Share

Kenangan Buruk

Sesampainya di rumah, Zanna terbiasa langsung meneguk air putih yang telah tersedia di meja, setelah melepaskan sepatunya di depan pintu masuk.

Leta Letisia menghampiri meja makan, di tangannya ada sepiring nasi serta dua potong tempe goreng. Ia meletakkan piring nasi itu di depan Zanna. 

“Makanlah.” Leta menyuruh Zanna tanpa melihat ke arahnya. 

“Tidak ada sambal ya?” tanya Zanna yang sudah merasa lapar. 

“Mama sudah taburi garam, cepat makan saja. Mama sudah harus ke warung Bu Tomo," sahut Leta sambil berlalu. 

“Eh, Ma ....“ Zanna menghentikan langkah Leta. Lalu ia mengeluarkan laporan sementara dari sekolahnya, menyodorkannya kepada Leta. 

“Apa ini? Tagihan lagi? Mama kan sudah bilang belum bisa bayar sekarang,” sahut Leta, mengambil kertas laporannya dengan gerak malas. 

Leta membaca laporan sementara itu, predikat murid teladan bagi putrinya terpampang di sana. Wajahnya tanpa ekspresi. Zanna merasa heran dengan sikap ibunya.

“Mama kok seperti tidak senang untuk Zanna? Mama ngerti kan ini artinya apa? Zanna bisa kuliah di Perguruan Tinggi Negeri tanpa biaya sepeser pun, Zanna menerima beasiswa penuh Ma ...," ucap putri Leta panjang lebar. 

“Mama senang kamu bisa lanjut sekolah, sangat senang kamu dapat beasiswa. Mama cuma bingung, Universitas ini jauh, bagaimana caranya kamu ke sana? Mama tidak bisa memberimu ongkos," tutur Leta dengan rona sedih di wajahnya.

“Jadi, mama nyerah hanya karena tidak mampu ongkosin Zanna?” Tatapan Zanna tidak percaya mendengar ibunya mempermasalahkan ongkos.

Leta tidak menjawab, ia mengembalikan laporan ke tangan putrinya dan pergi begitu saja meninggalkan Zanna yang merasa kecewa dengan sikap yang diterimanya dari Leta. Tanpa sadar ia menitikkan air mata. 

Gadis itu hanya membutuhkan satu pelukan saja dari Leta atas usahanya yang telah berhasil mengalahkan ratusan siswa di sekolah. Hanya ingin melihat sang ibu tersenyum dan bangga melihat nilai-nilai Zanna yang sempurna. 

Ia menundukkan wajahnya, melangkah kembali ke meja makan, menghempaskan diri pada kursi seraya meletakkan berkas laporan di sampingnya. Dengan linangan air mata, ia menyendok nasi sedikit lalu menyuapkannya ke dalam mulut, mulai mengunyah tanpa selera.

Meskipun rasa lapar itu telah hilang, Zanna harus tetap menghabiskan nasinya, kalau tidak ingin mendengar omelan Leta yang panjang kali lebarnya sudah tidak mungkin bisa dihitung lagi. 

“Eh, makan kok sambil menangis? Kamu sudah sebesar ini masih saja cengeng!” seru seseorang bersuara berat yang tiba-tiba muncul.

Bagas Zo yang dalam setahun terakhir sudah beberapa kali datang menemui Zanna di luar, siang itu telah berani menginjakkan kakinya di rumah, bahkan tanpa mengetuk pintu.

Gadis itu mendengus kesal, tanpa mau menoleh kepada lelaki itu, tatapan Zanna jatuh pada nasi dan tempe yang masih utuh di depannya.

“Papa dengar apa yang kamu bicarakan tadi. Kamu tinggal di kos papa saja dekat kampus, bisa ditempuh dengan berjalan kaki. Tapi, jangan sampai ketahuan istri papa.” Bagas Jo menghampiri sang Putri yang tidak menengok sama sekali kearahnya, karena dianggap orang asing yang tidak tahu diri oleh Zanna. 

Bagas Zo menarik dompet dari saku celana kain yang melekat pada kaki gemuknya, lalu mengeluarkan lembaran seratus ribu sebanyak lima lembar dan menaruh uang itu di meja.

“Ini, gunakan untuk ongkos urus pendaftaran dan beli buku," ujar Bagas menyeringai.

Zanna tidak bergeming, dia tetap melakukan ritual makannya dengan tatapan kosong seperti robot. 

