Nadine turun dari taksi dengan langkah terburu-buru. Ia merapatkan cardigan tipisnya, berusaha menghalau udara pagi yang menusuk tulangnya. Kontrakan kecil dan kumuh di ujung gang sempit itu menyambutnya dengan keheningan. Langkahnya sedikit tersendat ketika ia mendapati pintu rumah masih tertutup rapat.
‘Bibi belum pulang?’ pikirnya, merasa sedikit lega sekaligus cemas.
Dengan hati-hati, ia membuka pintu dan masuk ke dalam. Udara di dalam rumah terasa pengap, aroma minyak goreng bekas bercampur dengan bau rokok khas Ny. Clara langsung menyerangnya. Nadine menutup hidungnya sejenak, lalu melangkah masuk ke kamar sempitnya.
Ia melemparkan tubuhnya ke kasur tipis yang sudah mulai usang, menatap langit-langit dengan perasaan campur aduk. Malam tadi masih berputar di kepalanya—bar, alkohol, dan pria itu.
‘Leonardo…’
Nama itu terlintas begitu saja di benaknya, membuatnya buru-buru menutup wajah dengan kedua tangan. Tidak! Ia tidak ingin mengingatnya.
Saat berada di dalam taxi, ia tersadar saat melihat baliho yang ada di pinggir jalan. Di sana ada wajah pria yang menghabiskan malam bersamanya. Nadine bahkan tanpa sadar memaki keras.
"Cewek Murahan!" makinya pada diri sendiri saat berada di dalam taxi. Supir taxi meliriknya dengan takut. Bibir pria itu bahkan terkatup rapat, apalagi penampilan Nadine yang berantakan membuat sang supir menganggapnya sebagai orang gila!
Sadar masih mengenakan gaun dari semalam, Nadine bangkit dan meraih pakaian bersih dari lemari kecil di sudut kamar. Ia melangkah ke kamar mandi sempit, mengguyur tubuhnya dengan air dingin yang membuatnya sedikit lebih segar. Begitu selesai, ia mengenakan pakaian kerjanya. Kemeja putih sederhana dan rok panjang berwarna cokelat. Rambut panjangnya hanya ia ikat asal tanpa banyak usaha.
Di depan cermin retak yang menggantung di dinding, ia menatap pantulan dirinya sendiri. Wajahnya pucat, kantung matanya sedikit membengkak.
“Tidak ada yang peduli dengan penampilanku,” gumamnya pelan sebelum akhirnya bergegas keluar kamar.
Sebelum berangkat, ia melirik ke ruang tengah, mencari keberadaan Ny. Clara. Namun, perempuan itu tidak ada. Biasanya di pagi hari, wanita paruh baya itu akan duduk di depan TV sambil merokok dan menyesap kopi murahnya.
‘Mungkin dia pergi ke rumah temannya untuk bergosip atau mencari pinjaman lagi,’ pikir Nadine dengan getir.
Ia menghela napas dan mengabaikan kekhawatirannya. Waktu sudah menunjukkan pukul tujuh lebih sedikit. Jika ia tidak segera berangkat, ia bisa terlambat.
Tanpa sarapan, ia menyambar tas dan berjalan keluar, meninggalkan kontrakan kumuh yang sudah lama tidak terasa seperti rumah baginya.
Pekerjaannya di perpustakaan universitas adalah satu-satunya tempat di mana ia merasa sedikit lebih tenang. Di antara buku-buku, ketenangan, dan dunia yang jauh dari kebisingan hidupnya.
Siang itu, Nadine sibuk menyusun katalog buku baru yang baru saja datang dari penerbit. Perpustakaan tempatnya bekerja selalu sunyi di jam-jam ini, hanya diisi oleh segelintir mahasiswa yang fokus pada buku mereka.
Ia duduk di balik meja pustakawan, jari-jarinya dengan cekatan mengetik data buku ke dalam sistem. Tak ada yang mengganggunya, tak ada yang berbicara padanya. Semuanya seperti biasa. Tenang.
