Share

Bab 2

“Ya apa alasannya? Kami sama-sama perempuan, apa yang dia punya sampai-sampai kamu enggak bisa melepaskan dia? Atau jangan-jangan kalian sudah menikah diam-diam?”

Prayy!!!

Suara piring terjatuh, lalu seketika saat kami berpaling mertuaku berada di balik sana.

Dia menatap nanar tetapi tak lama, berteriak memanggil suaminya. Sekarang bukan hanya suaminya yang hadir, anak-anakku pun ikut penasaran dengan keributan yang kembali kami ciptakan. Kurasa memang hubungan kami sudah tak sehat. Begitu banyak keributan, amarah juga sikap anak-anak yang jadi keras padaku, semakin memperjelas semuanya. Meski aku tahu ini semua salahku, namun tak bisakah Dewi menahannya sejenak, setidaknya sampai mereka pulang. Sehingga kita bisa menyelesaikan masalah ini berdua. Sekarang karena ada mereka di sini, semuanya tentu akan bertambah kacau.

“Ada apa Bu? Astagfirullah kok pecah begini, awas anak-anak jangan ke sini, hati-hati ini loh nanti kena pecahannya, kamu jaga anak-anak sebentar, biar Bapak yang ambil sapu sama serok.”

Ibu hanya diam dan menurut, tapi tatapannya padaku seperti elang yang siap memakan mangsanya kapan saja. Bude membawa anak-anak ke kamar. Sudah dipastikan kali ini aku tak akan bisa mengindar lai. Dan benar saja begitu Bude kembali, bersamaan dengan Pakde yang telah selesai membersihkan pecahan piring yang berserakan di lantai. Ibu mendekati kami. Dewi pun sudah dalam posisi duduk. Suasana mendadak menegang.

“Ibu kenapa teriak-teriak, coba bicarakan pelan-pelan, Bapak tahu Ibu kesal, tapi di sini ada anak-anak, enggak baik buat mental mereka melihat orang tuanya bertengkar.”

“Ini masalahnya serius Pak, Ibu juga enggak akan kayak gini kalau masalahnya sepele?”

“Emang apa masalahnya?”

“Tanya tuh sama mantu kesayangan Bapak!”

“Astagfirullah Bu, Dan Dewi ada apa sebenarnya? Kalian ada masalah?”

“Dani selingkuh Pak,” lirih Dewi, yang tentu saja aku refleks menatapnya. Tak bisakah dia menutupinya kali ini saja.

“Bener itu Dan?”

“Dani bisa jelaskan Pak.” Aku langsung berdiri lalu berjalan mendekati Pakde yang masih di ambang pintu, dia bahkan masih memegang sapu. Wajahnya seketika merah padam, bahkan telapaknya mulai mengepal yang semakin lama justru semakin kuat.

Pecahan piring itu malah kembali di lemparkan ke arahku, tentu aku refleks menghindar.

“Kurang ajar!”

“Bapak! Udah Pak!” Seketika Ibu menjerit melihat Bapak yang berusaha menarik kerah bajuku. Namun naas semua sudah terlambat, kepalan tangannya sudah lebih dulu mendarat di wajahku. Meninggalkan darah segar yang mengucur di bibir. Dia sama sekali tak menghiraukan kakinya yang menginjak serpihan beling yang ia lempar. Bahkan sekarang dia terus saja memukulku. Sebenarnya bisa saja aku melawanya namun ini memang salahku. Aku telah menyakiti putrinya. Memang sudah sepantasnya dia melampiaskan kemarahannya.

“Sudah Pakde cukup!”

“Kamu masih belain dia Nduk? Buat apa?”

Ya Tuhan, syukurlah Dewi masih mau pasang badan untukku. Sekarang tepat berada di depanku.

“Besok kalau anak-anak nanya Papahnya kenapa? Dewi harus jawab apa? Dewi aja sudah bingung tiap kali Rafa nanya kenapa Papahnya sering jalan sama perempuan lain? Dewi bingung.”

“Kamu itu enggak sendiri Nduk, masih ada kami, kalau kamu sudah enggak kuat, kenapa enggak pulang ke rumah.”

“Dewi enggak mau nyusahin Bapak sama Ibu, udah cukup Dewi ngerepotin Ibu Bapak dari kecil.”

“Ya Allah Nduk, kami justru lebih sakit lihat kamu begini.”

Dewi luruh ke lantai, dia terisak di sana. Aku mencoba merengkuh wanita itu, namun Pakde, malah menariknya. Meski begitu bisa kurasakan demam Dewi semakin tinggi saja. Dia pasti sakit karena ulahku.

“Ayo Bapak antar ke dokter ya, ini demi anak-anak Nduk, kamu buat apa nangisin laki-laki brengs#k kayak dia, sudah ayo bangun Nduk.”

Akhirnya Dewi bersedia dibawa ke dokter. Aku sepat khawatir mengingat wajahnya sudah tampak seperti mayat hidup. Maafkan aku Wi, seandainya aku mampu mengontrol nafsu, semua ini tak akan terjadi.

