/ Romansa / Dosa dalam Cinta / Bab 59 Pertemuan yang Tak Pernah Terjadi

공유

Bab 59 Pertemuan yang Tak Pernah Terjadi

작가: A. Rani
last update 최신 업데이트: 2025-06-01 00:15:33

Di malam penuh kabut Batavia, Satrio berdiri di luar gereja, menatap jendela kecil yang menyala samar. Ia hampir mengetuk pintu, hampir memanggil nama Citra, tetapi keraguan dan rasa bersalah menahannya. Di dalam, Citra membuka pintu, merasakan kehadirannya yang hanya tersisa dalam bayangan. Langkah mereka hanya dipisahkan dinding batu dan jarak beberapa langkah, namun mereka seperti hidup di dunia yang berbeda, tak lagi bisa saling menjangkau.

Citra membuka pintu dengan hati-hati, tetapi saat matanya menyapu halaman depan, yang tersisa hanyalah jejak kaki di atas tanah yang basah. Tidak ada siapa pun di sana, hanya bayangan malam yang bergerak mengikuti tiupan angin. Ia berdiri di ambang pintu, merasakan sesuatu di dadanya yang sulit dijelaskan. Ia tahu seseorang telah ada di sana. Ia tahu siapa yang datang, tetapi tidak menemuinya. Ia menundukkan kepalanya, menarik napas dalam-dalam, lalu perlahan menutup pintu.

Satrio, yang telah berjalan menjauh dari gereja, berhenti sejenak sebel
이 책을 계속 무료로 읽어보세요.
QR 코드를 스캔하여 앱을 다운로드하세요
잠긴 챕터

최신 챕터

  • Dosa dalam Cinta    Bab 39 – Anak yang Hilang

    Hujan terus mengguyur Batavia yang kini tak lebih dari rangkaian arang dan abu. Angin malam menjerit, membawa serpihan kayu hangus dan sisa-sisa kain yang tercabik, berputar-putar di udara seperti roh gelap yang enggan pergi. Satrio berdiri di tengah reruntuhan, napasnya berat, matanya merah, wajahnya dipenuhi luka dan debu yang melekat basah oleh keringat dan air hujan. Di bawah kakinya, batu-batu runtuh, serpihan besi bengkok, dan di antara semua itu—jejak kecil kaki yang basah, samar, seperti jejak bayangan yang melangkah ringan namun pasti menuju kegelapan.Suara itu—suara anak kecil—masih terngiang di kepalanya, menggema seperti bisikan yang tak ingin hilang: "Ayah... aku masih di sini..."Satrio mengepalkan tangan, menggigil, menatap retakan tanah yang menganga, seperti luka yang tak akan pernah sembuh. Napasnya tercekat, dadanya terasa sesak, seolah dunia m

  • Dosa dalam Cinta    Bab 38 – Hujan di Atas Reruntuhan

    Hujan turun deras, menghantam batu-batu pecah dan kayu hangus yang tergeletak di antara puing-puing Batavia. Air mengalir di atas jalanan yang retak, membawa abu, darah, dan serpihan sejarah yang telah patah. Suara rintik hujan berpadu dengan bisikan angin yang melolong di antara dinding-dinding roboh, menciptakan simfoni duka yang membungkus malam dengan kelam yang tebal. Satrio duduk di atas sebongkah batu besar, tubuhnya membungkuk, punggungnya basah kuyup, dan matanya kosong menatap api yang perlahan padam. Jemarinya bergetar saat memegang sepotong kertas lusuh yang sudah hampir hancur oleh air—surat cinta yang ditemukan di antara reruntuhan, tulisannya pudar, namun kata-katanya membakar dadanya lebih panas dari bara api manapun.“Hujan ini... seakan menertawakan kita semua, ya?” gumam Satrio lirih, suaranya serak, nyaris tak terdengar d

  • Dosa dalam Cinta    Bab 37 – Sekar yang Menghilang

    Langit Batavia membara, merah membusuk di cakrawala, seakan dunia sudah melewati batas kesabarannya. Asap tebal menyesakkan udara, menghitamkan bulan, dan di bawah bayang-bayang reruntuhan, Satrio berdiri terhuyung, napasnya berat seperti diikat, dadanya tercekik rasa bersalah yang merayap tanpa ampun. Di matanya, kota yang dulu dikenal kini hanya puing dan bara, jeritan tertahan dalam debu yang menggantung, dan di telinganya, gema suara Sekar—teriakan yang pecah, tangis yang patah, lalu hening yang membunuh.“Sekar!” teriak Satrio dengan suara serak, suaranya memantul di antara dinding-dinding retak, namun hanya kesunyian yang menjawab. Ia menyeret langkahnya, lututnya berdarah, tangan terulur, meraba pecahan bata dan serpihan kayu, mencari tanda apa pun—sehelai kain, jejak kaki, atau sisa napas dari perempuan yang entah sejak kapan m

