Share

Dosa yang Tak Termaafkan
Dosa yang Tak Termaafkan
Author: ERIA YURIKA

Bab 1

Author: ERIA YURIKA
last update Last Updated: 2024-04-03 00:03:57

“Kamu selingkuh lagi, Mas? Aku sudah pernah bilang ‘kan, Cukup sekali! Enggak ada dua kali!” lirih Dewi, istriku.

“Bon belanjaan sebanyak ini buat siapa? Mana semuanya juga barang-barang perempuan. Ini juga tiket bioskop,” ucap Dewi yang mulai mendikte satu persatu barang yang ia temukan.

Saat itu ia bahkan sampai menggeleng, sekalipun saat itu ia berbicara cukup pelan, tetapi jelas ada kemarahan yang teramat sangat.

“Aku bisa jelaskan!” ucapku.

“Cukup!”

Tiba-tiba Dewi meninggikan suaranya dan itu membuat aku cukup terkejut. Bisa dibilang ini adalah kali pertama banginya yang terbiasa bersikap lemah lembut, lantas mendadak menunjukkan emosinya.

Seketika itu juga ia menangkupkan wajah. Lalu bersandar pada dinding ruang tamu, kala itu ia bahkan menangis sampai kedua bahunya berguncang hebat. Tangis yang sejak tadi dia tahan akhirnya pecah juga.

Kala itu aki juga tidak diam saja. Aku sudah berusaha merangkul, tetapi apa daya ia seolah memberi jarak dengan mendorong dadaku. Seolah ia sudah tak sudi lagi aku sentuh.

Usai mendorong, Dewi tampak mengatur nafasnya yang mulai tak beraturan. Sejenak dia juga menengadahkan pandangan ke atas, menatap langit-langit rumah. Entah apa tujuannya.

“Wi kita bisa bicarakan ini baik-baik!” ucapku.

“Katakan berapa kali?” tanya Dewi.

“Apanya yang berapa kali, Wi?” tanyaku, sembari meraih tangannya.

“Apa kurangnya aku, Mas? Kurang cantik, sexi atau kurang liar? Hah, jawab! Jangan diam aja!”

“Wi, oke aku ngaku aku salah.”

“Dua kali kamu lakuin itu ke aku Mas, jelas itu salah. Sekarang kamu mau mengelak lagi dan bilang kalau semua itu khilaf, iya ‘kan?”

Aku terdiam, jujur saja aku bingung mau menjawab apa.

“Tega kamu!”

“Wi, kita bicara sambil duduk ya, biar kamu lebih tenang!”

“Kamu bilang tenang? Aku ini punya perasaan Mas, sakit aku diginiin! Aku bisa terima kamu sakiti aku, tapi anak-anak, bisa-bisanya kamu pergi senang-senang sama pelacur padahal anak kamu lagi di rawat di rumah sakit.”

“Dia bukan pelacur, Wi.”

“YA TERUS APA NAMANYA KALAU BUKAN PELAC*R?”

“Ya ampun, istighfar Wi!”

Bukannya melafalkan istighfar, Dewi malah tersenyum, lantas tak berapa lama ia malah menertawakan dirinya sendiri.

“Jangan begini Wi!” ucapku yang mukao khawatir dengan tingkah Dewi.

Itu benar-benar menakutkan. Aku tahu di kecewa, tapi keempat anak kita masih sangat membutuhkan Ibunya. Aku hanya tidak bisa membayangkan akan seperti apa, jika anak-anak dipisahkan dari ibunya. Sementara, aku saja tidak pernah tahu cara mengurus anak dengan benar.

“Ingat kamu sama Tuhan, Mas. Waktu selingkuh ingat enggak? Yang perlu istigfar itu kamu Mas, bukan aku!”

Setelah mengatakanyaDewi pergi begitu saja.

Entah tindakan apa yang akan dia ambil ke depannya. Yang jelas sekarang, melihatnya tertawa seraya menangis secara bersamaan, aku merasa tak tenang, takut kalau Dewi bisa saja berbuat nekat.

Bukankah orang pendiam justru sering kali lebih berbahaya dalam caranya meluapkan emosi. Mengingat aka hal itu tanpa pikir panjang aku gegas menyusul Dewi yang pergi ke dapur.

Ya Tuhan, jangan-jangan dia mau bunuh diri.

“DEWI!”

Aku berteriak sekencangnya. Membuat Dewi seketika membalikkan badan menatapku.

“Kenapa, kamu pikir aku mau bunuh diri?”

