"Bangun sialan." Ervan menampar pipi Queenza dengan cukup keras. Tanpa rasa belas kasihan, ia kembali menjambak rambut Queenza dan menyeretnya ke luar dari kamar mandi itu. Ia lalu melemparkan tubuh Queenza ke atas ranjang.
"Pergi!" teriak Ervan pada wanita yang tadi sudah ia gagahi itu.Wanita itu pun dengan cepat pergi dari sana meninggalkan Ervan yang tengah mengamuk bak kesetanan.Ervan menatap tubuh Queenza yang tengah terkapar tak berdaya di atas kasur."Bangun!" Ervan menyiramkan air yang ada di gelas dekat nakas ke tubuh Queenza.Namun, Queenza tak juga bangun."Ck, menyusahkan saja!" umpatnya sambil memungut kembali pakaiannya yang berserakan di lantai. Ia pun lalu duduk di sofa yang ada di kamar itu sambi terus menatap Queenza dengan tatapan yang sangat tajam.Tak lama kemudian Queenza pun sadar.Ervan yang melihat ada pergerakam di atas kasur segera bangkit dari duduknya."Akhirnya bangun juga." Ervan dengan cepat menarik tangan Queenza dan menyeretnya turun dari ranjang.PLAAKK!Ervan lagi-lagi menampar pipi Queenza dengan keras."Kamu dari mana aja seharian gak ada di rumah?" tanya Ervan dengan murka.Queenza tak berani menjawab dan hanya menundukan kepalanya."Jawab!" teriak Ervan sambil memcengkran wajah Queenza."A-aku dari klinik Mas!" jawabnya dengan jujur.Ervan tersenyum miring. Ia menatap Queenza dengan tatapan meremehkan."Habis ngapain kamu di sana?""Pe-periksa kandungan Mas!" balas Queenza lagi dengan takut.BUKK!Ervan memukul perut Queenza sampai Queenza terhuyung ke belakang dan jatuh ke atas lantai."Sialan! Dasar jalang. Siapa yang mengizinkan kamu buat periksa kandungan! Sudah ku bilang untuk musnahkan anak itu. Kenapa kamu gak nurut? Oh ... atau jangan-jangan kamu berharap dengan adanya bayi yang ada di dalam perut sialanmu itu, aku akan luluh dan melunak padamu? Begitu?" ucap Ervan sarkas.Belum Queenza menjawab, Ervan sudah lebih dulu melanjutkan ucapannya."Jangan harap dan jangan pernah bermimpi. Karena sampai kapanpun, kamu gak akan pernah bisa menggantikan Alya di dalam hatiku. Hanya Alya yang ada di dalam hatiku. Tak akan ada yang mampu menggantikannya." Ervan tertawa sinis pada Queenza dan dengan cepat ia mendorong tubuh Queenza sampai ia terlentang.Ervan bersiap menginjak perut Queenza namun dengan cepat Queenza menghindar."Mas! Tolong ... aku mohon, jangan suruh aku untuk menggugurkan anak ini. Aku mohon sama kamu Mas." Queenza memeluk kaki Ervan.Ervan dengan kasar menendang Queenza yang berada di kakinya. Ia lalu berjongkok dan mencengkram wajah Queenza."Jadi kamu mau mempertahankan bayi ini," ucapnya dengan sinis.Queenza dengan cepat menganggukan kepalanya. Ia lalu tersenyum ke arah Ervan. Karena ia pikir Ervan akan mengabulkan permintaannya.Namun, senyuman Queenza luntur kala Ervan dengan brutal memukuli tubuh Queenza.Queenza dengan sekuat tenaga mencoba menahan rasa sakit itu dan ia terus melindungi perutnya dengan kedua tangannya. Karena sedari tadi Ervan terus menendang perutnya."Mas! Stop Mas. Aku mohon berhenti, tolong jangan sakiti anakku. Tolong!" pinta Queenza dengan lirih."Aku gak akan biarkan anak itu lahir dari rahimmu!" ujar Ervan sambil terus menendang perut Queenza."Mas, bunuh aku saja sekalian Mas! Jangan hanya membunuh anakku! Bunuh aku Mas. Bunuh!" teriaknya sambil terus mencoba melindungi perutnya.Ervan menghentikan siksaannya. Kemudian ia berjongkok di depan Queenza yang sudah tak berdaya."Kamu barusan minta apa? Minta aku bunuh? Kamu mau mati? Jangan harap aku akan membiarkanmu mati! Kamu tidak boleh