Share

2

last update Terakhir Diperbarui: 2024-02-23 09:31:38

Lentera-lentera di taman rumah Martin berkelap-kelip, menciptakan bayangan panjang di wajah Mona yang berdiri di tepi keramaian. Suara tawa dan gemerincing piring memenuhi udara, tapi semuanya terasa seperti derau putih di telinganya. 

"Kamu pasti Mona, ya?" 

Suara itu membuatnya menegang. Hana, tunangan Martin, tersenyum manis dengan gaun pastel yang membuatnya terlihat seperti bidadari dari majalah. Tangannya yang halus menyodorkan piring berisi kue. 

"Aku dengar kamu adik tiri Martin. Pasti keren punya kakak yang kayak dia, ya?"

Mona nyaris tersedak. "Iya," bisiknya, memaksakan senyum. Dari sudut matanya, dia melihat Martin sedang berdiri di dekat meja makan, wajahnya pucat saat melihat mereka berdua berbicara. 

"Ayo, duduk sama kami!" Hana menarik tangannya dengan hangat. "Kita lagi bahas tema pernikahan nih. Kamu suka warna lavender atau peach?" 

Setiap kata seperti pisau. Mona bisa merasakan keringat dingin mengalir di punggungnya. Di seberang meja, Mama sedang memamerkan foto-foto kecil Martin pada Hana dengan bangga, sementara ayah Hana bersulang tentang kesempurnaan calon menantu.

"Maaf, aku mau ke kamar mandi dulu,"Mona berbohong, melepaskan genggaman Hana. 

Begitu sampai di lorong, napasnya tersengal. Dia menekan punggungnya ke dinding, berusaha menenangkan detak jantung yang bergejolak. 

"Mona." 

Suara rendah itu membuatnya nyaris melompat. Martin berdiri di ujung lorong, matanya gelap. 

"Kamu nggak boleh bilang apa-apa ke Hana," bisiknya kasar. "Aku... itu cuma kesalahan. Kita berdua mabuk."

Mona menatapnya, rasa pahit membanjiri mulutnya. "Aku nggak minum setetes pun semalam."

Martin mengerutkan kening, seperti sedang mencoba mengingat—atau pura-pura tidak ingat. 

Tapi Mona sudah tidak tahan. "Aku pergi," desisnya, mendorong diri dari dinding dan berjalan cepat ke pintu depan. 

Dia tidak peduli orang tuanya akan marah. Tidak peduli Hana akan bertanya-tanya. 

Malam itu, Mona berlari keluar rumah, menghilang dalam kegelapan, sementara sorak-sorai keluarga masih bergema di belakangnya. 

***

Lampu jalan di gang itu mati. Hanya cahaya remang-remang dari warung nasi uduk di ujung jalan yang menerangi sosok tiga perempuan berdandan menor, asap rokok mengepul dari bibir mereka. Mona menggigit jarinya sendiri sampai nyaris berdarah. 

"Jadi, ini yang mau beli pil tameng, ya?"

Salah satu tante mengeluarkan bungkusan kecil dari dalam bra-nya, dihiasi stiker merek obat yang sudah luntur. "Ini barang langka, Sayang. Harganya gak murah." 

Mona mengeluarkan uang dari saku jaket—tabungan les kumon selama enam bulan—dan menjabatnya erat. "A-Aku cuma butuh satu."

Tante itu tertawa kasar. "Dasar anak sekolah, sok tahu. Ini harus diminum dua biji sekaligus!"

Tangan Mona gemetar saat menerima bungkusan itu. Bau parfum murahan dan keringat menusuk hidungnya. 

"Jangan diminum di sini. Tunggu sampai rumah, baru telan. Jangan sampai muntah, ya? Nanti percuma!"

Mona mengangguk cepat, lalu berbalik untuk pergi— 

"Tunggu." 

Jantungnya berhenti. 

Sebuah tangan besar mencekik bahunya dari belakang, membalikkan tubuhnya dengan kasar. 

"Kamu pikir aku nggak mengenalimu?"