“Aku cuma khawatir kamu berbuat nekat Wi, Apa lagi yang ada di tangan kamu sekarang. Pisau itu bukannya akan lebih baik kalau di simpan saja?”

Melihat Dewi memegang pisau seperti itu, bagiku hal itu cukup mengerikan.

“Kenapa aku yang harus mati? Jelas-jelas kamu yang salah!” katanya.

“Wi kamu enggak berpikir buat membunuh aku ‘kan?”

Bukannya menjawab Dewi hanya menatapku saja.

“Mah, Pah ngapain sih malam-malam di dapur? Pakai teriak-teriak segala. Dikira Mamah kenapa-napa,” kata Rafa, putra sulungku.

Umurnya menginjak 10 tahun.

“Mamah habis nangis, ya?” tanyanya.

Entah kenapa dari tadi Dewi hanya diam menatap kami bergantian.

“Papah sama Mamah berantem?”

“Enggak sayang, Mamah cuma kena sabun aja. Kamu mending balik aja ke kamar! Mamah sama Papah baik-baik aja kok.”

“Bener, Mah?” Rafa kembali memastikan.

Namun, respons Dewi masih sama, yaitu hanya menatap Rafa tanpa peduli apa yang anak kecil itu katakan.

“Mamah kenapa sih?” tanya Rafa.

Ia yang penasaran pun malah mendekat.

“Rafa kamu masuk ke kamar ya, biar Mamah jadi urusan Papah!” perintahku.

“Enggak ah, Papah apakan Mamah?” tanya Rafa yang masih keras kepala ingin tahu apa yang terjadi dengan ibunya.

Sekarang bukannya pergi, anak kecil itu justru berbalik dan menatap tajam ke arahku.

“PAPAH KALAU TERUS NYAKITIN MAMAH, ENGGAK USAH PULAH DEH! PERGI AJA YANG JAUH!” teriaknya.

Sangat tidak sopan!

Entah dari mana dia belajar kata-kata seperti itu. Sungguh aku terlonjak dibuatnya. Saat itu tanpa memedulikan perintahku ia menarik Dewi. Lantas, menuntutnya menaiki tangga sampai masuk ke kamar yang berada di lantai 2. Sekali lagi aku kembali dibuat heran dengan perlakuan Rafa yang melarangku masuk.

“Papah enggak usah dekati Mamah lagi!” tegas Rafa.

Aku melirik Dewi sekilas, berharap ia mau memberikan sedikit saja pembelaan padaku. Namun, saat itu ia tampak tak peduli pada sekitar. Bahkan, di saat mata kami bertemu dalam sesaat, tetapi tatapannya padaku begitu dingin dan datar, seperti orang yang tak punya gairah hidup. Ini mulai tak beres.

“Biarkan Papah bicara sama Mamah!”

“Enggak!” tegasnya dengan sedikit kasar.

“Kamu masih anak-anak, enggak ngerti urusan orang tua.”

Aku melepaskan lengan mereka yang saling menggenggam. Seraya terus mencoba mengajak Dewi bicara, tetapi selalu saja usahaku tak membuahkan hasil.

“Ini semua gara-gara Papah!”

“Kamu bisa diem enggak! Mending kamu masuk kamar deh!”

Aku kalap waktu itu, hingga sampai hati membentak Rafa yang jelas hanya mencoba membela Dewi. Namun, reaksi Dewi juga di luar dugaan, dia menarik lengan Rafa kemudian langsung menyembunyikan di belakang tubuhnya. Lantas, ia pun beralih menatapku dengan tatapan yang begitu dingin.

“Aku yang pergi atau kamu?” tanya Dewi.

“Enggak bisa begitu dong anak-anak kita, mau ikut siapa? Cobalah berpikir jernih anak kita sudah empat, pisah itu bukan solusi!” ucapku.

“Harusnya kamu yang berpikir jernih, Mas! Oke kalau begitu biar aku dan anak-anak yang pergi kamu bisa tinggal di sini! Bawa sekalian perempuan itu ke sini, jadi ke depannya kamu enggak perlu keluar biaya untuk penginapan!”

“Wi bagaimana bisa kamu membicarakan hal itu di depan anak-anak?”

“Asal Papah tahu, di sekolah aku dibuli gara-gara Papah! Aku malu punya Papah tukang selingkuh. AKU ENGGAK MAU PUNYA MAMAH DUA! HMMM AAAARGHH!!”

Rafa tiba-tiba saja mendorong tubuhku hingga hampir saja terjungkal. Dewi juga tak bereaksi apa pun selain hanya menatap nanar ke arah anaknya yang saat itu langsung melarikan diri ke kamarnya.