mati tanpa seizinku! Ingat. Jantung yang ada di dalam tubuhmu itu adalah jantungnya Alya. Dan kamu gak bisa semudah itu mati. Karena jantung Alya harus tetap berdetak di tubuhmu yang menjijikan ini,"Queenza menatap tajam Ervan."Kamu hanya butuh jantung ini kan?" Queenza menunjuk ke arah dadanya, "silakan kamu ambil jantung ini dari tubuhku Mas! Ambil! Aku gak butuh jantung ini. Lebih baik aku mati daripada harus hidup dengan monster sepertimu!" teriak Queenza yang sudah tak tahan lagi dengan sikap Ervan yang kasar.PLAAKK!lagi dan lagi, Ervan menampar pipi Queenza hingga sudut bibir Queenza mengeluarkan darah."Kamu mau mati? Tapi aku tak akan membiarkanmu mati semudah itu! Kamu harus merasakan apa yang aku rasakan karena sudah kehilangan Alya,""Alya meninggal karena kecelakan! Bukan aku yang membunuhnya," teriak Queenza dengan air mata yang tumpah di pipinya."Kamu yang sudah membunuh Alyaku! Kalau saja dia tak pergi menemuimu. Sudah pasti Alyaku sekarang masih hidup dan kita akan hidup bahagia bersama!" ucap Ervan dengan senyum yang menyeramkan di wajahnya."Itu bukan salahku!""Diam!" teriak Ervan dengan mata yang memerah menatap Queenza."Kamu yang sudah membunuh Alyaku, jadi aku tak akan pernah membiarkanmu hidup bahagia dan kamu gak akan bisa mati dengan mudah tanpa seizinku. Dan ingat, jika kamu berani macam-macam, aku gak akan segan-segan menghabisi nyawa ibu dan adikmu." Ervan lantas berdiri dan pergi meninggalkan Queenza sendiri di dalam kamar itu.AAARRRGGGHHH!Teriak Queenza yang sudah tak kuat lagi menahan semua penderitaan ini. Ia hanya mampu berteriak dan menangis histeris di dalam kamar itu.Queenza bangun dari duduknya dan berjalan keluar dari kamar itu. Dengan langkah yang terseok-seok ia menyeret kakinya ke arah dapur.Tiba di dapur Queenza dengan cepat mencari sesuatu. Ia mengobrak abrik dapur itu, dan sepertinya ia tak menemukan barang yang ia cari. Ia pun kemudian menyeret langkah kakinya ke arah gudang. Ia tersenyum kala melihat apa yang ia cari ada di sana. Dengan cepat ia membawa barang yang ia butuhkan itu.Dengan langkah yang tertatih ia terus menyeret kakinya kembali ke arah kamar. Sampai di dalam kamar, Queenza melihat sekeliling kamar. Ia tersenyum kala ia melihat teralis jendela. Dengan cepat ia mengikatkan tali tambang plastik yang sudah ia bawa tadi dari gudang.Sambil berderai air mata. Queenza terus mengikatkan simpul tali itu dengan kuat."Maafkan aku bu, maafkan kakak, Syifa. Karena kakak sudah tak bisa lagi melindungimu dan ibu! Tolong jaga ibu, Syifa. Maafkan kakak. Maafkan Queen bu." Queenza menggengam erat tali yang sudah ia simpul. Dengan mata yang tertutup ia bersiap memasukan tali itu pada lehernya."Maafkan aku Tuhan! Tolong maafkan aku. Aku sudah tak kuat lagi dengan semua penderitaan ini!"Dimas yang baru saja sampai rumah. Heran dan mengernyitkan dahinya saat ia melihat Queenza yang berjalan dengan tertatih. Ia pun terus memperhatikan Queenza sampai matanya tanpa sengaja melihat tali yang sedang Queenza genggam."Kenapa dia jalannya kayak gitu? Ngapin juga dia bawa tambang itu? Buat apa?" gumam Dimas sambil terus memperhatikan Queenza, Dimas menggelengkan kepalanya dan tersenyum tipis saat ia memperhatikan Queenza yang sedang berjalan menaiki tangga. "Aneh-aneh aja tuh perempuan. Dia gak mungkin kan bikin jemuran di dalam kamarnya?" Sambungnya lagi saat melihat Queenza yang masuk ke dalam kamar.Dimas pun tak memedulikan Queenza lagi dan segera pergi ke dalam kamarnya. Namun, baru saja ia akan membuka bajunya. Terlintas satu pikiran yang membuat ia cemas dan tak tenang. "Gak ... gak mungkin lah. Gak mungkin kan dia mau gantung diri? Ah ... lo terlalu berlebihan," ucapnya pada dirinya sendiri. Ia pun melanjutkan kembali membuka kancing kemejanya. Namun, p
