Share

Dosen Dingin itu Ayah Anakku
Dosen Dingin itu Ayah Anakku
Penulis: Suzy Wiryanty

1. Sepuluh Tahun Yang Lalu.

"Tri kamu sekarang ke rumah Sakit Harapan Bunda di Medan ya? Ibu sudah memesan tiket pukul tiga sore untukmu?"

"Ke rumah sakit di Medan sekarang? Siapa yang sakit, Bu?" Sambil menandatangani beberapa dokumen, Gayatri menerima telepon dari sang ibu. Refleks ia memindai jam dinding. Pukul sebelas siang. Artinya ia punya waktu tiga jam lagi untuk sampai di bandara. Cukuplah. Ia sudah terbiasa bepergian dalam waktu mepet.

"Anakmu."

"Hah, a--anak Ratri. Anak dari mana? Bukankah anak Ratri waktu itu sudah meninggal? Ibu ngomong apa sih?" Gayatri meletakkan pena. Ia kini serius mendengarkan kata-kata ibunya. Hening. Tidak terdengar kalimat apapun dari mulut ibunya.

"Ratri menunggu jawaban dari Ibu."

"Sebenarnya putrimu tidak meninggal. Ayah dan ibu telah memberikan putrimu pada kerabat jauh ayahmu di Medan sana."

"Astaga, Ibu. Mengapa Ibu dan ayah membohongi, Ratri?" Gayatri memegangi dadanya. Ingatannya seketika kembali pada saat dirinya dirinya masih berseragam putih abu-abu. Ya, dirinya hamil saat masih SMA. Usianya 17 tahun waktu itu. 

"Ibu dan ayah melakukannya demi menyelamatkan masa depanmu! Kamu masih 17 tahun waktu itu. Hamil dengan mahasiswa baru yang belum bekerja. Menurutmu kami sebagai orang tua harus bagaimana?" 

"Ratri memang masih kecil saat itu. Tapi seharusnya Ibu memberitahu Ratri. Mana boleh Ibu membohongi, Ratri. Dia anak Ratri, Bu!" 

"Sudahlah. Semuanya sudah berlalu. Tidak perlu dibahas lagi. Lakukan saja apa yang Ibu minta tadi. Kalau mau main salah-salahan, sebenarnya yang paling bersalah itu kamu. Hamil diusia sekolah dan melarang Ibu dan ayah memenjarakan laki-laki yang sudah menghamilimu. Kamu ini ibarat melemparkan setumpuk kotoran ke wajah ayah dan ibu, tapi kamu tidak memperbolehkan kami membersihkan kotoran itu!"

"Karena Mas Iwas itu memang tidak bersalah, Bu. Ratri yang mengajak Bang Iwas ke acara ulang tahun Citra. Bang Iwas juga tidak memperkosa, Ratri. Kami sama-sama mabuk karena keadaan waktu itu. Jadi mana boleh Ibu memenjarakan Bang Iwas? Dengan dipecatnya ayah Bang Iwas sebagai guru, itu saja sudah sangat mempermalukan keluarga mereka besar mereka, Bu."

"Sudah! Jangan dilanjutkan cerita lama itu. Membuat Ibu emosi saja. Sana, temui putrimu. Nanti Pak Tono yang akan menjemputmu di bandara Kualanamu."

Gayatri menutup telepon dengan jantung berdebar. Anaknya masih hidup! Ibunya tadi mengatakan kalau anaknya perempuan. Berarti putrinya sekarang sudah berusia sepuluh tahun. Mengingat masa lalunya, benak Gayatri kembali ketahun-tahun di mana dirinya masih berseragam putih abu-abu. Gayatri memejamkan mata. Ia berusaha menghadirkan seraut wajah yang sebenarnya ingin sekali ia lupakan. Tanpa bisa ia tahan, kejadian sepuluh tahun lalu itu pun kembali terbayang.

 

"Bangun Ratri! Astaga, apa yang sudah kalian berdua lakukan! Jawab Ayah, Ratri! Ratri!"


"Astaghfirullahaladzim, Iwas. Kenapa kamu bisa melakukan hal seperti ini, Nak?!"


"Ada apa sih, Bik? Pagi-pagi udah berisik. Ratri masih ngantuk. Lima menit lagi deh Ratri mandi. Kepala Ratri pusing banget ini." Gayatri mendecakkan lidah kesal. 


"Ini, Ayah, Ratri! Bukan Bik Dedeh. Lepaskan pelukanmu pada laki-laki itu! Sikapmu sungguh memalukan!"


Lepaskan pelukanmu? Maksudnya apa ini?


Bugh! Bugh!


"Aduh!"


Gayatri kaget saat batal gulingnya direbut darinya. Tapi mengapa bantal gulingnya bersuara aduh? Gayatri membuka mata. Ia kemudian terpekik lirih saat melihat ayahnya menjambak rambut Iwas dan memukulinya dalam keadaan hanya ditutupi selimut seadanya.


"Kenakan pakaianmu, Was! Kamu benar-benar sudah membuat Ayah malu!" Gayatri ternganga melihat kehadiran Pak Ilham yang menjejalkan kaos dan celana pada Iwas. Mengapa Pak Ilham ada di kamarnya?


