Kabut tipis bergelayut di antara pepohonan tua, menyelimuti bumi dengan kelembutan yang menipu, seolah dunia sedang menahan napas untuk mendengarkan sesuatu yang tak terucapkan. Langkah Satrio menyusuri tanah basah yang dipenuhi dedaunan layu, gemerisik di bawah tapak kakinya seperti bisikan dari masa lalu yang menolak diam. Langit di atasnya kelabu, redup, menggantung rendah dengan awan gelap yang bergerak lambat, sementara embusan angin membawa aroma tanah basah bercampur wangi samar melati yang entah dari mana asalnya.
Di hadapannya, dua makam berdampingan berdiri diam. Batu nisan itu sederhana, kasar, dengan ukiran nama yang mulai pudar digerus waktu: Citra dan Sekar. Tanah di sekitarnya basah oleh embun, rumput liar tumbuh tak teratur, dan di atas nisan, bunga-bunga kering tertinggal, seperti kenangan yang rapuh, terbangun lalu kembali runtuh. Satrio berdiri kaku di depan mereka, tangannya
Kabut tebal menggulung perlahan di antara deretan nisan yang berdiri kaku, seolah menelan seluruh dunia dalam keheningan yang berdenyut. Udara di pemakaman itu basah, berat, dan pekat dengan aroma tanah basah yang tercampur bau besi karat—aroma darah yang sudah lama mengering namun masih meninggalkan jejaknya di udara. Di sela kabut, suara gemerisik angin terdengar samar, seperti bisikan yang pecah di antara dedaunan tua, menciptakan irama yang menekan dada, membawa bayangan masa lalu yang belum selesai.Anak kecil itu berdiri di depan dua nisan yang berdampingan, tubuhnya kecil, rapuh, rambutnya kusut tertiup angin. Matanya yang besar, kosong, namun dalam, menatap batu-batu nisan itu dengan pandangan yang tak seharusnya dimiliki oleh anak seusianya—pandangan yang menyimpan luka, pertanyaan, dan rasa kehilangan yang belum dimengerti sepenuhnya. Liontin perak tergantung di lehernya, r
Malam menggantung berat di atas Batavia, kelam dan pekat, seperti jaring besar yang membungkus dunia dengan kesedihan yang menggigit. Di kejauhan, kilat menyambar tanpa suara, hanya cahaya yang membelah kabut, sekejap menyinari wajah-wajah tak kasatmata yang tersembunyi di balik bayangan. Pohon-pohon tua meliuk diterpa angin, dahan-dahannya mengerang seperti lidah-lidah yang mengutuk, sementara tanah basah di bawah kaki Satrio seakan bernafas, bergerak pelan dengan napas yang dalam dan berat.Satrio berdiri di ambang batas antara dunia yang nyata dan dunia yang lebih gelap, tubuhnya gemetar, matanya merah, wajahnya pucat seperti tersapu abu. Di dadanya, napas berat menghantam tulang rusuk seperti palu, dan di dalam pikirannya, bisikan-bisikan berputar, suara Sekar yang hilang dalam kobaran api, tawa retak Kalina, suara tangisan anak itu, dan yang paling menusuk: suara Citra, berbisik di antara b
Langit di atas Batavia berwarna kelabu tua, nyaris hitam, seolah waktu berhenti pada titik yang berat, di mana langit dan bumi saling menatap dalam diam yang penuh dendam. Awan menggantung rendah, tebal, menekan dada, menutup cahaya rembulan yang biasanya mengintip malu di sela pepohonan. Angin bertiup pelan, membawa aroma tanah basah bercampur debu, juga aroma samar-samar dupa yang baru terbakar. Suara jangkrik pun tertahan, seakan seluruh dunia memilih diam, menyaksikan peristiwa yang tak kasatmata, tapi terasa mendalam hingga ke tulang.Di bawah pohon beringin tua yang menjulang bagai penjaga zaman, Satrio berdiri terpaku, tubuhnya berat, seolah akar pohon itu menjulur keluar dan membelit kakinya, memaksanya untuk tidak lari, untuk tetap menghadapi. Cahaya rembulan yang menerobos celah awan tipis memantul samar di wajahnya yang basah oleh keringat dan air mata, menciptakan bayangan-bayangan d
Kabut tipis bergelayut di antara pepohonan tua, menyelimuti bumi dengan kelembutan yang menipu, seolah dunia sedang menahan napas untuk mendengarkan sesuatu yang tak terucapkan. Langkah Satrio menyusuri tanah basah yang dipenuhi dedaunan layu, gemerisik di bawah tapak kakinya seperti bisikan dari masa lalu yang menolak diam. Langit di atasnya kelabu, redup, menggantung rendah dengan awan gelap yang bergerak lambat, sementara embusan angin membawa aroma tanah basah bercampur wangi samar melati yang entah dari mana asalnya.Di hadapannya, dua makam berdampingan berdiri diam. Batu nisan itu sederhana, kasar, dengan ukiran nama yang mulai pudar digerus waktu: Citra dan Sekar. Tanah di sekitarnya basah oleh embun, rumput liar tumbuh tak teratur, dan di atas nisan, bunga-bunga kering tertinggal, seperti kenangan yang rapuh, terbangun lalu kembali runtuh. Satrio berdiri kaku di depan mereka, tangannya
Hujan sudah lama berhenti, tapi dunia di sekitar Satrio tetap basah, seolah bumi menyimpan air matanya sendiri, enggan kering, enggan lupa. Pagi yang menyingsing datang tanpa warna, tanpa burung-burung berkicau, hanya udara yang dingin menusuk, kabut tipis menggantung rendah, dan aroma tanah basah yang bercampur dengan wangi kayu tua, seperti bau kamar yang lama terkunci. Di dalam rumah kecil itu, Satrio duduk bersila di lantai, punggungnya membungkuk, tangannya gemetar memegang sebuah kotak kayu kecil yang lapuk, ditemukan di sudut ruangan di balik tumpukan kain tua dan barang-barang peninggalan yang sudah terlupakan.Kotak itu berat, bukan karena isinya, tapi karena beban yang tersembunyi di dalamnya—rahasia yang tak terucapkan, bisikan-bisikan yang selama ini hanya menjadi bayangan di sudut pikirannya. Ketika dibuka, aroma debu lama menyeruak, bercampur dengan sesuatu yang lebih samar&m
Hujan turun deras, mengguyur atap rumah kecil Satrio dengan bunyi gemuruh yang menggetarkan, seakan langit sedang mengguncangkan bumi dengan murka yang tertahan terlalu lama. Setiap tetes air memukul atap seperti genderang perang yang dipukul tanpa jeda, memecah malam menjadi serpihan-serpihan gelap yang bergetar di udara. Angin meraung, menyusup di sela-sela dinding bambu, menciptakan suara desis yang mencekam, seperti bisikan lidah-lidah halus yang mengintai dari bayang-bayang.Di dalam rumah, Satrio duduk di tepi ranjang, punggungnya tegang, napasnya pendek-pendek, mata merahnya terpaku pada ranjang kosong di sudut ruangan. Tubuh anak kecil itu tidak ada di sana—tidak ada jejak kaki kecil, tidak ada napas lemah, tidak ada suara rintihan malam yang biasanya terdengar lirih dari balik selimut tipis. Ranjang itu kosong, hanya menyisakan bekas lipatan kain yang basah oleh embun dingin, seol