Malam pemaksaan yang dilakukan kakak angkatnya yang bernama Martin membuat Mona akhirnya hamil. Mona berniat melaporkan perbuatan terlarang itu pada orang tua mereka. Tetapi perkataan Martin berhasil mengurungkan niatnya. Bahwa Mona memutuskan tidak ingin kebahagiaan mama dan papa barunya harus kandas di sidang perceraian, karena mereka pasti akan memaksa Martin untuk menikahinya. Bahkan orang tua mereka baru menikah satu bulan yang lalu. Tetapi kehamilan ini akan terungkap juga jika dibiarkan tumbuh di dalam perut. Berpikir untuk menggugurkannya, Mona tidak punya keberanian untuk melakukan hal itu. Sedangkan Martin justru sibuk mempersiapkan rencana pernikahan dengan tunangannya. Akankah Mona memilih untuk menggugurkan kandungannya atau menunggu keajaiban datang dari Martin untuk melamarnya?
View MoreDelapan belas jam sebelum tragedi besar itu terjadi, di kantin yang ramai oleh siswa-siswi SMA, Eliz tengah duduk bersama seorang sahabat baiknya. Selembar undangan tergeletak di meja dan dua remaja itu memandanginya dengan lekat.
"Lu yakin?" Anne, sahabat Eliza, bertanya untuk kesekian kali. "Yakin lah, Ne! Ini kesempatan gue buat ketemu pria itu!" Eliza ngotot dengan keputusannya. "Kapan lagi gue bisa nemuin pria itu kalo bukan malam ini! Gue harus nemuin dia sebelum pertemuan keluarga bulan depan. Dan, lu harus bantuin gue!" "Tapi, 'kan masih banyak waktu, El." "Nggak ada! Mulai minggu depan kita udah sibuk ujian, Ne. Please, temenin gue, ya!?" Eliza memohon dengan tatapan memelas yang selalu jadi andalannya untuk membujuk Anne. "Lu 'kan tahu, gue nggak sejago lu dalam merayu orang! Cuma lu yang bisa gue andelin buat nemuin pria itu." Sembari menghembuskan napasnya berat, akhirnya Anne menganggukkan kepala. "Oke, gue temenin lu! Tapi sebagai gantinya, lu harus beliin gue--" "Gue akan beliin apapun yang lu minta. Gue janji!" Jari telunjuk dan jari tengah Eliza terangkat membentuk huruf 'V' sebagai bentuk kesungguhan ucapannya. "Jam 7 nanti gue jemput lu. Pokoknya lu harus udah siap!" "Oke." Dan malamnya, Eliza benar-benar menjemput Anne tepat waktu. Gadis yang jarang keluar rumah itu, tiba-tiba saja menjadi sangat antusias untuk datang ke pesta topeng yang diadakan oleh salah satu perusahaan otomotif, di hotel milik keluarga Eliza. "Lu yakin, Liz?" Anne kembali menegaskan keraguannya. Ia merasa Eliza yang sekarang duduk di belakang kemudi itu bukanlah Eliza yang ia kenal. Tak biasanya Eliz sangat ngotot untuk menemui pria itu, pria yang akan dinikahkan dengannya tahun depan. "Nggak pernah seyakin ini, Ne. Lu nggak lihat gue udah dandan semenor ini biar nggak kelihatan kaya bocil?" Tatapan Anne menyelidiki setiap jengkal wajah sahabatnya yang memang tampak berbeda malam ini. "Ya udah, pokoknya lu jangan sampai bikin gaduh ya di pesta itu. Sesuai rencana tadi siang, kita cuma datang buat nemuin cowo itu dan setelahnya kita pulang!" "Oke!" Nyatanya, rencana yang sudah tersusun rapi mendadak buyar ketika Anne bertemu DJ favoritnya di pesta itu. Anne yang memang gadis pesta, sontak lupa pada tujuannya datang ke sana. Ia meninggalkan Eliza yang kebingungan sendiri di antara ratusan tamu yang hadir dengan topeng beraneka ragam. "Minum, Miss?" "Oh!" Eliza menoleh dengan terkejut ketika seseorang telah berdiri di depannya sembari membawa nampan berisi beberapa gelas minuman berwarna-warni. Merasa haus, Eliz memilih salah satu gelas berisi cairan berwarna pink dan meneguknya dengan kalap. Eliza tak tahu, jika yang baru saja ia telan adalah minuman alkohol dengan kadar tinggi yang sontak membuatnya pening beberapa menit kemudian. "Kenapa semua orang jadi berputar-putar?" gumam Eliz bingung sembari bangkit dari kursinya. Dengan langkah sempoyongan, Eliz berusaha menuju toilet karena mendadak ia ingin muntah. "Di mana Anne?!" dengusnya kesal, ketika teringat pada temannya yang justru menghilang tanpa jejak diantara ratusan tamu. Tepat di sebuah lorong menuju toilet, Eliza merasakan kepalanya semakin berat dan tubuhnya