Mag-log in#Kampus – Siang Hari
Mona menatap buku matematikanya dengan kosong. Angka-angka di halaman itu berantakan seperti pikirannya. "Aku akan nikahi kau." Kalimat Martin bergema di kepalanya, membuat jarinya gemetar memegang pensil. "Hey, alien!" Rina menyentak kursinya, membuat Mona tersentak. "Kamu udah nggak nyambung seharian. Ayo ke lapangan basket, liat Thomas dan kawan-kawan latihan. Lumayan buat cuci mata!" Mona menggeleng. "Aku nggak mood, Rin." "Ya elah, kamu kaya orang depresi aja belakangan ini," Rina menarik tangannya. "Ayo gih! Ntar aku traktin es teh setelahnya." #Lapangan Basket Suara bola memantul dan teriakan pemain memenuhi udara. Mona duduk di bangku paling belakang, mencoba fokus pada permainan—pada apapun yang bisa mengalihkannya dari pikiran tentang hamil, tentang Martin, tentang— "Nah tuh, Tom lagi shooting. Duh, gagal lagi," Rina mengomel. Tiba-tiba, sorakan membahana. Bola basket melesat keluar lapangan—langsung ke arah mereka! "AWAS!" Mona nyaris tidak punya waktu untuk menghindar sebelum— "Maafin aku, ya!" Seorang pemain basket—Thomas, kapten tim—berlari mendekat. Dia mengambil bola, lalu tersenyum malu-malu pada Mona. "Nggak kenapa-kenapa, kan?" Mona menggeleng, wajahnya memanas. Aldi terkenal sebagai cowok paling tampan di sekolah, dan sekarang dia berdiri begitu dekat... "Eh, kok kamu nggak bilang-bilang kalo punya temen cakep gini, Rin?" Thomas menyenggol Rina, tapi matanya tertuju pada Mona. Rina menyeringai. "Nih anak emang sukanya nyembunyi diri. Tapi kalo diajak nonton basket, baru mau keluar." Thomas tertawa. "Besok ada pertandingan sama SMA 3. Dateng ya? Ntar aku kasih tiket gratis." Sebelum Mona bisa menjawab, peluit pelatih berbunyi. Thomas melambaikan tangan. "Ntar aku tunggu, ya!" Di Bangku Penonton "Tuh liat? Thomas jelas suka sama kamu," Rina mendesis. Mona menghela napas. "Rin, aku nggak bisa mikirin hal-hal begitu sekarang." Rina memiringkan kepalanya. "Kenapa? Ada masalah?" Mona membuka mulut—ingin bercerita tentang Martin, tentang pil yang dibuang, tentang ancaman pernikahan yang mengerikan—tapi... "Nggak, sih. Cuma... lagi banyak tugas aja," akhirnya dia berbohong. Rina memeluk bahunya. "Ya udah, kalo kamu butuh temen cerita, aku selalu ada. Tapi sekarang, nikmatin aja dulu cowok ganteng yang jelas-jelas naksir kamu!" Mona mencoba tersenyum, tapi di dalam, hatinya hancur. Thomas mungkin menyukai versi Mona yang dia lihat—gadis biasa yang nonton basket. Bukan Mona yang sebenarnya: gadis yang mungkin hamil anak kakak tirinya sendiri. *** Flashback. Mona masih tinggal bersama ayahnya ketika pria itu memutuskan menikahi seorang janda, enam tahun silam. Hari itu adalah hari pernikahan ayahnya - pernikahan yang terasa terlalu cepat, terlalu menyakitkan, karena ibunya baru saja meninggal empat bulan sebelumnya. Di tengah gemuruh pesta pernikahan yang meriah, Mona memilih menyendiri, duduk di bangku taman dengan wajah masam. Tiba-tiba, bayangan seseorang menghalangi sinar matahari. Mona mengangkat kepala dan melihat Martin, pemuda tampan yang pernah ia temui saat acara perkenalan keluarga beberapa minggu lalu. Dengan senyum khasnya yang menenangkan, Martin mengulurkan tangan. "Ayo, kita lihat prosesi akadnya," ajaknya lembut. Mona menggeleng, menatap tajam ke arah tenda pesta di kejauhan. "Aku tidak mau." Martin malah duduk di sampingnya, kursi kayu berderit menahan berat tubuhnya. "Kamu tahu, di kampusku ada profesor yang sangat ketat," ujarnya tiba-tiba, jari-jarinya mengetuk-ngetuk sandaran bangku. "Suatu hari, dia marah besar