Malam menebarkan kesepian yang pekat di sekeliling pondok kecil itu. Angin menerobos celah dinding, menggoyangkan lampu minyak yang sudah tua, membuat nyalanya bergoyang-goyang liar, menciptakan bayangan yang menari liar di dinding kayu yang lapuk. Di luar, angin menderu, membawa suara-suara aneh yang terdengar seperti bisikan, atau mungkin hanya gemuruh alam yang bermain-main dengan imajinasi Satrio. Namun di dalam ruang sempit itu, dunia seolah menyusut, menyempit hingga hanya tersisa dia, kertas surat yang terbentang di meja reyot, dan kecamuk pikirannya yang makin menggila.
Satrio duduk terpaku, tubuhnya kaku, matanya merah lelah menelusuri setiap huruf yang tercetak samar di atas kertas yang sudah kusut. Tangan kirinya mengepal, sementara tangan kanannya memegang pensil tumpul dengan cengkeraman yang terlalu erat, hingga ujung-ujung jarinya memutih. Napasnya terputus-putus, seperti tercekik oleh sesuatu yang tak
Di dalam gudang tua itu, di antara bayangan obor yang bergetar di dinding-dinding kayu lapuk, waktu seolah melambat. Hujan rintik yang jatuh di atap seng menciptakan irama monoton yang menusuk telinga, seperti ketukan jam yang terus mengingatkan mereka pada bahaya yang kian mendekat. Satrio duduk diam, napasnya berat, matanya menyapu wajah-wajah di sekelilingnya: lelaki tua dengan tangan gemetar, perempuan yang menggenggam kerudungnya erat-erat, pemuda dengan luka di pipi yang sudah mulai mengering. Mereka semua adalah wajah-wajah yang telah kehilangan, namun masih bertahan, tersisa di antara reruntuhan kehidupan yang direnggut tanpa ampun.Di sudut ruangan, Rahman duduk dengan punggung membungkuk, sorot matanya gelap, namun ada sesuatu yang mulai tumbuh di sana—kemarahan yang perlahan berubah menjadi tekad. Ia menatap Satrio dengan rahang mengeras, seperti menahan sesuatu yang sudah lama mengendap di dalam dad
Di bawah lentera yang berkelip lemah, bayangan di dinding tampak seperti siluet hantu yang menari, bergerak seirama dengan napas gelisah para lelaki dan perempuan yang duduk mengelilingi meja kayu tua itu. Udara di ruangan itu begitu tebal, seakan dipenuhi jelaga kemarahan yang belum sempat terucapkan. Di luar, hujan mengguyur Batavia, menciptakan simfoni samar di atap seng dan lantai tanah yang bergetar, namun di dalam ruangan, setiap suara hujan seakan terkubur oleh ketegangan yang menggumpal.Sekar berdiri di depan peta, tubuhnya membeku bagai patung, namun matanya menyala dengan cahaya yang membuat udara di sekitarnya terasa lebih dingin. Tangannya mengepal di atas meja, jarinya menekan kuat hingga buku-buku jarinya memutih, sementara sorot matanya mengunci setiap wajah yang menatapnya. Ada api di matanya—api yang tak sekadar marah, tapi api yang lahir dari kehilangan, dari pengkhianatan, dari luka yang tak
Hujan turun semakin deras, meneteskan air yang bercampur abu, membasahi reruntuhan pasar malam yang hancur menjadi puing-puing. Api mulai padam, namun asap tebal masih bergulung di udara, membawa aroma hangus yang menusuk, membekap dada Satrio seperti tangan dingin yang menekan keras. Dunia seolah bergeming dalam jeda yang penuh luka, di mana waktu berhenti sejenak, dan hanya denting hujan yang menimpa genting-genting patah menjadi lagu pengantar untuk duka yang tak terucap.Satrio menatap anak itu dengan dada yang mencengkeram, tubuhnya setengah basah kuyup, matanya merah, napasnya pendek-pendek seperti habis tercekik. Bocah kecil itu masih berjongkok, rambutnya menempel di wajah, kulitnya pucat, matanya—Tuhan, mata itu—terlalu dalam, terlalu tua, seolah menyimpan ribuan musim yang tak mungkin ditanggung oleh tubuh sekecil itu. Ada luka sobek di pipinya, darah mengering membentuk garis di wajah kecil yan
Langkah-langkah Satrio terdengar berat, setiap pijakan menghantam batuan jalan seperti pukulan palu ke peti mati. Dunia di sekitarnya berubah menjadi palet warna kelam—hitam dari asap, merah dari darah, dan abu-abu dari debu yang melayang di udara seperti abu kremasi kota yang terbakar. Di kejauhan, teriakan-teriakan samar masih terdengar, namun suara itu terasa jauh, teredam seperti gema dari mimpi buruk yang terlalu nyata untuk diabaikan. Hujan gerimis mulai turun, membuat tanah yang menghitam menjadi lumpur lengket yang mencengkeram sepatu Satrio seolah dunia pun menolak melepaskannya dari kubangan dosa ini.Di sepanjang jalan, mayat-mayat terbujur kaku, wajah mereka beku dalam ekspresi terakhir: ketakutan, kemarahan, atau keterkejutan yang membatu. Mata-mata kosong itu memandang langit, seakan menuntut jawaban yang tak kunjung datang. Satrio berjalan melewati mereka dengan dada sesak, napasnya berat, seolah
Udara di pasar malam itu penuh dengan aroma hangus—kain terbakar, kayu hangus, dan bau tajam besi yang terpanggang panas. Asap menggulung tebal, menyelimuti langit malam hingga bulan yang pucat pun lenyap, tenggelam dalam kabut kematian. Jeritan manusia bercampur dengan desisan api, teriakan memanggil nama-nama yang tak kunjung dijawab, dan dentuman besi bertemu besi, menciptakan simfoni neraka yang menggetarkan tulang. Satrio berdiri di tengah pusaran kekacauan itu, matanya memicing, dadanya naik turun seperti drum yang dipukul tanpa irama, tubuhnya bergetar oleh amarah yang mendidih bercampur ketakutan yang tak mampu ia remas.Anak kecil di pelukannya terisak, tubuhnya menggigil ketakutan, tangannya kecil mencengkeram baju Satrio dengan kekuatan putus asa yang hanya dimiliki oleh anak-anak yang tak paham mengapa dunia mendadak berubah menjadi mimpi buruk. Satrio mengusap kepala anak itu dengan tangan yang gem
Malam terasa semakin pekat, seolah kegelapan menebal dengan niat untuk menelannya bulat-bulat. Di luar pondok, angin menderu membawa aroma tanah basah dan anyir laut, melintasi celah-celah dinding kayu reyot, menciptakan suara desis yang mirip desahan makhluk yang menunggu di balik gelap. Cahaya lampu minyak di meja bergoyang perlahan, cahayanya melemparkan bayangan Satrio ke dinding, memperpanjang siluetnya menjadi sosok bengkok yang menggigil, seakan menari dalam perlawanan yang sia-sia.Satrio duduk terpaku di tepi ranjang, surat di tangannya bergetar halus. Mata merahnya menatap kata-kata yang sudah pudar di kertas itu, namun setiap goresan tinta terasa membakar, menorehkan luka baru di daging hatinya yang sudah koyak. Ia membaca ulang kalimat-kalimat itu dengan suara hampir tak terdengar, bibirnya gemetar, napasnya pendek: ”Satrio, jika kau membaca ini, aku mungkin suda