Home / Romansa / Dosa dalam Cinta / Bab 27 – Pertemuan di Rumah Tua

Share

Bab 27 – Pertemuan di Rumah Tua

Author: A. Rani
last update Last Updated: 2025-07-19 09:00:27

Rumah tua itu berdiri di ujung gang sempit Batavia, dinding-dinding kayunya retak dimakan waktu, jendela-jendela kaca pecah menciptakan bayangan tajam di lantai yang berdebu. Aroma kayu lapuk bercampur bau tanah basah menyeruak di udara, dan di sudut-sudut ruangan, cahaya lentera yang redup menciptakan bayang-bayang panjang, seolah roh-roh masa lalu mengintai di balik gelapnya sudut-sudut rumah itu. Di tengah ruangan, sebuah meja bulat tua dipenuhi peta yang lecek, catatan-catatan lusuh, dan gelas-gelas yang tak disentuh. Di sanalah Satrio duduk, tubuhnya lelah, matanya merah karena amarah yang ditekan, dan wajahnya tertutup keringat dan debu. Di seberangnya, Sekar berdiri dengan kedua tangan mengepal, dagunya terangkat, namun matanya berkilat, penuh luka yang belum sembuh.

Di sekeliling mereka, beberapa tokoh kunci hadir: Parjo dengan napas memburu, wajahnya penuh curiga; Rahman yang matanya te

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Latest chapter

  • Dosa dalam Cinta    Bab 29 – Rahasia di Balik Retakan

    Langit Batavia malam itu bukan sekadar langit—ia menjelma menjadi kanvas merah gelap, penuh gurat api yang meliuk dan memecah udara. Cahaya merah menyembur dari retakan-retakan di tanah seperti akar-akar neraka yang mengoyak bumi, menjalar cepat ke segala arah. Angin panas membawa bau logam terbakar, mencampur aroma darah dan arang, memekakkan telinga dengan bisikan yang bukan hanya suara, tapi juga rasa: rasa getir, rasa kehilangan, rasa keterikatan yang tak bisa dihindari. Di tengah pemandangan itu, Satrio berdiri terhuyung, tubuhnya basah oleh keringat dan darah, napasnya terputus-putus. Matanya nanar, menatap celah di tanah yang menganga, seolah lubang itu bukan sekadar jurang, tapi cermin gelap yang menatap balik ke dalam jiwanya.“Ini... bukan hanya pertempuran,” gumam Satrio, suara seraknya nyaris tenggelam oleh deru api dan dentuman

  • Dosa dalam Cinta    Bab 28 – Jembatan yang Terbakar

    Asap tebal mengepul di langit Batavia, membentuk kabut hitam yang menggantung berat, seperti kutukan yang turun dari langit. Di bawahnya, jembatan utama yang menghubungkan pusat kota dengan pelabuhan terbakar hebat, kobaran api melahap kayu tua yang sudah rapuh, menciptakan suara letupan yang menggetarkan tanah. Bau kayu hangus dan besi terbakar memenuhi udara, menusuk hidung dengan tajam, dan di antara api yang berkobar, siluet-siluet tubuh tergeletak, terinjak-injak dalam kekacauan yang menggila.Satrio terhuyung di tepi jembatan, darah mengalir dari luka di pelipis dan pundaknya, napasnya berat, matanya kabur oleh asap dan rasa sakit yang mendesak tulang. Dunia di sekitarnya berputar, terdistorsi oleh jeritan, dentuman senjata, dan suara runtuhnya bangunan. Di balik tirai asap, samar, ia melihat Sekar berdiri di kejauhan, di atas reruntuhan, gaunnya compang-camping, wajahnya penuh luka dan de