sampai..." Mona mengerutkan kening. "Sampai?" "Sampai kumis palsunya terlepas dan menempel di papan tulis!" Martin tertawa terbahak-bahak. "Seluruh kelas berusaha mati-matian tidak ketawa, tapi..." Mona tidak bisa menahan senyum kecil yang menyelinap di bibirnya. "Itu mustahil." "Beneran! Aku bersumpah!" Martin mengangkat tangan kanannya. "Dan ada lagi, kucingku di rumah..." "Kau punya kucing?" Mona memotong, tanpa sadar mulai tertarik. "Ya, si Oren. Pencuri ulung! Kemarin dia mencuri ikan asin dari meja makan, lalu..." Martin menggerakkan tangannya dramatis, "...dia lari sambil tersandung karpet dan ikan itu terbang tepat ke kepala mama!" Mona tertawa pendek, lalu cepat menutup mulutnya dengan tangan, mencoba menyembunyikan reaksinya. Tapi matanya yang berbinar sudah terlanjur menceritakan segalanya. Flashback end. *** Mona mengamati sekeliling halaman sekolah, matanya menyapu kerumunan siswa yang berhamburan keluar gerbang. Tidak ada tanda-tanda Martin—yang biasanya sudah menunggunya di parkiran dengan motor kesayangannya. Dia lupa? Dia menghela napas panjang. Tidak perlu berpura-pura cuek di depan kakak tirinya hari ini. Tapi juga... kecewa. Akhirnya, dia memutuskan naik bus. Sepanjang perjalanan, pikirannya berputar-putar. *Mungkin dia sibuk. Atau mungkin— "Mini Cooper." Mona membeku di depan garasi rumah. Mobil merah Hana—tunangan Martin—terparkir rapi di samping mobil ayahnya. Ada Hana di rumah. Dia menarik napas dalam-dalam sebelum membuka pintu. Suara tawa langsung menyambutnya dari arah dapur. "Aduh, ini terlalu pedas!" Hana terkikik. "Sengaja aku tambahin cabai, biar kamu ingat aku tiap minum air," balas Martin, suaranya penuh canda. Mona berdiri di ambang pintu, melihat mereka berdua di dapur—meja penuh makanan, piring-piring cantik, sebotol wine yang sudah setengah habis. Seperti pasangan yang sudah lama menikah. "Oh, Mona!" Martin menoleh, senyumnya lebar. "Kami baru masak spaghetti. Yuk, makan bareng!" Mona mengatupkan rahang. "Nggak lapar." "Tapi kamu belum makan siang, kan?" Hana menyela ramah, menyendokkan saus ke piring. "Aku bikin yang tidak terlalu pedas, kok." "Aku bilang nggak mau!" suaranya lebih keras dari yang dia rencanakan. Martin mengerutkan kening. "Kamu kenapa?" Kamu lupa jemput aku. Kamu malah masak makan malam romantis dengan pacarmu. Tapi Mona hanya menggigit bibir. "Lelah aja." Lalu dia berbalik, menuju kamar, dan mengurung diri sampai sore. *** Sore Hari Perutnya keroncongan. Mona menatap langit-langit kamar, berdebat dengan diri sendiri. *Haruskah aku keluar? Atau tunggu sampai mereka pergi? Akhirnya, lapar mengalahkan gengsi. Dia membuka pintu pelan-pelan, berharap dapur sudah sepi. Tapi suara desahan membuatnya membeku. "Kangen nggak?" bisik Hana. "Tiap detik," jawab Martin, suaranya parau. Mona mengintip dari balik dinding—dan dadanya seperti ditusuk. Martin dan Hana berpelukan di sofa, bibir mereka terkunci dalam ciuman yang dalam. Tangan Martin merangkul pinggang Hana, menariknya lebih dekat— Krek! Vas bunga kesayangan mama jatuh. Mona tidak sadar telah menyenggolnya. Sekarang, pecahannya berserakan di lantai—bersamaan dengan kepulan debu keheningan yang tiba-tiba menyergap ruangan. Martin dan Hana terpisah kasar. "M-Mona?" Martin berdiri, wajahnya pucat. "Kamu ini hati-hati dong!" Wajahnya mengerut kesal, mungkin karena ciumannya terganggu. Mona berjongkok, berniat mengumpulkan pecahan vas bunga. "Aw!" pekik Mona, saat jarinya tertusuk pecahan gelas yang tajam. Tampak darah mengalir keluar dari ujung jari gadis itu. "Kamu jadi terluka