Dimas duduk sambil menatap intens Queenza yang masih memejamkan matanya. Ia tak sedikitpun mengalihkan pandangannya ke arah lain dan terus menatap Queenza yang tengah berbaring. Sudah lama Dimas berada di sana menemani Queenza."Apa benar hubungan kalian itu gak baik-baik aja? Kenapa suamimu belum juga menghubungiku? Padahal aku sudah kasih tau kondisi kamu lewat chat," gumam Dimas. Ia lalu beralih menatap apa yang tengah ia genggam saat ini dan kembali menatap Queenza lagi."Apa mungkin ...?" ucap Dimas sambil melihat lagi benda yang sedang ia pegang."Ugh!" Dimas segera membenarkan duduknya kala ia melihat ada pergerakan di ranjang. Ia pun dengan cepat menyimpan benda yang tengah ia pegang itu ke dalam sakunya. Dimas lalu menghampiri Queenza yang kini tengah mengerjap-ngerjapkan matanya."Kamu udah sadar?" tanya Dimas saat ia sudah mendekati ranjang Queenza.Queenza yang masih bingung hanya menyipitkan matanya dan perlahan ia menajamkan penglihatnanya."Mas Dimas?" ucap Queenza deng
Queenza menerima benda yang diberikan Dimas padanya. Queenza terkejut bukan main, tangannya bergetar dan jantungnya bedetak dengan cepat. Ia pun tak tau jika anak yang ia kandung itu anak dari Ervan suaminya atau dari Dimas. Matanya terbelalak saat melihat usia janin di dalam foto USG itu. Ia lalu menatap Dimas."Queen! Apa benar itu anakku?" tanya Dimas lagi sambil menatap Dalam Queenza."Bu-bukan ... ini bukan anak kamu Mas. Ini jelas-jelas anaknya mas Ervan. Lagian juga gak mungkin ini anak kamu. Kita itu melakukannya hanya sekali." Queenza memalingkan wajahnya ke arah lain. Ia tak ingin menatap Dimas yang seakan berharap mendengar menjawab iya dari mulut Queenza. Dia sendiri tak tau anak siapa yang tengah iya kandung. Tapi, ia akan menyakinkan dirinya jika itu anak Ervan bukan Dimas.Dimas menghela napas. Ia sebenarnya sangat yakin jika anak yang ada di dalam rahim Queenza itu anakknya. Tapi, jika Queenza menyangkalnya. Ia pun tak bisa berbuat apa-apa. Yang jelas mulai sekarang ia
Queenza hendak menjawab pertanyaan dari Dimas. Ia sudah berniat akan menceritakan semuanya pada Dimas dan berharap Dimas bisa membantunya lepas dari Ervan yang kejam. Namun saat yang bersamaan terdengar suara ketukan di pintu yang mengurungkan niat Queenza untuk bercerita.Queenza berniat bangun dari duduknya yang. Namun, Dimas menahannya. "Mau ke mana?" tanya Dimas."Itu ada yang ketuk pintu, gak mungkin kan kita terus duduk dengan posisi seperti ini." Queenza memberontak. Tapi Dimas malah melingkarkan tangannya di perut Queenza."Masuk," seru Dimas."Mas!" Queenza menoleh ke arah Dimas dan memukul lengan Dimas yang melingkar di perutnya.Namun Dimas tak bergeming. Dan malah menempelkan dagunya di bahu Queenza.Pintu pun terbuka dan menampilkan seorang lelaki tampan berpakaian rapi. Terlihat mimik wajahnya yang terkejut, namun, beberapa detik kemudaian wajah yang terkejut itu berubahtersenyum ke arah Dimas dan Queenza, lalu dia membungkukan tubuhnya sed
"Ma-maksud kamu apa Mas?" Queenza terkejut saat mendengar ucapan Dimas."Ya siapa tau aja kamu kesulitan buat mandi sendiri, kalau iya, aku bisa membantu," jawab Dimas.Queenza membelalakan matanya."Kamu jangan macam-macam ya Mas," ucap Queenza sambil menundukan kepalanya. Ia malu sendiri mendengar ucapan Dimas."Mau dibantu gak?" tanya Dimas lagi."Kamu apa-apaan sih Mas." Queenza membalikan tubuhnya dan bergegas ke kamar mandi.Queenza memegang dadanya yang berdebar. Ia tidak menyangka jika Dimas bisa berpikiran mesum seperti itu. Queenza tersenyum-senyum sendiri saat mengingat semua perlakuan Dimas terhadapnya.Sementara di luar kamar mandi. Dimas menatap heran pada Queenza yang sudah hilang dibalik pintu kamar mandi."Lha, emangnya kenapa. Aku kan cuma mau menawarinya bantuan. Siapa tau aja kan dia kesulitan buat mandi sendiri, aku bisa panggil suster buat bantu dia, dasar aneh. Wanita itu memang sulit buat dimengerti," gumam Dimas sambil ge
"Ini apa ya?" Queenza terus menatap sesuatu yang ada di bahunya. Ia pun mendekati cermin untuk melihat dengan jelas. Matanya terbelalak saat melihat bukan hanya satu tanda merah di bahunya tapi ada lebih dari satu."Apa ini ulah mas Dimas. Dasar cowok mesum. Gimana kalau sampai ketahuan sama mas Ervan. Wah bisa mati di gantung aku," gumam Queenza. Ia pun memutuskan untuk melanjutkan kembali mandinya. Ia akan memberikan perhitungan pada Dimas nanti.Sore harinya.Queenza tersenyum saat melihat jam di dinding. Dia yakin jika Dimas sebentar lagi akan datang ke sini. Karena tadi Dimas sudah berjanji akan datang jam empat sore. Ia pun dengan cepat melancarkan aksinya.**Dimas yang sudah selesai dengan pekerjaannya tak langsung pulang, ia meminta kepada Alvin untuk mengantarnya ke rumah sakit karena ia tadi sudah berjanjinpada Queenza akan menemuinya di sore hari.Di tengah perjalanan Dimas mengingat sesuatu dan langsung saja menanyakannya pada Alvin."Oh iya
Tiga hari kemudian.Queenza sudah diperbolehkan pilang dan kini Queenza sudah ada di dalam mobil untuk kembalinke rumah. "Kamu kenapa?" tanya Dimas saat melihat Queenza yang duduk dengan gelisah."Aku takut Mas," sahut Queenza sambil meremas kedua tangannya.Queenza kini mengganti panggilannya menjadi aku kamu saat bersama Dimas, karena semenjak kejadian tiga hari yang lalu, Queenza dan Dimas kini semakin dekat."Takut kenapa, hmm?" tanya Dimas sambil menggeser duduknya agar lebih dekat dengan Queenza."Aku takut kalau mas Ervan marah. Aku udah tiga hari lebih gak ada di rumah," jawab Queenza.Dimas segera membawa tangan Queenza dan mengecupnya. "Kamu tenang aja, suami kamu itu gak ada di rumah.""Maksud kamu apa Mas?" tanya Queenza yang tidak mengerti dengan apa yang diucapkan Dimas."Suami kamu itu sudah beberapa hari ini gak pulang ke rumah." Dimas lalu membawa Queenza ke dalam kepannya. Ia ingin menenangkan Queenza yang ketakutan.Queenza
Queenza yang panik dengan cepat mendorong tubuh Dimas dengan cukup kuat.Dimas yang terkejut menatap Queenza. "Kenapa? Sakit?" tanya Dimas.Queenza menggelengkan kepalanya."I-itu ada mas Ervan, dia udah pulang Mas." Queenza dengan cepat beranjak dari atas kasur dan memungut semua bajunya yang berserakan di lantai. Ia dengan cepat memakai kembali pakaiannya dengan terburu-buru. Lalu ia merapikan rambutnya yang berantakan.Queenza pergi dari kamar Dimas setelah ia memeriksa keadaan di luar yang sepi dan tak tampak sang suami. Ia pun dengan cepat berjalan ke arah taman belakang.Dimas yang ditinggal sendiri oleh Queenza hanya diam tertegun. Ia tidak menyangka akan ditinggalkan dalam keadaan yang tanggung seperti ini. Ia pun merutuki adik tirinya itu dalam hati."Ck, terpaksa harus bermain solo," ucapnya sambil melenggang ke arah kamar mandi. Queenza menghela napas lega saat sang suami tak terlihat di area taman belakang. Ia dengan cepat mengambil