Seorang asisten laki-laki mencoba menjelaskan, suaranya nyaris tenggelam. "Kami sudah menelusuri apartemennya, Pak. Semua barang penting hilang. Dia pergi... dengan sengaja.""Dengan perempuan itu." Alvino mendesis seperti akan meludah. "Tell me it's not true."Tak ada yang menjawab. Hanya diam. Dan itu cukup menjadi jawaban paling menyakitkan."Anak saya kabur, dengan istri partner bisnis terbesar perusahaan ini! Ini penghinaan! Pengkhianatan!" Napasnya memburu. "Dan kalian semua di sini Cuma berdiri?!"Tangan Alvino menyambar dokumen di meja dan melemparkannya ke dinding. Sebuah figura pecah. Dua sekretaris yang berdiri di luar ruangannya saling pandang, lalu mundur pelan-pelan, seolah takut jadi korban berikutnya.Lantai itu membeku. Tapi di gedung yang berbeda, di sebuah ruangan kerja pribadi yang jauh lebih tenang-suasana justru berbanding terbalik.Dirga duduk di kursi kulit berwarna hitam, menatap sebotol kecil obat yang a
"Ke apartemenku dulu. Ambil barang dan cash, terus kita kabur dari kota ini. Aku tahu tempat aman di luar kota. I have a plan."Sheana terdiam sejenak. "Kamu bener-bener udah siap tinggalin semuanya?""Aku gak pernah se-yakin ini sama apapun, Shea. Dan kalau kamu ikut... itu cukup buat aku."Di kejauhan, terdengar suara pintu mobil ditutup keras."Ellan!"Itu suara Alvino.Sheana dan Ellan saling pandang. Napas mereka membeku seketika."Go." Bisik Ellan, matanya tajam.Tanpa menunggu lagi, mereka lanjut berlari menyeberang ke gang sempit yang hanya muat satu sepeda motor. Sepatu Sheana terperosok di tanah lembab, tapi ia terus berlari. Tote bag-nya berguncang di bahu.Di belakang mereka, suara pintu pagar dibuka kasar."Sheana! Ellan! Berhenti!"Mereka berdua semakin kencang larinya, jantung berdegup hebat. Seolah kalau mereka berhenti sekarang, dunia akan menelan mereka hidup-hidup.
Keesokan harinya.Pagi itu cerah, terlalu cerah untuk Ellan yang duduk mati di kamar, menatap tiket pesawat dan koper yang dipaksa sudah terisi oleh asistennya.Pintu dikunci dari luar sejak semalam. Tapi Ellan tak butuh pintu utama untuk pergi. Ia tahu semua celah rumah, termasuk jendela belakang yang langsung menuju pagar rendah ke arah garasi.Saat jam menunjukkan pukul 09.00-saat semua staf rumah sedang menyiapkan keperluan Alvino pergi ke kantor-Ellan bergerak.Cepat, senyap, dengan satu ransel dan napas pendek, ia lari keluar pagar belakang, lalu menyelinap ke mobil tua milik staf lama yang masih disimpan di garasi luar. Ia tahu kuncinya disimpan di laci dashboard.Mesin mobil itu menyala dengan satu dengung yang berat, tapi cukup untuk membawanya ke tempat satu-satunya yang ingin ia datangi.Ellan membuka ponsel dan menelepon nomor Sheana. Panggilan langsung tersambung."Shea," suaranya rendah dan serak saat Sheana mengangkat. "Kamu di rumah, kan?""Ellan?" Sheana terdengar her
"Kalau saya mundur hari ini, saya harap Bapak tidak merasa itu keputusan yang emosional. Saya sudah pikirkan ini sejak lama."Alvino menurunkan cangkir kopinya perlahan. Tidak buru-buru menjawab. Dahi pria separuh baya itu mengernyit kecil, lalu ia tersenyum tipis. "Mundur, Pak Dirga? Dari kerja sama dua dekade yang sudah kita bangun? Dengan alasan apa?"Dirga menyandarkan tubuh ke kursi, tetap tenang. Matanya menatap lurus, dingin. "Alasan personal."Alvino mengangkat alis. "Boleh saya tahu apa alasan personal yang membuat Anda ingin menghancurkan kerja sama bisnis bernilai miliaran ini?"Dirga menghela napas, dan membuangnya sedikit lebih kasar. "Putra Anda telah meniduri istri saya, Pak Alvino. Dan itu terjadi, bukan hanya sekali."Alvino tak langsung bicara. Separuh ekspresinya beku, sisanya tampak nyaris tidak percaya."Apa?!"Dirga tidak mengulang. Ia hanya menatap Alvino tanpa emosi. "Saya jadi bertanya-tanya, apakah langkah yang sudah saya ambil i
Sheana membuka pintu perlahan, berusaha tidak menimbulkan suara saat masuk ke rumah yang temaram. Lampu ruang tengah hanya menyala setengah redup, menyorot sebagian sofa dan meja kayu yang sudah lama tak diganti. Televisi menyala, tapi tanpa suara. Hanya gambar berita malam yang berganti-ganti di layar.Dirga duduk di sana, bersandar santai dengan satu tangan menggenggam gelas berisi es batu yang nyaris mencair semua. Ia tak langsung menoleh saat mendengar suara pintu. Tapi ia tahu Sheana sudah pulang. Ia selalu tahu."Seru ya nongkrongnya?" tanyanya tiba-tiba, suaranya pelan namun cukup jelas untuk menembus keheningan ruang.Sheana berhenti melepas sepatunya. Satu detik, dua detik. Lalu ia kembali bergerak, menggantung tasnya di balik pintu dan berjalan ke dapur."Maaf, tadi agak lama. Grace cerita banyak soal kerjaan..." jawabnya, berusaha terdengar ringan.Dirga tak menanggapi. Ia hanya mengangkat gelasnya, memutar es yang tinggal seuj
"Aku lebih dulu kenal sama kamu, Ell. Dan aku lebih pantas kalau disandingkan sama kamu.""Bukan kamu yang menilai pantas atau nggaknya, Mahi.""Aku masih muda, masih sendiri. Dia jauh lebih tua dari kamu. Dan terutama-dia istri orang.""Aku nggak peduli.""Kamu sanggup hancurin hidup kamu hanya karena perempuan kayak Sheana?""Siapa bilang hidup aku hancur? Dan 'perempuan kayak Sheana'-maksud kamu apa? Perempuan kayak dia... nggak ada duanya di dunia ini.""Kamu benar-benar dibutakan sama dia, Ell.""Aku emang buta. Makanya yang aku lihat cuma dia.""Tell me the truth-have you f*cked her? Is that why you're losing your damn mind over her?""Stay the hell out of my life, Mahi. It's still none of your goddamn business.""Ini jadi urusan aku, Ell. Aku calon tunangan kamu.""Dan sekarang kita bisa perjelas ini semua, Mahi. Ada orang lain yang aku cintai, yaitu Sheana. Jadi kita bisa batal