Bagas  yang langkahnya sudah hampir mencapai pintu, berbalik dan menatap Zanna,  “Papa bangga kok sama kamu. Kamu anak cerdas tidak seperti anak-anak papa yang lain. Kamu juga sangat cantik.” Bagas mengucapkan kalimatnya dengan sungguh-sungguh. 

Sejurus kemudian dia sudah menghilang, pergi dengan cepat meninggalkan rumah itu. Zanna mendengus kesal. Bagaimana bisa memuji seseorang dengan menjatuhkan orang lain? Ia sangat tidak suka dengan sikap seperti itu. 

Zanna melirik uang yang diletakkan Bagas Zo di meja. Dengan cepat ia menyambar uang itu, lalu memasukkannya ke dalam kantung tas sekolah. Uang sebanyak itu, yang belum pernah ia lihat sebelumnya, membuat tangan Zanna bergetar.

Kemudian, ia mengganti baju seragamnya dengan daster katun lusuh milik Leta. Ia duduk di depan jendela kamar, tampak olehnya Bapak Parjo yang sedang menyapu halaman sekolah, Pak Parjo itulah yang telah menolong mereka hingga bisa tinggal di sini. 

Pikiran Zanna melayang ke masa lalu. Saat itu, setelah ibunya pulang dari rumah sakit yang hanya merawat luka-lukanya saja, kondisi Leta ternyata jauh lebih buruk. 

Leta Letisia yang cantik dan menawan, harus menerima kenyataan matanya sebelah kiri menjadi buta, tangannya sebelah kiri lemah dan terus semakin melemah hingga sulit untuk digunakan lagi. Pasca penganiayaan yang dilakukan oleh ayahnya. 

Leta terkena hantaman ujung tongkat tepat pada mata kirinya! Saat Leta melindungi putrinya, Zanna yang sedang di incar oleh Bagas. Ia tidak bisa membayangkan andai tongkat itu mengenai dirinya yang masih sangat kecil itu. 

Zanna bergidik, saat Bagas Zo menyeret tubuh kecilnya melalui pintu keluar lalu melemparkannya ke teras rumah hingga tubuh gempal putrinya menabrak dinding teras. 

Zanna menangis kuat-kuat karena terkejut dan kesakitan. Saat itulah ayahnya mengusir mereka keluar dari rumah itu. 

Gadis kecil dengan linangan air mata, harus pasrah berjalan kaki mengikuti langkah Leta, karena ibunya tidak sanggup menggendong Zanna. Tangan kanannya menenteng tas yang hanya berisi sedikit baju mereka. 

Zanna yang masih belum mengerti apa-apa, terus menangis dengan egois, seakan rasa sakit itu hanya menimpanya seorang diri.

Leta belum mendapatkan upah dari pekerjaannya mengajar sebagai guru honorer di sebuah sekolah dasar, ia tidak bisa menyewa tempat untuk tinggal, bahkan jika mereka lapar pun, terpaksa harus menahannya.

Akhirnya malam itu, Leta membawa Zanna tidur di emperan toko. Kebetulan di tempat sampah depan toko, ada tumpukan koran yang bertali, Leta mengambilnya dan membukanya lalu menyusun kertas koran itu untuk menjadi alas tidur putrinya. 

Dia membongkar tas, mengeluarkan dua buah daster lebar untuk menyelimuti putri dan dirinya. Sementara tas itu dijadikan bantal oleh Zanna. 

Paginya, Leta membawa Zanna ke Sekolah tempat ia bekerja. Mereka menumpang mandi di rumah yang sekarang ini ditempati oleh mereka, rumah ini adalah rumah milik Sekolah, yang difungsikan untuk mondok penjaga sekolah. 

Pak Parjo merasa iba dan prihatin kepada Leta dan putrinya, dia berinisiatif menghadap kepala sekolah untuk meminta ijin agar Ibu Guru Leta diperbolehkan tinggal di tempatnya, sementara Pak Parjo pindah ke sebelah musala yang ada dua kamar kecil-kecil berjejer di sana. 

Kepala sekolah mendengar permasalahan yang dihadapi oleh Leta, beliau tidak tega atas peristiwa yang terjadi kepada ibu dan anak itu lalu memutuskan bahwa Leta diijinkan tinggal di rumah itu selama berstatus sebagai tenaga pengajar di sana. 

Zanna menarik napas, hampir dua belas tahun mereka tinggal di sana, Leta masih saja menjadi guru honorer, tidak ada pengangkatan. Kenaikan gaji pun karena adanya kenaikan inflasi, sehingga tidak bisa dirasakan manfaat kelebihannya. 

