Share

BAB 2

Author: Dentik
last update Last Updated: 2025-03-18 16:05:16

Mata Nadine langsung membelalak. Detak jantungnya melonjak.

Dari sudut ruangan, Leonardo duduk di sofa dengan satu tangan menyangga kepalanya. Senyumnya penuh misteri, matanya gelap dan dalam.

Dan itu berarti…

Dia tidak sendirian!

Nadine menatap pria di hadapannya dengan mata yang masih diselimuti efek alkohol. Pria itu duduk dengan santai di sofa kamar hotel, menatapnya dengan ekspresi datar, seolah menunggu apa yang akan ia lakukan selanjutnya.

Nadine tidak tahu siapa pria ini. Ia tak peduli. Yang ia tahu hanyalah ia ingin melupakan semua rasa sakit yang menggerogoti hatinya. Ia ingin melarikan diri dari kenyataan, meski hanya untuk satu malam.

Dengan langkah yang sedikit goyah, Nadine berjalan mendekati pria itu. Jemarinya menyentuh dasi hitam yang terikat rapi di lehernya, lalu dengan gerakan berani, ia menariknya perlahan.

“Aku butuh pelampiasan,” bisiknya dengan suara serak.

Leonardo mengangkat alisnya. Mata elangnya meneliti setiap ekspresi di wajah Nadine. Wanita ini jelas sedang dalam pengaruh alkohol, tapi bukan berarti ia tidak tahu apa yang sedang ia lakukan.

“Kau yakin?” tanya Leonardo, suaranya rendah dan dalam.

Nadine mengangguk. Matanya menatap pria itu dengan penuh tekad. Ia tak butuh perasaan malam ini. Ia hanya butuh seseorang untuk membuatnya lupa akan pengkhianatan yang baru saja ia alami.

Tanpa menunggu jawaban, ia mencondongkan tubuhnya, jemarinya menelusuri rahang tajam pria di hadapannya. Hawa panas tubuhnya bertemu dengan kesejukan pria itu, menciptakan kontras yang semakin menggila di kepalanya.

Leonardo tetap diam, membiarkan wanita di hadapannya mengambil kendali. Sudut bibirnya terangkat samar. Ini menarik, sangat menarik.

Nadine mendorongnya ke sandaran sofa, mendekat hingga napas mereka hampir bertaut. “Aku tak mau sendiri malam ini,” desisnya.

Tatapan Leonardo semakin gelap. Ia bukan pria yang mudah tunduk pada rayuan, tapi wanita ini…

Dengan satu gerakan cepat, ia membalik keadaan. Kini Nadine yang terjebak di antara lengannya, punggungnya menyentuh sandaran sofa, dan Leonardo menatapnya dari atas.

“Kamu bermain dengan api, Sayang.”

Nadine menelan ludah. Untuk sesaat, kesadarannya berusaha menyelinap masuk, memperingatkannya bahwa pria ini bukan orang biasa. Ada sesuatu dalam tatapan dan sikapnya yang terasa… berbahaya.

Namun, apakah ia peduli?

Tidak. Mengingat bagaimana kejinya Adrian dan Evelyn mengkhianatinya, hati Nadine tak terima kalau dia terus-terusan terpuruk.

Malam ini, ia hanya ingin terbakar.

Leonardo menatap Nadine yang masih terjebak di bawah cengkeramannya. Ada ketegangan yang berputar di antara mereka, seperti perang dingin yang siap meledak kapan saja. Nadine merasakan jantungnya berdetak lebih cepat, entah karena keberanian atau justru ketakutan yang samar.

“Terlalu cepat menyerah?” tanya Leonardo dengan nada mengejek.

Nadine mengangkat dagunya, menolak terlihat lemah di hadapan pria ini. "Siapa bilang aku menyerah?"

Leonardo tersenyum kecil, hampir seperti seringai. "Menarik."

