Home / Romansa / Dosa Dalam Pelukan Brondong / Kejutan Pertemuan Kedua

Share

Kejutan Pertemuan Kedua

last update Last Updated: 2025-06-17 01:47:07

Sheana hendak protes, tapi Ellan sudah duduk di seberangnya. Menyilangkan kaki dan menyender santai, seperti ini bukan pertama kalinya ia duduk di hadapan wanita yang jauh lebih dewasa darinya.

“First time?” suaranya dalam, serak, dan... terlalu intim untuk orang yang baru dikenal.

Sheana mengangkat alis. “What makes you think so?”

“Karena Cuma orang yang pertama kali datang ke tempat ini yang kelihatan segugup kamu.” Ia tersenyum, manis dan sedikit nakal. “Kecuali kamu memang suka berpura-pura nggak tahu cara bersenang-senang.”

“Dan kamu senang menebak-nebak orang?”

“Kadang. Tapi lebih sering... nebaknya tepat.”

“Sounds like a dangerous habit.”

“Cuma kalau kamu takut ketahuan.”

“Dan kamu pikir aku takut?”

Ellan tertawa singkat. “Grace bilang, kamu bukan tipe yang suka tempat berisik seperti ini,” ucapnya. Suara itu berat, berlapis senyum tipis yang menyebalkan—tapi justru itu yang membuat siapapun sulit untuk berpaling darinya.

Sheana menoleh, menahan ekspresi. “Grace seharusnya juga bilang kalau aku sedang bosan.”

Ellan tertawa pelan. “Bosan bisa sangat berbahaya kalau ditangani dengan cara yang salah.”

Sheana memiringkan kepala. “Kamu kerja di sini?”

Ellan tertawa kecil. “Nggak. Tapi kadang aku disewa untuk menemani klien tertentu. Jadi, yeah... semacam freelance.”

“Freelance,” Sheana mencibir. “Gigolo, maksudnya?”

Ellan tersenyum, tidak tersinggung. “I prefer ‘companion’. Tapi kalau itu adalah istilah yang nyaman kamu pake... gapapa.”

“Dan kamu bisa ‘dianggap nyata’ dengan semua ini?” Sheana mengisyaratkan ke lounge.

“Kalo kamu yang nanya, yes. Karena dari tadi mata kamu nyari alasan buat pulang, tapi kakinya nggak gerak.

Sheana terkekeh pelan. “Pede banget.”

“Nope. I’m full of curiosity. Tentang perempuan cantik yang duduk di sini dengan gaun mahal, tapi matanya... kosong.”

Sheana diam.

Ellan melanjutkan, lebih lembut. “What broke you?”

Pertanyaan itu membuat dada Sheana sesak. Tapi juga terasa... seperti pelukan diam-diam.

“Kalo aku bilang... I forgot how to feel?” bisiknya.

Ellan menatapnya. Lama.

“Then let me remind you,” katanya pelan.

Mata mereka bertaut. Untuk sesaat, waktu melambat.

Sebelum Sheana sempat menjawab, Grace muncul kembali dan menyelamatkan mereka dari kekhusyukan yang nyaris terlalu intim.

“I’ll leave you two,” katanya sambil mengedipkan mata. “Tapi inget ya, no touching. Karena gue nggak mau bayar lo dobel.”

Sheana tertawa kecil.

Ellan hanya menyeringai. “Don’t worry,” katanya, masih menatap Sheana. “Gue nggak minta dibayar lebih kok. Tapi, if we ever meet again... I’d probably charge you interest.”

Sheana mengernyit, tapi tersenyum.

“Kita nggak akan ketemu lagi.”

“You sure?” bisik Ellan sambil merapikan rambutnya. “Jakarta itu kecil. Dan... takdir tuh selera humornya emang suka ngaco. Has a sick sense of humor, you know?”

Sheana tidak menjawab. Tapi di balik senyum tipisnya, ada rasa aneh yang belum bisa ia beri nama.

