Share

Dosa yang Tak Termaafkan
Dosa yang Tak Termaafkan
Penulis: ERIA YURIKA

Bab 1

“Kamu selingkuh lagi, Mas? Aku sudah pernah bilang ‘kan, Cukup sekali! Enggak ada dua kali!” lirih Dewi, istriku.

“Bon belanjaan sebanyak ini buat siapa? Mana semuanya juga barang-barang perempuan. Ini juga tiket bioskop,” ucap Dewi yang mulai mendikte satu persatu barang yang ia temukan.

Saat itu ia bahkan sampai menggeleng, sekalipun saat itu ia berbicara cukup pelan, tetapi jelas ada kemarahan yang teramat sangat.

“Aku bisa jelaskan!” ucapku.

“Cukup!”

Tiba-tiba Dewi meninggikan suaranya dan itu membuat aku cukup terkejut. Bisa dibilang ini adalah kali pertama banginya yang terbiasa bersikap lemah lembut, lantas mendadak menunjukkan emosinya.

Seketika itu juga ia menangkupkan wajah. Lalu bersandar pada dinding ruang tamu, kala itu ia bahkan menangis sampai kedua bahunya berguncang hebat. Tangis yang sejak tadi dia tahan akhirnya pecah juga.

Kala itu aki juga tidak diam saja. Aku sudah berusaha merangkul, tetapi apa daya ia seolah memberi jarak dengan mendorong dadaku. Seolah ia sudah tak sudi lagi aku sentuh.

Usai mendorong, Dewi tampak mengatur nafasnya yang mulai tak beraturan. Sejenak dia juga menengadahkan pandangan ke atas, menatap langit-langit rumah. Entah apa tujuannya.

“Wi kita bisa bicarakan ini baik-baik!” ucapku.

“Katakan berapa kali?” tanya Dewi.

“Apanya yang berapa kali, Wi?” tanyaku, sembari meraih tangannya.

“Apa kurangnya aku, Mas? Kurang cantik, sexi atau kurang liar? Hah, jawab! Jangan diam aja!”

“Wi, oke aku ngaku aku salah.”

“Dua kali kamu lakuin itu ke aku Mas, jelas itu salah. Sekarang kamu mau mengelak lagi dan bilang kalau semua itu khilaf, iya ‘kan?”

Aku terdiam, jujur saja aku bingung mau menjawab apa.

“Tega kamu!”

“Wi, kita bicara sambil duduk ya, biar kamu lebih tenang!”

“Kamu bilang tenang? Aku ini punya perasaan Mas, sakit aku diginiin! Aku bisa terima kamu sakiti aku, tapi anak-anak, bisa-bisanya kamu pergi senang-senang sama pelacur padahal anak kamu lagi di rawat di rumah sakit.”

“Dia bukan pelacur, Wi.”

“YA TERUS APA NAMANYA KALAU BUKAN PELAC*R?”

“Ya ampun, istighfar Wi!”

Bukannya melafalkan istighfar, Dewi malah tersenyum, lantas tak berapa lama ia malah menertawakan dirinya sendiri.

“Jangan begini Wi!” ucapku yang mukao khawatir dengan tingkah Dewi.

Itu benar-benar menakutkan. Aku tahu di kecewa, tapi keempat anak kita masih sangat membutuhkan Ibunya. Aku hanya tidak bisa membayangkan akan seperti apa, jika anak-anak dipisahkan dari ibunya. Sementara, aku saja tidak pernah tahu cara mengurus anak dengan benar.

“Ingat kamu sama Tuhan, Mas. Waktu selingkuh ingat enggak? Yang perlu istigfar itu kamu Mas, bukan aku!”

Setelah mengatakanyaDewi pergi begitu saja.

Entah tindakan apa yang akan dia ambil ke depannya. Yang jelas sekarang, melihatnya tertawa seraya menangis secara bersamaan, aku merasa tak tenang, takut kalau Dewi bisa saja berbuat nekat.

Bukankah orang pendiam justru sering kali lebih berbahaya dalam caranya meluapkan emosi. Mengingat aka hal itu tanpa pikir panjang aku gegas menyusul Dewi yang pergi ke dapur.

Ya Tuhan, jangan-jangan dia mau bunuh diri.

“DEWI!”

Aku berteriak sekencangnya. Membuat Dewi seketika membalikkan badan menatapku.

“Kenapa, kamu pikir aku mau bunuh diri?”

“Aku cuma khawatir kamu berbuat nekat Wi, Apa lagi yang ada di tangan kamu sekarang. Pisau itu bukannya akan lebih baik kalau di simpan saja?”

Melihat Dewi memegang pisau seperti itu, bagiku hal itu cukup mengerikan.

“Kenapa aku yang harus mati? Jelas-jelas kamu yang salah!” katanya.

“Wi kamu enggak berpikir buat membunuh aku ‘kan?”

Bukannya menjawab Dewi hanya menatapku saja.

“Mah, Pah ngapain sih malam-malam di dapur? Pakai teriak-teriak segala. Dikira Mamah kenapa-napa,” kata Rafa, putra sulungku.