seakan ringan. "Jangan pingsan di sini, Liz! Jangan!" Masih dengan langkahnya yang semakin terseok-seok, Eliza memberi sugesti pada dirinya sendiri. Eliz tak menyadari, seseorang juga sedang berjalan di belakangnya dengan tubuh panas membara. Ia baru saja meneguk minuman yang diberi oleh rekan kerjanya beberapa menit yang lalu. Melihat seorang perempuan bergaun backless berjalan dengan sangat lambat dan sedikit oleng di depannya, membuat pria itu mengawasinya dengan waspada. Punggung mulus wanita itu nampak sangat menggiurkan, tubuhnya yang sintal dan mungil juga mulai mengusik gelora nafsunya. Saat tiba-tiba tubuh Eliza berhenti dan ambruk, pria itu sontak mendekat dengan panik. "Nona, are you oke?" Pria itu mengangkat kepala Eliz dengan cemas. "Geri!! Geri, di mana kamu!" teriaknya seraya mengedarkan pandangan ke sekeliling. Namun, tak ada siapapun di lorong itu. Semua orang sedang menikmati musik yang menghentak riuh dan menggema. Entah mendapat dorongan dari mana, pria itu mengangkat tubuh Eliza dan membopongnya. Masih dengan topeng yang menutupi wajah keduanya, pria itu membawa Eliza keluar dari gedung pesta. Sesuatu di dalam tubuhnya semakin memanas ketika melihat belahan dada Eliz yang tersingkap kala pria itu menggendongnya. Tidak, jauh sebelumnya pun pria ini merasa tubuhnya tak baik-baik saja usai meneguk minuman sialan itu. Karena tak tahu harus membawa wanita ini ke mana, akhirnya ia menggotongnya ke dalam kamar yang sudah ia tempati sejak tadi sore. Ia membaringkan tubuh mungil Eliza di atas ranjang kingsize itu dengan napas tertahan. "Minuman brengsek!" maki pria itu sembari beringsut ke kamar mandi untuk membasahi badannya yang terasa panas terbakar. Namun, rupanya dinginnya air shower tak mampu melenyapkan sensasi aneh yang semakin menyiksa di sekujur tubuhnya. Merasa semakin pening dan ingin meledak, pria itu akhirnya keluar dari kamar mandi sambil terus menggerutu, tatapannya lantas tersita pada seseorang yang sedang duduk di atas ranjang. Untuk beberapa detik, pria itu terpana menatap wajah cantik yang kini sudah melepas topeng yang ia kenakan. "Lu ganteng banget." Eliz masih belum sadar dari pengaruh alkohol. Melihat seorang pria tiba-tiba muncul di depannya hanya dengan mengenakan bath robe dan rambut basah, respon otaknya seketika menganggap pria itu adalah idolanya. "Maaf, kamu bilang apa?" "Lu ganteng banget, sih! Boleh peluk dan minta tandatangan, nggak?" **************"Tandatangani kerjasama denganku kalau kau ingin adikmu baik-baik saja.""Siapa yang sudi bekerja sama dengan pecandu sepertimu! Yang ada bisnisku merugi!""Oh? Tidak mau? Kalau begitu biar adikmu saja yang bekerja sama denganku." Pria baya itu langsung mendorong jatuh Mona ke tanah.Kemudian dia mendudukinya dengan membelakangi Martin. "Kau begitu cantik. Aku ingin memeriksamu apakah tubuhmu mulus atau rusak.""Tidak! Jangan!" Mona memberontak. Namun kedua tangannya diikat di belakang membuat dia tidak berdaya. Akhirnya kancing seragamnya berhasil dibuka oleh pria baya itu."Tidak ada kecacatan di tubuhmu yang mulus," komentar Sellon setelah melihat tubuh bagian atas Mona yang hanya mengenakan bra.Mona merasa sangat malu. Lebih malu daripada di hadapan Martin. Oh sial. Perasaan macam apa ini!"Hentikan! Jauhkan tangan kotormu dari Mona!" teriak Martin. Giginya menggeram. Sementara diam-diam dia memotong tali di pergelangan tangannya menggunakan pisau lipat yang dia siapkan sejak tad
"Mona, kakakmu menjemputmu." Tom melihat dari jendela lantai dua di perpustakaan."Aku tidak mau pulang dulu. Tom, bisakah kamu membantuku? Please.""Membantu bagaimana? Kamu ingin kabur dari kakakmu? Tapi ini sudah malam loh. Apa tidak dicariin orang tua di rumah? Pikirkan lagi." Tom bingung.Mona menunduk murung. "Pulanglah duluan, Tom. Jika dia bertanya keberadaanku, katakan saja aku sudah pulang naik bus.""Aku tidak tahu ada permasalahan apa di antara kalian. Baiklah, aku pulang duluan." Tom tanpa rasa curiga pada Mona, pamit pergi dari sekolah. Saat itu waktu menunjukkan pukul sembilan malam. Kelas tambahan sudah bubar setengah jam lalu. Masih banyak anak murid di dalam sekolah walau tidak seramai saat siang hari. Rata-rata mereka menghabiskan waktu untuk belajar di kelas tambahan demi mendapat nilai memuaskan.Mona mengintip dari jendela. Memperhatikan Tom yang berjalan mendekat ke arah Martin menunggu di pos.Sesuai dengan dugaan, Martin menghentikan Tom. Mereka tampak berbic