Dalam sekejap, Leonardo melepaskan cengkeramannya, memberi Nadine ruang untuk bangkit. Namun, bukan Nadine namanya jika ia mundur setelah memulai sesuatu. Ia meraih kerah kemeja Leonardo, menarik pria itu mendekat, dan berbisik tepat di telinganya.

“Aku tidak pernah mundur.”

Leonardo menahan napas sejenak. Wanita ini benar-benar berani. Ada sedikit kekaguman yang menyelinap dalam pikirannya, tapi lebih dari itu, ada rasa penasaran yang makin membara.

“Kamu bahkan tidak tahu siapa aku,” kata Leonardo sambil memperhatikan ekspresi Nadine.

“Aku tidak peduli,” jawab Nadine tanpa ragu. "Aku hanya ingin melupakan semuanya."

Mata Leonardo menyipit. Wanita ini jelas hancur, dan mungkin jika ia adalah pria baik-baik, ia akan menjauh dan membiarkan Nadine pulang ke kamarnya sendiri. Tapi ia bukan pria baik-baik.

Ia tidak pernah menjadi pria baik.

“Kalau begitu, biarkan aku membantumu,” ucapnya, suaranya terdengar seperti racun yang manis.

~

Pagi harinya, sinar matahari menembus jendela kamar hotel yang luas. Nadine mengerang pelan, merasa kepalanya berat dan pikirannya kosong. Ia menggeliat, lalu merasakan sesuatu yang aneh.

Tempat tidur ini… terasa asing.

Matanya terbuka perlahan, dan saat kesadarannya pulih, napasnya tercekat. Ia tidak sendirian di ranjang ini.

Di sebelahnya, seorang pria berbaring dengan mata tertutup, napasnya teratur.

Nadine membeku. Ia melihat dirinya sendiri yang hanya terbungkus selimut, dan saat itulah kepanikan melandanya. Apa yang telah ia lakukan?

Memori semalam kembali dalam kilasan. Bar. Alkohol. Rasa sakit. Keputusan nekat. Dan pria ini…

“Ya Tuhan…” Nadine menutup wajahnya dengan kedua tangan. Ia ingin menghilang saat itu juga.

Napas Nadine memburu saat pikirannya berusaha mengingat setiap detail kejadian semalam. Ia menoleh perlahan ke samping, memastikan sesuatu yang membuat dadanya semakin sesak.

'Rasanya dia sangat familiar,' batin Nadine saat melihat sosok di sampingnya.

Pria itu masih tertidur, wajahnya terlihat begitu tenang dalam tidur, seolah malam sebelumnya bukan apa-apa baginya. Kontras dengan Nadine yang kini dicekam kepanikan.

"Aku harus pergi," gumamnya pelan.

Jantungnya berdegup lebih cepat. Ia tidak boleh berlama-lama di sini. Ia harus keluar sebelum pria itu terbangun dan segalanya menjadi lebih canggung. Dengan gerakan hati-hati, ia menarik selimut, memastikan dirinya tertutup sepenuhnya, lalu turun dari tempat tidur.

"Aduh! Sakit banget!" ringisnya menyadari kewanitaannya terasa nyeri. Matanya terasa memanas menahan rasa sakit yang tak terbanyangkan ini.

"Tahan, Nadine," ujarnya menyemangati diri sendiri.

Lantai dingin menyentuh telapak kakinya, membuat tubuhnya sedikit menggigil. Ia buru-buru meraih pakaiannya yang tercecer di lantai. Dengan tangan gemetar, ia mengenakan gaunnya kembali, mengabaikan rambutnya yang berantakan dan wajahnya yang masih kusut akibat tidur tak nyenyak.

Satu-satunya hal yang ada di kepalanya saat ini hanyalah pergi.

Mata Nadine melirik ke arah Leonardo. Masih tertidur. Ia menahan napas, lalu berjinjit menuju pintu, berusaha tidak menimbulkan suara sekecil apa pun. Jemarinya dengan cepat meraih gagang pintu, dan membukanya selembut mungkin. 