Namun, ketenangan itu hanya bertahan sampai suara berat dan tajam menggema di ruangan.
“NADINE!”
Jari-jari Nadine langsung berhenti mengetik. Suara itu...
Ia mendongak dan mendapati sosok pria tinggi dengan jas mahal berdiri di ambang pintu perpustakaan. Mata elang itu membakar dengan kemarahan yang jelas. Rahang pria itu mengatup kuat, ekspresi dinginnya cukup untuk membuat orang-orang di sekitar mereka menundukkan kepala, enggan ikut campur.
Adrian Hartanto.
Nadine merasakan tubuhnya menegang. Hatinya mencelos melihat ekspresi penuh amarah di wajah pria yang dulu ia cintai dengan segenap hati.
Tanpa memperdulikan tatapan mahasiswa yang kini berbisik-bisik, Adrian melangkah cepat ke arahnya. Tangannya menghantam meja pustakawan dengan keras, membuat beberapa buku di atasnya bergetar.
“Apa-apaan kamu, Nadine?! Apa yang sudah kamu lakukan?!” bentaknya, suaranya terdengar dingin namun mengandung bara kemarahan.
Nadine mengerjapkan mata, masih terkejut dengan kedatangannya yang tiba-tiba. Ia bahkan tidak bisa mengerti apa maksud ucapan pria itu.
“Aku… aku tidak mengerti, Adrian.”
“Jangan pura-pura bodoh!” suara Adrian makin tinggi. “Aku sudah cukup bersabar denganmu, Nadine! Apa kamu pikir aku tidak tahu kelakuanmu semalam?!”
Mata Nadine melebar. Seketika, napasnya tercekat.
Adrian tahu? Tapi… bagaimana?
“Kamu bahkan tidak punya rasa malu setelah yang kamu lakukan, hah?” lanjut Adrian, nadanya merendahkan. “Setelah selama ini aku bersabar menunggumu, menjaga kesucianmu seperti yang kau inginkan, kamu malah tidur dengan pria lain begitu saja?! Dengan siapa kamu menghabiskan malam itu, Nadine?!”
Sekali lagi, perpustakaan jatuh dalam keheningan. Beberapa mahasiswa yang sedang membaca kini mencuri pandang dengan ekspresi terkejut.
Darah Nadine berdesir. Hatinya mencelos begitu dalam.
Ia ingin berbicara, ingin membela diri, tapi suaranya tercekat di tenggorokan. Apakah Adrian benar-benar berpikir bahwa ia wanita murahan yang bisa tidur dengan siapa saja?
Matanya memanas. Ia mengatupkan jemarinya erat-erat di atas meja, berusaha mengendalikan emosinya.
“Jadi, selama ini kamu memperlakukanku seperti boneka, tapi saat aku membuat satu kesalahan, kamu mendatangiku dan memaki seperti ini?” suara Nadine bergetar, tapi matanya tajam.
Adrian mendengus, ekspresinya penuh penghinaan. “Aku tidak peduli apa alasanmu. Aku hanya tidak menyangka kamu akan sehina ini.”
Kalimat itu bagaikan pisau yang menusuk dada Nadine.
Tangannya mengepal di bawah meja. Ia ingin menangis, tapi tidak di hadapan pria ini. Tidak di hadapan Adrian Hartanto yang hanya memanfaatkan perasaannya selama tiga tahun terakhir.
Dengan sisa keberanian yang ia miliki, ia menatap lurus ke mata Adrian. "Terus, apa pedulimu? Bukannya kamu sudah memilih Evelyn?"
Kali ini, ekspresi Adrian berubah sejenak. Ada sesuatu yang melintas di matanya, entah itu keterkejutan atau kemarahan. Namun, detik berikutnya, ia kembali menatapnya dengan dingin.
"Jangan samakan Evelyn dengan dirimu."
