Share

2. Hamil!

"Lihat akibat perbuatan tidak pikir panjangmu. Sekarang kamu hamil. Masa depanmu hancur sudah!" Gayatri hanya terdiam saat ayahnya melemparkan sebuah amplop putih ke wajahnya. Dua bulan telah berlalu sejak peristiwa ulang tahun di rumah Citra. Gayatri yang kerap mual-mual di pagi hari, membuat ibunya curiga. Ibunya kemudian membawanya ke rumah sakit untuk melakukan medical check up. Dan inilah hasilnya.

Gayatri memungut amplop yang jatuh di lantai. Mengeluarkan isinya dan membaca dengan bibir bergetar. Dugaan ibunya benar. Mual-mualnya selama ini karena ia hamil!

"Bu, segera bawa Ratri ke rumah sakit Mas Wahyudi. Minta dia mengugurkan kandungan Ratri."

"Jangan, Yah! Anak ini tidak salah apa-apa. Ratri yang salah. Jangan membunuhnya." Gayatri beringsut dari kursi. Ia bersimpuh di hadapan ayahnya. Ia tidak mau anaknya dibunuh.

"Kalau kamu mempertahankannya, lantas bagaimana dengan kuliahmu? Ingat, minggu depan kamu akan menghadapi ujian besar. Bulan September nanti kamu sudah akan mulai kuliah. Berarti kamu hanya punya waktu sekitar empat bulan terhitung mulai hari ini untuk menata masa depan. Bagaimana kamu melewati semua itu dengan perut yang makin lama makin membesar?" Pak Sarwani mengamuk.

"Beri Ratri waktu setahun, Yah. Setelah Ratri melahirkan, Ratri janji akan menebus semua kesalahan Ratri. Ratri akan kuliah dengan rajin. Setelah tamat Ratri juga bersedia mengurus semua bisnis-bisnis Ayah. Ratri janji, Yah." Gayatri berikrar sungguh-sungguh.

"Berarti kamu tidak akan kuliah tahun ini?"

"Benar, Yah. Biarkan Ratri melahirkan anak ini dulu. Setelahnya Ratri akan patuh pada semua perintah Ayah. Ratri janji."

Ibu akan melakukan apapun asal kamu tetap dilahirkan ke dunia ini, Nak.

"Baik, Ayah kabulkan. Tapi ingat, setelahnya kamu harus menepati semua janji-janjimu ini. Mengerti, Ratri?"

"Mengerti, Yah." Ratri mengangguk lega. Akhirnya ayahnya mengalah juga. Ayahnya ini berkarakter keras. Menaklukkan hatinya tidaklah mudah. Apa yang sudah ayahnya niatkan, pasti akan ia realisasikan. Terbukti dengan dikeluarkannya Iwas dari kampus, serta dipecat secara tidak hormatnya Pak Ilham dari sekolah. Gayatri tahu kalau ayahnya punya andil besar di sana. Bukan itu saja. Pak Ilham sekeluarga juga menghilang dari tempat tinggalnya yang biasa. Pak Ilham pasti malu karena nama baik keluarga besar mereka sudah hancur tak bersisa.

"Ayah pergi dulu untuk mengurus keperluanmu. Ingat, jangan mengatakan pada siapa pun kalau kamu hamil. Ayah akan memastikan pihak sekolahmu juga tutup mulut atas keadaanmu saat ini."

Gayatri memandangi kepergian ayahnya. Ia tahu ayahnya pasti akan menekan pihak sekolah untuk tidak mengusik tentang perubahan bentuk tubuhnya. Walaupun perutnya masih rata, namun bahasa tubuhnya sudah berbeda. Ia sering mual-mual di dalam kelas.

Seperti mimpi, hari-hari berikutnya Gayatri jalani seperti keinginan ayahnya. Ia mengikuti ujian, lulus dan mengurung diri di dalam rumah hingga tiba saatnya melahirkan. Sayangnya bayinya tidak selamat. Kedua orang tuanya mengatakan bahwa bayinya meninggal sesaat setelah dilahirkan.

