Hujan yang turun di atas Batavia malam itu seperti cambuk yang memukul-mukul tanah tua yang penuh luka, menciptakan irama kelam yang seolah menjadi nyanyian peringatan bagi mereka yang berani mengungkit rahasia lama. Angin menggiring kabut dingin ke lorong-lorong sempit, membelai dinding-dinding rumah tua yang retak, menciptakan bisikan-bisikan samar yang menyeruak di antara derit kayu tua dan denting air yang jatuh dari genteng rusak. Di dalam rumah Kusumo Adiningrat yang sunyi, di balik bayangan-bayangan yang menari liar di temaram cahaya lilin, Satrio berdiri, tubuhnya basah kuyup, bajunya lengket di kulit, napasnya berat dan sesak seperti dunia menekan di dadanya.
Tangannya gemetar saat membuka laci rahasia yang terpatri di meja kerja tua milik ayahnya—meja itu sudah ada sejak ia kecil, penuh goresan, penuh aroma kayu jati tua yang kini tercium seperti kesaksian waktu. Laci itu seret, seolah menolak terbuka,
Bibir Sekar bergerak, suaranya keluar—serak, berat, dalam, seperti bisikan yang merayap dari dasar liang kubur.“Kau... Satrio... adalah kunci. Dan aku... akan menjadi pintunya.”Kata-katanya seperti mantra yang membekukan udara. Satrio tertegun, tubuhnya gemetar, matanya terbuka lebar, dan sebelum dia sempat berkata apa-apa, raungan dahsyat mengguncang ruangan, seolah bumi itu sendiri menjerit. Retakan di lantai menganga lebih lebar, menciptakan pusaran hitam yang menyerap cahaya, suara, dan kehidupan. Cakar-cakar gelap muncul dari dalamnya, panjang, kurus, kuku-kukunya melengkung tajam, bergerak seperti tangan-tangan yang lapar, mencari, meraih, dan mencengkeram.Salah satu cakar itu melesat, mencengkeram tubuh Sekar dengan kekuatan yang brutal, menariknya ke dalam pusaran hitam. Sekar menjerit, suaranya tinggi, melengking, b
Hujan turun tipis, menyusup di antara celah-celah jendela biara yang sudah tua, menciptakan suara seperti desahan yang menggema di aula batu yang dingin. Cahaya lilin bergetar, melemparkan bayangan panjang di dinding-dinding yang dihiasi lukisan-lukisan kudus, namun malam itu, keheningan biara terasa lebih seperti kuburan yang hidup, menelan setiap langkah kaki menjadi bisikan yang tak terdengar.Satrio berdiri di ambang pintu, tubuhnya basah kuyup, rambutnya menempel di wajah, matanya merah oleh amarah yang ia telan sendiri dan rindu yang menggantung seperti duri di tenggorokannya. Jemarinya mengepal, gemetar, seakan mencoba menahan sesuatu yang mendesak keluar dari dada. Di balik pintu, di bawah cahaya lilin yang temaram, Citra duduk di bangku kayu panjang, tubuhnya berselimut kain tebal, wajahnya pucat, matanya kosong menatap jendela yang dipenuhi embun.Ada sesuatu yang hilang
Suaranya keluar, rendah, berat, dalam, seperti retakan bumi yang mengoyak dasar dunia. Kata-kata itu meluncur perlahan, menghantam dada Satrio dengan kekuatan yang tak terucapkan.“Sudah waktunya... kau tahu siapa aku.”Satrio merasakan darahnya berhenti mengalir. Napasnya tersendat, tubuhnya gemetar, dan matanya membelalak, menatap lekat sosok itu. Dalam sekejap, dia melihat—bukan sekadar melihat, tetapi menyadari—kebenaran yang selama ini terpendam, yang terkubur dalam garis-garis darah yang mengalir di nadinya. Sosok itu bukan orang asing. Sosok itu… adalah dirinya sendiri. Lebih tua. Lebih kelam. Wajah yang dihancurkan oleh luka dan kehancuran, mata yang pernah memiliki harapan namun kini hanya menjadi bejana kehampaan.Tubuh Satrio limbung, langkah mundurnya terhenti oleh dinding di belakang. Liontin di dadany
Hujan yang turun di atas Batavia malam itu seperti cambuk yang memukul-mukul tanah tua yang penuh luka, menciptakan irama kelam yang seolah menjadi nyanyian peringatan bagi mereka yang berani mengungkit rahasia lama. Angin menggiring kabut dingin ke lorong-lorong sempit, membelai dinding-dinding rumah tua yang retak, menciptakan bisikan-bisikan samar yang menyeruak di antara derit kayu tua dan denting air yang jatuh dari genteng rusak. Di dalam rumah Kusumo Adiningrat yang sunyi, di balik bayangan-bayangan yang menari liar di temaram cahaya lilin, Satrio berdiri, tubuhnya basah kuyup, bajunya lengket di kulit, napasnya berat dan sesak seperti dunia menekan di dadanya.Tangannya gemetar saat membuka laci rahasia yang terpatri di meja kerja tua milik ayahnya—meja itu sudah ada sejak ia kecil, penuh goresan, penuh aroma kayu jati tua yang kini tercium seperti kesaksian waktu. Laci itu seret, seolah menolak terbuka,
Hujan mengguyur Batavia dengan irama yang lebih mirip ratapan dunia, menciptakan genangan air yang bercampur lumpur, darah, dan serpihan masa lalu yang tercerai-berai. Langit di atasnya seperti kertas hitam yang diremas, retak-retak oleh kilatan petir yang menyambar liar, menerangi sekelebat bayangan di antara kabut dan bara yang masih membara di sudut kota yang terbakar. Bau hangus bercampur dengan aroma tanah basah dan logam dingin, mengiris paru-paru Satrio yang terengah, tercekik oleh beban yang tak kasatmata.Di bawah kakinya, tanah yang basah dan retak bergetar, memancarkan kilau samar yang bukan berasal dari api, bukan dari pantulan petir, melainkan dari sesuatu yang lebih tua, lebih dalam, seolah dunia sedang menarik napas terakhir sebelum menyerah pada kehancuran. Cahaya biru pucat itu muncul perlahan dari celah tanah yang menganga, membentuk pola yang tak asing: lingkaran-lingkaran saling bertaut, garis-gari
Langit Batavia malam itu seperti kaca retak, menyisakan celah-celah gelap yang meneteskan hujan deras ke bumi yang sudah lama menjerit dalam diam. Kilatan petir sesekali menyambar, membelah kabut yang menggantung seperti kabus dingin, menyorotkan bayangan-bayangan bengkok dari reruntuhan pasar, bangunan yang hangus, dan bendera hitam yang masih berkibar lemah di atas menara yang nyaris runtuh. Api kecil masih menyala di sudut-sudut kota, menghanguskan sisa-sisa kayu, kain, dan impian yang hancur. Suara-suara tangisan dan jeritan mereda menjadi bisikan-bisikan samar, seperti suara roh yang terjebak di antara dunia hidup dan mati.Di tengah puing-puing yang basah oleh hujan, Satrio berjongkok, tangannya gemetar saat meraba di antara potongan kayu yang patah dan batu yang hangus. Jari-jarinya kotor oleh lumpur dan jelaga, tapi matanya kosong, seolah terhisap oleh kekosongan di dadanya. Napasnya berat, terdengar seperti d