Главная / Romansa / Dosa dalam Cinta / Bab 21 Melawan Takdir di Arus Sungai dan Bayangan Hutan

Share

Bab 21 Melawan Takdir di Arus Sungai dan Bayangan Hutan

Aвтор: A. Rani
last update Последнее обновление: 2025-05-31 22:59:29

Citra, dengan luka di tubuh dan jiwa, memutuskan untuk melawan. Dalam malam yang kelam, ia kabur dari perkebunan, menghadapi pengawasan ketat dan anjing-anjing penjaga yang siap mencabik. Kejaran para pengejar membawanya ke Sungai Ciliwung, di mana ia melompat ke dalam arus deras, bertaruh nyawa untuk kebebasan. Tubuhnya hanyut terbawa arus, sementara obor-obor dan teriakan pengejar menghilang di kejauhan. Namun, di balik gelapnya malam dan heningnya hutan, bahaya belum usai. Di antara akar-akar pohon dan bayangan hutan, mata-mata mengintai, siap menyerangnya kembali. Di Batavia, Satrio, dengan pedang di tangan, bersiap untuk membongkar semua kebusukan, memulai perjalanan pencarian yang penuh bahaya demi menyelamatkan Citra.

Sebuah suara tiba-tiba terdengar dari kejauhan, suara langkah kaki yang berat dan berirama. Citra langsung berjongkok di balik semak-semak, menahan napasnya. Dari antara celah dedaunan, ia bisa melihat dua lelaki berjalan sambil membawa obor kecil, cahaya api mere
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Заблокированная глава

Latest chapter

  • Dosa dalam Cinta    Bab 47 Kunjungan ke Makam

    Kabut tipis bergelayut di antara pepohonan tua, menyelimuti bumi dengan kelembutan yang menipu, seolah dunia sedang menahan napas untuk mendengarkan sesuatu yang tak terucapkan. Langkah Satrio menyusuri tanah basah yang dipenuhi dedaunan layu, gemerisik di bawah tapak kakinya seperti bisikan dari masa lalu yang menolak diam. Langit di atasnya kelabu, redup, menggantung rendah dengan awan gelap yang bergerak lambat, sementara embusan angin membawa aroma tanah basah bercampur wangi samar melati yang entah dari mana asalnya.Di hadapannya, dua makam berdampingan berdiri diam. Batu nisan itu sederhana, kasar, dengan ukiran nama yang mulai pudar digerus waktu: Citra dan Sekar. Tanah di sekitarnya basah oleh embun, rumput liar tumbuh tak teratur, dan di atas nisan, bunga-bunga kering tertinggal, seperti kenangan yang rapuh, terbangun lalu kembali runtuh. Satrio berdiri kaku di depan mereka, tangannya

  • Dosa dalam Cinta    Bab 46: Catatan Terakhir Sekar

    Hujan sudah lama berhenti, tapi dunia di sekitar Satrio tetap basah, seolah bumi menyimpan air matanya sendiri, enggan kering, enggan lupa. Pagi yang menyingsing datang tanpa warna, tanpa burung-burung berkicau, hanya udara yang dingin menusuk, kabut tipis menggantung rendah, dan aroma tanah basah yang bercampur dengan wangi kayu tua, seperti bau kamar yang lama terkunci. Di dalam rumah kecil itu, Satrio duduk bersila di lantai, punggungnya membungkuk, tangannya gemetar memegang sebuah kotak kayu kecil yang lapuk, ditemukan di sudut ruangan di balik tumpukan kain tua dan barang-barang peninggalan yang sudah terlupakan.Kotak itu berat, bukan karena isinya, tapi karena beban yang tersembunyi di dalamnya—rahasia yang tak terucapkan, bisikan-bisikan yang selama ini hanya menjadi bayangan di sudut pikirannya. Ketika dibuka, aroma debu lama menyeruak, bercampur dengan sesuatu yang lebih samar&m