Mona keluar dari sekolah saat langit sudah gelap. Malam pukul sembilan setelah selesai mengikuti kelas tambahan.Dijemput Martin yang sudah menunggu di depan sekolah. Mau tak mau Mona masuk ke dalam mobil dan membisu.Lambat laun gadis itu ketiduran saat dalam perjalanan pulang. Tidak mendengar suara yang diucapkan Martin yang sedang fokus mengemudi."Mona, apa kau sudah makan? Papah dan mama sedang ke luar kota hari ini. Di rumah tidak ada makanan, bagaimana kalau kita mampir." Lalu Martin menyadari kalau gadis itu sudah terlelap.Setibanya di rumah, Mona terbangun tanpa sempat dibangunkan. Dia membuka sabuk pengaman, dan tanpa mengatakan apapun pada Martin lantas masuk ke dalam rumah."Mona, jangan lupa mandi dan makan malam dulu!" Suara Martin di belakang, diabaikan Mona yang menaiki tangga.Dengan inisiatif tinggi, Martin menyiapkan makan malam sederhana di dapur. Kemudian dia membawanya ke kamar Mona.Ketukan pintu tidak dijawab oleh Mona di dalam sana, membuat Martin membuka pin
"Kak Martin! Mau kemana!" Mona panik ketika ditinggalkan pria itu."Tetap di sini, aku mau menyapa tamu lain." Martin pergi begitu saja. Ini menyebalkan bagi Mona. Seakan dirinya dicampakkan."Hai cantik. Kenapa ada anak sekolah di sini?" Seseorang menyapanya dengan senyum genit."Siapa kamu?" Mona mendelik tajam. Menjaga jarak."Aku salah satu tamu di sini. Di mana orang tuamu?"Mona kesal dengan orang yang sok akrab. Terlebih wajah pria baya itu melihatnya dengan tatapan mencurigakan.Lantas Mona pergi lewat pintu masuk tadi. Tiba-tiba tangannya dicekal pria baya itu dari belakang."Jangan dingin begitu dong, cantik. Katakan, di mana orang tuamu? Atau kamu datang sendirian?" Pria baya itu memaksa saat Mona berusaha melepaskan diri."Apa yang kau lakukan padanya?" Suara Martin akhirnya datang. Menyelamatkan Mona sesaat dari pria baya yang mesum itu."Aku hanya mengobrol dengannya. Apakah kalian pasangan?" tanya pria baya itu melihat Martin dan Mona bersama."Kami bersaudara," tegas
"Mona, karena nilaimu bagus, maukah kau mengikuti kompetisi olimpiade eksak?" Wali kelasnya bicara empat mata dengan Mona di ruang guru.Mona terkejut mendapat tawaran tersebut. "Bagaimana dengan pelajaran sehari-hariku kalau aku fokus belajar untuk olimpiade?" balas Mona membutuhkan kejelasan."Setiap peserta akan dapat kompensasi pelajaran. Nilaimu tidak akan dikurangi meski tidak hadir dalam kelas karena harus mengikuti kelas intensif nanti," jelas wali kelas itu."Aku bersedia," pungkas Mona tanpa keraguan.Sejak saat itu, jika murid lain sudah pulang sejak sore hari, Mona bersama peserta olimpiade lain masih berkutat di dalam sekolah. Mona jadi lebih sering pulang larut malam, sekitar jam sepuluh baru keluar dari sekolah.Untungnya hal tersebut diperbolehkan orang tuanya karena alasan yang dimaklumi. Padahal alasan Mona yang sebenarnya mengikuti kelas intensif ini hanya ingin menghindari Martin. Juga, dia tidak suka berada di rumah. Meskipun rumah yang ditempatinya mewah, namun k
MonamasihterkurungolehtubuhbesarMartin yang shirtless. Mona dan Martinsalingberhadapandengantatapanpenuhemosiyangtakterungkap.Suasanadisekitarmerekabegituhening,hanyaterdengarhembusanburungberkicauyangberasaldaritamanrumahyangdamai. Diamerasakandenyutanjantungnyaberdetaktidakkaruan,sepertimembenamkandirinyadalamsamudraemosiyangtakterduga."Apa yangkamurencanakan?"desisMonadengannadageram.Matanyamemancarkanapiyangmenggelora,menunjukkantekadnyauntuktidakterperangkapdalampermainanyangtak
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments