"Jangan, kak!"
Teriakan Mona tidak didengarkan. Perlawanan Mona tidak berarti apa-apa di bawah tenaga Martin, saat lelaki itu menahan kedua tangannya lalu menyingkap tabir yang membatasi pandangan, sehingga kini terpampang kepolosan Mona di bawah cahaya lampu kamar.
Mona sudah berteriak sekeras yang dia bisa untuk meminta tolong. Dia berusaha menyadarkan Martin dari pengaruh alkohol yang tercium bau kuat dari mulutnya. Namun hari ini sedang sial ketika tahu tidak ada orang di rumah selain hanya mereka berdua. Ditambah suara gemuruh hujan di luar jendela, semakin meredamkan suara Mona yang panik.
Mona tak pernah membayangkan, kakak tirinya akan bertindak sejauh ini padanya. Bahkan mereka belum lama kenal setelah orang tua mereka menikah satu bulan lalu. Entah apa yang terjadi pada Martin sebelum pulang, sampai dia mabuk dan tak menyadari tindakannya sekarang.
Perlawanan demi perlawanan diupayakan sekuat tenaga oleh Mona untuk memberontak dari kekangan kuat Martin. Dia ingin mencegah hal buruk terjadi pada hidupnya malam ini.
Namun, semua terasa sia-sia bagi Mona ketika tekanan berat membentur tubuhnya tanpa ampun. Air mata Mona jatuh dengan raga tak berdaya di bawah kendali Martin yang terus bergerak penuh semangat.
Tidak ada kenikmatan seperti yang dirasakan Martin atas tubuhnya yang lemah, Mona hanya bisa merasakan sakit yang teramat akibat benda keras yang menerobos benteng pertahanan dirinya. Mona merintih dan terus melirih meminta berhenti dibawah kurungan Martin.
Tangisannya terdengar memilukan di dalam kamar. Namun tidak bisa membuat Martin berhenti di tengah jalan, malah dia tidak memedulikan perasaan Mona saat ini. Karena yang terpenting baginya adalah menuntaskan keinginan yang semakin membakar akal sehat.
Hingga akhirnya tabrakan keras menjadi akhir pergulatan Martin dengan mengirimkan seluruh harta, mengisi ruang lembab di dalam goa gelap di sana. Tepat di malam hari pergantian tahun, Mona pingsan. Sementara Martin segera terkulai lemas di sampingnya sebelum tertidur dengan nyenyak.
***
Martin baru terbangun ketika mendengar suara isak tangis di dekatnya. Dia membuka mata dan merasa linglung dengan keadaan. Terlebih mendapati Mona di sampingnya sedang menangis. "Mona?" Martin mengeryitkan dahi, mencoba mengingat apa yang terjadi. Tetapi menyadari tubuhnya di dalam selimut tidak mengenakan pakaian, cukup mengejutkan Martin sendiri.
"Mona, apa yang aku lakukan padamu?" Seketika, sekelebat adegan terlintas di pikiran Martin. Martin tertegun mengingat semuanya.
"Mona, maafkan aku. Semalam aku sangat mabuk. Aku tidak tahu," ujar Martin meraih pundak Mona, tapi Mona menjauh.
"Kau! Bagaimana kalau aku hamil!" Wajah Mona sembab, dibanjiri air mata. Tatapannya sangat terluka pada Martin yang merupakan kakak angkat.
Martin terdiam. Dia sadar dirinya tidak memakai pengaman maupun mengeluarkannya di luar. Martin cemas. "Maaf, Mona. Aku tidak bisa menerimamu." Ini keputusan Martin secara sadar.
"Apa!" Mona kaget.
"Aku memiliki kekasih yang akan kunikahi. Aku tidak bisa bertanggung jawab jika kau hamil. Gugurkan saja."
Perkataan Martin sangat menusuk relung hati Mona yang sudah hancur. Mona semakin sesak napas. "Aku akan memberitahu orang tua kita kalau kau telah memerkosaku!" ancamnya.
Martin menggertakkan giginya, lalu sontak mencengkram pundak Mona dengan kuat. "Jangan bodoh, Mona! Jangan mengacaukan rencana pernikahanku dengan kekasihku! Kalau kau melakukannya, aku tidak jamin keamananmu. Apa kau mau orang tua kita yang harmonis harus bercerai, hah?"