Ia tak tahu, dalam hitungan hari, mereka akan bertemu lagi. Lebih cepat dari yang mereka kira. Bukan sebagai dua orang asing, tapi sebagai bagian dari rahasia takdir yang sama sekali tak terduga.

***

Beberapa hari setelah malam itu, Sheana mengira kehidupannya akan kembali normal. Dia bahkan mengira pertemuan dengan Ellan hanya akan jadi satu cerita absurd yang akan ia simpan di sudut paling gelap dalam pikirannya—dan dilupakan.

Dia salah.

Pagi itu, Sheana berdiri di samping Dirga, suaminya, di depan pintu sebuah rumah mewah bergaya kolonial modern. Pekarangan luas, pohon palem simetris, dan seorang satpam berjas hitam yang membungkuk hormat ketika membuka pintu gerbang otomatis. Sejak awal, Sheana sudah merasa tidak nyaman.

“Kenapa aku harus ikut, Ga?” gumamnya sambil membetulkan scarf tipis di leher.

Dirga tersenyum singkat. “Pak Alvino itu orang penting. Beliau pemilik salah satu perusahaan farmasi terbesar di Asia Tenggara. Beliau juga sangat menghargai gesture kekeluargaan. Kalau aku datang sendiri, itu terasa terlalu formal.”

“Dan membawa istri akan membuatnya tampak lebih... hangat?”

“Lebih manusiawi,” jawab Dirga, sebelum mengetuk pintu besar dengan ukiran khas Eropa itu.

Seorang wanita paruh baya dengan seragam rapi membukakan pintu. “Silakan masuk. Tuan sedang di ruang tengah.”

Interior rumah itu tak kalah megahnya. Langit-langit tinggi dengan lampu gantung kristal, lukisan cat minyak di setiap dinding, dan aroma lembut sandalwood yang menguar dari diffuser mahal.

Di ruang tengah, Alvino duduk bersandar di kursi empuk, selimut tipis menutupi kaki. Wajahnya tampak pucat, tapi senyum yang ia berikan cukup hangat.

“Sheana, ini Pak Alvino,” Dirga memperkenalkan.

“Senang berkenalan, Nyonya Sheana,” ucap Alvino dengan suara serak namun berwibawa.

Sheana membalas dengan senyum sopan. “Saya juga, Pak.”

Mereka berbincang cukup lama. Alvino sempat tertawa pelan ketika Dirga bercerita soal kampanye sosial yang melibatkan perusahaan media mereka. Tapi kemudian suasana menjadi lebih tenang, bahkan sedikit berat, saat Alvino mengalihkan topik.

“Kadang saya berpikir, buat apa semua ini kalau anak sendiri malah seperti orang asing.”

Dirga tertawa pelan. “Yang mana? Yang bungsu atau—”

“Yang satu-satunya,” potong Alvino dengan nada getir. “Ellandra. Dia lebih suka jadi seniman jalanan ketimbang meneruskan bisnis yang sudah kubangun tiga puluh tahun ini.”

Sheana yang sedari tadi menatap jendela berusaha menyembunyikan keterkejutannya. Ellandra?

“Dia jarang pulang. Lebih sering hidup entah di mana. Katanya ingin ‘menemukan dirinya’. Kalau bukan anakku sendiri, pasti sudah kutendang keluar dari hidupku,” lanjut Alvino.

Dirga menanggapi dengan hati-hati, “Anak Anda belum ingin mengurus perusahaan?”

“Dia bahkan nggak mau pulang.”

Sheana memperhatikan perubahan ekspresi Alvino. Ada rasa kecewa yang tak ia tutupi. “Dia bilang ingin hidup bebas, menjelajah dunia. Tapi saya tahu... dia hanya kabur dari tanggung jawab.”

Belum sempat Sheana merespons, seorang asisten rumah tangga datang dengan langkah tergesa.

“Maaf, Tuan... Tuan muda sudah pulang.”