Martin. 

Napasnya berat, matanya merah. Bau alkohol lagi. 

"Aku lihat kamu lari dari rumah. Lalu menemui perempuan-perempuan ini?" Suaranya seperti pisau tumpul. 

Mona menjerit kecil saat Martin menyikut tubuhnya ke tembok, tangan kirinya meraba sakunya—merampas bungkusan pil. 

"Jangan!" Mona mencakar, tapi Martin sudah membuka bungkusan itu. 

"Pil pencegah kehamilan?" Dia terkekeh dingin. "Kamu mau membunuh bayiku?"

Mona membeku. 

Bayi?

"Kamu gila—itu belum tentu—"

Martin menyumpal mulutnya dengan telapak tangan. "Diam. Aku nggak mau ada yang tahu."

Dia meremas pil-pil itu di kepalan tangan, lalu— 

Brum!

Suara motor ngebut dari ujung gang membuat mereka berdua menengok. 

Seseorang melihat mereka.

Dan di saat Martin lengah— 

Mona menggigit tangannya sampai darah mengalir, merebut kembali satu pil yang tersisa, lalu LARI sekuat tenaga ke dalam gelap. 

***

Mona terjepit di antara kontainer sampah, pil retak di tangannya bergetar seperti daun kering. Bau busuk sampah menguar, tapi yang membuatnya mual adalah bau parfum mahal Martin yang masih menempel di bajunya—bau yang sama yang selalu ada di ruang tamu setiap dia ada di sana.

[1 Pesan - Kak Martin]

"Pulang. Sekarang. Atau aku beri tahu Ayah tentang 'kebiasaan burukmu' bolos les minggu lalu."

Mona tercekik. Ancaman yang terukur. Martin tahu persis cara menyakiti tanpa meninggalkan bukti. 

"Mona! Ada apa?!"

Sorot lampu motor delivery order menyapu kegelapan. Rina, teman sekelasnya, melompat turun dengan wajah bingung. 

"Aku... aku harus minum ini," suara Mona bergetar memperlihatkan pil retak. 

Rina mengernyit. "Obat apa? Kamu sakit? Lalu kenapa tadi aku lihat kamu lari dari... eh, itu kan kakak tirimu?"

Mona menelan ludah. "Kamu... nggak kenal Martin?"

"Cuma tau dia kakak tirimu yang sering antar jemput kamu ke sekolah." Rina mengangkat bahu. "Dia ngapaian sampe kamu lari ketakutan gini?"

Dari ujung gang, suara sepatu kulit mahal berderap di aspal. 

Martin datang. 

Dia langsung mencengkeram pergelangan tangan Mona dengan erat, menariknya menyusuri jalanan sepi yang diterangi lampu jalan temaram. Napasnya masih berbau alkohol, tapi matanya sudah lebih fokus—fokus yang mengerikan. 

"Lepaskan!" Mona menarik tangannya, tapi cengkeraman Martin seperti besi. 

"Dengar baik-baik," Martin mendesis, suaranya rendah tapi penuh ancaman, "Aku nggak akan membiarkanmu membuat masalah karena satu malam bodoh."

Mona tersedak. "Satu malam bodoh? Kamu memaksaku—"

"Kamu tidak melawan cukup keras," potong Martin, matanya menyipit. "Dan kamu tahu kenapa aku nggak pakai kondom malam itu? Karena kamu yang selalu bilang aku terlalu hati-hati. Kamu pernah bilang, 'Kadang aku ingin merasakan kamu sepenuhnya." 

Mona membeku. "Jangan mengada-ada! Aku nggak pernah bilang begitu!"

"Aku mabuk, Mona. Dan kamu... kamu memanfaatkan itu."

Mona nyaris menjerit. "Aku tidur saat kamu masuk kamarku!" 

Martin tiba-tiba mendorongnya ke tembok, wajahnya begitu dekat sampai Mona bisa melihat pecah pembuluh darah di matanya—efek mabuk yang masih tersisa. 