“Sudah puas sekarang?” Dewi kembali bersuara.

Aku tak menyangka kalau semuanya akan jadi begini. Belum reda keterkejutanku kini Rafa sudah keluar dengan ranselnya yang entah ada apa di dalam sana. Yang lebih mengejutkan lagi Rio dan Adit berada di belakangnya, mereka berjalan mendekat ke arah kami, lengkap dengan tas ranselnya masing-masing. Sebenarnya masih ada satu lagi, Yuri namanya, tetapi si Bungsu masih tinggal di kamar kami.

“Ayo kita pergi dari sini, Mah! Rafa lebih baik enggak punya Papah. Ayo pergi Mah, buat apa kita masih di sini!”

Rafa semakin meninggikan suaranya. Dan itu membuatku sakit bukan main. Aku bisa saja menamparnya saat itu juga, karena perkataannya barusan sungguh keterlaluan. Namun, apa jadinya nanti. Dia mungkin akan semakin membenciku.

Ya Tuhan, kenapa semuanya jadi begini? Aku pikir hanya Dewi yang perlu kutangani, tapi kenapa justru seisi rumah malah membenciku. Aku harus bagaimana?

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Sartini Cilacap
Mampir baca cerita nya
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Dosa yang Tak Termaafkan   Bab 25 [Tamat]

    Aku terdiam menyadari kalau ada yang tak beres. Mata kami bertemu, sorot mata Mas Hasan saat itu masih memerah.Aku masih terdiam di tempat. Saat menyaksikan Mas Hasan mulai menurunkan keranda. Lalu dia tampak acuh padaku memilih langsung turun ke liang lahad.“Mamah!”Dari arah pintu utama pemakaman teriakan yang begitu akrab di telinga menggema. Seketika menghentikan prosesi pemakaman saat itu.Itu Rafa, anakku.“Jangan memasukkan Mamah ke situ Ayah!” katanya dengan wajah berderai.“Mbak Erna tolong bawa Rafa ke rumah ya, pastikan dia enggak ke sini.” Suara Mas Hasan bergetar.Aku ingin turun untuk membantu. Namun hanya dengan mengebaskan tangan Mas Hasan orang-orang di sana menahanku.Hingga prosesi pemakaman selesai. Mereka baru melepasku.“Mas tolong jelaskan sesuatu, jangan diam saja.”BUKK!!Mas Hasan malah memukulku.“Minggir!”“Mas terus anak-anak bagaimana?”“Bukan urusan kamu!”“Hahahaha.”Entah ada apa deng

  • Dosa yang Tak Termaafkan   Bab 24

    “Sakit banget Mas tolong aku.”Eiden memegangi perutnya yang berlumur darah. Entah siapa yang baru saja menusuknya, aku hanya berpikir untuk segera membawanya pergi ke rumah sakit.“Rum! Ayo ikut Bapak!” Tak ada jawaban. Aneh! Bukankah biasanya dia akan sangat mengkhawatirkan Ibunya.“Kamu enggak mau ikut?” Mengingat kondisi Arumi yang ketakutan aku berniat mengajaknya pergi karena khawatir kalau pencuri itu mungkin akan datang lagi. Namun gadis itu malah menggeleng tanpa sepatah kata pun keluar dari mulutnya. Sementara Eiden yang kesakitan tak mungkin bisa menunggu lebih lama. Akhirnya aku memutuskan untuk pergi.“Siapa yang melakukannya Eiden? Apa ada pencuri yang masuk?”Dia terdiam sejenak. Seperti memikirkan apa yang hendak dia ucapkan tetapi beberapa saat kemudian. Eiden mengangguk walau jelas sekali tampak keraguan dalam sorot matanya.~Untunglah lukanya tak terlalu dalam. Namun karena penanganannya sedikit terlambat Eiden tidak dip

  • Dosa yang Tak Termaafkan   Bab 23

    “Aku enggak akan biarkan kamu menikah sama Mas Hasan Wi, dia enggak salah apa-apa, aku yang salah, kamu lampiaskan saja ke aku, kamu bilang mau penjarakan aku kan, ya sudah lakukan saja.”“Aku berubah pikiran, ingat satu hal Mas, aku enggak akan membuat semua hal mudah bagi kamu.”Kali ini dia pergi, sungguh wanita kenapa sulit sekali dimengerti, jelas kulihat dia meneteskan air mata saat hakim mengetuk palu, tetapi tetap saja, rasa ingin balas dendamnya masih mengakar di sana. Tak mau kehilangan kesempatan aku mengejarnya.“Wi tapi kamu sudah janji mengizinkan aku bertemu sama anak-anak, sekarang aku mau ketemu sama dia.”“Kalau uang yang kamu janjikan sudah ada di tanganku baru kuberikan apa yang kamu inginkan.”Sial ada saja alasannya untuk mencegahku bertemu dengan mereka. Lihat saja setelah kupenuhi tuntutanmu kamu tak akan bisa menahanku lagi. Tadinya aku ingin diam-diam mengikuti Dewi tetapi panggilan di ponselku membuat perhatianku teralihkan. Panggilan