  • Dosa dalam Cinta    Bab 45: Anak dalam Pengawasan

    Hujan turun deras, mengguyur atap rumah kecil Satrio dengan bunyi gemuruh yang menggetarkan, seakan langit sedang mengguncangkan bumi dengan murka yang tertahan terlalu lama. Setiap tetes air memukul atap seperti genderang perang yang dipukul tanpa jeda, memecah malam menjadi serpihan-serpihan gelap yang bergetar di udara. Angin meraung, menyusup di sela-sela dinding bambu, menciptakan suara desis yang mencekam, seperti bisikan lidah-lidah halus yang mengintai dari bayang-bayang.Di dalam rumah, Satrio duduk di tepi ranjang, punggungnya tegang, napasnya pendek-pendek, mata merahnya terpaku pada ranjang kosong di sudut ruangan. Tubuh anak kecil itu tidak ada di sana—tidak ada jejak kaki kecil, tidak ada napas lemah, tidak ada suara rintihan malam yang biasanya terdengar lirih dari balik selimut tipis. Ranjang itu kosong, hanya menyisakan bekas lipatan kain yang basah oleh embun dingin, seol

  • Dosa dalam Cinta    Bab 44 Bayangan Masa Lalu

    Malam menjerat desa dengan cengkeraman sunyi yang pekat, seolah waktu berhenti di bawah selimut kegelapan yang berat dan lembab. Angin bertiup rendah, membawa aroma tanah basah yang bercampur dengan jejak kematian dan arang yang seolah belum tuntas terbakar. Di bawah langit yang kelabu tanpa bintang, rumah kecil Satrio berdiri bagai perahu rapuh di tengah lautan gelap, setiap sudutnya diterpa bayangan-bayangan yang bergerak seperti bisikan.Satrio terbaring di ranjang bambu tua yang berderit pelan, matanya terbuka, menatap atap anyaman daun kelapa yang remang. Keringat dingin membasahi tubuhnya meskipun udara dingin menggigit kulit, dan napasnya memburu seperti seseorang yang baru saja muncul dari air dalam setelah hampir tenggelam. Ia menutup mata sejenak, berharap gelap akan membawa ketenangan, tapi yang datang justru ledakan gambar-gambar yang menghantam pikirannya dengan kekuatan yang meremu

  • Dosa dalam Cinta    Bab 43 Kehidupan Baru di Desa

    Pagi itu datang dengan tenang, namun bukan ketenangan yang menyejukkan, melainkan ketenangan yang terasa seperti permukaan danau sebelum badai. Langit di atas desa memancarkan rona kelabu, awan menggantung berat, dan embun masih menempel di pucuk-pucuk daun beringin tua yang berdiri kaku di tepi jalan setapak. Di udara, aroma tanah basah bercampur dengan wangi samar bunga liar, seolah alam mencoba menghapus jejak-jejak luka semalam. Namun, bagi Satrio, udara itu tetap membawa bayangan kelam—bayangan yang tidak akan pergi begitu saja, meski ia telah memilih jalan baru.Satrio berdiri di depan sebuah bangunan kecil yang dulunya bekas lumbung, kini direnovasi menjadi ruang belajar sederhana. Papan tulis lusuh tergantung di dinding, kursi-kursi kayu kasar tersusun rapi, dan di sudut ruangan, tumpukan buku-buku tua yang diwariskan dari rumah-rumah penduduk menjadi saksi bisu tentang usaha berta

  • Dosa dalam Cinta    Bab 42: Jalan Pulang

    Langit di atas Batavia menyapu kelabu yang berat, mendung menggantung rendah seperti tangan raksasa yang siap merenggut setiap jiwa yang tersesat di bawahnya. Hujan mengguyur dengan kekuatan yang tampak seperti murka alam, membasahi jalan-jalan tanah yang sudah berubah menjadi lumpur pekat. Di antara gemuruh hujan itu, langkah Satrio terdengar berat, menjejak bumi dengan kesadaran baru—setiap derapnya bukan hanya sekadar langkah, tetapi beban sejarah, luka, dan pilihan yang belum juga tuntas. Setiap tetes hujan yang membasahi wajahnya seakan membawa bisikan masa lalu, suara-suara yang masih membayang dalam pikirannya: panggilan lirih Citra yang terhenti di antara bara api, tangis Sekar yang menggema di lorong-lorong malam, dan suara anak kecil itu—”Ayah... jangan biarkan aku hilang...”—yang mengiris lebih dalam dari semua luka fisik yang pernah ia rasakan. Satrio berdiri di tep

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status