Itu adalah pukulan terakhir.
Dada Nadine terasa sesak. Ia menahan air matanya dengan sekuat tenaga, tidak ingin terlihat lemah di hadapan pria ini lagi.
“Kalau begitu, tidak ada yang perlu kita bicarakan lagi. Keluar dari perpustakaan ini, Adrian.” ucapnya lirih, tapi tegas.
Adrian masih menatapnya, seolah ingin mengulangi kata-katanya, tapi akhirnya ia hanya mendengkus dan berbalik. Tanpa sepatah kata lagi, ia melangkah pergi, meninggalkan Nadine yang kini berdiri kaku di tempatnya.
Begitu pintu perpustakaan tertutup, Nadine merosot di kursinya. Tangan gemetar, hati hancur, tapi ia tetap menegakkan kepala.
Ia tidak akan menangis.
Tidak untuk Adrian. Tidak lagi!
Kedatangan mantan Adrian seperti melemparkan tai ke wajahnya. Nadine memutuskan untuk menutup perpustakaan tepat waktu. Biasanya wanita itu akan menambah jam buka agar beberapa mahasiswa menyelesaikan keperluan mereka. Namun, hari ini tidak. Dia sudah dibuat malu, dan jelas gosip langsung menyebar di antara penghuni kampus.
Nadine berjalan menyusuri gang sempit yang remang-remang. Lampu jalan yang berkedip-kedip seakan mencerminkan hatinya yang rapuh. Sepanjang perjalanan, pikirannya terus dipenuhi kejadian di perpustakaan tadi siang. Kata-kata Adrian masih menggema di telinganya, menikam harga dirinya tanpa ampun.
Saat tiba di depan pintu kontrakan, Nadine menghela napas panjang. Ia merogoh tasnya, mencari kunci, lalu membukanya dengan lelah. Pintu kayu tua itu berderit pelan saat ia mendorongnya masuk.
Keadaan di dalam gelap dan sunyi.
Bibi Clara masih belum pulang.
Nadine memijat keningnya, lalu meraba sakelar di dinding. Lampu redup menerangi ruangan kecil yang ia sebut ‘rumah’. Dapur mungil di pojok kanan masih sama berantakannya seperti pagi tadi. Piring kotor di wastafel menumpuk, sisa makanan yang tidak disentuh dibiarkan begitu saja di atas meja makan reyot.
Hatinya sedikit mengeras. Ia sudah terbiasa.
Sejak kecil, Bibi Clara tak pernah benar-benar mengurusnya dengan penuh kasih sayang. Wanita itu lebih sering menghilang, entah sibuk di luar atau malah menghabiskan uang untuk kesenangan pribadinya. Bibi Clara memang memberinya tempat tinggal, tapi tidak lebih dari itu.
Nadine melepaskan sepatu dan meletakkan tasnya di atas meja kayu tua di sudut ruangan. Dengan langkah lelah, ia berjalan ke kamar sempitnya. Kasur tipis dengan seprai lusuh menyambutnya.
Begitu tubuhnya jatuh ke atas kasur, ia menatap langit-langit dengan mata kosong.
“Kenapa semuanya jadi seperti ini?” gumamnya pelan.
Ia ingin menangis, tapi air matanya seakan sudah habis.
Lima tahun. Lima tahun ia menunggu Adrian, percaya pada semua janji-janji yang akhirnya hanya omong kosong. Ia menyerahkan seluruh hatinya, tapi pria itu justru melamar wanita lain di hadapannya. Dan sekarang, setelah satu malam yang bahkan tidak bisa ia ingat dengan jelas, Adrian datang untuk menghakiminya seolah ia yang telah menghancurkan segalanya.
“Sial…” Nadine mengusap wajahnya dengan kasar.
Tubuhnya lelah, pikirannya kalut. Namun, di balik semua kelelahan itu, ada kemarahan yang perlahan tumbuh di hatinya.