  • Dosa yang Tak Termaafkan   Bab 22

    “Masa iya harus jual rumah, mau tinggal di mana coba! Kenapa harus cash sih!”Pikiranku buntu, kalau saja Dewi bersedia menerima uang itu dalam bentuk aset yang kumiliki, hal itu mudah saja bagiku. Hanya tinggal balik nama lalu selesai. Di perjalanan pulang kusempatkan untuk mampir di rumah makan. Sejak kepergian Dewi tempat ini sudah seperti rumah ke duaku. Eiden yang tak pandai memasak, mau tak mau aku jadi lebih banyak makan di luar.Kalau Dewi yang lemah lembut saja bisa sekerasini di persidangan, lalu bagaimana dengan Eiden, apa yang akan dia minta nantinya. Memikirnya sungguh membuatku frustasi. Hidup sendirian nyatanya tak selalu menyenangkan. Satu-satunya keluarga yang kumiliki, sekarang tak bisa lagi diharapkan, tetapi tak ada salahnya mencoba bukan?“Hallo Mas?”“Ya.”“To the point aja Mas aku mau bicara masalah Dewi.”“Ckk, apa lagi? Mau nuduh aku dan Dewi selingkuh?”Dari mana dia tahu, apa jangan-jangan Dewi

  • Dosa yang Tak Termaafkan   Bab 21

    “Munafik! Apa bedanya kamu denganku Wi? Sama-sama selingkuh!”Melihat mereka tertawa layaknya pasangan suami istri, ada yang berdenyut nyeri di dalam sini. Tak tahan lagi, akhirnya kuputuskan untuk bergabung dengan mereka. Ada anak-anakku di sana, meski emosi yang kian menggebu, nyatanya rinduku pada mereka telah berhasil meredam segalanya. Aku tak mau melakukan kesalahan yang kedua kalinya.“Adit, Rio!” panggilku. Seketika mereka menengok dengan ekspresi keterkejutannya, namun tidak dengan Dewi wajahnya datar saja.“Papaaaah!” Anak-anak lantas berhamburan memeluk, kecuali Rafa yang baru datang entah dari mana. Sekilas dia menatap namun kembali meneruskan langkah, seolah kami bukanlah orang yang saling mengenal. “Begitu kah caramu mendidik anak Wi? Sampai-sampai dia enggak punya rasa hormat sama orang tuanya sendiri!”“Untuk apa menghormati pembun*h!” katanya lirih, mungkin takut di dengar anak-anak, namun tidak dengan Mas Hasan yang bergitu terkejut mendengar p

  • Dosa yang Tak Termaafkan   Bab 20

    “Wi, oke kalau kamu mau ambil hak asuh anak silahkan tapi tolong, setidaknya izinkan Mas bertemu mereka, seminggu sekali atau sebulan dua kali tak masalah.”“Jangankan sebulan Mas setahun sekali pun enggak akan aku kasih.”“Jangan kayak gini Wi? Itu namanya kamu egois, suatu saat pasti mereka bakal nanyain aku.”“Seyakin itu kamu Mas? Mereka aja benci kok sama kamu.”“Mau kamu itu apa sebenarnya Wi? Aku datang jauh-jauh ke sini, dengan niat baik, ngasih tau kamu soal kemungkinan terinveksi HIV, tapi niat baikku malah kamu tolak, uang juga kamu tolak, aku minta kamu hukum aku atas kelalaian yang membuat kita kehilangan Yuri pun kamu enggak mau terima, aku ini benar-benar ingin berubah, kenapa kamu begitu menyulitkanku, bahkan untuk sebuah tanggung jawab seorang ayah pun kamu menolaknya.”“Aku enggak butuh!”“Kamu jangan sombong, ngurus anak tiga kamu pikir gampang, apa lagi dengan kondisi kamu sekarang.”“Jadi kamu ingin aku bagaimana?”“Setidaknya ter

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status