"Bang Iwas tidak bersalah, Om. Saya yang meminta Ratri membawa Bang Iwas ke sini." Lho, ada Citra juga yaang berdiri tegang di samping ayahnya.


Ulang tahun Citra? Membawa  Bang Iwas sebagai hadiah?


Mendadak potongan-potongan ingatan perihal ulang tahun Citra, tersusun satu per satu dalam benak Gayatri. Ia mendapatkan undangan ulang tahun dari temannya itu saat baru tiba di kelas. Hanya saja, Citra ingin membuat party besar-besaran karena sang ayah sedang berada di London. Sebagai kado, ia ingin Gayatri mengajak Iwas atau Narawastu Adiwangsa--putra sulung dari Pak Ilham Adiwangsa, guru PPKN di sekolah mereka. Sahabatnya itu begitu penasaran apakah Iwas gay atau tidak karena pernah menolaknya. Mengingat Gayatri cantik, Citra terang-terangan ingin memanfaatkan itu.

Oleh sebab itu, Gayatri pun terpaksa mengiyakan. Meski awalnya ditolak, Gayatri akhirnya berhasil juga.

Di sana, Gayatri dan Iwas menikmati pesta sampai bertemu dengan Windy--anak dari musuh sang ayah. Perempuan itu memaksanya dan Iwas ikut bermain truth and dare, hingga keduanya tanpa sengaja mabuk.

'Mabuk? Jangan-jangan...' batin perempuan itu takut-takut. Diperiksanya keadaan tubuhnya segera.

Hanya saja, ia menjerit kaget saat mendapati dirinya tidak mengenakan sehelai benang pun dibalik selimutnya. Sejurus kemudian, Gayatri segera menyadari mengapa ayahnya dan Pak Ilham ada di rumah Citra ini.


Plak! Plak!


Suara tamparan keras Pak Ilham pada Iwas menakutkan Gayatri. Ia sekarang sudah tahu apa yang sebenarnya terjadi. Apalagi saat ia melihat beberapa noktah merah di sprai yang putih bersih. Dirinya telah ternoda. Kehilangan kesadaran akibat minuman telah membuatnya dan Iwas lepas kendali.


"Sini, Bu. Bawa keluar anakmu. Ayah akan mengurus laki-laki bajingan yang sudah merusak anak gadis kita! Ayah akan membawa laki-laki ini ke kantor polisi!"


"Jangan, Yah. Bang Iwas tidak bersalah. Ratri yang--"


"Sini, Ratri. Kita pulang. Biar ayahmu saja yang menyelesaikan semuanya."


Gayatri kebingungan saat ibu masuk ke dalam kamar, dengan membawa sebuah selimut. Setelah membalut tubuhnya dengan selimut, ibunya menggeret Gayatri yang masih kebingungan. Ia kasihan melihat Iwas yang dipukuli ayahnya membabi buta. Iwas tidak sekalipun  melawan. Iwas hanya menghindar sebisanya sambil mengucapkan kata maaf berkali-kali. Iwas juga mengatakan bahwa dirinya tidak ingat apa-apa.


Namun, ayahnya tidak mempedulikan penjelasan Iwas. Ayah terus memukuli Iwas dengan pukulan demi pukulan. Saat Iwas mengenakan pakaian pun, ayahnya terus menghajarnya. Pak Ilham yang berdiri di samping Iwas hanya terdiam dengan air muka kecewa. Gayatri merasa sangat bersalah pada Iwas.


"Anda juga bersalah, Pak Ilham. Guru apa Anda ini? Mendidik akhlak anak sendiri pun Anda tidak mampu. Anda juga akan saya laporkan. Saya ingin lihat, apakah setelah ini Anda masih bisa mengajar!" Gayatri masih bisa mendengarkan ancaman ayahnya pada Pak Ilham, sebelum ia dipaksa masuk ke dalam mobil.


"Bu, coba bilang pada Ayah. Bang Iwas itu tidak bersalah. Kami berdua mabuk. Bang Iwas ke sini juga Ratri yang mengajak. Bilang pada ayah, jangan memenjarakan Bang Iwas apalagi Pak Ilham, Bu. Pak Ilham itu tidak tahu apa-apa."


Di dalam mobil pun Gayatri terus menoleh ke belakang. Ia tidak tega membayangkan nasib Iwas dan Pak Ilham. Ayahnya tadi sangat marah. Padahal walau terbata-bata Citra juga mengatakan kebenarannya. Tapi ayahnya tidak mempedulikan pengakuan Citra. Ayahnya tadi hanya fokus pada Iwas dan Pak Ilham.


"Diam dan tutup mulutmu, Ratri. Kekacauan hari ini hanya sampai hari ini. Jangan pernah membicarakannya lagi. Paham, Ratri?"


"Baik, Bu. Asal Bang Iwas dan Pak Ilham tidak dipenjara, Ratri bersedia menuruti apapun kata-kata ayah dan ibu." Ratri pasrah. Dalam hati ia berdoa, semoga saja amarah ayahnya  segera mereda agar ayahnya tidak melaporkan Iwas dan Pak Ilham ke kantor polisi. 

Hanya saja, siapa yang akan menyangka bila Gayatri hamil, hingga segala kekacauan pun dimulai....

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status