pergelangan tangan kirinya masih membekas di ingatan ku. Aku memejamkan mataku yang terasa sangat berat. Aku mengantuk. Selamat malam.

“Hey, Bangun.” Dia membangunkan ku.

“Dimana kita?” tanyaku.

“Apartemen ku, tempat aku dan nenek ku tinggal.” jawabnya sambil mengunci mobilnya.

“Orang tua mu?” tanyaku lagi

“Berpisah sejak aku 4 tahun.”

“Oh.”

“Kau bisa beristirahat untuk sementara disini. Nenek ku orang yang baik, dia akan senang dengan kehadiranmu.” Katanya sambil melepaskan jaketnya.

“Aku tidak mengenalmu.”

“Temui saja nenek ku dan kau akan tahu orang seperti apa aku. Dia tidak pernah berbohong dan tidak akan berbohong.” Jelasnya.

“Bagaimana aku mengetahuinya?” tanyaku.

“Dia bahkan tidak bisa berbicara.”

“Kenapa?”

“Beberapa preman memotong lidahnya ketika hendak memperkosanya ketika ia masih muda dulu.” Jelasnya yang membuatku merinding. Dari ceritanya dia mungkin bisa dipercaya. Aku melangkah masuk dan menaiki tangga untuk sampai ke tempat dia tinggal.

“Disini?” tanyaku.

“Ketuk saja pintunya.”

Aku mengetuk pintu berwana putih pucat itu. Tak lama kemudian seorang wanita berusia 60 tahunan membuka pintunya. Wajahnya keriput namun menunjukkan aura kedamaian, dia pasti nenek pria ini. Dia tersenyum kepadaku dan mempersilahkan aku masuk. Aku masuk ke dalam dan ku lihat pria yang tadi bersama ku sedang berbicara dengan neneknya. Tapi, neneknya membalas dengan bahasa isyarat. Pria ini jujur.

Aku memperhatikan tempat ini. Tempat ini jauh dari kata bagus. Beberapa bagian temboknya memiliki cat yang sudah terkelupas, langit-langit dengan lubang di beberapa titik. Dan hanya ada 2 kamar tidur dan 1 kamar mandi. Ruang tengah dengan sofa berwarna merah yang sudah pudar serta televisi tabung yang sangat ketinggalan jaman. Tapi tempat ini damai. Tidak ada teriakan, makian, dan lantainya tidak memiliki pecahan kaca.

“Dia bertanya nama mu,” katanya seraya menghampiriku.

“Ava. Agatha Vavreu,” kataku memperkenalkan diriku kepada nenek pria ini

“Liam, Liam Morrison,” katanya sambil meminum air.

Dia lalu kembali ke nenek nya untuk memberi tahukan namaku. Neneknya tersenyum dan menjabat tanganku sambil terus tersenyum dengan indah. Mulutku pun tergerak untuk ikut tersenyum setelah melihatnya.

“Kau boleh berada disini untuk sementara waktu, dan seperti yang aku katakan, nenek ku senang sekali atas kehadiranmu.” Katanya sambil memakai jaketnya.

“Kau ingin pergi kemana?” tanyaku.

“Bekerja, aku akan pulang jam 8 malam.”

“Tidak sekolah?” tanyaku lagi.

“Tidak,” jawabnya

“Kenapa?”

“Karena sekarang hari Sabtu.”

Sial, aku merasa bodoh.

“Dimana kau bekerja?.” Aku bertanya lagi untuk menutupi kebodohan ku.

“Chevron Hurricane,” jawabnya.

“Benarkah? Di situ adalah tempat ayahku bekerja.” Yap, ayahku yang tukang selingkuh

“Oh ya? Di divisi mana kah dia bekerja?” tanya Liam.

“Dia bos nya.”

Matanya melebar mendengar hal itu. Dia berusaha menutupinya dengan berpura-pura mengucek matanya.

“Ehm ... Jadi ayahmu adalah atasan ku. Aku hanya seorang pengawas gudang” Katanya sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

“Kau tidak perlu malu,” kataku sambil terkekeh

Dia menggaruk ke seluruh bagian tubuhnya. Konyol sekali. Aku hanya tertawa melihatnya.

“Ya sudah. Aku berangkat. Tolong temani nenek ku ya,” katanya sambil membuka pintu

“Hey, Liam. Bolehkah aku meminta buku tulis dan sebuah pulpen? Aku ingin mengobrol dengan nenek mu. Aku tidak bisa bahasa isyarat," kataku seraya menghampiri nenek.

