Malam itu, jam dinding di ruang makan sudah hampir menunjukkan pukul sebelas.
Sheana membuka pintu pelan. Lampu ruang tamu sudah diredupkan, tapi ada cahaya dari dapur yang masih menyala. Ia melepas heels-nya perlahan, mencoba tak menimbulkan suara. Namun langkahnya terhenti begitu melihat sosok Dirga berdiri di dekat meja makan, masih mengenakan kemeja lengan panjang, lengan tergulung ke siku.Secangkir kopi dingin berada di depannya. Tatapannya tajam tapi tenang—jenis tatapan yang tidak pernah diteriakkan, tapi menghantam lebih keras dari amarah.“Kamu pulang juga akhirnya,” ucap Dirga pelan, tanpa menoleh.Sheana berdiri diam. “Maaf... aku—”“Kamu tahu jam berapa sekarang?” potongnya.“Jam sebelas,” jawab Sheana pelan.Dirga menoleh, dan saat matanya benar-benar menatap Sheana... ia mengerutkan dahi. Bibirnya bergerak tipis, seolah menahan sesuatu yang mengganjal di tenggorokan.Lalu, kalimat itu keluar. Datar. Pelan. Tapi tajam.“BibiPelipisnya basah oleh keringat dingin. Napasnya tak teratur.Dirga... pikirnya samar. Kamu satu-satunya yang tahu ini semua.Tapi tak mungkin ia menghubunginya sekarang. Tidak saat ia sudah lari jauh dan memilih hidup dengan napasnya sendiri, meski pendek dan nyeri.Beberapa menit kemudian, rasa sakit itu mulai surut perlahan. Seperti gelombang yang tertarik mundur oleh pasang. Ia terkulai di atas ranjang, wajahnya masih pucat tapi tidak seputih tadi. Matanya mengarah ke langit-langit, kosong, namun tenang. Sejenak.Pintu terbuka."Aku balik!" teriak Ellan sambil membawa kantong plastik. Suaranya cerah, langkahnya ringan.Sheana buru-buru bangun duduk, mengelap keringat di pelipis dengan tangan dan menarik selimut ke atas tubuhnya."Kamu kelihatan capek banget," ujar Ellan sambil mendekat dan meletakkan makanan di meja kecil. Ia mencium pipi Sheana, lalu duduk di samping ranjang."Iya... kayaknya masuk angin, de
Satu minggu kemudian"Pindah dikit dong, hoodie aku ketarik," keluh Sheana sambil menyikut pelan perut Ellan.Ellan yang sedang duduk di lantai, bersandar di dinding dengan kaki selonjor dan Sheana setengah tidur menyandar ke dadanya, cuma nyengir. Tangan kanannya masuk dari bawah hoodie yang kebesaran di badan Sheana, menjelajahi perut hangat perempuan itu dengan malas tapi penuh makna."Aku bantu ngangetin badan kamu, itu niatnya," bisik Ellan di dekat telinga Sheana."Niat nakal." Mata Sheana melirik, separuh mengancam, separuh geli. Tapi dia tak menjauh, malah membiarkan jari-jari Ellan bermain di sana. Sampai jari itu turun terlalu jauh."Ellan," desisnya, pelototan kali ini sungguhan.Ellan langsung angkat tangan sambil ketawa kecil. "Oke, oke. I surrender. Tapi kamu tahu itu distracting banget, kan? You, in my hoodie, acting like you don't know what you're doing to me."Sheana menyandarkan kepalanya lagi, kali ini
Suara film berganti jadi lagu tema lucu. Sheana tertawa kecil, lalu refleks menyuapi Ellan keripik. "Tuh, liat deh, cowoknya salah kostum ke rumah calon mertua."Ellan mengunyah sambil melirik Sheana dari atas. "Kamu juga salah kostum ke rumah persembunyian. Siapa suruh cuma bawa dress tipis sama underwear lucu? Nggak nyangka bakal kabur ya?""Emangnya kamu nyangka?""Nggak. Tapi aku selalu siap." Ellan menyeringai, tangannya yang sejak tadi melingkar di perut Sheana kembali menyusup ke dalam kaos."Eh-!" Sheana langsung memelototinya. "Tangan kamu tuh...""Just warming you up," ucap Ellan santai, senyum jailnya nggak hilang. "Blame the shirt, not me. Lubangnya tuh kayak ngundang.""Kalau kamu nggak stop, aku lempar nih HP-nya.""Siap, Tante." Ellan menarik tangannya pelan-pelan, lalu mengecup pundak Sheana.Mereka kembali diam sejenak. Film masih terus berjalan, tapi sorotan mata mereka mulai mengabur dari laya
