Alvino duduk di ujung meja, wajahnya seperti sedang menonton drama tak tertulis.Sheana akhirnya bicara. Suaranya tenang. Terlalu tenang. "Kalau bisa dipercepat dua minggu, harusnya divisi klinis juga bisa sinkronisasi data uji lapangan dari Hanoi. Aku bantu koordinasiin.""Ya... semua juga bisa cepat kalau yang ngomong Sheana," celetuk Ellan. "Kalau semua bisa dipercepat, semoga hati yang dingin juga bisa cepat mencair."Dirga menoleh, curiga. "Apa tadi?""Enggak." Ellan meneguk air putih cepat. "Itu metafora suhu."Alvino menghela napas panjang, lalu bicara, "Kita fokus ke timeline dan kesiapan tim. Ellan, kamu backup distribusi. Sheana, bantu tim klinis untuk validasi dokumen.""Dengan senang hati," ujar Sheana, masih tanpa ekspresi. Tapi tangannya merapikan tablet di atas meja... terlalu pelan. Terlalu anggun.Ellan menoleh padanya sekilas. "Kalau ada dokumen yang butuh tanda tangan manual, aku bisa ke ruangan kamu.
Lounge malam itu tidak terlalu ramai. Lampu neon ungu menghiasi dinding kaca. Di sofa VIP paling ujung, seorang wanita paruh baya dengan gaun hijau satin sedang tertawa kecil sambil menyeruput martini.Ellan duduk di sebelahnya. Kemeja hitam, dasi longgar, senyum setengah jadi.Dia tampan. Terlalu tampan untuk pria yang tampak segalau itu."Darling, kamu nggak seperti biasanya malam ini," ujar si wanita, suaranya seperti madu dan vodka bercampur jadi satu.Ellan menoleh sedikit, tersenyum sopan. "Long day, Tante. But I'm all yours tonight.""Oh, I know that," si wanita mengedip genit, lalu berdiri. "Tunggu sebentar ya. Aku harus angkat telepon."Begitu wanita itu melangkah menjauh, seseorang menarik kursi di seberang meja."Holy. Sh*t. Romeo in black silk," gumam suara yang sangat familiar.Ellan menoleh pelan.Grace.Dengan crop top hitam dan rambut dicepol asal-asalan, ia meletakkan gelas win
"Ssst," Ellan meletakkan telunjuk depan mulutnya. Suara itu rendah, nyaris seperti bisikan.Dan dalam sekejap, Sheana sudah tertarik ke lorong samping yang remang dan sepi. Detak jantungnya melonjak. Nafasnya tercekat."Apa yang kamu lakukan?" bisiknya nyaris tak bersuara.Ellan tidak menjawab.Matanya menatap Sheana seperti lelaki yang kehausan. Seperti orang yang hanya bisa bernapas kalau wanita di depannya ini ada dalam pelukannya lagi."Ellan!" bisik Sheana panik. "Kamu gila?! Kita masih di kantor-""Just thirty seconds," potong Ellan, matanya gelap dan penuh rindu. "I need this. I need you.""Sheesh, kamu nekat banget..." bisik Sheana, tapi suaranya melemah saat Ellan mencengkeram pinggangnya dan menariknya lebih dekat."Kamu tau nggak aku nahan kayak apa selama meeting tadi?" gumam Ellan, suara beratnya nyaris seperti desahan. "Kamu duduk di seberangku, ngeliatin layar-sementara aku cuma mikirin gimana ras
"Say, 'Selamat malam, Ellan'."Sheana menoleh, curiga. "Hah? Ngapain?""Buat aku denger tiap malam kalau kamu lagi nggak ada," jawab Ellan ringan, tapi matanya jujur banget.Sheana tertawa kecil. "Ck. Kamu tuh... berlebihan banget.""Belum selesai," potong Ellan, mendekat. "Abis itu bilang... 'Aku cinta kamu, Ellan. Banget. Amat sangat. Nggak bisa hidup tanpa kamu. Kamu kayak nasi buat aku. Tanpa kamu aku kelaparan batin.'"Sheana langsung ngakak, hampir tersedak. "ASTAGA-nggak, Ellan! Itu norak banget!""Pleasee," rengek Ellan, mendekat kayak anak kecil minta dibuatin susu. "Sekali aja. Cuma satu kali, aku simpen buat seumur hidup. Anggap aja... ini testimoni cinta terlarang.""Kamu gila.""Udah tau. Tapi kamu masih di sini, artinya kamu lebih gila lagi."Sheana menghela napas panjang, lalu menyender pasrah ke kursi.Ellan masih menatap dengan ekspresi memelas.Akhirnya, Sheana mengambil ponsel itu dari tangannya. "Kamu rekam beneran, ya?""Serius. Dan nggak boleh ketawa. Harus lembu
"Kenapa? Karena kamu takut percaya, atau karena kamu takut kamu juga ngerasa hal yang sama?"Sheana menoleh. Menatap wajah itu-penuh cahaya lampu mobil yang lembut. Sorot matanya terlalu jujur. Terlalu tulus untuk disebut permainan."Aku nggak pernah diajarin gimana caranya ninggalin rumah, Ellan. Aku Cuma tahu... bertahan."Ellan mencondongkan tubuhnya sedikit. Jarak mereka hanya dipisahkan satu lengan."Kalau kamu capek bertahan... kamu boleh jatuh. Nggak usah mikir. Aku yang bakal nangkep kamu."Sheana menggigit bibir. "Kamu masih terlalu muda. Kamu belum tahu cara dunia bekerja.""Yang aku tahu... kamu bikin dunia ini lebih bisa dihadapi."Sheana tertawa kecil, tapi matanya mulai basah. "Kamu tuh gila.""Cuma gila buat kamu."Ellan merebahkan kursinya sedikit ke belakang, lalu memiringkan tubuh, menatap Sheana. "Kamu suka lagunya?"Sheana mengangguk. "Iya. Suara cowoknya kayak... lelah tapi seksi."Ellan tertawa. "Kayak aku berarti. Lelah... tapi tetap berusaha seksi."Sheana terk
Alvino menatap keluar jendela, ke arah taman belakang, di mana samar-samar ia bisa melihat siluet Ellan, berdiri di bawah lampu taman, sibuk dengan ponselnya.Mungkin mengirim pesan.Mungkin pada seseorang yang seharusnya tidak ia miliki.Alvino menghela napas dalam-dalam.Dalam hati, ia tahu. Jika ia ingin masa depan Ellan tetap terarah...Maka ia harus mempercepat langkah.Sebelum semuanya benar-benar hancur.***Hari sudah larut saat Ellan memarkir mobilnya di basement apartemen. Suasana sunyi, hanya lampu remang-remang yang menemani. Ia tak naik ke atas. Hanya duduk diam di dalam mobil, menatap layar ponsel.Ellan: [ You home safe, Tante cantik? ]Butuh waktu beberapa menit sebelum Sheana membalas.Sheana: [ Sudah. Kamu juga? ]Ellan: [ Udah dari tadi. Tapi belum bisa tidur. Pikiran penuh kamu. ]Sheana: [ Kamu tuh gombal 24/7 ya? ]Ellan: [ Bukan gombal. Itu gejala withdrawal. Parah banget. Parah karena kamu.]Sheana menghela napas. Lalu mengetik.Sheana: [ Padahal kita baru pisa