"Semoga dia masih tidur," bisiknya pada diri sendiri kala menutup pintu perlahan.

"Segini saja. Kalau aku menutupnya dengan rapat bisa-bisa dia terbangun."

Nadine berjalan cepat melewati lorong hotel, jantungnya berdegup kencang. Setiap langkah yang ia ambil terasa begitu berat, seakan-akan kapan saja pria itu bisa muncul dari balik pintu dan menyeretnya kembali.

'Tidak boleh ketahuan…' batinnya panik.

Begitu keluar dari lift di lantai lobi, ia menundukkan kepala, berharap tidak menarik perhatian siapa pun. Namun, harapannya pupus ketika seorang staf hotel menyapanya dengan senyum ramah.

“Selamat pagi, Nona. Apakah Anda menikmati malam Anda?”

Langkah Nadine terhenti sejenak. Dadanya terasa sesak saat ia mencoba menyusun ekspresi tenang, meskipun dalam kepalanya, alarm berbunyi keras.

“A-aku…” Ia menelan ludah, lalu tersenyum tipis. “Iya, terima kasih.”

Staf itu mengangguk sopan, tapi Nadine bisa merasakan tatapan pria itu seolah menilainya. Ia buru-buru menunduk dan melangkah lebih cepat.

Sinar matahari semakin tinggi ketika Leonardo menggeliat pelan di tempat tidur. Tangan besarnya bergerak ke samping, meraba tempat yang seharusnya masih hangat oleh tubuh wanita yang bersamanya semalam.  

Dingin.  

Alisnya mengernyit. Perlahan, matanya terbuka, menyesuaikan diri dengan cahaya yang masuk dari jendela. Kosong. Tempat tidur di sampingnya sudah tak berpenghuni.  

Leonardo bangkit dengan gerakan lambat, menyandarkan tubuhnya pada sandaran tempat tidur. Matanya menyapu kamar dengan tatapan tajam, mencari tanda-tanda keberadaan wanita itu. Namun, hanya sisa aroma samar parfumnya yang masih tertinggal di udara.  

Nadine sudah pergi.  

Sejenak, Leonardo terdiam, tetapi kemudian sudut bibirnya tertarik ke atas dalam seringai yang tak sepenuhnya ramah.  

"Berani sekali," gumamnya, nada suaranya terdengar rendah dan berbahaya.  

Ia tidak menyangka wanita itu akan pergi begitu saja. Biasanya, setelah malam seperti ini, wanita-wanita akan terbangun dengan penuh harapan, menunggu sentuhan keduanya, atau setidaknya mencoba menggoda lagi. Tapi Nadine? Wanita itu bahkan tidak meninggalkan jejak sedikit pun, seperti bayangan yang menghilang tanpa jejak.  

Ketidaksabarannya mulai tumbuh. Leonardo bukan tipe pria yang suka ditinggalkan. Apalagi, oleh seorang wanita yang berhasil menarik perhatiannya hanya dalam satu malam.  

Dengan gerakan kasar, ia menyingkap selimut dan turun dari tempat tidur. Langkahnya lebar menuju meja kecil di dekat tempat tidur, meraih ponselnya. Jemarinya dengan cepat mengetik sesuatu sebelum menempelkan ponsel ke telinganya.  

“Cari wanita yang bersamaku tadi malam,” perintahnya dingin.  

Suara di seberang telepon terdengar sedikit terkejut, tetapi tidak berani menentangnya. "Siapa namanya?" 

Leonardo menyeringai kecil, matanya menatap kosong ke luar jendela. "Sayangnya, aku belum sempat bertanya."  

Diam sejenak, sebelum ia melanjutkan, suaranya terdengar semakin tajam.  

"Cari informasi apapun tentang wanita itu. Dan aku ingin tahu sekarang!"