"Tapi..."
"Aku takkan bisa mengakui sebagai anakku. Mona, masa depanmu masih panjang, ikuti saranku untuk menggugurkannya jika kau hamil," kata Martin kemudian bangun dari kasur. "Aku harus pergi. Ada jadwal kencan dengan kekasihku." Dia menyingkap selimut, turun dari kasur dengan keadaan polos total. Martin mendengus kesal, memungut pakaiannya dari lantai untuk dipakai lagi.
***
Mona merasa jijik dengan tubuhnya sendiri. Dia mencakar lengannya sampai lecet seiring kemarahan yang tertahan. Sudah berjam-jam gadis itu berdiam diri di dalam bathtub berisi air. Seluruh adegan semalam begitu menyiksanya. Seolah tidak mau menghilang dari memori otak. Mona ingin sekali membenturkan kepalanya dengan harapan amnesia.
Tapi dia tidak berani melukai dirinya sendiri, apalagi terpikirkan untuk bunuh diri. Mona takut. Pada akhirnya, memikirkan semua itu sendiri membuatnya sakit kepala seharian. Mona pun tertidur di dalam bathtub tanpa ingat waktu.
Sementara itu di luar, orang tua mereka baru pulang dari merayakan tahun baru semalam. Membawakan makanan enak untuk kedua anak mereka. "Martin, di mana Mona?" Mamanya menaruh kotak kue di meja dapur, saat melihat Martin baru turun dari tangga berpakaian rapi.
Seketika langkah Martin terhenti. "Dia di kamarnya, masih tidur," jawab Martin acuh, membuka kulkas dan mengambil sebotol air dingin.
"Mama akan memanggilkannya. Dia suka sekali kue krim ini." Mama beranjak pergi. Mendadak jantung Martin berdebar-debar cepat. Martin berpikir, bagaimana jika mama tirinya itu melihat kondisi tubuh Mona yang polosan di kasur? Beliau pasti curiga dan rahasia di antara mereka akan terbongkar!
Martin sontak menyusul langkah mamanya. "Tunggu, ma!" cegahnya cepat ketika mama akan naik ke atas tangga. "Biar aku saja yang akan memanggilkannya. Mama bisa menyiapkan makanan untuk kami." Martin meyakinkan. Sesuai harapannya, mama mengurungkan niat untuk pergi ke kamar Mona. Martin menghela napas lega.
Kemudian bergegas masuk ke kamar Mona dan menutup pintunya rapat. Dia tidak melihat Mona di kasur. Kasur itu berantakan dengan noda darah dan jejak basah di seprei. Martin menahan napas. Meraup wajahnya gelisah. "Mona, aku tidak tahu kau masih perawan." Dia langsung menggulung seprei itu sebelum ada yang menyadarinya.
"Mona? Kau di kamar mandi?" Martin buka pintu kamar mandi itu. Matanya terbelalak mendapati Mona pingsan di dalam bathtub. "Mona!" Ditepuk-tepuknya pipi Mona.
"Dia demam." Tanpa ragu, Martin langsung mengangkat Mona dari dalam bathtub. Membaringkannya ke kasur sambil diselimuti. Sementara dia bergegas mengambil pakaian.
Martin pakaikan baju itu ke tubuh Mona yang polos. Namun, Martin tetaplah seorang pria dewasa berusia dua puluh lima tahun. Tidak mungkin dirinya tidak tertarik melihat tubuh wanita seperti Mona.
Sehingga secara naluriah, Martin dapat merasakan bagian bawahnya begitu sesak di dalam celana. Martin tahan sekuat hati. Dia cepat-cepat menyelesaikan pekerjaannya memakaikan baju. Setelah selesai, dia menghela napas lega dan mengusap keringat di dahi. Seakan-akan baru selesai mengerjakan soal ujian sekolah yang sulit.
Martin bangun, melangkah mundur. Dia tidak ingin membangunkan Mona, jadi memilih keluar kamar lalu mengatakan pada mamanya kalau Mona sedang demam.