"Pil itu," desisnya. "Kamu sudah minum?"

Mona merasakan pil retak di saku jaketnya menusuk kulitnya. "Sudah," bohongnya. 

Martin mengamatinya dengan tajam, lalu tiba-tiba merogoh saku Mona. "Bohong!"

Dia mengeluarkan pil yang retak, lalu melemparkannya ke selokan. 

"Nggak!!" Mona menjerit, tapi terlambat. 

Martin menariknya kembali berjalan. "Kita akan tunggu. Jika benar kau hamil—" 

"Lalu apa? Kamu akan paksa aku aborsi?"

Martin berhenti, menatapnya dengan ekspresi aneh. "Tidak."

Dia membungkuk, bibirnya hampir menyentuh telinga Mona. 

"Aku akan nikahi kau."

***

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Dosa Rahasia Kakak Tiri   23

    "Tandatangani kerjasama denganku kalau kau ingin adikmu baik-baik saja.""Siapa yang sudi bekerja sama dengan pecandu sepertimu! Yang ada bisnisku merugi!""Oh? Tidak mau? Kalau begitu biar adikmu saja yang bekerja sama denganku." Pria baya itu langsung mendorong jatuh Mona ke tanah.Kemudian dia mendudukinya dengan membelakangi Martin. "Kau begitu cantik. Aku ingin memeriksamu apakah tubuhmu mulus atau rusak.""Tidak! Jangan!" Mona memberontak. Namun kedua tangannya diikat di belakang membuat dia tidak berdaya. Akhirnya kancing seragamnya berhasil dibuka oleh pria baya itu."Tidak ada kecacatan di tubuhmu yang mulus," komentar Sellon setelah melihat tubuh bagian atas Mona yang hanya mengenakan bra.Mona merasa sangat malu. Lebih malu daripada di hadapan Martin. Oh sial. Perasaan macam apa ini!"Hentikan! Jauhkan tangan kotormu dari Mona!" teriak Martin. Giginya menggeram. Sementara diam-diam dia memotong tali di pergelangan tangannya menggunakan pisau lipat yang dia siapkan sejak tad

  • Dosa Rahasia Kakak Tiri   22

    "Mona, kakakmu menjemputmu." Tom melihat dari jendela lantai dua di perpustakaan."Aku tidak mau pulang dulu. Tom, bisakah kamu membantuku? Please.""Membantu bagaimana? Kamu ingin kabur dari kakakmu? Tapi ini sudah malam loh. Apa tidak dicariin orang tua di rumah? Pikirkan lagi." Tom bingung.Mona menunduk murung. "Pulanglah duluan, Tom. Jika dia bertanya keberadaanku, katakan saja aku sudah pulang naik bus.""Aku tidak tahu ada permasalahan apa di antara kalian. Baiklah, aku pulang duluan." Tom tanpa rasa curiga pada Mona, pamit pergi dari sekolah. Saat itu waktu menunjukkan pukul sembilan malam. Kelas tambahan sudah bubar setengah jam lalu. Masih banyak anak murid di dalam sekolah walau tidak seramai saat siang hari. Rata-rata mereka menghabiskan waktu untuk belajar di kelas tambahan demi mendapat nilai memuaskan.Mona mengintip dari jendela. Memperhatikan Tom yang berjalan mendekat ke arah Martin menunggu di pos.Sesuai dengan dugaan, Martin menghentikan Tom. Mereka tampak berbic