Mungkin sudah waktunya berhenti berharap.
Dengan sisa tenaga yang ia punya, Nadine bangkit dari kasur, berjalan ke kamar mandi, dan mencuci wajahnya. Ia menatap pantulan dirinya di cermin. Wanita dengan mata sembab dan wajah pucat itu bukanlah Nadine Prameswari yang ia kenal.
“Mulai besok, semuanya akan berubah.” bisiknya pada diri sendiri.
Kehadiran Nadine bisa jadi ancaman untuk rival Leonard. Hal ini dikarenakan keeradaan wanita biasa seperti Nadine bagai dongeng cinderella. Simpati rakyat biasa jelas menggebu-gebu, apalagi politik yang dibalut dengan drama cinta sejati. Romansa manis di tengah panasnya politik negeri."Sial! 80% simpatik rakyat tertuju pada Leonard. Kalau begini aku bisa kalah!" gerutu Oscar- rival Leonard dalam Pilpres.Adrian yang duduk di hadapannya hanya bisa mengeratkan genggaman tangan pada celana. Tubuh pria itu trremor. Ia sendiri tak rela, hubungan Leonard dan Nadine semakin erat.Oscar berdiri dari kursinya dengan kasar, membuat kursi kulit mahalnya bergeser dan mengeluarkan suara seret yang tajam. Tangannya menepis tumpukan berkas di meja, membuat dokumen polling dan rencana strategi kampanye berserakan di lantai. Matanya menyala penuh amarah.“Bukan sekedar politik lagi,” gumam Oscar lirih, namun suaranya mengandung ancaman. “Ini soal narasi. Leonard menang mutlak dalam hal itu.”Adrian m
Victoria Donovan melangkah anggun di tengah kerumunan, gaun satin ungu tua yang dikenakannya berkilau di bawah cahaya chandelier ballroom. Wajahnya yang tak lagi muda tetap memancarkan aura elegan dan tajam. Ia tersenyum tipis saat langkah Leonard dan Nadine mendekat, tapi senyum itu lebih dingin daripada ramah.“Leonard, sayang,” sapa Victoria dengan nada khas sosialita papan atas, mencium pipi anaknya pelan. Lalu, matanya beralih pada Nadine.“Oh…” Ia menatap wanita muda di samping putranya dari ujung kepala hingga kaki. “Kamu Nadine itu, ya?”Nadine menegakkan bahu, berusaha tegar meski jelas terasa sorot matanya tak menyukai kehadirannya. Ditambah pertemuan terakhir mereka masih membekas di kepalanya. Leonard hendak membuka mulut, tapi Victoria lebih dulu bicara.“Gaunmu sederhana sekali. Tapi kadang kesederhanaan memang bisa... terlihat manis.” Ia tersenyum, tapi matanya tajam. “Asal tahu tempatnya saja.”Beberapa tamu yang berdiri tak jauh sempat menoleh. Nadine menunduk sediki
Bibir Leonard terangkat begitu pesan yang ia ketik terkirim. Hatinya terasa hangat, rasanya tak sabar ingin keluar dari ruang meeting.Namun tatapan puluhan pasang mata dari para pejabat tinggi yang duduk melingkar di ruangan itu membuatnya harus menahan diri. Ia menyandarkan punggung ke kursi kulit cokelatnya, lalu mengangkat dagu sedikit—mengembalikan aura otoritasnya sebagai Menteri Dalam Negeri Republik ini."Pak Leonard," suara Direktur Jenderal Otonomi Daerah memecah keheningan, "terkait data wilayah perbatasan Kalimantan Utara, ada inkonsistensi koordinat dan potensi celah hukum yang bisa dimanfaatkan pihak asing."Leonard mengangguk pelan, jemarinya mengetuk pelan meja bundar. "Saya ingin semua data lintas kementerian dikompilasi ulang. Termasuk laporan militer dari pertahanan, BPN, dan informasi dari BIN. Kita tidak bisa mengabaikan hal sekecil apa pun dalam wilayah perbatasan. Saya ulang: sekecil apa pun."Seseorang dari Kementerian Keuangan mengangkat tangan. “Kalau begitu,