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Dosa di Ranjang Sang Penguasa   BAB 20

    Nadine merenung di kamar. Ia sudha mengemasi barang-barangnya dan berniat keluar dari rumah ini. Namun, baru saja ia keluar dari kamar, seorang pria paruh baya menatapnya dengan penasaran."Anda mau ke mana, Nona?" tanyanya ramah. Dia adalah pria yang menjemputnya dari apartement Adrian kemarin sore.Nadine yang kikuk karena merasa atmosfer kurang nyaman, segera menjawab, "pulang.""Oh. Maaf, Nona. Tapi Tuan tidak mengizinkan Anda keluar sejengkal pun dari rumah ini."Mata Nadine terbelalak. "Apa? Kenapa?""Saya tidak tahu alasan yang pasti. Tapi, Nona pasti tahu. Jadi, mohon untuk tidak keluar dari rumah ini, atau saya akan mendapat masalah besar."Nadine melirik name tag di dada kanan pria itu, ternyata namanya Jack."Sorry, Jack. Tapi aku harus pergi sekarang."Jack tersenyum, ia kemudian mendekat. Dalam satu kilat tote bag yang dijinjing Nadine sudah berada di tangannya."Bawa Nona Nadine bersenang-senang," perintahnya pada pelayan."Untuk sementara, biar saya yang menyimpan ini."

  • Dosa di Ranjang Sang Penguasa   BAB 19

    Jantung Nadine berdebar hebat. Ia mengerat bibirnya dengan rapat. Leonard meliriknya sekilas, namun jarinya masih menggulir layar tablet. Di sana terdapat laporan terbaru soal perusahaan yang dia miliki. Posisinya sebagai Menteri dalam negeri, membuat Leonard terpaksa melepaskan posisinya sebagai CEO perusahaan. Namun, dia tetapi rutin mengecek apa saja progress dan regresi. Sialnya pagi ini dia mendapat kabar buruk. Perusahaan mengalami regresi. Tepatnya pada satu jam yang lalu saat ia berniat sarapan dengan tenang.Leonard terpaksa menyipitkan mata saat menatap laporan di layar tablet. Grafik merah menurun tajam. Angka-angka yang sebelumnya stabil, kini menunjukkan penurunan signifikan dalam kurun waktu dua minggu terakhir. Jari-jarinya mengetuk pelan sisi layar, pertanda bahwa pikirannya mulai dipenuhi amarah yang ditahan.[Laporan Masuk: Penurunan saham 12%, kerugian operasional akibat sabotase logistik di Batam, dan pemutusan sepihak kontrak dari investor asing.]Dahi Leonard ber

  • Dosa di Ranjang Sang Penguasa   BAB 18

    Di sisi lain, Adrian sedang hectic dengan pekerjaan kantornya. Kepalanya berdenyut karena mendapat serangan dari hacker luar. "Untung saja Anda kembali lebih cepat, Pak. Saya bakal kelabakan kalau pemerintah tahu cyberspace sedang dibobol hacker." Rekan kerjanya bersyukur atas kehadiran Adrian yang sangat dibutuhkan oleh perusahaan mereka."Bagaimana bisa ini terjadi?" Mata Adrian mengusut beragam kode yang ada di layar. "Sepertinya ini diakibatkan melonjaknya data masyarakat Indonesia yang disadap hacker. Seperkiraan saya, ada aparat yang terkena juga, jadi-""Aku tidak butuh praduga! Cari penyebab konkrit, secepatnya!" murka Adrian yang kesal dengan karyawannya. "Kalian itu bekerja di bidang teknologi! Pakai logika!""B-baik, Pak."Suara ketik keyboard semakin kencang. Semua anak buahnya bekerja mati-matian. Adrian membaca semua hasil penemuan mereka dengan seksama.'Sial! Ada aja masalah. Padahal aku belum berseneng-senang dengan Nadine,' batin pria itu makin frustrasi.Mendadak s