  • Dosa dalam Cinta    Bab 27 – Pertemuan di Rumah Tua

    Rumah tua itu berdiri di ujung gang sempit Batavia, dinding-dinding kayunya retak dimakan waktu, jendela-jendela kaca pecah menciptakan bayangan tajam di lantai yang berdebu. Aroma kayu lapuk bercampur bau tanah basah menyeruak di udara, dan di sudut-sudut ruangan, cahaya lentera yang redup menciptakan bayang-bayang panjang, seolah roh-roh masa lalu mengintai di balik gelapnya sudut-sudut rumah itu. Di tengah ruangan, sebuah meja bulat tua dipenuhi peta yang lecek, catatan-catatan lusuh, dan gelas-gelas yang tak disentuh. Di sanalah Satrio duduk, tubuhnya lelah, matanya merah karena amarah yang ditekan, dan wajahnya tertutup keringat dan debu. Di seberangnya, Sekar berdiri dengan kedua tangan mengepal, dagunya terangkat, namun matanya berkilat, penuh luka yang belum sembuh.Di sekeliling mereka, beberapa tokoh kunci hadir: Parjo dengan napas memburu, wajahnya penuh curiga; Rahman yang matanya te

  • Dosa dalam Cinta    Bab 26 – Tembok yang Retak

    Langit Batavia malam itu bukan hanya gelap—ia menganga, retak seperti kaca yang dipukul dari dalam, menyemburkan cahaya merah yang membakar, mencengkeram kota dengan cengkeraman yang dingin dan mematikan. Angin membawa bau darah, asap mesiu, dan bara hangus yang menyesakkan dada. Di bawah langit yang koyak, benteng kolonial yang selama ini menjadi simbol kekuasaan kokoh, mulai runtuh, batu-batunya terlepas satu per satu, dihantam ledakan dan desakan para pemberontak yang bertempur mati-matian. Jerit kematian bercampur dengan teriakan kemenangan, membentuk simfoni kekacauan yang menggema di seluruh kota.Sekar berdiri di atas puing gerbang yang rubuh, tubuhnya gemetar, napasnya tersengal, darah mengalir dari luka di pelipisnya, bercampur dengan keringat dan debu. Mata hitamnya menyala dengan bara dendam, tapi di kedalamannya ada retakan—retakan yang mulai terbentuk sejak suara Citra b

  • Dosa dalam Cinta    Bab 25 – Malam Penyerangan

    Malam turun dengan gemuruh yang mengerikan, mengguncang kota Batavia hingga ke tulang-tulangnya. Api melahap atap-atap rumah, menghitamkan langit dengan asap tebal, sementara teriakan bercampur dentingan senjata menciptakan orkestra kekacauan yang menusuk jiwa. Di jalanan yang dulu dipenuhi tawa dan kesibukan para pedagang, kini hanya ada darah, tubuh-tubuh yang terkapar, dan tangisan yang hilang dalam debu. Satrio berlari di antara reruntuhan, napasnya memburu, matanya liar mencari sosok kecil itu—anak yang menjadi pusaran di tengah badai ini, anak yang memegang liontin perak, anak yang kini menghilang di antara kobaran neraka.Keringat bercampur darah menetes di wajahnya, dan setiap langkah terasa seperti berjalan di atas bara. Hati Satrio mencengkeram—rasa bersalah menghantam dadanya keras, setiap jeritan menjadi bisikan Citra di t

  • Dosa dalam Cinta    Bab 24 Sekar yang Meragu

    Di dalam ruangan yang remang, di sudut gudang tua yang kini menjadi markas para pemberontak, Sekar duduk di kursi kayu usang, tatapannya kosong menembus bayangan yang bergoyang di dinding akibat cahaya lentera yang berkedip lemah. Rambutnya basah oleh keringat, menempel di kening, dan napasnya pendek-pendek, seolah ada batu besar yang menindih dadanya. Di luar, suara gemuruh langkah kaki dan desingan besi bertabrakan terdengar, namun di dalam pikirannya, hanya ada bisikan-bisikan yang lebih keras dari teriakan perang: suara Citra, suara Satrio, suara masa lalu yang terus menghantui.“Apa kau yakin, Sekar? Ini jalan yang kau pilih?” Bisikan itu samar, nyaris seperti hembusan angin, namun terasa nyata, menghujam di antara denyut jantung yang berpacu. Sekar menggenggam kursi dengan kuat, buku-buku jarinya memutih, namun matanya memanas oleh air mata yang ia tahan denga

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status