Alvino mendongak. “Suruh dia ke sini. Sekarang.”

Semua kepala menoleh.

Langkah kaki terdengar menyusuri lorong marmer. Dan kemudian, pintu dibuka perlahan. Ellan masuk dengan jaket kulit disampirkan di bahu dan rambut sedikit acak seperti baru bangun tidur. Matanya yang tajam segera menangkap sosok Sheana—yang sama terkejutnya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Dosa Dalam Pelukan Brondong    Keinginan Terpendam

    Mereka saling menantang. Tapi jarak mereka sudah terlalu dekat untuk mempertahankan ego masing-masing.Ellan menarik Sheana ke atas tubuhnya, menggiringnya perlahan. Sheana masih pakai bra tipis dan celana dalam, kulitnya hangat dan sedikit lembap karena nyuci bareng tadi. Tangannya menggenggam lengan Ellan, menekan ringan."Aku nggak pernah ngelakuin ini dengan siapa pun kayak aku sama kamu, Ell.""Aku tahu. Aku juga nggak pernah begini sama siapa pun."Mereka berciuman, dalam, basah, panas. Ciuman yang membuat Ellan kehilangan nalar. Ia mulai menuruni leher Sheana, mengecup dan menyedotnya, meninggalkan jejak kemerahan di kulit mulus itu. Sheana mencakar halus punggung Ellan sambil menggeliat di bawah tubuhnya."Shea..." bisiknya dengan suara nyaris parau. "Let me take care of you tonight.""You better do it right."Ia tertawa kecil, dan dengan gerakan pelan namun pasti, membuka kait bra Sheana. Nafas Sheana tercekat, tapi ia tidak menolak. Ellan menyentuhnya, lembut, kemudian inten

  • Dosa Dalam Pelukan Brondong    Kita, di Dunia Tanpa Saksi

    Pelipisnya basah oleh keringat dingin. Napasnya tak teratur.Dirga... pikirnya samar. Kamu satu-satunya yang tahu ini semua.Tapi tak mungkin ia menghubunginya sekarang. Tidak saat ia sudah lari jauh dan memilih hidup dengan napasnya sendiri, meski pendek dan nyeri.Beberapa menit kemudian, rasa sakit itu mulai surut perlahan. Seperti gelombang yang tertarik mundur oleh pasang. Ia terkulai di atas ranjang, wajahnya masih pucat tapi tidak seputih tadi. Matanya mengarah ke langit-langit, kosong, namun tenang. Sejenak.Pintu terbuka."Aku balik!" teriak Ellan sambil membawa kantong plastik. Suaranya cerah, langkahnya ringan.Sheana buru-buru bangun duduk, mengelap keringat di pelipis dengan tangan dan menarik selimut ke atas tubuhnya."Kamu kelihatan capek banget," ujar Ellan sambil mendekat dan meletakkan makanan di meja kecil. Ia mencium pipi Sheana, lalu duduk di samping ranjang."Iya... kayaknya masuk angin, de

  • Dosa Dalam Pelukan Brondong    Let Us Breath

    Satu minggu kemudian"Pindah dikit dong, hoodie aku ketarik," keluh Sheana sambil menyikut pelan perut Ellan.Ellan yang sedang duduk di lantai, bersandar di dinding dengan kaki selonjor dan Sheana setengah tidur menyandar ke dadanya, cuma nyengir. Tangan kanannya masuk dari bawah hoodie yang kebesaran di badan Sheana, menjelajahi perut hangat perempuan itu dengan malas tapi penuh makna."Aku bantu ngangetin badan kamu, itu niatnya," bisik Ellan di dekat telinga Sheana."Niat nakal." Mata Sheana melirik, separuh mengancam, separuh geli. Tapi dia tak menjauh, malah membiarkan jari-jari Ellan bermain di sana. Sampai jari itu turun terlalu jauh."Ellan," desisnya, pelototan kali ini sungguhan.Ellan langsung angkat tangan sambil ketawa kecil. "Oke, oke. I surrender. Tapi kamu tahu itu distracting banget, kan? You, in my hoodie, acting like you don't know what you're doing to me."Sheana menyandarkan kepalanya lagi, kali ini