Hidup terus berjalan. Gayatri tidak sempat meratapi diri, karena telah disibukkan dengan kegiatan kuliah. Namun ada yang berubah didirinya. Ia bukan seperti dirinya yang dulu lagi. Ia tidak lagi menyukai keriuhan ala remaja puber. Ia jadi pendiam dan lebih nyaman sendirian. Oleh karena itulah teman-teman sekampusnya menjulukinya si ratu es yang sombong. Gayatri tidak mempedulikannya. Fokusnya sekarang adalah kuliah dan membangun masa depan seperti janjinya pada sang ayah.

"Mbak... Mbak Ratri, kita jadi ke bandara tidak?"

"Hah? Apa? Bandara ya? Jadi dong, Mang. Sebentar saya membereskan meja dulu." Lamunan Gayatri buyar saat Mang Diman berdiri di depannya. Refleks Gayatri memindai jam dinding hotel. Pukul setengah sebelas siang. Itu artinya ia telah melamun setengah jam lamanya. Sekarang dirinya telah kembali ke tahun 2023. Sepuluh tahun ke depan dari lamunannya tadi.

"Baik, Mbak. Mamang menunggu di parkiran saja ya? Oh ya, Bu Fauziah sudah menyiapkan keperluan Mbak selama di Medan di koper kecil. Jadi Mbak tinggal berangkat ke bandara saja."

"Baik, Mang. Terima kasih." Gayatri mengucapkan terima kasih pada Mang Diman. Supir setia keluarganya yang kini sudah mulai menua. Waktu berlalu begitu cepat. Dulu dirinya hanyalah seorang anak SMA yang kebingungan. Sekarang dirinya adalah eksekutif muda yang berusia dua puluh tujuh tahun. Saat ini ia mengelola hotel-hotel milik ayahnya yang semakin berkurang. Pandemi telah meluluhlantakkan perekonomian keluarganya.

"Mbak Ratri!"

Teriakan sesorang menyadarkan Gayatri dari lamunannya.

Sepanjang perjalanan ke Medan, tanpa disadari, ia mengingat masa lalu.

Ia tak menyangka tempat ini menyimpan rahasia besar dalam hidupnya. Bagaimana keadaan putrinya? Seperti apakah rupa sang putri? Juga bagaimana ia akan bersikap nantinya. Haruskah ia memperkenalkan dirinya sebagi ibu kandungnya atau bagaimana? Sungguh Gayatri bingung memikirkannya.

"Sini, kopernya, Mbak. Biar saya saja yang membawanya." Pak Tono--sopir hotel milik keluarga Gayatri-- tiba-tiba mengambil alih koper kecil dari tangan Gayatri.

Seperti robot, ia pun berjalan bersisian  menuju tempat parkir.

Sejurus kemudian mereka sudah melaju menuju rumah sakit Harapan Bunda.

Dan di sinilah sekarang Gayatri berada. Di lorong tumah sakit dengan langkah maju mundur di nurse station.

Ia perlu menenangkan hatinya terlebih dahulu. Dua jam di pesawat dan satu jam setengah perjalanan ke rumah sakit, membuat Gayatri jet lag. Ia perlu menenangkan diri terlebih dahulu. Setelah Menarik napas panjang dua kali, Gayatri menghampiri perawat di nurse station.

"Selamat sore eh malam, Suster." Gayatri refleks mengubah ucapannya saat melihat jam di dinding rumah sakit. Waktu telah menunjukkan pukul tujuh kurang sepuluh menit rupanya. 

"Pasien yang bernama--" Gayatri menghentikan kalimatnya. Astaga, ia tidak mengetahui nama putrinya. Ibunya hanya mengatakan kalau nama orang tua yang mengadopsi putrinya adalah Pak Azwar Rangkuti dan Bu Nuraini.

"Bernama siapa, Bu?" Sang perawat bertanya ramah.