Seorang asisten laki-laki mencoba menjelaskan, suaranya nyaris tenggelam. "Kami sudah menelusuri apartemennya, Pak. Semua barang penting hilang. Dia pergi... dengan sengaja.""Dengan perempuan itu." Alvino mendesis seperti akan meludah. "Tell me it's not true."Tak ada yang menjawab. Hanya diam. Dan itu cukup menjadi jawaban paling menyakitkan."Anak saya kabur, dengan istri partner bisnis terbesar perusahaan ini! Ini penghinaan! Pengkhianatan!" Napasnya memburu. "Dan kalian semua di sini Cuma berdiri?!"Tangan Alvino menyambar dokumen di meja dan melemparkannya ke dinding. Sebuah figura pecah. Dua sekretaris yang berdiri di luar ruangannya saling pandang, lalu mundur pelan-pelan, seolah takut jadi korban berikutnya.Lantai itu membeku. Tapi di gedung yang berbeda, di sebuah ruangan kerja pribadi yang jauh lebih tenang-suasana justru berbanding terbalik.Dirga duduk di kursi kulit berwarna hitam, menatap sebotol kecil obat yang a
"Ke apartemenku dulu. Ambil barang dan cash, terus kita kabur dari kota ini. Aku tahu tempat aman di luar kota. I have a plan."Sheana terdiam sejenak. "Kamu bener-bener udah siap tinggalin semuanya?""Aku gak pernah se-yakin ini sama apapun, Shea. Dan kalau kamu ikut... itu cukup buat aku."Di kejauhan, terdengar suara pintu mobil ditutup keras."Ellan!"Itu suara Alvino.Sheana dan Ellan saling pandang. Napas mereka membeku seketika."Go." Bisik Ellan, matanya tajam.Tanpa menunggu lagi, mereka lanjut berlari menyeberang ke gang sempit yang hanya muat satu sepeda motor. Sepatu Sheana terperosok di tanah lembab, tapi ia terus berlari. Tote bag-nya berguncang di bahu.Di belakang mereka, suara pintu pagar dibuka kasar."Sheana! Ellan! Berhenti!"Mereka berdua semakin kencang larinya, jantung berdegup hebat. Seolah kalau mereka berhenti sekarang, dunia akan menelan mereka hidup-hidup.
Keesokan harinya.Pagi itu cerah, terlalu cerah untuk Ellan yang duduk mati di kamar, menatap tiket pesawat dan koper yang dipaksa sudah terisi oleh asistennya.Pintu dikunci dari luar sejak semalam. Tapi Ellan tak butuh pintu utama untuk pergi. Ia tahu semua celah rumah, termasuk jendela belakang yang langsung menuju pagar rendah ke arah garasi.Saat jam menunjukkan pukul 09.00-saat semua staf rumah sedang menyiapkan keperluan Alvino pergi ke kantor-Ellan bergerak.Cepat, senyap, dengan satu ransel dan napas pendek, ia lari keluar pagar belakang, lalu menyelinap ke mobil tua milik staf lama yang masih disimpan di garasi luar. Ia tahu kuncinya disimpan di laci dashboard.Mesin mobil itu menyala dengan satu dengung yang berat, tapi cukup untuk membawanya ke tempat satu-satunya yang ingin ia datangi.Ellan membuka ponsel dan menelepon nomor Sheana. Panggilan langsung tersambung."Shea," suaranya rendah dan serak saat Sheana mengangkat. "Kamu di rumah, kan?""Ellan?" Sheana terdengar her