  • Dosa di Ranjang Sang Penguasa   BAB 17

    Setelah mengirimkan pesan, Nadine segera kembali ke tempatnya. Tak lupa ia membawa ponsel. 'Ya Tuhan. Kumohon, berilah hamba pertolongan,' doa wanita itu dari dalam hati.Menit berlalu berganti jam, langit tampak menggelap. Nadine tanpa sadar tertidur karena merasa lelah dengan ketegangan yang terjadi hari ini.Di saat ia terlelap dalam tidurnya, mendadak seseorang menggoyang kakinya."Hei bangun."Suara bariton yang berat dan menakutkan berhasil membuat Nadine terperanjat."Jangan sentuh aku!" teriak Nadine tanpa sadar.Pria suruhan Adrian itu hanya menatapnya dengan datar. Helaan keluar dari hidungnya. "Ayo keluar!"Mata Nadine terbelalak. "Ke mana?""Udah ikut aja!"Nadine berusaha menolak, tetapi tenaga penjaga itu sangat kuat hingga membuatnya terseret dan menjauh dari apartement."Lepas!" rontanya sekuat tenaga. "Siapapun! Tolong Sa-""Jangan teriak!" seru penjaga dengan tatapan tajam. Mulut Nadine dibekap dengan tangan."Diem! Kamu minta pertolongan, kan?!" bisik pria itu. Nad

  • Dosa di Ranjang Sang Penguasa   BAB 16

    Satpam itu berdiri dan pura-pura terlihat bingung. Nadine masih menggenggam lengannya, matanya memohon.“Tolong saya. Tolong saya, Pak. Dia ingin menyakiti saya—”Satpam itu mundur selangkah dan memalingkan wajah, pura-pura tidak melihat apa pun. Justru ia menyeringai samar, dan dalam satu isyarat tangan, dua pria berbadan besar yang sebelumnya tak terlihat di balik mobil van segera muncul. Mereka mengenakan pakaian sipil, tetapi dari gerak tubuh dan tatapan mereka, Nadine tahu mereka bukan orang biasa.Panikkk. Nadine segera berbalik, berniat berlari ke arah luar gerbang kampus. Namun, salah satu pria itu sudah memotong jalannya. Lengan kekar menahannya dari samping, menarik kasar hingga tubuhnya terhuyung. Ia meronta, menjerit, menendang, tapi sia-sia.Nadine menjerit lagi, “TOLONG! ADA YANG MAU MENCULIK SAYA!”“LEPASKAN! LEPASKAN AKU!” Nadine menjerit, suaranya menggema di area parkiran.Adrian mendekat cepat, napasnya memburu, wajahnya kini benar-benar seperti orang yang kehilanga

  • Dosa di Ranjang Sang Penguasa   BAB 15

    Adrian menekan kuat dagu Nadine, wajahnya perlahan mendekat. Tingkahanya membuat mata Nadine terbelalak. Tekanan jari Adrian pada dagunya menyebabkan rasa nyeri disatu titik. 'Apa yang mau dia lakukan?' batin Nadine frustrasi.Perlahan pria itu memejamkan mata dan mendekatkan bibirnya ke bibir Nadine. 'Tak ada cara lain!' Sebelum terjadi sentuhan, Nadine menamparnya keras. Suara tamparan itu menggema, menyayat keheningan perpustakaan seperti petir yang tiba-tiba mengoyak langit cerah. Adrian tertegun. Kepalanya sedikit terpaksa menoleh ke samping karena pukulan itu, tapi matanya tetap menatap Nadine dengan campuran keterkejutan dan amarah.“Jangan pernah sentuh aku,” bisik Nadine tajam. Tubhunya gemetar, nafasnya tersengal, dan dadanya naik-turun. Reaksinya bukan karena takut, tapi kemarahan dan trauma yang nyaris meledak.Adrian mengusap pipinya perlahan, lalu menatap Nadine dengan sorot mata yang berubah. Cara melihatnya sangat gelap."Aku memperlakukanmu baik-baik," katanya renda