Alexander termenung di kursi goyangnya. Ia menyesap cerutu hingga asap mengebul pekat. Tangan kirinya sibuk mengetuk sadaran, dengan sorot tajam ke arah paludarium. Di dalam kepalanya berisi banyak hal, terutama putranya."Aku tidak menyangka dia sekeras kepala itu," gerutunya setelah menyembulkan asap ke udara. Wajahnya yang keriput dengan mata sayu, tak menurunkan vibes dark darinya. "Tidak ada cara lain. Aku harus menekan anak itu, sebelum terlambat."Pada saat itu terdengar ketukan heels di atas marmer. Wanita paro baya dengan dress merah ketat bahan beludru, membelai lembut dada suaminya. Lipstik merah menambah pancaran kecantikannya yang tak lekang oleh waktu."Sedang mikirin apa, Pa?" tanyanya lembut, sedikit berbisik di telinga Alexander."Seperti yang kamu duga." Pria itu menarik Victoria ke pangkuannya."Putra kita?" Senyum nakal tercetus dalam wajah ayu itu.Alexander hanya ber-hm. Rambutnya yang terdiri dari guratan putih, di sisir lembut oleh Victoria. "Bukankah dia m
RUANG PERTEMUAN DONOVAN PRIVATE CLUBRuangan tempat Nadine dibawa tak ubahnya ruang interogasi, meski tak ada lampu gantung menyala di atas kepala atau cermin dua arah. Tapi hawa di dalamnya cukup untuk membuat siapa pun kehilangan kendali atas detak jantung.Lantai marmer mengilap, karpet mewah dari wol Turki, dan meja oval panjang dengan hanya tiga kursi. Dua kursi sudah terisi. Nadine menelan ludah saat matanya bertemu sosok di sisi kanan meja.Alexander Sinclair.Ayah kandung Leonard.Sosok yang hampir tak pernah muncul di hadapan publik, tetapi namanya berkumandang di koridor kekuasaan sebagai raja bisnis minyak, logam, dan ia adalah mantan perdana menteri. Sampai sekarang ia masih berjibaku di dunia politik bayangan. Wajahnya dingin, rahangnya tegas, dan sorot matanya menembus, seperti mampu membongkar isi pikiran Nadine tanpa perlu berkata apa pun.“Duduk,” ujar Victoria datar, tanpa memandang Nadine.Nadine menunduk, berjalan pelan, dan duduk di kursi yang tersedia. Kedua tang
KEESOKAN PAGINYANadine duduk di sofa kamar hotel dengan tangan memegang secangkir teh hangat. Matanya masih mengantuk, rambutnya dikuncir rendah seadanya, dan ia masih mengenakan hoodie kebesaran milik hotel. Tapi meski tampak santai, pikirannya berkelana.Ketukan pelan di pintu membuatnya tersentak."Nadine? Ini aku."Suara Leonard.Nadine bangkit dan membuka pintu. Ia sedikit terkejut melihat Leonard telah berpakaian rapi dengan setelan jas abu gelap yang menegaskan aura karismatiknya. Dasi biru tua yang dipilihnya memberikan kesan tenang dan dapat dipercaya—penampilan seorang calon presiden yang sudah siap turun ke lapangan.“Pagi,” sapa Leonard, tersenyum kecil. Matanya menyapu penampilan Nadine sekilas. Tak ada kritik. Hanya... kehangatan.“Pagi,” balas Nadine, suara pelan.Leonard mengangkat kotak kecil dari tangannya. “Sarapan. Aku tahu kamu nggak suka makan pagi di restoran hotel karena terlalu ramai. Aku pesan khusus dari koki pribadi.”Nadine sempat menahan napas, lalu ters