kan?" Martin menghela napas lelah. Lelah karena Mona. Dia kemudian berjongkok dan menarik tangan Mona yang terluka. Dilihatnya darah kental itu terus keluar. Lalu secara tak terduga Martin mengemut jari telunjuk itu. Sontak Mona kaget. Hampir saja membuat jantungnya melompat. Seluruh wajahnya kini merona merah. Karena dapat dia rasakan dengan jelas basah di jarinya di dalam mulut Martin. Namun, kenyataan pahit menampar Mona saat teringat bibir Martin ini bekas berciuman panas dengan wanita lain. Mona langsung menarik tangannya cepat. Dia bangkit berdiri. "Aku ke apotek dulu untuk beli plester," ucapnya terburu-buru. Namun saat hendak pergi, lengannya ditahan Martin. Lelaki itu mengatakan kalau mereka punya stok plester di kotak obat. "Ayo duduk." Martin menggiringnya ke sofa ruang tamu, di mana ada Hana yang memperhatikan. Lalu dengan telaten Martin menempelkan plester ke jari Mona yang terluka. "Kamu beruntung sekali punya kakak yang perhatian, Mona." Hana menyapa dengan senyuman ramah. Wajahnya cantik dan terlihat sangat dewasa. Hana dan Martin sudah berhubungan cukup lama. "Apa kak Hana sangat mencintai kak Martin?" Mona membalas dengan pertanyaan. "Tentu saja kami saling mencintai. Kalau tidak, mana mungkin kami bertunangan. Terlebih kami akan menikah dalam waktu dekat." Hana bicara disertai rona bahagia di wajahnya, lalu dia mengangkat tangan kirinya. Mona menunduk. Hatinya bagai ditusuk ribuan jarum. Ingin rasanya dia mengungkapkan perlakuan bejat Martin pada Hana. Tetapi nuraninya justru menahan keinginan itu. "Aku ikut senang mendengarnya." Senyum palsu terbit di bibir pucat Mona. ***"Tandatangani kerjasama denganku kalau kau ingin adikmu baik-baik saja.""Siapa yang sudi bekerja sama dengan pecandu sepertimu! Yang ada bisnisku merugi!""Oh? Tidak mau? Kalau begitu biar adikmu saja yang bekerja sama denganku." Pria baya itu langsung mendorong jatuh Mona ke tanah.Kemudian dia mendudukinya dengan membelakangi Martin. "Kau begitu cantik. Aku ingin memeriksamu apakah tubuhmu mulus atau rusak.""Tidak! Jangan!" Mona memberontak. Namun kedua tangannya diikat di belakang membuat dia tidak berdaya. Akhirnya kancing seragamnya berhasil dibuka oleh pria baya itu."Tidak ada kecacatan di tubuhmu yang mulus," komentar Sellon setelah melihat tubuh bagian atas Mona yang hanya mengenakan bra.Mona merasa sangat malu. Lebih malu daripada di hadapan Martin. Oh sial. Perasaan macam apa ini!"Hentikan! Jauhkan tangan kotormu dari Mona!" teriak Martin. Giginya menggeram. Sementara diam-diam dia memotong tali di pergelangan tangannya menggunakan pisau lipat yang dia siapkan sejak tad
"Mona, kakakmu menjemputmu." Tom melihat dari jendela lantai dua di perpustakaan."Aku tidak mau pulang dulu. Tom, bisakah kamu membantuku? Please.""Membantu bagaimana? Kamu ingin kabur dari kakakmu? Tapi ini sudah malam loh. Apa tidak dicariin orang tua di rumah? Pikirkan lagi." Tom bingung.Mona menunduk murung. "Pulanglah duluan, Tom. Jika dia bertanya keberadaanku, katakan saja aku sudah pulang naik bus.""Aku tidak tahu ada permasalahan apa di antara kalian. Baiklah, aku pulang duluan." Tom tanpa rasa curiga pada Mona, pamit pergi dari sekolah. Saat itu waktu menunjukkan pukul sembilan malam. Kelas tambahan sudah bubar setengah jam lalu. Masih banyak anak murid di dalam sekolah walau tidak seramai saat siang hari. Rata-rata mereka menghabiskan waktu untuk belajar di kelas tambahan demi mendapat nilai memuaskan.Mona mengintip dari jendela. Memperhatikan Tom yang berjalan mendekat ke arah Martin menunggu di pos.Sesuai dengan dugaan, Martin menghentikan Tom. Mereka tampak berbic