Umurnya menginjak 10 tahun.

“Mamah habis nangis, ya?” tanyanya.

Entah kenapa dari tadi Dewi hanya diam menatap kami bergantian.

“Papah sama Mamah berantem?”

“Enggak sayang, Mamah cuma kena sabun aja. Kamu mending balik aja ke kamar! Mamah sama Papah baik-baik aja kok.”

“Bener, Mah?” Rafa kembali memastikan.

Namun, respons Dewi masih sama, yaitu hanya menatap Rafa tanpa peduli apa yang anak kecil itu katakan.

“Mamah kenapa sih?” tanya Rafa.

Ia yang penasaran pun malah mendekat.

“Rafa kamu masuk ke kamar ya, biar Mamah jadi urusan Papah!” perintahku.

“Enggak ah, Papah apakan Mamah?” tanya Rafa yang masih keras kepala ingin tahu apa yang terjadi dengan ibunya.

Sekarang bukannya pergi, anak kecil itu justru berbalik dan menatap tajam ke arahku.

“PAPAH KALAU TERUS NYAKITIN MAMAH, ENGGAK USAH PULAH DEH! PERGI AJA YANG JAUH!” teriaknya.

Sangat tidak sopan!

Entah dari mana dia belajar kata-kata seperti itu. Sungguh aku terlonjak dibuatnya. Saat itu tanpa memedulikan perintahku ia menarik Dewi. Lantas, menuntutnya menaiki tangga sampai masuk ke kamar yang berada di lantai 2. Sekali lagi aku kembali dibuat heran dengan perlakuan Rafa yang melarangku masuk.

“Papah enggak usah dekati Mamah lagi!” tegas Rafa.

Aku melirik Dewi sekilas, berharap ia mau memberikan sedikit saja pembelaan padaku. Namun, saat itu ia tampak tak peduli pada sekitar. Bahkan, di saat mata kami bertemu dalam sesaat, tetapi tatapannya padaku begitu dingin dan datar, seperti orang yang tak punya gairah hidup. Ini mulai tak beres.

“Biarkan Papah bicara sama Mamah!”

“Enggak!” tegasnya dengan sedikit kasar.

“Kamu masih anak-anak, enggak ngerti urusan orang tua.”

Aku melepaskan lengan mereka yang saling menggenggam. Seraya terus mencoba mengajak Dewi bicara, tetapi selalu saja usahaku tak membuahkan hasil.

“Ini semua gara-gara Papah!”

“Kamu bisa diem enggak! Mending kamu masuk kamar deh!”

Aku kalap waktu itu, hingga sampai hati membentak Rafa yang jelas hanya mencoba membela Dewi. Namun, reaksi Dewi juga di luar dugaan, dia menarik lengan Rafa kemudian langsung menyembunyikan di belakang tubuhnya. Lantas, ia pun beralih menatapku dengan tatapan yang begitu dingin.

“Aku yang pergi atau kamu?” tanya Dewi.

“Enggak bisa begitu dong anak-anak kita, mau ikut siapa? Cobalah berpikir jernih anak kita sudah empat, pisah itu bukan solusi!” ucapku.

“Harusnya kamu yang berpikir jernih, Mas! Oke kalau begitu biar aku dan anak-anak yang pergi kamu bisa tinggal di sini! Bawa sekalian perempuan itu ke sini, jadi ke depannya kamu enggak perlu keluar biaya untuk penginapan!”

“Wi bagaimana bisa kamu membicarakan hal itu di depan anak-anak?”

“Asal Papah tahu, di sekolah aku dibuli gara-gara Papah! Aku malu punya Papah tukang selingkuh. AKU ENGGAK MAU PUNYA MAMAH DUA! HMMM AAAARGHH!!”

Rafa tiba-tiba saja mendorong tubuhku hingga hampir saja terjungkal. Dewi juga tak bereaksi apa pun selain hanya menatap nanar ke arah anaknya yang saat itu langsung melarikan diri ke kamarnya.

“Sudah puas sekarang?” Dewi kembali bersuara.

Aku tak menyangka kalau semuanya akan jadi begini. Belum reda keterkejutanku kini Rafa sudah keluar dengan ranselnya yang entah ada apa di dalam sana. Yang lebih mengejutkan lagi Rio dan Adit berada di belakangnya, mereka berjalan mendekat ke arah kami, lengkap dengan tas ranselnya masing-masing. Sebenarnya masih ada satu lagi, Yuri namanya, tetapi si Bungsu masih tinggal di kamar kami.

“Ayo kita pergi dari sini, Mah! Rafa lebih baik enggak punya Papah. Ayo pergi Mah, buat apa kita masih di sini!”

Rafa semakin meninggikan suaranya. Dan itu membuatku sakit bukan main. Aku bisa saja menamparnya saat itu juga, karena perkataannya barusan sungguh keterlaluan. Namun, apa jadinya nanti. Dia mungkin akan semakin membenciku.

Ya Tuhan, kenapa semuanya jadi begini? Aku pikir hanya Dewi yang perlu kutangani, tapi kenapa justru seisi rumah malah membenciku. Aku harus bagaimana?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status