  • Dosa Rahasia Kakak Tiri   21

    Mona keluar dari sekolah saat langit sudah gelap. Malam pukul sembilan setelah selesai mengikuti kelas tambahan.Dijemput Martin yang sudah menunggu di depan sekolah. Mau tak mau Mona masuk ke dalam mobil dan membisu.Lambat laun gadis itu ketiduran saat dalam perjalanan pulang. Tidak mendengar suara yang diucapkan Martin yang sedang fokus mengemudi."Mona, apa kau sudah makan? Papah dan mama sedang ke luar kota hari ini. Di rumah tidak ada makanan, bagaimana kalau kita mampir." Lalu Martin menyadari kalau gadis itu sudah terlelap.Setibanya di rumah, Mona terbangun tanpa sempat dibangunkan. Dia membuka sabuk pengaman, dan tanpa mengatakan apapun pada Martin lantas masuk ke dalam rumah."Mona, jangan lupa mandi dan makan malam dulu!" Suara Martin di belakang, diabaikan Mona yang menaiki tangga.Dengan inisiatif tinggi, Martin menyiapkan makan malam sederhana di dapur. Kemudian dia membawanya ke kamar Mona.Ketukan pintu tidak dijawab oleh Mona di dalam sana, membuat Martin membuka pin

  • Dosa Rahasia Kakak Tiri   20

    "Kak Martin! Mau kemana!" Mona panik ketika ditinggalkan pria itu."Tetap di sini, aku mau menyapa tamu lain." Martin pergi begitu saja. Ini menyebalkan bagi Mona. Seakan dirinya dicampakkan."Hai cantik. Kenapa ada anak sekolah di sini?" Seseorang menyapanya dengan senyum genit."Siapa kamu?" Mona mendelik tajam. Menjaga jarak."Aku salah satu tamu di sini. Di mana orang tuamu?"Mona kesal dengan orang yang sok akrab. Terlebih wajah pria baya itu melihatnya dengan tatapan mencurigakan.Lantas Mona pergi lewat pintu masuk tadi. Tiba-tiba tangannya dicekal pria baya itu dari belakang."Jangan dingin begitu dong, cantik. Katakan, di mana orang tuamu? Atau kamu datang sendirian?" Pria baya itu memaksa saat Mona berusaha melepaskan diri."Apa yang kau lakukan padanya?" Suara Martin akhirnya datang. Menyelamatkan Mona sesaat dari pria baya yang mesum itu."Aku hanya mengobrol dengannya. Apakah kalian pasangan?" tanya pria baya itu melihat Martin dan Mona bersama."Kami bersaudara," tegas

  • Dosa Rahasia Kakak Tiri   19

    "Mona, karena nilaimu bagus, maukah kau mengikuti kompetisi olimpiade eksak?" Wali kelasnya bicara empat mata dengan Mona di ruang guru.Mona terkejut mendapat tawaran tersebut. "Bagaimana dengan pelajaran sehari-hariku kalau aku fokus belajar untuk olimpiade?" balas Mona membutuhkan kejelasan."Setiap peserta akan dapat kompensasi pelajaran. Nilaimu tidak akan dikurangi meski tidak hadir dalam kelas karena harus mengikuti kelas intensif nanti," jelas wali kelas itu."Aku bersedia," pungkas Mona tanpa keraguan.Sejak saat itu, jika murid lain sudah pulang sejak sore hari, Mona bersama peserta olimpiade lain masih berkutat di dalam sekolah. Mona jadi lebih sering pulang larut malam, sekitar jam sepuluh baru keluar dari sekolah.Untungnya hal tersebut diperbolehkan orang tuanya karena alasan yang dimaklumi. Padahal alasan Mona yang sebenarnya mengikuti kelas intensif ini hanya ingin menghindari Martin. Juga, dia tidak suka berada di rumah. Meskipun rumah yang ditempatinya mewah, namun k

  • Dosa Rahasia Kakak Tiri   18

    MonamasihterkurungolehtubuhbesarMartin yang shirtless. Mona dan Martinsalingberhadapandengantatapanpenuhemosiyangtakterungkap.Suasanadisekitarmerekabegituhening,hanyaterdengarhembusanburungberkicauyangberasaldaritamanrumahyangdamai. Diamerasakandenyutanjantungnyaberdetaktidakkaruan,sepertimembenamkandirinyadalamsamudraemosiyangtakterduga."Apa yangkamurencanakan?"desisMonadengannadageram.Matanyamemancarkanapiyangmenggelora,menunjukkantekadnyauntuktidakterperangkapdalampermainanyangtak

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status