Mona keluar dari sekolah saat langit sudah gelap. Malam pukul sembilan setelah selesai mengikuti kelas tambahan.Dijemput Martin yang sudah menunggu di depan sekolah. Mau tak mau Mona masuk ke dalam mobil dan membisu.Lambat laun gadis itu ketiduran saat dalam perjalanan pulang. Tidak mendengar suara yang diucapkan Martin yang sedang fokus mengemudi."Mona, apa kau sudah makan? Papah dan mama sedang ke luar kota hari ini. Di rumah tidak ada makanan, bagaimana kalau kita mampir." Lalu Martin menyadari kalau gadis itu sudah terlelap.Setibanya di rumah, Mona terbangun tanpa sempat dibangunkan. Dia membuka sabuk pengaman, dan tanpa mengatakan apapun pada Martin lantas masuk ke dalam rumah."Mona, jangan lupa mandi dan makan malam dulu!" Suara Martin di belakang, diabaikan Mona yang menaiki tangga.Dengan inisiatif tinggi, Martin menyiapkan makan malam sederhana di dapur. Kemudian dia membawanya ke kamar Mona.Ketukan pintu tidak dijawab oleh Mona di dalam sana, membuat Martin membuka pin
"Kak Martin! Mau kemana!" Mona panik ketika ditinggalkan pria itu."Tetap di sini, aku mau menyapa tamu lain." Martin pergi begitu saja. Ini menyebalkan bagi Mona. Seakan dirinya dicampakkan."Hai cantik. Kenapa ada anak sekolah di sini?" Seseorang menyapanya dengan senyum genit."Siapa kamu?" Mona mendelik tajam. Menjaga jarak."Aku salah satu tamu di sini. Di mana orang tuamu?"Mona kesal dengan orang yang sok akrab. Terlebih wajah pria baya itu melihatnya dengan tatapan mencurigakan.Lantas Mona pergi lewat pintu masuk tadi. Tiba-tiba tangannya dicekal pria baya itu dari belakang."Jangan dingin begitu dong, cantik. Katakan, di mana orang tuamu? Atau kamu datang sendirian?" Pria baya itu memaksa saat Mona berusaha melepaskan diri."Apa yang kau lakukan padanya?" Suara Martin akhirnya datang. Menyelamatkan Mona sesaat dari pria baya yang mesum itu."Aku hanya mengobrol dengannya. Apakah kalian pasangan?" tanya pria baya itu melihat Martin dan Mona bersama."Kami bersaudara," tegas
"Mona, karena nilaimu bagus, maukah kau mengikuti kompetisi olimpiade eksak?" Wali kelasnya bicara empat mata dengan Mona di ruang guru.Mona terkejut mendapat tawaran tersebut. "Bagaimana dengan pelajaran sehari-hariku kalau aku fokus belajar untuk olimpiade?" balas Mona membutuhkan kejelasan."Setiap peserta akan dapat kompensasi pelajaran. Nilaimu tidak akan dikurangi meski tidak hadir dalam kelas karena harus mengikuti kelas intensif nanti," jelas wali kelas itu."Aku bersedia," pungkas Mona tanpa keraguan.Sejak saat itu, jika murid lain sudah pulang sejak sore hari, Mona bersama peserta olimpiade lain masih berkutat di dalam sekolah. Mona jadi lebih sering pulang larut malam, sekitar jam sepuluh baru keluar dari sekolah.Untungnya hal tersebut diperbolehkan orang tuanya karena alasan yang dimaklumi. Padahal alasan Mona yang sebenarnya mengikuti kelas intensif ini hanya ingin menghindari Martin. Juga, dia tidak suka berada di rumah. Meskipun rumah yang ditempatinya mewah, namun k
MonamasihterkurungolehtubuhbesarMartin yang shirtless. Mona dan Martinsalingberhadapandengantatapanpenuhemosiyangtakterungkap.Suasanadisekitarmerekabegituhening,hanyaterdengarhembusanburungberkicauyangberasaldaritamanrumahyangdamai. Diamerasakandenyutanjantungnyaberdetaktidakkaruan,sepertimembenamkandirinyadalamsamudraemosiyangtakterduga."Apa yangkamurencanakan?"desisMonadengannadageram.Matanyamemancarkanapiyangmenggelora,menunjukkantekadnyauntuktidakterperangkapdalampermainanyangtak