Sudah berapa kali penggantian kepala sekolah itu Zanna tidak ingat lagi, yang jelas mereka masih tetap berada di sana. Setelah pulang mengajar, dengan keterbatasan Leta, masih harus bekerja di toko Ibu Tomo sebagai kasir sampai jam sembilan malam. 

Wajah cantik itu terlihat bingung sebab, meskipun gaji ibunya dari dua tempat, tetap saja kehidupan mereka morat-marit. Tetap saja dia makan hanya dengan satu jenis lauk di atas nasinya. Tahu, tempe, kerupuk diremas campur kecap, tumis kangkung, sayur bayam, sesekali hanya nasi tabur garam, kecap atau terasi. Terus seperti itu berulang-ulang selama bertahun-tahun.

Zanna merasa kesepian, melewati hari-harinya nyaris tanpa kehadiran Leta. Saat sang Ibu pulang biasanya Zanna sudah tidur lelap. Saat dirinya bangun subuh siap-siap untuk berangkat sekolah, ibunya masih tidur. Hari Sabtu minggu, Leta full bekerja di toko. Lagi-lagi Zanna harus sendirian di rumah, mengerjakan seluruh pekerjaan rumah yang memang tidak bisa dilakukan oleh ibunya.

Gadis cantik yang dekil itu mengangkat tubuhnya, menjauh dari jendela. Kini saatnya ia mengerjakan pekerjaan rumah, menyapu, mengepel, menyapu halaman, mencuci piring, mencuci baju, mandi, makan dan berakhir dengan rasa lelah lalu beranjak tidur. 

◇◇◇ 

Di tempat lain, Bagas Zo melamun di halaman depan rumahnya yang cukup bagus. Dia merasa upaya-upaya untuk mendekati putrinya kurang maksimal. Gadis itu masih belum memberikan muka kepadanya. 

Saat ini, Bagas Zo terancam bangkrut, dia harus mencari cara agar bisnis kecilnya bisa menghasilkan lagi. 

Tanpa sengaja dia melihat Zanna sedang berjalan bersama Leta. Dia sangat mengenali Leta terlebih cacat fisik akibat ulahnya dan memperhatikan sosok gadis di samping mantan istrinya dengan teliti, sampai ia yakin, bahwa gadis itu memang benar putrinya!

Sebelas tahun tidak pernah menemui bahkan melihatnya, kini putri kandungnya telah tumbuh menjadi seorang wanita, sangat cantik dan seksi. Hanya butuh sedikit dipoles dengan pakaian bagus serta merapikan rambut a'la salon, maka sang Putri akan membuat semua lelaki menoleh padanya. 

Bagas Zo tidak pernah mengira bahwa hasil dari perkawinannya dengan Leta Letisia yang keras kepala adalah kehadiran Zanna Zo yang ternyata begitu memukau. Baginya kecantikan seorang wanita adalah Aset. Ide gila melintas di kepalanya saat itu. 

Dia akan menjodohkan putrinya dengan seorang pria kaya kenalannya yang sedang melajang untuk kedua kalinya dan kebetulan sedang mencari istri. Dia akan mengajukan kesepakatan. Putrinya sangat cantik tentu ada harga tinggi yang bisa dimainkan. 

Pilihan kedua adalah menjual putrinya kepada salah seorang kolega bisnis, ini berarti dia hanya bisa mengambil keuntungan satu kali saja saat transaksi, setelah itu ia tidak punya hak lagi atas diri putrinya. Lain hal jika dikawinkan, dia bisa meraup untung selamanya sepanjang perkawinan itu berjalan.

Dengan begitu, bisnisnya akan terus berdiri bahkan mungkin akan menjadi besar. Diam-diam dia menemui putrinya saat mantan istri, Leta, sedang bekerja di tempat lain. Hanya saja, gadis itu melihatnya seperti orang asing, bahkan tanpa ekspresi apa pun di wajahnya. Meskipun Zanna mengenali dirinya sebagai ayah. 

Bagas Zo tidak akan pernah berhenti untuk memperalat putrinya sendiri demi uang. Sejak saat itu, dia bertekad tidak akan pernah meninggalkan Zanna lagi, apalagi membuangnya seperti dulu. 

murutop07

Saya ingatkan ya teman readers, Dongeng Zanna bisa dikategorikan bacaan berat meskipun minimal usia 16 tahun bisa baca. Harap bijak dalam memilih bacaan. Thanks All.

| Like

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status