Mamanya kaget tapi tidak bereaksi berlebihan. "Tolong perhatikan dia selama aku sibuk. Berikan obat, kalau habis belikan di apotek. Aku harus pergi lagi, ada janji temu dengan teman-teman arisan." Mama tampak terburu-buru keluar rumah
"Tapi aku akan---" Ucapan Martin tidak diselesaikan ketika mamanya sudah pergi dari rumah. Martin mengepalkan tangan. "Aku juga ada janji kencan dengan kekasihku." Dia hanya bisa menggumam. Lalu tanpa peduli dengan perkataan mamanya, Martin juga pergi membawa mobilnya keluar garasi, menuju tempat sang kekasih hati.
Sementara Mona mengalami mimpi buruk. Tidurnya terlihat gelisah. Keningnya berkeringat. Napasnya tersengal-sengal. Mona mencengkram seprei dengan kuat.
"Jangan! Jangan!"
Dia tersentak bangun. Mona tersadar bahwa kini dirinya berbaring di ranjang. Tapi dia bingung memikirkan bagaimana caranya berpindah dari bathub ke tempat tidur? Mona tak ingat pernah berjalan keluar dari kamar mandi dan berpakaian.
Lalu Mona duduk. Langit di luar jendela sudah sore. Mona merasa lapar dan haus. Jadi dia berjalan keluar kamar dengan langkah sedikit tertatih. Sebab nyeri di bagian sensitif masih terasa jelas, membuatnya meringis menahan sakit.
"Mona, kau baik-baik saja?"
***
"Tandatangani kerjasama denganku kalau kau ingin adikmu baik-baik saja.""Siapa yang sudi bekerja sama dengan pecandu sepertimu! Yang ada bisnisku merugi!""Oh? Tidak mau? Kalau begitu biar adikmu saja yang bekerja sama denganku." Pria baya itu langsung mendorong jatuh Mona ke tanah.Kemudian dia mendudukinya dengan membelakangi Martin. "Kau begitu cantik. Aku ingin memeriksamu apakah tubuhmu mulus atau rusak.""Tidak! Jangan!" Mona memberontak. Namun kedua tangannya diikat di belakang membuat dia tidak berdaya. Akhirnya kancing seragamnya berhasil dibuka oleh pria baya itu."Tidak ada kecacatan di tubuhmu yang mulus," komentar Sellon setelah melihat tubuh bagian atas Mona yang hanya mengenakan bra.Mona merasa sangat malu. Lebih malu daripada di hadapan Martin. Oh sial. Perasaan macam apa ini!"Hentikan! Jauhkan tangan kotormu dari Mona!" teriak Martin. Giginya menggeram. Sementara diam-diam dia memotong tali di pergelangan tangannya menggunakan pisau lipat yang dia siapkan sejak tad
"Mona, kakakmu menjemputmu." Tom melihat dari jendela lantai dua di perpustakaan."Aku tidak mau pulang dulu. Tom, bisakah kamu membantuku? Please.""Membantu bagaimana? Kamu ingin kabur dari kakakmu? Tapi ini sudah malam loh. Apa tidak dicariin orang tua di rumah? Pikirkan lagi." Tom bingung.Mona menunduk murung. "Pulanglah duluan, Tom. Jika dia bertanya keberadaanku, katakan saja aku sudah pulang naik bus.""Aku tidak tahu ada permasalahan apa di antara kalian. Baiklah, aku pulang duluan." Tom tanpa rasa curiga pada Mona, pamit pergi dari sekolah. Saat itu waktu menunjukkan pukul sembilan malam. Kelas tambahan sudah bubar setengah jam lalu. Masih banyak anak murid di dalam sekolah walau tidak seramai saat siang hari. Rata-rata mereka menghabiskan waktu untuk belajar di kelas tambahan demi mendapat nilai memuaskan.Mona mengintip dari jendela. Memperhatikan Tom yang berjalan mendekat ke arah Martin menunggu di pos.Sesuai dengan dugaan, Martin menghentikan Tom. Mereka tampak berbic