  • Dosa di Ranjang Sang Penguasa   BAB 14

    Andrew mendekat. Tangannya menyentuh rak terakhir yang hanya berjarak dua meter dari meja pelayanan tempat Nadine duduk. Ia menaruh buku dengan gerakan pelan, terukur. Wajahnya masih tertunduk, tapi matanya menatap tajam ke arah target—Nadine, yang masih belum sadar apa-apa."Sepuluh detik lagi," bisik Andrew dalam hati, tangannya perlahan menyelipkan benda kecil ke dalam saku jaketnya. Sebuah pulpen modifikasi. Bukan untuk menulis, tapi mengandung jarum mikro berisi cairan neurotoksin. Cukup satu tusukan di area leher, korban akan pingsan dalam dua menit, dan kematian terjadi dalam waktu kurang dari sepuluh.Namun sebelum ia melangkah lebih dekat, mendadak sebuah suara berat menghentikan langkahnya.“Jangan coba-coba, Andrew.”Langkah Andrew membeku. Nadine masih tak menyadari, karena suara itu begitu pelan. Perkataan itu hanya ditujukan padanya.Ia menoleh perlahan.Adrian berdiri sepuluh langkah di belakang, mengenakan kemeja dan celana bahan, menyamar seperti dosen atau staf kampus

  • Dosa di Ranjang Sang Penguasa   BAB 13

    Nadine menghela napas setelah mendapat notifikasi gajinya sebagai pustakan masuk ke rekening. Di tas yang ia bawa, masih terdapat beberapa lembar uang yang diselipkan Leonard seminggu lalu. Tak terasa ia kembali ke rutinitas tanpa gangguan apapun."Apa aku boleh memakainya?" lirihnya menatap lembaran berwarna merah tersebut. Padahal beberapa hari ini, dia bertahan hidup memakai uang tersebut. Namun, dengan kesadaran diri yangtinggi, ia menggabungkan beberapa uang dari gajinya dengan uang Leonard. "Aku akan mengembalikannya kalau kita nggak sengaja ketemu."Wanita itu segera memasuki perpustakaan. Sebelum itu, ia sempat mampir ke cafe untuk membeli satu croissant isi cokelat dan secup americano. Aroma kopi sedikit menenangkan pikirannya yang mulai lelah. Ia kembali berjalan ke perpustakaan, menyapa sekilas beberapa rekan kerja dan mahasiswa. Hari tampak biasa. Tenang. Rutinitas yang semu.Tapi dari arah gedung seberang, lensa kamera kecil yang terpasang di dalam lampu jalan bergerak pe

  • Dosa di Ranjang Sang Penguasa   BAB 12

    Sementara di dua tempat yang berbeda, dua pria dengan obsesi yang sama telah menempatkan bidak-bidak mereka untuk mengawasi satu sosok yang tak bisa mereka buang dari kepala—Nadine.Di sebuah ruang gelap berisi layar-layar monitor dan peta kota terpajang di dinding, seorang pria berkacamata sedang mengetik laporan di laptopnya."Target sudah masuk ke gedung Perpustakaan Universitas 21 April pukul 09.12. Kondisi fisik terlihat lemah, diduga belum makan. Saat ini sedang berada di balik meja pelayanan utama lantai satu. Tidak menunjukkan interaksi mencurigakan."Ia menekan tombol enter, lalu menyisipkan laporan itu ke dalam sistem internal. Tak sampai dua menit kemudian, layar monitor utama berkedip.INCOMING CALL: LS“Sinclair di sini,” kata Leonard dari balik layar, mengenakan setelan jas rapi. Matanya gelap, penuh perhitungan.“Update terakhir?” tanyanya singkat.“Dia kembali bekerja, Pak. Tapi kondisinya masih rapuh. Kami sudah menempatkan dua orang di lingkungan perpustakaan. Salah s

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status