  • Dosa dalam Cinta    Bab 36 – Api yang Menelan Segalanya

    Hujan api masih mengguyur langit Batavia, membakar sisa-sisa kota yang tak lagi mengenal dirinya sendiri. Reruntuhan benteng kolonial menghitam, menganga seperti rahang raksasa yang haus akan darah dan dendam. Asap tebal menyelimuti udara, menghitamkan bulan yang dulu terang, sementara bara-bara kecil beterbangan di antara reruntuhan, menari seperti roh-roh gelap yang baru bebas dari penjara mereka. Bau besi panas bercampur anyir darah meruap, menyusup ke pori-pori kulit dan membuat dada terasa sesak.Sekar berdiri di tengah kehancuran itu, tubuhnya lunglai, pakaian lusuhnya compang-camping, dan wajahnya basah oleh peluh, darah, dan air mata yang tak lagi ia tahu milik siapa. Tangannya terangkat lemah, menggenggam sehelai kain yang koyak—sisa dari bendera perlawanan yang kini hangus, abu yang beterbangan di ujung jari-jarinya. Di matanya, ada kekosongan yang mencengkeram, seolah seluruh isi jiwanya sudah terbak

  • Dosa dalam Cinta    Bab 35 – Surat Cinta yang Terkubur

    Hujan deras mengguyur reruntuhan kota, menumbuk atap rumah-rumah yang terbakar dan menghantam tanah berlumpur, menciptakan irama pilu yang seolah menjadi ratapan bagi Batavia yang sekarat. Satrio berdiri di ambang pintu rumah tua itu, tubuhnya basah kuyup, luka-luka di wajah dan lengannya seperti ukiran perih yang tak bisa dihapus waktu. Matanya menatap lurus ke depan—ke dalam ruang gelap yang penuh debu, di mana setiap sudutnya menyimpan sisa-sisa masa lalu yang terkoyak. Nafasnya berat, dada sesak, dan dalam langkah yang terasa seperti seret napas terakhir, ia masuk ke dalam, melewati pecahan kaca, sisa-sisa perabotan, dan bau hangus yang masih mengepul dari dinding.Di sudut ruangan, tersembunyi di bawah pecahan kayu yang hangus, ia melihatnya—sebuah buku tua dengan sampul kulit yang sudah retak, seolah hendak hancur jika disentuh. Jemarinya gemetar saat mengangkat buku itu, dan ketika membuka halaman

  • Dosa dalam Cinta    Bab 34 – Rahasia Keturunan Terungkap

    Hujan deras mengguyur atap rumah tua yang retak, menetes melalui celah-celah kayu lapuk, menciptakan bunyi gemericik yang seperti detak jantung yang menegangkan. Di dalam ruangan gelap itu, Satrio berdiri membeku, tubuhnya basah kuyup, napasnya berat, dan tatapannya terkunci pada sosok anak kecil yang terbaring lemah di lantai. Tubuh kecil itu gemetar, mata hitamnya terpejam, seolah menanggung beban yang terlalu besar untuk bahu mungilnya. Di sekeliling mereka, api dari lilin-lilin kecil bergoyang liar, bayangan-bayangan menari di dinding, membentuk siluet wajah-wajah masa lalu yang seakan hidup kembali—Citra, Tan Ming, bahkan Sekar, yang berdiri di sudut ruangan, wajahnya pucat seperti mayat, matanya membelalak, dan tangannya menutup mulut, seolah mencegah teriakan yang hendak pecah.“Ini…

더보기
좋은 소설을 무료로 찾아 읽어보세요
GoodNovel 앱에서 수많은 인기 소설을 무료로 즐기세요! 마음에 드는 책을 다운로드하고, 언제 어디서나 편하게 읽을 수 있습니다
앱에서 책을 무료로 읽어보세요
앱에서 읽으려면 QR 코드를 스캔하세요.
DMCA.com Protection Status