Mona keluar dari sekolah saat langit sudah gelap. Malam pukul sembilan setelah selesai mengikuti kelas tambahan.Dijemput Martin yang sudah menunggu di depan sekolah. Mau tak mau Mona masuk ke dalam mobil dan membisu.Lambat laun gadis itu ketiduran saat dalam perjalanan pulang. Tidak mendengar suara yang diucapkan Martin yang sedang fokus mengemudi."Mona, apa kau sudah makan? Papah dan mama sedang ke luar kota hari ini. Di rumah tidak ada makanan, bagaimana kalau kita mampir." Lalu Martin menyadari kalau gadis itu sudah terlelap.Setibanya di rumah, Mona terbangun tanpa sempat dibangunkan. Dia membuka sabuk pengaman, dan tanpa mengatakan apapun pada Martin lantas masuk ke dalam rumah."Mona, jangan lupa mandi dan makan malam dulu!" Suara Martin di belakang, diabaikan Mona yang menaiki tangga.Dengan inisiatif tinggi, Martin menyiapkan makan malam sederhana di dapur. Kemudian dia membawanya ke kamar Mona.Ketukan pintu tidak dijawab oleh Mona di dalam sana, membuat Martin membuka pin
"Kak Martin! Mau kemana!" Mona panik ketika ditinggalkan pria itu."Tetap di sini, aku mau menyapa tamu lain." Martin pergi begitu saja. Ini menyebalkan bagi Mona. Seakan dirinya dicampakkan."Hai cantik. Kenapa ada anak sekolah di sini?" Seseorang menyapanya dengan senyum genit."Siapa kamu?" Mona mendelik tajam. Menjaga jarak."Aku salah satu tamu di sini. Di mana orang tuamu?"Mona kesal dengan orang yang sok akrab. Terlebih wajah pria baya itu melihatnya dengan tatapan mencurigakan.Lantas Mona pergi lewat pintu masuk tadi. Tiba-tiba tangannya dicekal pria baya itu dari belakang."Jangan dingin begitu dong, cantik. Katakan, di mana orang tuamu? Atau kamu datang sendirian?" Pria baya itu memaksa saat Mona berusaha melepaskan diri."Apa yang kau lakukan padanya?" Suara Martin akhirnya datang. Menyelamatkan Mona sesaat dari pria baya yang mesum itu."Aku hanya mengobrol dengannya. Apakah kalian pasangan?" tanya pria baya itu melihat Martin dan Mona bersama."Kami bersaudara," tegas
"Mona, karena nilaimu bagus, maukah kau mengikuti kompetisi olimpiade eksak?" Wali kelasnya bicara empat mata dengan Mona di ruang guru.Mona terkejut mendapat tawaran tersebut. "Bagaimana dengan pelajaran sehari-hariku kalau aku fokus belajar untuk olimpiade?" balas Mona membutuhkan kejelasan."Setiap peserta akan dapat kompensasi pelajaran. Nilaimu tidak akan dikurangi meski tidak hadir dalam kelas karena harus mengikuti kelas intensif nanti," jelas wali kelas itu."Aku bersedia," pungkas Mona tanpa keraguan.Sejak saat itu, jika murid lain sudah pulang sejak sore hari, Mona bersama peserta olimpiade lain masih berkutat di dalam sekolah. Mona jadi lebih sering pulang larut malam, sekitar jam sepuluh baru keluar dari sekolah.Untungnya hal tersebut diperbolehkan orang tuanya karena alasan yang dimaklumi. Padahal alasan Mona yang sebenarnya mengikuti kelas intensif ini hanya ingin menghindari Martin. Juga, dia tidak suka berada di rumah. Meskipun rumah yang ditempatinya mewah, namun k
MonamasihterkurungolehtubuhbesarMartin yang shirtless. Mona dan Martinsalingberhadapandengantatapanpenuhemosiyangtakterungkap.Suasanadisekitarmerekabegituhening,hanyaterdengarhembusanburungberkicauyangberasaldaritamanrumahyangdamai. Diamerasakandenyutanjantungnyaberdetaktidakkaruan,sepertimembenamkandirinyadalamsamudraemosiyangtakterduga."Apa yangkamurencanakan?"desisMonadengannadageram.Matanyamemancarkanapiyangmenggelora,menunjukkantekadnyauntuktidakterperangkapdalampermainanyangtak