Beginilah kalau perempuan biasa tiba-tiba jadi perbincangan elit. ┐(︶▽︶)┌ cuekin aja ga si?! Jangan lupa komen ceritaku.
"Aku sedang bicara, Leonard!”Suara Victoria menggelegar, membuat gema halus menyelinap di dinding marmer ruang kerja Leonard.Leonard mengangkat wajahnya perlahan. Mata tajamnya kosong, jauh dari sorot pemimpin yang biasa membakar semangat tim kampanyenya. Kini, ia hanya pria yang kehilangan arah.“Dia tidak seperti yang kalian kira,” ucap Leonard pelan, nyaris seperti bisikan yang ditelan gemuruh emosinya sendiri.Victoria menghentakkan kakinya. “Kalau dia tidak seperti yang kami kira, mengapa semua orang bisa melihatnya keluar dari hotel murah, berpakaian seperti—seperti—”Victoria menahan diri untuk tak mengucapkan kata terakhir yang merendahkan. Tapi semua tahu maksudnya.Alexander masuk ke ruangan dengan langkah mantap, jas rapih, dan ekspresi dingin seorang pemimpin negara di masa krisis.“Leonard.” Suaranya dalam, tegas, dan mengandung ultimatum.L
Keesokan paginya…Di dalam mansion Sinclair, suasana sibuk menyambut konferensi pers mendatang. Daisy mondar-mandir di lorong utama bersama Evelyn—yang kini resmi menjadi asistennya.Evelyn tahu betul, cara mendapatkan tempat dalam lingkaran dalam keluarga Boaler adalah dengan menjilat orang yang tepat. Dan Daisy adalah pintu masuk termudah menuju kekuasaan.“Anda sangat cocok mendampingi Leonard, Nona Daisy,” bisik Evelyn, sembari menyodorkan tablet berisi agenda hari ini. “Mereka semua tahu Anda punya kecerdasan dan ketegasan yang tak dimiliki wanita lain.”Daisy menyeringai. “Kau tahu persis cara bicara pada orang penting, Evelyn.”“Tentu saja,” Evelyn membenarkan pos
Malam itu, langit ibu kota tampak kelam meski lampu kota menyala ramai. Di sebuah ballroom hotel bintang lima, keluarga Sinclair dan Boaler bertemu dalam makan malam resmi yang digadang-gadang sebagai perkenalan dua keluarga besar. Kamera media tidak diundang, tapi rumor perjodohan politik ini sudah menyebar sejak pagi di kalangan elit.Leonard datang terlambat.Ia muncul dalam setelan jas hitam rapi, wajahnya tegas tapi dingin. Tak ada senyum. Tak ada kehangatan. Ia menyalami tamu-tamu penting tanpa benar-benar memandang mereka. Matanya menelusuri ruangan… sepi. Hampa.Daisy Boaler berdiri dari tempat duduknya saat pria itu mendekat. Wanita itu anggun, pintar, dan cantik dengan cara yang sangat dikalkulasi. Senyumnya sopan. Sorot matanya penuh perhitungan.“Leonard Sinclair,” sapa Daisy ramah, tangannya terulur. “Akhirnya kita bertemu.”Leonard menjabat tangan itu sebentar. “Selamat malam, Nona Boaler.”Ia duduk di samping wanita itu, tak berkata apa-apa lagi.Victoria yang mengamati
Nadine menegang. “Maaf?”“Kau cuma beban,” potong Alexander tajam. “Kau mungkin berhasil menyihir rakyat bodoh dengan wajah polos dan gaya hidup sederhana itu, tapi bagiku, kau hanya pengganggu. Kau membuat Leonard terlihat lemah. Terlalu banyak drama murahan di sekelilingnya.”Victoria menyambung, dengan suara lebih halus tapi tak kalah menusuk, “Anakku akan menjadi presiden negeri ini. Ia butuh wanita yang setara, bukan pustakawan dari pinggiran yang terseret dalam skandal hotel dan dibela netizen karena dikasihani.”Nadine menahan napas. Luka-luka lama seperti dikorek kembali. Ia berusaha tenang. “Leonard yang memilih bertahan. Saya tidak pernah minta semua ini.”Alexander berdiri. “Aku tidak akan membiayai satu sen pun lagi untuk kampanye Leonard jika kau tetap berada di sisinya. Aku akan tarik semua investor besar. Kau pikir dia bisa menang dengan mengandalkan simpati netizen?”Ucapan itu membuat jantung Nadine mencelos. Ia tahu betapa pentingnya dukungan Alexander bagi posisi Le
Kehadiran Nadine bisa jadi ancaman untuk rival Leonard. Hal ini dikarenakan keeradaan wanita biasa seperti Nadine bagai dongeng cinderella. Simpati rakyat biasa jelas menggebu-gebu, apalagi politik yang dibalut dengan drama cinta sejati. Romansa manis di tengah panasnya politik negeri."Sial! 80% simpatik rakyat tertuju pada Leonard. Kalau begini aku bisa kalah!" gerutu Oscar- rival Leonard dalam Pilpres.Adrian yang duduk di hadapannya hanya bisa mengeratkan genggaman tangan pada celana. Tubuh pria itu trremor. Ia sendiri tak rela, hubungan Leonard dan Nadine semakin erat.Oscar berdiri dari kursinya dengan kasar, membuat kursi kulit mahalnya bergeser dan mengeluarkan suara seret yang tajam. Tangannya menepis tumpukan berkas di meja, membuat dokumen polling dan rencana strategi kampanye berserakan di lantai. Matanya menyala penuh amarah.“Bukan sekedar politik lagi,” gumam Oscar lirih, namun suaranya mengandung ancaman. “Ini soal narasi. Leonard menang mutlak dalam hal itu.”Adrian m
Victoria Donovan melangkah anggun di tengah kerumunan, gaun satin ungu tua yang dikenakannya berkilau di bawah cahaya chandelier ballroom. Wajahnya yang tak lagi muda tetap memancarkan aura elegan dan tajam. Ia tersenyum tipis saat langkah Leonard dan Nadine mendekat, tapi senyum itu lebih dingin daripada ramah.“Leonard, sayang,” sapa Victoria dengan nada khas sosialita papan atas, mencium pipi anaknya pelan. Lalu, matanya beralih pada Nadine.“Oh…” Ia menatap wanita muda di samping putranya dari ujung kepala hingga kaki. “Kamu Nadine itu, ya?”Nadine menegakkan bahu, berusaha tegar meski jelas terasa sorot matanya tak menyukai kehadirannya. Ditambah pertemuan terakhir mereka masih membekas di kepalanya. Leonard hendak membuka mulut, tapi Victoria lebih dulu bicara.“Gaunmu sederhana sekali. Tapi kadang kesederhanaan memang bisa... terlihat manis.” Ia tersenyum, tapi matanya tajam. “Asal tahu tempatnya saja.”Beberapa tamu yang berdiri tak jauh sempat menoleh. Nadine menunduk sediki