  • Dosa Dalam Pelukan Brondong    Pelarian yang Membakar

    Suara film berganti jadi lagu tema lucu. Sheana tertawa kecil, lalu refleks menyuapi Ellan keripik. "Tuh, liat deh, cowoknya salah kostum ke rumah calon mertua."Ellan mengunyah sambil melirik Sheana dari atas. "Kamu juga salah kostum ke rumah persembunyian. Siapa suruh cuma bawa dress tipis sama underwear lucu? Nggak nyangka bakal kabur ya?""Emangnya kamu nyangka?""Nggak. Tapi aku selalu siap." Ellan menyeringai, tangannya yang sejak tadi melingkar di perut Sheana kembali menyusup ke dalam kaos."Eh-!" Sheana langsung memelototinya. "Tangan kamu tuh...""Just warming you up," ucap Ellan santai, senyum jailnya nggak hilang. "Blame the shirt, not me. Lubangnya tuh kayak ngundang.""Kalau kamu nggak stop, aku lempar nih HP-nya.""Siap, Tante." Ellan menarik tangannya pelan-pelan, lalu mengecup pundak Sheana.Mereka kembali diam sejenak. Film masih terus berjalan, tapi sorotan mata mereka mulai mengabur dari laya

  • Dosa Dalam Pelukan Brondong    Welcome to the Hell We Named Loved

    Seorang asisten laki-laki mencoba menjelaskan, suaranya nyaris tenggelam. "Kami sudah menelusuri apartemennya, Pak. Semua barang penting hilang. Dia pergi... dengan sengaja.""Dengan perempuan itu." Alvino mendesis seperti akan meludah. "Tell me it's not true."Tak ada yang menjawab. Hanya diam. Dan itu cukup menjadi jawaban paling menyakitkan."Anak saya kabur, dengan istri partner bisnis terbesar perusahaan ini! Ini penghinaan! Pengkhianatan!" Napasnya memburu. "Dan kalian semua di sini Cuma berdiri?!"Tangan Alvino menyambar dokumen di meja dan melemparkannya ke dinding. Sebuah figura pecah. Dua sekretaris yang berdiri di luar ruangannya saling pandang, lalu mundur pelan-pelan, seolah takut jadi korban berikutnya.Lantai itu membeku. Tapi di gedung yang berbeda, di sebuah ruangan kerja pribadi yang jauh lebih tenang-suasana justru berbanding terbalik.Dirga duduk di kursi kulit berwarna hitam, menatap sebotol kecil obat yang a

  • Dosa Dalam Pelukan Brondong    Kabur

    "Ke apartemenku dulu. Ambil barang dan cash, terus kita kabur dari kota ini. Aku tahu tempat aman di luar kota. I have a plan."Sheana terdiam sejenak. "Kamu bener-bener udah siap tinggalin semuanya?""Aku gak pernah se-yakin ini sama apapun, Shea. Dan kalau kamu ikut... itu cukup buat aku."Di kejauhan, terdengar suara pintu mobil ditutup keras."Ellan!"Itu suara Alvino.Sheana dan Ellan saling pandang. Napas mereka membeku seketika."Go." Bisik Ellan, matanya tajam.Tanpa menunggu lagi, mereka lanjut berlari menyeberang ke gang sempit yang hanya muat satu sepeda motor. Sepatu Sheana terperosok di tanah lembab, tapi ia terus berlari. Tote bag-nya berguncang di bahu.Di belakang mereka, suara pintu pagar dibuka kasar."Sheana! Ellan! Berhenti!"Mereka berdua semakin kencang larinya, jantung berdegup hebat. Seolah kalau mereka berhenti sekarang, dunia akan menelan mereka hidup-hidup.

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status