“Oh tentu.”

Dia memberiku pulpen dan sebuah buku tulis. Lalu mencium neneknya. Dia lalu melambaikan tangannya kepada ku dan aku membalas lambaian tangannya. Nenek Liam mempersilahkan aku untuk duduk di sofa. Dia lalu duduk di sebelahku sambil menyalakan televisi. Tidak ku sangka ternyata televisinya masih bekerja.

“Nenek, siapa nama nenek?” tanyaku.

Dia lalu meminta buku yang berada di tanganku dan menulis namanya

Hermione Morrison.

Nama yang bagus. Aku hanya tersenyum dan mengangguk. Dia lalu menulis apakah aku lapar dan aku hanya menggelengkan kepala saja.

“Seorang pria ditemukan tewas mengambang di laut Carbonara, di bawah jembatan Huntsman Bridge. Para saksi mata mengatakan jika pria ini melompat dari Huntsman Bridge. Bisakah anda mengatakan kepada kami bagaimana kejadian ini berlangsung?” Tanya reporter televisi pada seorang pria bernama Kevin

“Dia bisa saja selamat, jika saja wanita yang terakhir bersamanya tidak diam saja dan menghentikan tindakannya. Jika aku adalah kerabat dari korban, maka aku tidak akan pernah memaafkannya.” Kata narasumber bernama Kevin itu.

“Apakah wanita itu memiliki hubungan dengan korban?” tanya reporter itu kepada Kevin

“Entahlah. Mungkin saja ia adalah mantan pacarnya," jawab Kevin

“Baiklah, kami akan memberikan informasi lebih lanjut mengenai perkembangan kasus setelah pesan-pesan berikut ini.” Kata reporter itu menyudahi liputannya.

Dia salah. Aku hanya orang yang kebetulan sedang lewat. Aku tidak mengenalnya sama sekali. Tapi dia tidak salah tentang aku yang membiarkan pria itu mati. Aku menangis dan nenek menyadari hal itu lalu mengganti saluran televisinya. Namun seluruh saluran dalam negeri memberitakan hal serupa, dan semuanya menghubungkan kematian pria itu dengan wanita yang terakhir bersamanya yaitu aku. Nenek hanya mengusap kepala ku sambil menenangkan ku.

Aku pembunuh. Aku membunuhnya. Aku membiarkan dia mati. Dan sekarang aku berada di rumah orang yang baru saja aku kenal dan diperlakukan dengan baik oleh si tuan rumah. Aku tidak pantas dengan semua ini. Aku lelah. Nenek lalu mengambilkan aku segelas air putih dan memberikan isyarat agar aku meminumnya.

“Nenek, terima kasih.” Dan dia tersenyum sambil mengusap kepalaku

“Nenek, menurutmu, apakah orang jahat itu merasa jahat setelah melakukan kejahatan?” Tanyaku kepadanya

Nenek lalu menulis

“Baik dan buruk itu tidak ada. Hanya tergantung bagaimana kau melihatnya.”

“Maksud nenek?”

Dia menulis lagi.

“Seorang vegetarian akan menganggap orang yang non-vegetarian pembunuh binatang. Sementara aku yang bukan seorang vegetarian akan sangat menikmati kalkun panggang yang dimasak Liam saat natal.”

Aku mengerti. Mungkin aku bukan lah orang jahat. Mungkin aku tidak membunuhnya. Jika melihat dari sudut pandang pria itu, dia akan merasa itu adalah pilihan yang baik karena aku membiarkan dia mati. Namun, tetap saja, memikirkannya di saat-saat terakhirnya masih terasa menyakitkan untuk ku.

“Sial, kenapa hal seperti ini harus terjadi kepadaku,” umpatku di dalam hati.

 Aku lalu meminta izin kepada nenek untuk menggunakan kamar mandi. Aku lalu mencuci muka ku dan memperhatikan wajahku yang terlihat lelah.

“Aku orang baik. Kau orang yang baik Ava,” kataku kepada cermin.

“Kau hanya seorang gadis SMA. Kau tidak mungkin mampu membunuh orang,” kataku lagi sambil menahan air mata.

Tiba-tiba saja tanganku seperti bergerak sendiri lalu meninju cermin itu hingga hancur berkeping-keping. Darah segar mengalir dari tanganku yang terkena pecahan kaca.

“Pembunuh itu ada di dalam cermin.” Sebuah bisikan yang membuatku terkejut dan mencari-cari darimana bisikan itu berasal.

Namun, tiba-tiba saja, semuanya menjadi gelap.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status