"Saya lupa nama lengkapnya. Yang saya ingat pasien adalah anak perempuan berusia sepuluh tahun yang mengalami kecelakaan lalu lintas sekitar jam sebelas siang."

"Anak perempuan sepuluh tahun yang mengalami kecelakaan ya? Sebentar saya cek ya?" Sang perawat mengotak-atik kompoter di depannya.

"Satu-satunya anak perempuan yang mengalami kecelakaan tadi siang namanya Aszanasari Parinduri."

"Iya... iya... Aszanasari namanya. Ruangannya di mana ya?" Gayatri yakin itulah nama anaknya setelah mendengar nama belakangnya. Karena nama itu sama dengan nama yang disebutkan ibunya.

"Saat ini pasien ada di ruang ICU, Bu. Pasien mengalami pendarahan dan memerlukan transfusi darah."

Putrinya dalam bahaya rupanya. Pantas saja ibunya memintanya datang ke sini.

"Ruang ICU di mana ya?" Gayatri panik. Ia belum sempat melihat putrinya. Ia takut kalau putrinya kenapa-napa.

"Naik satu tingkat saja lagi, Bu. Nanti sebutkan nama pasien yang ingin Ibu jenguk pada nurse station di sana. Jam besuk ICU dari pukul 17.00 WIB sampai pukul 20.00 WIB. Tapi itu juga tergantung dari peraturan di sana ya, Bu? Dalam sebagian kasus ada pasien ICU yang tidak boleh dijenguk sembarang orang," terang sang perawat tegas.

"Baik, saya akan menanyakannya pada perawat di atas." Gayatri bergegas berjalan ke arah lift. Karena pintu lift tidak kunjung terbuka, Gayatri tidak sabar. Ia kemudian naik ke tangga darurat. Gayatri baru berniat menghampiri nurse station, sebelum pendengarannya terdistraksi dengan percakapan suami istri di sudut ruangan. Sang istri terus menangis sementara sang suami berupaya menenangkannya.

"Bagaimana ini, Bang? Kalau ibu kandung Zana tidak datang, kita bisa kehilangan dia. Aku tidak mau itu terjadi!"

"Sabar, Dek. Bu Fauziah bilang putrinya, Gayatri dalam perjalanan ke sini. Semoga saja Gayatri tiba tepat waktu."

Benar, kedua suami istri yang tampak kalut ini adalah orang tua adopsi putrinya!

"Tapi aku juga takut, Bang. Bagaimana kalau si Gayatri ini ingin mengambil Zana? Dulu kita mengambilnya di rumah sakit tanpa sepengetahuannya bukan? Persetujuan kita hanya dengan Pak Sarwani dan Bu Fauziah. Aku takut, Bang?"

"Kita pasrahkan saja semuanya pada Allah, Dek. Semoga saja Gayatri bijaksana dan bisa menahan diri demi kebaikan semuanya."

"Aku takut Zana akan sedih jikalau tau bahwa kita bukanlah orang tua kandungnya. Makanya aku melarangmu menelepon Bu Fauziah tadi. Tapi aku juga takut kalau Zana kenapa-napa karena tidak segera mendapatkan pendonor. Aku dilema, Bang!"

Mereka takut kalau ia akan membawa Zana rupanya. Dengan langkah mantap Gayatri menghampiri sepasang suami istri itu. Mereka sangat menyayangi putrinya ternyata. 

"Selamat malam, Pak, Bu. Saya Gayatri, ibu kandung Zana." Gayatri memperkenalkan diri. Sontak sepasang suami istri menatap Gayatri.

"Jangan ambil putriku! Aku sangat menyayanginya. Jangan rusak mentalnya dengan mengatakan bahwa kami hanyalah orang tua angkatnya. Aku mohon." Bu Nuraini memandangi Gayatri kalut.

Dipandanginya wajah Gayatri yang walau tidak mirip seratus persen, tapi hidung dan bibir anak yang selama ini dirawatnya--sama persis dengannya. 

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Khair
yg takut rusak mental mah si nuraini.. sok sok takut Zana yang kenapa napa
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status