“Kamu mau apa lagi?” sentak Pakde, yang menyadari aku mengikutinya dari belakang.

“Aku mau ikut antar Dewi periksa Pak.”

“Enggak usah pura-pura kamu! Sudah minggir sana! kalau enggak ingat anak-anak, sudah saya habisi kamu!” ancamnya.

Ahhh!!!

Ponselku berdering seperti biasa siapa lagi kalau bukan Eiden, yang menelepon di jam malam begini. Entah kenapa hasratku hilang begitu saja. Padahal biasanya aku begitu bersemangat hanya melihat namanya terpampang di layar. Haruskah keluarga yang kubina selama 12 tahun harus hancur saat ini juga? Sejenak aku menatap ke arah kamar anak-anak.

Kenapa sih gue bod#h banget!

Cukup lama mereka keluar, hingga saat mereka kembali. Aku yang masih menyimpan khawatir, bukankah wajar bertanya tentang keadaan Dewi? Sialnya bukan jawaban yang kudapatkan namun lagi-lagi makian dari Pakde. Pada akhirnya aku pasrah, membiarkan Dewi masuk ke kamar kami.

“Duduk!” Pakde kembali mendekat, tapi kali ini tentu aja aku sudah punya ancang-ancang kalau saja tiba-tiba dia memukul, setidaknya aku bisa menghindar. Tetapi dia malah menertawakanku.

“Kamu pikir pukulan saja cukup untuk membalas perbuatan kamu?”

“Saya minta maaf Pakde, saya memang salah.”

“Kalau kamu tahu salah kenapa dilakuin?”

“Sekali lagi saya janji, ini terakhir kalinya saya melakukan ini.”

“Bulshit!”

Aku tercengang baru kutahu kalau keluarga Dewi yang terkenal lembut dan santun dalam sehari saja bisa berubah sekasar ini. Tatapan Pakde saat ini sungguh seakan-akan dia ingin menelanku bulat-bulat.

“Saya boleh tua, tapi kalau saya mau sekarang juga saya bisa bikin kamu, ya minimalnya lumpuh.”

Enteng sekali dia berkata demikian, memangnya dia itu siapa. Lagi pula, dengan melihat kondisinya saat ini, tentu saja yang akan terjadi tentu saja sebaliknya.

“Apa keputusan kamu?”

“Saya ingin tetap mempertahankan rumah tangga ini Pak?”

“Alasannya?”

“Anak-anak kita sudah empat, kasihan nasib mereka kalau kami harus berpisah.”

“Kasihan? Lalu nasib Dewi? Kamu pikir dia enggak sakit hati sama perlakuan kami. Sekarang saya enggak mau tahu ya, tinggalkan Dewi! Hari ini juga saya akan ajak dia pergi.”

“Enggak bisa gitu dong Pak.”

“Kenapa enggak bisa? Dia anak saya! Minggir!”

“Oke Bapak sama Ibu bisa ajak Dewi, tapi izinkan saya buat bicara sama Dewi dulu, setelah itu terserah kalau Dewi mau ikut, aku enggak akan melarang lagi.”

Ya ampun kenapa begini, oke berpikir Dani, bagaimana caranya menahan Dewi di sini. Bagaimana pun aku sadar Eiden tak punya kemampuan mengurus keempat anakku sekaligus. Aku masih butuh Dewi.

“Cepat! Kamu mau masuk enggak!” teriak Pakde. Dia ini kenapa jadi tak sabaran.

Aku membuka pintu kamra, lalu mendekat ke Dewi yang tengah berbaring.

“Kamu sakit apa?”

“Bukan urusan kamu.”

“Pakde sama Bude mau ajak kamu sama anak-anak pergi, malam ini juga, tapi aku enggak setuju.”

Mendengar perkataanku Dewi langsung terlonjak, lalu susuk bersandar ke ranjang.

“Kenapa?”

“Aku pengen kamu buat tinggal di sini.”

“Kalau aja kamu enggak pernah selingkuh dengan senang hati aku tinggal Mas.”

“Terserah kalau kamu mau pergi, atau mau pisah dari aku, tapi yang harus kamu ingat, hak asuh anak enggak akan aku serahkan begitu aja sama kamu. Berani keluar, siap-siap aja. Aku enggak mau kamu pergi!”

“Egois kamu Mas! Jahat!”

“Kamu harus ingat Wi, kamu enggak kerja kamu mungkin bisa bawa Yura karena masih ASI tapi ketiganya, dengan apa kamu bisa menghidupi mereka, kalau kamu sendiri enggak kerja, pihak pengadilan enggak akan memberikan hak asuh mereka ke kamu. Dan aku akan berjuang juga buat itu.”

Pakde yang tak sabaran dengan lancangnya masuk, lalu masuk menghampiri kami.

“Ayo kita pergi Wi!”

Dewi tak langsung menjawab, entah keputusan apa yang akan dia ambil. Aku yakin dia pasti bingung. Mana tega dia meninggalkan ke tiga anaknya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status